NovelToon NovelToon

Brajamusti

Pukulan Pertama

Seorang Dul Karim sedang merapikan beton. Mumpung belum keras sempurna. Tiba-tiba seorang mandor datang dan menunjuk dengan kaki persis dekat muka Dul Karim yang sedang jongkok asik bekerja. Mandor itu terus ngoceh tanpa menghiraukan perasaan Dul Karim yang tersinggung. Hari sedang terik-teriknya.

"Kan sudah ada ukurannya, kenapa masih melenceng!" kata mandor itu sekarang bertolak pinggang sambil satu kakinya menendang-nendang beton yang belum mengeras sempurna itu. Tiba-tiba Dul Karim bangkit dengan dengusan sakit hati. Seketika ia menatap tajam dengan bengis ke arah mandor itu dan... Tidak ada yang menduga, Dul Karim melayangkan tinju dan telak mengenai rahang si mandor. Si Mandor sampai terpelanting jauh kebelakang. Sontak teman-teman kerja Dul Karim melerai. Dul Karim blingsatan. Dul Karim masih ingin menghajar dan menendang itu pun akhirnya bisa diamankan dan di jauhkan dari sang Mandor yang terjungkal kesakitan dengan rahang yang penyok itu.

Suasana seketika riuh. Ada yang menghujat mandor itu karena sudah keterlaluan menunjuk dengan kaki dan itu berbuntut panjang. Beberapa orang penjilat membela mandor dan tak kalah banyak juga yang mendukung tindakan Dul Karim. Seorang pengawas tidak tinggal diam, ia menghubungi polisi.

Dua kubu yang awalnya perang mulut sekarang adu jotos. Polisi pun datang. Dua orang dalam satu mobil patroli. Kedua polisi itu langsung melerai dengan tembakan peringatan.

DOR! DOR!

Massa pun berhenti.

"Cukup! Tenang!! tenang!!!" teriak kedua polisi itu yang kemudian menodongkan pistol ke arah kerumunan massa yang berang dan seorang pengawas yang melihat perkelahian awal memberi petunjuk, bahwa Dul Karim-lah yang memulai. Seorang polisi menangkap Dul Karim. Tanpa diduga, di antara sekian puluh teman-teman Dul Karim, ada satu orang yang mengangkat palu hendak memukul polisi yang menggiring Dul Karim. Tau itu, seorang polisi yang satunya lagi spontan mengarahkan moncong pistolnya ke arah orang nekad itu. Tapi sebelum pelatuknya ditarik, dengan insting yang tajam dan gerakan yang sangat cepat, Dul Karim mendorong tangan polisi itu dan moncong pistol itu jadi mengarah tepat ke kepala polisi yang satunya lagi di sampingnya dan seketika,

DORR!

Pistol itu meletus dan timah panas itu menembus batok kepala polisi itu. Darahnya membuncah dan lantas mengalir. Semua terkesiap. Dengan mata yang seakan tak percaya, polisi yang masih memegang pistol yang salah sasaran itu kini menempelkan pistolnya ke kepala Dul Karim. Dul Karim tak bergeming dengan hati melenguh. Kerumunan massa beringsut mundur. Dul Karim mengangkat kedua tangan dengan tubuh lunglai. Polisi itu pun membawa Dul Karim.

Perlahan.

Menjauhi massa yang siap menerkam, orang-orang yang legam, orang-orang yang geram, orang-orang yang seketika ciut melihat seorang polisi terkapar bersimbah darah di bawah matahari yang terik, di antara debu yang mulai kembali mencium bumi, bumi yang gersang teraliri darah segar.

Hari bergulir, malam menyiksa. Dul Karim meringkuk sendiri dalam penjara. Terbayang dibenaknya, senyum sang istri yang sedang hamil.

