Aksi Pertama

Seseorang menjenguk Bos Boim. Tampangnya sangar, kepalanya botak.

"Bos, kenapa tugas sepenting itu diserahkan pada anak baru?" ucap Pria sangar itu dari balik kaca lewat telepon. ini penjara dengan tingkat keamanan maksimal. Jadi yang menjenguk dan yang dijenguk tak bisa bersentuhan. Bos Boim tersenyum dan berucap dengan meyakinkan.

"Hendrick, kamu dan anak buahmu sudah mereka kenali, tapi orang ini, jangan ragukan kemampuannya."

Pengacara yang membawa Dul Karim keluar penjara itu mengenalkan Dul Karim dengan si Hendrick itu. Hendrick pun yang segera memberikan detail 'tugas' yang harus segera Dul Karim tuntaskan.

***

Di satu kamar hotel setelah santap siang yang sangat lezat Hendrick menunjukkan satu tas uang pada Dul Karim. Kontan Dul Karim terbelalak. Seumur hidup ia baru melihat uang sebanyak itu, apalagi mendapatkannya. puluhan gepok banyaknya.

"Seperti kata bos Boim, baiknya istrimu kami sembunyikan dulu, sebagai langkah antisipasi. Ke mana dan siapa yang kamu percaya." Kata Hendrick. Dul Karim paham. Kalo sampai terjadi apa-apa pada dirinya, istrinya pasti direpotkan. Dan kalo sampai misi ini gagal, ia juga tidak mau istrinya tahu soal ini. Otak Dul Karim pun berputar dan berhenti setelah menemukan nama seorang sahabat yang kini kembali ke Kalimantan.

"Bagaimana kalo saya titipkan pada sahabat saya di Kalimantan."

"Apa dia bisa dipercaya?" tanya Hendrick meyakinkan.

"Sangat bisa. Kami sudah seperti saudara."

"Baiklah kalo begitu, ada alamat dan nomor teleponnya?"

"Tentu, sebentar."

"Separuh bayaranmu saya berikan pada istrimu untuk bekalnya di sana. 100.000.000 juta cukup?" Dalam hati Dul Karim tidak minta bayaran sebanyak itu.

"Saya baru mau minta bayaran kalo tugas saya sudah selesai."

"Nih," pria botak itu memberikan segepok uang pada Dul Karim yang masih terbengong-bengong.

"Nanti sisanya kamu ambil di sini, ini alamat nya, uangnya Bos Boim titipkan pada pengacara yang kemarin. Ini poto target kamu. Ingat, jangan sampai ada saksi. Besok lusa dia akan ke sini," bilang Hendrick dengan tatapan tajam sambil menunjuk pada titik alamat, "ini alamatnya. Hotel ini sudah dibayar sampai besok lusa. Ini pistol berperedam dan anti sidik jari" ucap Hendrick Sambil membuka sebuah map berisi foto-foto, kartu nama, pistol dan peluru-peluru. Sekarang juga saya mau mengurus istri kamu. Oh iya mana alamatnya?" 

"Oh iya, ini," Dul Karim membuka dompet leceknya. Mengeluarkan sebuah foto istrinya, alamat temannya dan selembar foto kopi KTP istrinya. Hendrick segera berlalu meninggalkan Dul Karim dalam keheningan. Sendiri. Dul Karim kini sendiri menatap segepok uang dan pistol itu dengan dingin. Perlahan ia memegang pistol itu. Dingin terasa. "Semudah ini kah mengakhiri hidup seseorang," pikir Dul Karim dengan hati yang juga dingin.

***

Sore kemudian, Dul Karim mendapati telepon di kamar hotelnya berbunyi. Aneh Dul Karim rasa. Apakah petugas hotel? Tapi ia angkat saja telepon itu.

"Dul, ini saya, Hendrick. Saya sudah bersama istrimu. Kami akan berangkat ke Kalimantan sekarang juga," suara Hendrick dari dalam telepon itu. Dul Karim senang bukan kepalang.

"Kamu mau bicara dengannya?"

"Tentu, tentu!" jawab Dul Karim dengan semangat. Suara Ratih pun terdengar, "Bang, Ratih pergi dulu yah, jaga diri baik-baik," ucap Ratih.

"Tentu Ratih, tentu, Abang segera menyusul."

"Ya sudah, Assalamualaikum,"

"Walaikum salam," jawab Dul Karim. Suara Ratih membekaskan kegetiran di dada Dul Karim.

"Ya sudah, kami pergi dulu," suara Hendrick terdengar meyakinkan. Sambungan telepon pun terputus. Dul Karim jadi bersemangat.

***

Dul Karim pergi ke barbershop, Merapikan rambut dan dagunya yang sudah kasar. Selesai cukuran ia lalu masuk ke sebuah toko pakaian. Ia memilih jaket. Ia pikir, jaket kulit berwarna hitam seperti yang Hendrick kenakan bagus juga. Terakhir ia memilih kacamata. Kacamata hitam. Ia pun melihat dirinya sendiri di cermin. Ia pikir dirinya tampak keren, seperti aktor laga dalam film yang suka ia tonton. Rambutnya rapi mengkilat, dagu yang semula kasar oleh janggutnya yang carang-carang kini licin dan bersih. Dul Karim lanjut ke toko DVD, ia pikir dengan menonton film laga tentang pembunuh bayaran dapat memberikannya ide. Tidak lama ia memilih beberapa film, ia pun segera kembali ke dalam kamar hotelnya.

