Sepi.
Senyap.
Setelah yakin tidak ada siapa-siapa lagi di tempat itu, Dul Karim segera pergi lewat samping villa dengan meloncati pagar beton itu seperti tadi ia masuk. Dul Karim terus berlari dengan hati was-was dan masih seperti mimpi Dul Karim membayangkan kejadian tadi.
"Hoss! Hos!!"
Ia terus berlari menembus semak-semak. Ia telah membunuh 6 orang dalam waktu yang singkat. Dul Karim merasa berdosa. Bagaimanapun itu dosa besar. Dul Karim dahulu terkenal tekun belajar agama. Tapi sekarang, apa yang barusan ia lakukan, sungguh satu keputusan yang sangat beresiko. Dalam hati ia menghibur diri, "Semoga saja orang yang aku habisi itu adalah orang-orang jahat seperti yang Bos Boim ceritakan." Jadi ia merasa tidak terlalu berdosa.
Jauh sudah Dul Karim berlari menyibak sepi. Akhirnya ia sampai pada taksi yang memang ia suruh menunggu.
"Ayo, jalan."
***
Hari sudah sore, ketika Dul Karim sampai ke alamat yang Hendrick berikan. Di mana katanya, pengacara itu menunggu untuk memberikan sisa upah pada dirinya. Tapi tempat itu sungguh di luar dugaan Dul Karim. Tempat itu bukan gedung perkantoran atau rumah. Tempat yang kini Dul Karim tatapi adalah seonggok bangunan tiga lantai yang belum selesai di bangun. Bangunan besar dan tanahnya banyak ditumbuhi semak belukar dan ilalang jauh dari keramaian.
Dul Karim melangkah masuk, sekedar memastikan apakah ada orang di dalam atau ia telah salah menafsirkan alamat. Didapatinya sebuah mobil Land Rover dan tiga orang pria tidak dikenal tampak sedang bercanda dengan sesamanya.
Salah satunya menemukan sosok Dul Karim yang tinggi tegap itu. Ia menatapi Dul Karim dari ujung sepatu sampai ujung rambut.
"Permisi," sapa Dul Karim sopan.
"Datang juga akhirnya, lama sekali, kami kira kamu gagal," tukas yang satunya dengan nada culas. Penampilannya keren seperti rocker tahun 90an, dagunya brewok. Ketiganya berpakaian hampir sama, pakaian serba hitam dan kacamata hitam. Salah satu dari dari ketiga orang itu bangkit dan menghampiri Dul Karim.
"Kalo saya yang eksekusi, paling juga satu jam, gak sampai sore begini. Baru saja kami mau pergi," ucapnya.
"Kata Hendrick, di sini ada pengacara yang-" ucapan Dul Karim terpotong.
"Oh, dia sudah pergi, kelamaan nunggu katanya. Dia banyak urusan. Uangmu ada di bagasi. Mana pistolnya," ucap pria itu lantas menengadahkan telapak tangan. Dul Karim mengerti dan ia ingin semua ini segera berlalu dan segera menyusul istrinya. Ia sudah bisa membayangkan wajah sumringah istrinya ketika bertemu. Dul Karim menyerahkan pistol. Pria itu pun memeriksa pistol Dul Karim dan menunjuk belakang mobil itu, "tuh, ambil sendiri uangmu," ucapnya cuek.
Sedikit Dul Karim merasa tak enak hati. Kenapa tidak ia serahkan langsung uangnya. Bereslah urusan. Dul Karim melangkah saja menuju belakang mobil. Tanpa sepengetahuan Dul Karim dua orang yang lain yang dari tadi duduk di kap depan mobil berjalan memutar sampai ke belakang Dul Karim yang sudah menghadapi bagasi. Sejenak Dul Karim berhenti dan menatap pria tadi.
"Buka saja tidak dikunci," ucap pria itu. Masih dengan nada cuek. Perlahan orang yang di belakang Dul Karim mengangkat pistol. Dul Karim membuka bagasi. Ternyata dalam bagasi kosong, Dul Karim mendengar bunyi "Klik" seperti kunci pengaman pistol di tekan. Seketika dengan sigap Dul Karim berbalik dan tangannya yang langsung berkelebat menepis kepalan tangan yang menggenggam pistol itu. Pistol pun jatuh dan orangnya mengaduh. Sontak dua yang lain hendak mengambil pistol. Tapi Dul Karim begitu gesit menendang orang yang satunya lagi yang berdiri tidak jauh dan menghajar yang lain lagi yang baru berhasil mengeluarkan pistol.
BUK!