Hari terus bergulir Dul Karim didakwa dengan pasal berlapis. Mulai dari penganiayaan sampai tudingan pembunuhan seorang polisi. Dul Karim tak mengerti, pasal mana yang menyebutkan ketidaksengajaannya mengalihkan tembakan polisi itu membuatnya harus divonis penjara seumur hidup. Tanpa pembelaan, tanpa keraguan. Ketukan palu itu begitu meyakinkan, menggetarkan hati Dul Karim.

Hari terus bergulir.

"Apakah sekarang istriku masih punya uang untuk membeli beras?" batin Dul Karim menjerit, "bagaimana kesehatan si jabang bayi bila sang Ibu yang mengandungnya kelaparan," jerit Dul Karim dalam batin dan terasa sakit sekali menyalak hati.

Tiba saatnya seorang perempuan muda yang mengenakan daster pucat, berwajah pucat menjenguk sang suami, yang tidak lain suaminya adalah Dul Karim. Dul Karim lemas tak berdaya menatap pujaan hati yang datang mengelus perut buncit. Tangisnya pun meledak. "Maafkan Abang Ratih," ratap Dul Karim di balik kaca tebal lewat telepon kabel. Sang istri pun terisak. Perih. Seorang teman yang kebetulan juga mendapat kunjungan menyentuh bahu Dul Karim. Sampai waktu berkunjung habis, Dul Karim dan istrinya hanya memadu tangis, memadu bahasa batin yang sakit tak terperi. Dul Karim terus memikirkan statusnya sebagai tahanan dan bagaimana nasib istri dan calon anaknya kelak.

***

Bersamaan dengan masuknya Dul Karim ke dalam penjara. Seorang sipir menghampiri Boim, pria setengah tua berbadan gendut dan tubuh penuh dengan tato. Sipir itu tampak menenteng sebuah map. Boim yang sedang dipijat oleh seorang temannya di bangku besi yang menghadap lapangan itu pun mengerti apa maksud dan tujuan sipir itu. Napi-napi yang lain sedang bermain basket dan kebanyakan berkerumun dan ngobrol. Sipir itu pun sampai kehadapan Boim.

"Tinggalkan kami berdua," titah Boim pada temannya yang sedang memijatnya itu. Orang itu pun menurut. Sipir itu menyerahkan sebuah map yang memuat data-data Dul Karim. Seperti biasa, sipir itu menerima pekerjaan sampingan dari Boim. Boim meminta data napi-napi spesial yang baru masuk penjara. Tidak lain dan tidak bukan maksudnya adalah untuk rekrutmen bisnis haram yang dikelolanya. Boim tercengang begitu membaca data dalam map itu. Data tentang hasil forensik seorang mandor bangunan yang menjalani operasi rahang dan tulang pipi yang remuk.

"Banyak saksi yang bisa dipercaya. Padahal cuma tangan kosong," ucap sipir itu. Boim senang bukan kepalang, padahal belum tentu Dul Karim mau dia rekrut.

"Pinjam telpon," pinta Boim pada sipir itu. Sipir itu pun memberikan ponselnya. Boim menghubungi seseorang.

"Hendrick, bagaimana perkembangan bisnis kita di wilayah Utara?"

"Kacau Bos, sejak jaringan kita di wilayah itu terbongkar. Mereka makin songong masuk terang-terangan," suara Hendrick.

"Kamu tenang saja dan urus tugas kamu di selatan, saya sudah punya eksekutor buat menyingkirkannya."

"Halo, Bos, siapa yang Bos maksud. Kenapa tidak anak buah saya aja Bos, kalo mau begitu."

"Kita lihat saja nanti."

"Halo, Bos?" Boim menyerahkan handphone itu pada pemiliknya. Hendrik belum selesai bicara, tapi rupanya Bos Boim sudah menutup teleponnya.

"Sial!," umpat Hendrik.