Kamar yang sangat nyaman. Bahkan dulu saat bulan madu kamarnya tidak senyaman ini.

Film-film tentang aksi pembunuh bayaran pun ia putar, ia pelototi dan pelajari. Uangnya masih tersisa banyak.

***

Dalam sudut pandang sebuah teropong, nampak seorang pria tambun sedang berkelakar di tepi kolam renang bersama dengan seorang wanita muda berambut lurus. Teropong itu terus menjelajah. Di depan, dekat gerbang masuk ada dua orang penjaga. Bukan satpam. Pakaiannya necis. Seperti orang kantoran. Kembali teropong itu menjelajah, tampak seorang pelayan bersama seorang pria yang juga berpakaian rapi menghampiri pria tambun itu. Mata Dul Karim Sangat tajam. Ia dapat melihat jelas, kalo pria tambun itu target utamanya. Tapi ia tidak boleh meremehkan tiga pria berpakaian rapi serba hitam itu.

"Mereka pasti pengawalnya," pikir Dul Karim. Lebih jauh ia jadi ingat film tentang ketua Mafia yang selalu dalam pengawalan walaupun sedang berlibur. Ini villa terpencil di bebukitan.

Dul Karim merasa tegang. Bagaimanapun ini kali pertama ia hendak membunuh orang. Kematian polisi itu, tidak disengaja. Dul Karim sudah punya rencana, ia pun turun dari pohon, lalu menuruni bukit dan sampailah di balik tembok pagar yang tingginya sekitar dua meter. Suasana sunyi, hanya terdengar suara daun-daun kering yang ia injak dan satu dua kicau burung di atas dahan. Dul Karim terus merasuk se-dekat mungkin. Ia tidak hendak masuk lewat gerbang depan dan lebih dulu membereskan dua pengawal itu. Ia lebih memilih lewat samping dan langsung menuju target utama.

Dul Karim pun sampai pada dinding gerbang yang terhalang dinding tembok. Ada celah. Jadi kalo ia meloncati pagar beton itu, orang yang di depan rumah atau di belakang tidak akan melihat. Sempurna Dul Karim rasa. Ia pun naik dan loncat. Ia berhasil mendarat dengan satu suara berisik hak sepatunya menyentuh lantai marmer. Sejenak Dul Karim mematung diri, sekedar meyakinkan bahwa suara sepatunya yang mendarat dari loncatan tadi tidak memancing perhatian.

Sunyi tetap sunyi. Dul Karim tidak mendengar suara langkah manusia. Ia pun melanjutkan dengan mengendap-endap merapat ke dinding menuju halaman belakang. Sampai di sudut dinding ia pun mengintip. Jarak keberadaannya dengan target utama sekitar 10 meter. Bisa saja ia membidik dari balik dinding itu. Tapi ia pikir, lebih meyakinkan kalau dari jarak dekat. Ia perhitungkan, ia akan berlari sambil menembak seperti dalam film. Dua target mungkin akan dengan mudah ia habisi. Tapi satu pengawal dan satu perempuan pembantu yang menurut pengamatan terakhir sedang berdiri dekat pintu belakang agak jauh terhalang tembok sepertinya akan ada perlawan atau bisa saja kabur masuk ke dalam. Dul Karim masih memikirkan resiko.

Seorang pengawal itu dan pelayan tadi kembali menghampiri sang target utama, pembantu itu menyerahkan satu nampan cemilan dan satu pengawal itu menyerahkan telepon genggam. Ini kesempatan Dul Karim, keempat targetnya muncul dan dapat ia lihat langsung dari balik tembok itu. Dul Karim tidak sia-siakan kesempatan. Ia keluarkan pistol, ia genggam erat, ia non aktifkan pengamannya. Sejenak ia mengumpulkan napas dan keberanian. Lalu seketika itu ia berlari sambil membidik dan,

TUS! TUS! TUS! TUS!... TUS! TUSS!

Tembakan Dul Karim tidak ada yang meleset, cuma mengena pada sembarang bagian tubuh korbannya. Pistol ber-peredam itu berfungsi dengan baik. Tubuh-tubuh itu pun mengalirkan darah dari lubang-lubang yang tertembus peluru. Dua korban melorot ke kolam, dua lainnya terjungkal di lantai. Air kolam mulai memerah. Dul Karim mendengus tegang.

"Hos! hos!!"

Ia masih tetap awas dan mengatur napas. Entah di dalam rumah ada berapa orang. Ia pun mendekati pintu dan membukanya perlahan. Matanya tajam mengitari seisi rumah. Tidak ada siapapun. Ia terus melangkah masuk dengan todongan pistol dan menuju pintu depan. Ada dua pengawal di dekat gerbang masuk. Ia pun membuka pintu depan dan berlari sambil menodongkan pistol. Cara seperti itu lah yang paling efektif. Lagi-lagi seperti adegan film yang semalam ia tonton. Terbukti, begitu ia menemukan dua sosok penjaga itu ia sudah siap dan langsung menembak.

TUS! TUS! TUS!.. TUS!

Dua pengawal yang sedang lengah itu pun ambruk tanpa sempat melawan. Dul Karim berhak bernapas lega. Tapi hati dan tatapannya tetap awas.

Terpopuler

Comments

Rusliadi Rusli

Rusliadi Rusli

waw

2023-06-03

1

Budi Efendi

Budi Efendi

mantap

2022-11-15

1

Ayi Hadi

Ayi Hadi

lanjut jos

2022-10-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!