Pukulan Dul Karim mengena dan orang itu seketika ambruk. Dul Karim kembali pada orang pertama yang kini sudah berhasil memungut pistol dan segera meringkusnya dan berebut pistol. Tapi Dul Karim lengah, dua orang yang lain segera bangkit dan menghajar Dul Karim bertubi-tubi. Salah satunya bahkan menggunakan batang kayu sebesar betis. Tidak semua pukulan bisa Dul Karim tepis.
Dul Karim pun kewalahan. Tidak bisa menangkis semua pukulan dan tendangan itu. Akhirnya orang yang ia ringkus pun lepas dan turut menendang. Dul Karim tidak mengerang kesakitan. Ia hanya meringis dan menangkis sebisanya. Dul Karim terus dipukul sampai babak belur dan tak bergerak lagi.
"Sudah, sudah!" tukas salah satu orang itu pada dua temannya dengan napas terengah-engah.
"Bawa dia, kita lempar saja ke jurang," titahnya sambil mengelus kepalan tangannya yang kesakitan seperti habis memukuli pohon pisang.
"Kenapa gak kita tembak aja kepalanya. Beres," saran yang lain yang napasnya juga masih tersengal-sengal karena kecapaian.
"Dia sudah mati," ucap yang satunya lagi sambil memegang nadi Dul Karim.
"Buang-buang peluru, sudah, kita karungin saja, kasih batu, lempar ke danau, beres."
"Ayo." Mereka pun sepakat dan menyeret Dul Karim.
***
Matahari kian redup di pinggir pepohonan yang rimbun ketika sekawan baji**an itu menurunkan Dul Karim yang sudah digulung plastik tebal sisa kemasan alat bangunan dan diikat. Seorang di antaranya mengangkat batu sebesar helm dan mengikatnya bersama ikatan yang menggulung Dul Karim.
Belalang-belalang berloncatan dari ujung ilalang ke ujung ilalang yang lain ketika Dul Karim didorong dari atas tebing danau yang penuh ilalang itu. Tubuh Dul Karim yang tergulung plastik dan diikat pula dengan beratnya batu sebesar helm itu pun segera tergelincir dan tenggelam.
"Ayo, sudah beres," ajak salah satu pada kedua temannya. Mereka pun bergegas pergi masuk ke dalam mobil.
Seekor katak meloncat dari sebatang kayu busuk yang mengambang ketika riak gelembung udara dari dasar danau mengagetkannya. Hari begitu temaram dan suram. Matahari segera tenggelam.
***
Dunia seakan berhenti berputar dan waktu pun demikian. Dul Karim merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rahang dan batok kepalanya terasa remuk. Sedetik kemudian, ia tidak merasakan apa-apa dan melayang. Ia merasa, satu pergelangan tangannya ditarik ke atas langit. Samar-samar di antara kabut yang ia lewati, Dul Karim melihat wajah dan sosok manusia yang membawanya terbang melesat menembus awan. Manusia itu jauh lebih kekar daripada dirinya, wajahnya tampan, kumisnya tebal, pakaiannya berbalut logam dan batu-batu mulia warna merah dan jingga. Lebih jauh, Dul Karim menilai sosok itu seperti Gatotkaca.
Ringan.
Sangat ringan Dul Karim merasakan tubuhnya terbang, seperti kapas tersedot mesin penghisap debu.
Sedetik kemudian, Dul Karim mencium bau tanah seperti waktu pertama kali ia tersungkur saat bermain dengan teman-teman kecilnya di pelataran tanah kering yang berdebu. Ia mencium bau darah seperti waktu pertama kali ia menyembelih ayam bersama kakeknya dulu, dulu sekali. Dan kini ini mencium bau air danau seperti pertama kali ia tenggelam, ketika didorong teman-teman kecilnya waktu bermain di sungai. Ia pun kini gelagapan, ia benar-benar sadar kini ia tenggelam dan merasakan perih di wajah dan sekujur tubuhnya yang terikat.
Permukaan danau yang tidak seberapa dalam itu bergejolak karena Dul Karim meronta-ronta. Tubuhnya terikat dan beruntung, batu yang dijadikan pemberat itu lepas dari ikatan. Sebelum napasnya habis Dul Karim berhasil melonjakkan kaki dan sampai ke permukaan. Dul Karim terus meronta dan plastik tebal yang menggulung dan diikat tali itu jadi licin karena lumpur dan air, satu gulungan tali terurai dan menjadikan gulungan yang lain juga segera terurai. Tangan Dul Karim pun bebas dan segera menyingkap plastik yang menggulung kepalanya sampai akhirnya ia bisa mengambil napas dan meronta ke tepian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Rusliadi Rusli
👍👍👍👍
2023-06-03
1
AlaNa🍇
semangat terus kk
2021-10-22
2
Amaryllis
yuhu
2021-09-26
3