***

Tanpa Dul Karim sadari. Penjara adalah dunia yang berbeda dengan dunia luar. Di luar, mungkin nanti dirinya di cap residivis yang bakal sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan pengakuan masyarakat. Tapi di dalam penjara, di dalam dunia orang-orang pesakitan, orang-orang salah, orang-orang yang bangga dengan dosa dan sebagainya, Dul Karim punya harga. Apalagi rumor tentang menembak polisi dari jarak dekat. Sungguh itu daya pikat tersendiri bagi seorang teman di dalam penjara itu. Dia lah Boim. Teman-teman Dul Karim memanggilnya bos Boim. Orang yang paling disegani oleh para napi juga para sipir penjara. Mereka tahu, mana penjahat kelas teri, mana penjahat kelas kakap.

Bos Boim yang tempo hari menepuk pundak Dul Karim sekarang memberikan tawaran yang menurut Dul Karim sendiri itu tidak masuk akal.

"Saya turut prihatin atas petaka yang menimpamu anak muda," kata Bos Boim yang selalu menyempatkan makan satu meja dengan Dul Karim.

"Terima kasih Bos," hormat Dul Karim mengikuti tingkah teman-teman yang lain. Memanggilnya Bos.

"Mau kah kamu jadi saudara saya?" tanya Bos Boim suatu ketika di sudut lapangan basket, "atau jadikan aku kakek untuk anakmu kelak."

"Ah, Bos ini bisa saja. Kebetulan Bapak saya sudah almarhum, haha. Terima kasih Bos."

"Kamu anak muda yang tangguh, mungkin, Kalo anak saya masih hidup, sekarang ia seperti kamu," lanjut Bos Boim dengan tatapan terjatuh. Saya yakin itu. Ngomong-ngomong, saya punya pekerjaan buat kamu."

"Pekerjaan???" Dul Karim mendelik tak percaya. Pekerjaan macam apa di dalam penjara. Ia sudah banyak pekerjaan dalam penjara itu. Mulai dari menanam sayuran sampai diajari menjahit.

"Perlu kamu tahu, saya sampai masuk penjara ini gara-gara pengkhianatan seorang teman," cerita Boim.

"Maukah kamu membalaskan dendam saya." Dul Karim tercenung tak mengerti.

"Sebagai imbalannya, kamu minta apa? Bilang saja," Lanjut Boim. Dalam hati, Dul Karim jadi ingat wajah lugu sang istri, kesulitan hidup dan sebagainya. Tapi?

"Hm." Dul Karim tersenyum hampa. Seolah membayangkan kemungkinan terbaik yang sangat tidak mungkin ia dapatkan sekarang.

"Apa yang bisa saya lakukan Bos?" Canda Dul Karim merendahkan diri.

"Membunuh. Kalo kamu bersedia, nanti ada anak buah saya yang urus segala sesuatunya."

"Tapi bagaimana mungkin? Kan kita sekarang..."

"Kamu tidak percaya uang? Kamu tinggal jawab. Bersedia, atau tidak. Pikirkan dulu baik-baik. Waktumu tidak banyak, jangan biarkan istrimu sengsara berlama-lama dan ia akan segera melahirkan bukan," kata Boim seraya bangkit dan menepuk bahu Dul Karim yang kekar dan legam itu.

Dul Karim pun ditinggalkan sendiri beserta khayalannya.

Sampai malam kemudian, Dul Karim terus berkhayal dan mengumpulkan keberanian. "Kapan lagi ada yang memberi peluang emas."

Besoknya Dul Karim mendatangi Bos Boim di meja makan dan, "Saya Bersedia." Bos Boim pun tersenyum bangga.

Tidak lama kemudian datang seorang pengacara menemui Bos Boim. Besoknya pengacara itu mengajukan banding dengan membawa beberapa saksi termasuk polisi yang menarik pelatuk itu dan entah bagaimana caranya, Dul Karim bebas bersyarat dengan uang jaminan.

Aksi Pertama

Seseorang menjenguk Bos Boim. Tampangnya sangar, kepalanya botak.

"Bos, kenapa tugas sepenting itu diserahkan pada anak baru?" ucap Pria sangar itu dari balik kaca lewat telepon. ini penjara dengan tingkat keamanan maksimal. Jadi yang menjenguk dan yang dijenguk tak bisa bersentuhan. Bos Boim tersenyum dan berucap dengan meyakinkan.

"Hendrick, kamu dan anak buahmu sudah mereka kenali, tapi orang ini, jangan ragukan kemampuannya."

Pengacara yang membawa Dul Karim keluar penjara itu mengenalkan Dul Karim dengan si Hendrick itu. Hendrick pun yang segera memberikan detail 'tugas' yang harus segera Dul Karim tuntaskan.

***

Di satu kamar hotel setelah santap siang yang sangat lezat Hendrick menunjukkan satu tas uang pada Dul Karim. Kontan Dul Karim terbelalak. Seumur hidup ia baru melihat uang sebanyak itu, apalagi mendapatkannya. puluhan gepok banyaknya.

"Seperti kata bos Boim, baiknya istrimu kami sembunyikan dulu, sebagai langkah antisipasi. Ke mana dan siapa yang kamu percaya." Kata Hendrick. Dul Karim paham. Kalo sampai terjadi apa-apa pada dirinya, istrinya pasti direpotkan. Dan kalo sampai misi ini gagal, ia juga tidak mau istrinya tahu soal ini. Otak Dul Karim pun berputar dan berhenti setelah menemukan nama seorang sahabat yang kini kembali ke Kalimantan.

"Bagaimana kalo saya titipkan pada sahabat saya di Kalimantan."

"Apa dia bisa dipercaya?" tanya Hendrick meyakinkan.

"Sangat bisa. Kami sudah seperti saudara."

"Baiklah kalo begitu, ada alamat dan nomor teleponnya?"

"Tentu, sebentar."

"Separuh bayaranmu saya berikan pada istrimu untuk bekalnya di sana. 100.000.000 juta cukup?" Dalam hati Dul Karim tidak minta bayaran sebanyak itu.

"Saya baru mau minta bayaran kalo tugas saya sudah selesai."

"Nih," pria botak itu memberikan segepok uang pada Dul Karim yang masih terbengong-bengong.

"Nanti sisanya kamu ambil di sini, ini alamat nya, uangnya Bos Boim titipkan pada pengacara yang kemarin. Ini poto target kamu. Ingat, jangan sampai ada saksi. Besok lusa dia akan ke sini," bilang Hendrick dengan tatapan tajam sambil menunjuk pada titik alamat, "ini alamatnya. Hotel ini sudah dibayar sampai besok lusa. Ini pistol berperedam dan anti sidik jari" ucap Hendrick Sambil membuka sebuah map berisi foto-foto, kartu nama, pistol dan peluru-peluru. Sekarang juga saya mau mengurus istri kamu. Oh iya mana alamatnya?" 

"Oh iya, ini," Dul Karim membuka dompet leceknya. Mengeluarkan sebuah foto istrinya, alamat temannya dan selembar foto kopi KTP istrinya. Hendrick segera berlalu meninggalkan Dul Karim dalam keheningan. Sendiri. Dul Karim kini sendiri menatap segepok uang dan pistol itu dengan dingin. Perlahan ia memegang pistol itu. Dingin terasa. "Semudah ini kah mengakhiri hidup seseorang," pikir Dul Karim dengan hati yang juga dingin.

***

Sore kemudian, Dul Karim mendapati telepon di kamar hotelnya berbunyi. Aneh Dul Karim rasa. Apakah petugas hotel? Tapi ia angkat saja telepon itu.

"Dul, ini saya, Hendrick. Saya sudah bersama istrimu. Kami akan berangkat ke Kalimantan sekarang juga," suara Hendrick dari dalam telepon itu. Dul Karim senang bukan kepalang.

"Kamu mau bicara dengannya?"

"Tentu, tentu!" jawab Dul Karim dengan semangat. Suara Ratih pun terdengar, "Bang, Ratih pergi dulu yah, jaga diri baik-baik," ucap Ratih.

"Tentu Ratih, tentu, Abang segera menyusul."

"Ya sudah, Assalamualaikum,"

"Walaikum salam," jawab Dul Karim. Suara Ratih membekaskan kegetiran di dada Dul Karim.

"Ya sudah, kami pergi dulu," suara Hendrick terdengar meyakinkan. Sambungan telepon pun terputus. Dul Karim jadi bersemangat.

***

Dul Karim pergi ke barbershop, Merapikan rambut dan dagunya yang sudah kasar. Selesai cukuran ia lalu masuk ke sebuah toko pakaian. Ia memilih jaket. Ia pikir, jaket kulit berwarna hitam seperti yang Hendrick kenakan bagus juga. Terakhir ia memilih kacamata. Kacamata hitam. Ia pun melihat dirinya sendiri di cermin. Ia pikir dirinya tampak keren, seperti aktor laga dalam film yang suka ia tonton. Rambutnya rapi mengkilat, dagu yang semula kasar oleh janggutnya yang carang-carang kini licin dan bersih. Dul Karim lanjut ke toko DVD, ia pikir dengan menonton film laga tentang pembunuh bayaran dapat memberikannya ide. Tidak lama ia memilih beberapa film, ia pun segera kembali ke dalam kamar hotelnya.

Kamar yang sangat nyaman. Bahkan dulu saat bulan madu kamarnya tidak senyaman ini.

Film-film tentang aksi pembunuh bayaran pun ia putar, ia pelototi dan pelajari. Uangnya masih tersisa banyak.

***

Dalam sudut pandang sebuah teropong, nampak seorang pria tambun sedang berkelakar di tepi kolam renang bersama dengan seorang wanita muda berambut lurus. Teropong itu terus menjelajah. Di depan, dekat gerbang masuk ada dua orang penjaga. Bukan satpam. Pakaiannya necis. Seperti orang kantoran. Kembali teropong itu menjelajah, tampak seorang pelayan bersama seorang pria yang juga berpakaian rapi menghampiri pria tambun itu. Mata Dul Karim Sangat tajam. Ia dapat melihat jelas, kalo pria tambun itu target utamanya. Tapi ia tidak boleh meremehkan tiga pria berpakaian rapi serba hitam itu.

"Mereka pasti pengawalnya," pikir Dul Karim. Lebih jauh ia jadi ingat film tentang ketua Mafia yang selalu dalam pengawalan walaupun sedang berlibur. Ini villa terpencil di bebukitan.

Dul Karim merasa tegang. Bagaimanapun ini kali pertama ia hendak membunuh orang. Kematian polisi itu, tidak disengaja. Dul Karim sudah punya rencana, ia pun turun dari pohon, lalu menuruni bukit dan sampailah di balik tembok pagar yang tingginya sekitar dua meter. Suasana sunyi, hanya terdengar suara daun-daun kering yang ia injak dan satu dua kicau burung di atas dahan. Dul Karim terus merasuk se-dekat mungkin. Ia tidak hendak masuk lewat gerbang depan dan lebih dulu membereskan dua pengawal itu. Ia lebih memilih lewat samping dan langsung menuju target utama.

Dul Karim pun sampai pada dinding gerbang yang terhalang dinding tembok. Ada celah. Jadi kalo ia meloncati pagar beton itu, orang yang di depan rumah atau di belakang tidak akan melihat. Sempurna Dul Karim rasa. Ia pun naik dan loncat. Ia berhasil mendarat dengan satu suara berisik hak sepatunya menyentuh lantai marmer. Sejenak Dul Karim mematung diri, sekedar meyakinkan bahwa suara sepatunya yang mendarat dari loncatan tadi tidak memancing perhatian.

Sunyi tetap sunyi. Dul Karim tidak mendengar suara langkah manusia. Ia pun melanjutkan dengan mengendap-endap merapat ke dinding menuju halaman belakang. Sampai di sudut dinding ia pun mengintip. Jarak keberadaannya dengan target utama sekitar 10 meter. Bisa saja ia membidik dari balik dinding itu. Tapi ia pikir, lebih meyakinkan kalau dari jarak dekat. Ia perhitungkan, ia akan berlari sambil menembak seperti dalam film. Dua target mungkin akan dengan mudah ia habisi. Tapi satu pengawal dan satu perempuan pembantu yang menurut pengamatan terakhir sedang berdiri dekat pintu belakang agak jauh terhalang tembok sepertinya akan ada perlawan atau bisa saja kabur masuk ke dalam. Dul Karim masih memikirkan resiko.

Seorang pengawal itu dan pelayan tadi kembali menghampiri sang target utama, pembantu itu menyerahkan satu nampan cemilan dan satu pengawal itu menyerahkan telepon genggam. Ini kesempatan Dul Karim, keempat targetnya muncul dan dapat ia lihat langsung dari balik tembok itu. Dul Karim tidak sia-siakan kesempatan. Ia keluarkan pistol, ia genggam erat, ia non aktifkan pengamannya. Sejenak ia mengumpulkan napas dan keberanian. Lalu seketika itu ia berlari sambil membidik dan,

TUS! TUS! TUS! TUS!... TUS! TUSS!

Tembakan Dul Karim tidak ada yang meleset, cuma mengena pada sembarang bagian tubuh korbannya. Pistol ber-peredam itu berfungsi dengan baik. Tubuh-tubuh itu pun mengalirkan darah dari lubang-lubang yang tertembus peluru. Dua korban melorot ke kolam, dua lainnya terjungkal di lantai. Air kolam mulai memerah. Dul Karim mendengus tegang.

"Hos! hos!!"

Ia masih tetap awas dan mengatur napas. Entah di dalam rumah ada berapa orang. Ia pun mendekati pintu dan membukanya perlahan. Matanya tajam mengitari seisi rumah. Tidak ada siapapun. Ia terus melangkah masuk dengan todongan pistol dan menuju pintu depan. Ada dua pengawal di dekat gerbang masuk. Ia pun membuka pintu depan dan berlari sambil menodongkan pistol. Cara seperti itu lah yang paling efektif. Lagi-lagi seperti adegan film yang semalam ia tonton. Terbukti, begitu ia menemukan dua sosok penjaga itu ia sudah siap dan langsung menembak.

TUS! TUS! TUS!.. TUS!

Dua pengawal yang sedang lengah itu pun ambruk tanpa sempat melawan. Dul Karim berhak bernapas lega. Tapi hati dan tatapannya tetap awas.

Penghilang Jejak

Sepi.

Senyap.

Setelah yakin tidak ada siapa-siapa lagi di tempat itu, Dul Karim segera pergi lewat samping villa dengan meloncati pagar beton itu seperti tadi ia masuk. Dul Karim terus berlari dengan hati was-was dan masih seperti mimpi Dul Karim membayangkan kejadian tadi.

"Hoss! Hos!!"

Ia terus berlari menembus semak-semak. Ia telah membunuh 6 orang dalam waktu yang singkat. Dul Karim merasa berdosa. Bagaimanapun itu dosa besar. Dul Karim dahulu terkenal tekun belajar agama. Tapi sekarang, apa yang barusan ia lakukan, sungguh satu keputusan yang sangat beresiko. Dalam hati ia menghibur diri, "Semoga saja orang yang aku habisi itu adalah orang-orang jahat seperti yang Bos Boim ceritakan." Jadi ia merasa tidak terlalu berdosa.

Jauh sudah Dul Karim berlari menyibak sepi. Akhirnya ia sampai pada taksi yang memang ia suruh menunggu.

"Ayo, jalan."

***

Hari sudah sore, ketika Dul Karim sampai ke alamat yang Hendrick berikan. Di mana katanya, pengacara itu menunggu untuk memberikan sisa upah pada dirinya. Tapi tempat itu sungguh di luar dugaan Dul Karim. Tempat itu bukan gedung perkantoran atau rumah. Tempat yang kini Dul Karim tatapi adalah seonggok bangunan tiga lantai yang belum selesai di bangun. Bangunan besar dan tanahnya banyak ditumbuhi semak belukar dan ilalang jauh dari keramaian.

Dul Karim melangkah masuk, sekedar memastikan apakah ada orang di dalam atau ia telah salah menafsirkan alamat. Didapatinya sebuah mobil Land Rover dan tiga orang pria tidak dikenal tampak sedang bercanda dengan sesamanya.

Salah satunya menemukan sosok Dul Karim yang tinggi tegap itu. Ia menatapi Dul Karim dari ujung sepatu sampai ujung rambut.

"Permisi," sapa Dul Karim sopan.

"Datang juga akhirnya, lama sekali, kami kira kamu gagal," tukas yang satunya dengan nada culas. Penampilannya keren seperti rocker tahun 90an, dagunya brewok. Ketiganya berpakaian hampir sama, pakaian serba hitam dan kacamata hitam. Salah satu dari dari ketiga orang itu bangkit dan menghampiri Dul Karim.

"Kalo saya yang eksekusi, paling juga satu jam, gak sampai sore begini. Baru saja kami mau pergi," ucapnya.

"Kata Hendrick, di sini ada pengacara yang-" ucapan Dul Karim terpotong.

"Oh, dia sudah pergi, kelamaan nunggu katanya. Dia banyak urusan. Uangmu ada di bagasi. Mana pistolnya," ucap pria itu lantas menengadahkan telapak tangan. Dul Karim mengerti dan ia ingin semua ini segera berlalu dan segera menyusul istrinya. Ia sudah bisa membayangkan wajah sumringah istrinya ketika bertemu. Dul Karim menyerahkan pistol. Pria itu pun memeriksa pistol Dul Karim dan menunjuk belakang mobil itu, "tuh, ambil sendiri uangmu," ucapnya cuek.

Sedikit Dul Karim merasa tak enak hati. Kenapa tidak ia serahkan langsung uangnya. Bereslah urusan. Dul Karim melangkah saja menuju belakang mobil. Tanpa sepengetahuan Dul Karim dua orang yang lain yang dari tadi duduk di kap depan mobil berjalan memutar sampai ke belakang Dul Karim yang sudah menghadapi bagasi. Sejenak Dul Karim berhenti dan menatap pria tadi.

"Buka saja tidak dikunci," ucap pria itu. Masih dengan nada cuek. Perlahan orang yang di belakang Dul Karim mengangkat pistol. Dul Karim membuka bagasi. Ternyata dalam bagasi kosong, Dul Karim mendengar bunyi "Klik" seperti kunci pengaman pistol di tekan. Seketika dengan sigap Dul Karim berbalik dan tangannya yang langsung berkelebat menepis kepalan tangan yang menggenggam pistol itu. Pistol pun jatuh dan orangnya mengaduh. Sontak dua yang lain hendak mengambil pistol. Tapi Dul Karim begitu gesit menendang orang yang satunya lagi yang berdiri tidak jauh dan menghajar yang lain lagi yang baru berhasil mengeluarkan pistol.

BUK!

Pukulan Dul Karim mengena dan orang itu seketika ambruk. Dul Karim kembali pada orang pertama yang kini sudah berhasil memungut pistol dan segera meringkusnya dan berebut pistol. Tapi Dul Karim lengah, dua orang yang lain segera bangkit dan menghajar Dul Karim bertubi-tubi. Salah satunya bahkan menggunakan batang kayu sebesar betis. Tidak semua pukulan bisa Dul Karim tepis.

Dul Karim pun kewalahan. Tidak bisa menangkis semua pukulan dan tendangan itu. Akhirnya orang yang ia ringkus pun lepas dan turut menendang. Dul Karim tidak mengerang kesakitan. Ia hanya meringis dan menangkis sebisanya. Dul Karim terus dipukul sampai babak belur dan tak bergerak lagi.

"Sudah, sudah!" tukas salah satu orang itu pada dua temannya dengan napas terengah-engah.

"Bawa dia, kita lempar saja ke jurang," titahnya sambil mengelus kepalan tangannya yang kesakitan seperti habis memukuli pohon pisang.

"Kenapa gak kita tembak aja kepalanya. Beres," saran yang lain yang napasnya juga masih tersengal-sengal karena kecapaian.

"Dia sudah mati," ucap yang satunya lagi sambil memegang nadi Dul Karim.

"Buang-buang peluru, sudah, kita karungin saja, kasih batu, lempar ke danau, beres."

"Ayo." Mereka pun sepakat dan menyeret Dul Karim.

***

Matahari kian redup di pinggir pepohonan yang rimbun ketika sekawan baji**an itu menurunkan Dul Karim yang sudah digulung plastik tebal sisa kemasan alat bangunan dan diikat. Seorang di antaranya mengangkat batu sebesar helm dan mengikatnya bersama ikatan yang menggulung Dul Karim.

Belalang-belalang berloncatan dari ujung ilalang ke ujung ilalang yang lain ketika Dul Karim didorong dari atas tebing danau yang penuh ilalang itu. Tubuh Dul Karim yang tergulung plastik dan diikat pula dengan beratnya batu sebesar helm itu pun segera tergelincir dan tenggelam.

"Ayo, sudah beres," ajak salah satu pada kedua temannya. Mereka pun bergegas pergi masuk ke dalam mobil.

Seekor katak meloncat dari sebatang kayu busuk yang mengambang ketika riak gelembung udara dari dasar danau mengagetkannya. Hari begitu temaram dan suram. Matahari segera tenggelam.

***

Dunia seakan berhenti berputar dan waktu pun demikian. Dul Karim merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rahang dan batok kepalanya terasa remuk. Sedetik kemudian, ia tidak merasakan apa-apa dan melayang. Ia merasa, satu pergelangan tangannya ditarik ke atas langit. Samar-samar di antara kabut yang ia lewati, Dul Karim melihat wajah dan sosok manusia yang membawanya terbang melesat menembus awan. Manusia itu jauh lebih kekar daripada dirinya, wajahnya tampan, kumisnya tebal, pakaiannya berbalut logam dan batu-batu mulia warna merah dan jingga. Lebih jauh, Dul Karim menilai sosok itu seperti Gatotkaca.

Ringan.

Sangat ringan Dul Karim merasakan tubuhnya terbang, seperti kapas tersedot mesin penghisap debu.

Sedetik kemudian, Dul Karim mencium bau tanah seperti waktu pertama kali ia tersungkur saat bermain dengan teman-teman kecilnya di pelataran tanah kering yang berdebu. Ia mencium bau darah seperti waktu pertama kali ia menyembelih ayam bersama kakeknya dulu, dulu sekali. Dan kini ini mencium bau air danau seperti pertama kali ia tenggelam, ketika didorong teman-teman kecilnya waktu bermain di sungai. Ia pun kini gelagapan, ia benar-benar sadar kini ia tenggelam dan merasakan perih di wajah dan sekujur tubuhnya yang terikat.

Permukaan danau yang tidak seberapa dalam itu bergejolak karena Dul Karim meronta-ronta. Tubuhnya terikat dan beruntung, batu yang dijadikan pemberat itu lepas dari ikatan. Sebelum napasnya habis Dul Karim berhasil melonjakkan kaki dan sampai ke permukaan. Dul Karim terus meronta dan plastik tebal yang menggulung dan diikat tali itu jadi licin karena lumpur dan air, satu gulungan tali terurai dan menjadikan gulungan yang lain juga segera terurai. Tangan Dul Karim pun bebas dan segera menyingkap plastik yang menggulung kepalanya sampai akhirnya ia bisa mengambil napas dan meronta ke tepian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!