Episode 4

Meira mengenakan blouse putih dan celana jeans biru. Setelah selesai mengganti baju, ia memoleskan lipstik warna brown ke bibirnya, lalu menambahkan sedikit bedak supaya warnanya tidak terlalu mencolok, dan ketika dirasa sudah cukup, ia segera keluar dari kamarnya menuju ke ruang keluarga .

“Yuk berangkat,” ajak Meira ke Deni

Deni mengangguk setuju.

“Om, Tante saya dan Mira pamit keluar dulu,” pamit Deni ke orangtua Meira, lalu ia beranjak dari tempat duduknya.

“Oke, hati-hati ya,” jawab Papa.

Meira mencium tangan kedua orangtuanya, diikuti oleh Deni

“Selamat bersenang-senang ya," kata Mama sambil mengantar keduanya sampai ke pintu depan. Papa masih tidak beranjak dari ruang keluarga karena tidak ingin melewatkan babak babak akhir pertandingan tenis.

“Makasih ma,” jawab Meira.

Lalu ia berjalan menuju mobil Deni.

“Enaknya kita jalan kemana Mir?” tanya Deni, ketika mereka sudah ada di dalam mobil.

“Terserah kamu,” jawab Meira

Deni melirik jam tangannya. “Masih siang,” ujarnya

“Bagaimana kalau kita pergi nonton dulu?“ Deni meminta persetujuan

“Oke.” Jawab Meira

Di sepanjang perjalanan menuju bioskop, Meira dan mengobrol sambil mendengarkan lagu-lagu yang diputar di saluran radio. Mesin mobil Deni menderu pelan, membelah jalanan.

“Oh ya Mir, aku tahu sebuah kafe kecil yang asik sekali buat nongkrong, kalau kamu mau, nanti setelah nonton kita bisa pergi ke sana.” Deni menoleh ke arah Meira

“Kamu pasti suka,” lanjutnya yakin

“Boleh,” jawab Meira

Lalu ia mengernyitkan keningnya

“Tapi ngomong-ngomong kamu tahu kafe itu dari siapa?“ goda Meira

Deni menoleh cepat ke arah Meira, lalu dia tertawa.

“Dari siapa?“ Deni menaikkan alisnya

“Iya..” Meira mengangguk-angguk.

Deni masih belum menjawab pertanyaan Meira. Dilihatnya wajah Meira sedang menaruh kecurigaan terhadapnya.

“Nggak usah cemburu gitu dong Mir,” Deni tersenyum-senyum menggoda Meira

“Ihhh siapa yang cemburu,“ seru Meira sambil mencubit lengan Deni

Lalu dengan cepat Deni memegang tangan Meira dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih memegang setiran. Meira melepaskan tangannya dari lengan Deni.

“Kalau nggak cemburu, kenapa nanya-nanya gitu?“ sambung Deni

“Udah nyetir aja yang bener, banyak kendaraan berlalu lalang di depan,“ ujar Meira sambil menatap ke jalanan. Ia tak kuasa menahan senyum.

“Nah gitu dong, masak gitu aja cemburu,“ Deni masih terus menggoda Meira

“Apaaaa?“ seru Meira melotot ke arah Deni, lalu memukul lengan Deni

“Aduhh….” Deni memegangi lengannya dengan wajah pura-pura kesakitan.

“Lihat, kamu menyakiti aku Mir,” Ia menunjuk lengannya yang merah

“Ini sih sudah ada dari tadi, sebelum aku mukul kamu.” Meira mengelak, lalu ia mengusap lengan Deni yang merah.

“Kamu harus bertanggung jawab Mir!” ujar Deni

“Tanggung jawab apa?“ tanya Meira

“Pokoknya ini harus sembuh!” tuntut Deni

“Terus aku harus bagaimana?” Tanya Meira

Deni menyodorkan pipinya.

“Maksudnya?” Meira pura-pura tidak tahu maksud Deni.

Deni menunjuk pipinya.

Meira tersenyum tipis, lalu dengan lembut mencium pipi Deni.

Meira melirik Deni yang sedang tersenyum-senyum.

“Udah nggak sakit kan?” Tanya Meira

“Masih sedikit,” Deni menyeringai.

“Modus banget, lagian yang sakit lengannya yang minta dicium pipinya“ batin Meira sambil menahan senyum.

Meira teringat kalau ia pernah membaca sebuah artikel, jika seorang pria minta dicium bisa jadi bahwa pria tersebut sangat merindukan pasangannya, ciuman itu untuk mengobati rasa rindu atau kangen yang menggebu-gebu di hatinya, selain itu juga menandakan bahwa ia begitu kagum, bahagia dan mencintai dengan tulus pasangannya.

“Mungkin saja dia sedang kangen banget sama aku,” batin Meira lagi

“Kenapa kamu senyum- senyum?“ tanya Deni.

“Nggak apa-apa,” jawab Meira cepat.

***

Ketika sampai di bioskop Meira dan Deni menyusuri bioskop untuk melihat poster film yang ditempel di setiap dinding gedung bioskop. Mereka ingin mencari tahu film apa saja yang direkomendasikan. Meira berharap ada film romantis yang diputar hari ini, dengan teliti ia mengamati poster film itu satu persatu. Tetapi sepertinya Meira harus kecewa karena film yang dicarinya tidak terpasang di antara poster-poster tersebut.

“Adanya film thriller dan animasi Mir,” kata Deni

“Kita nonton film thriller aja.“ Sahut Meira

“Kamu nggak apa-apa?“ tanya Deni ragu

“Nggak apa-apa, daripada kita nonton film animasi, itu yang nonton anak-anak semua.” Jawab Meira sambil menunjuk gerombolan anak-anak yang sudah menunggu di dekat pintu teater.

Deni menahan tawanya, melihat ke arah yang ditujuk oleh Meira.

Setelah membeli tiket, keduanya masuk ke dalam ruang teater. Semua bangku sudah hampir penuh terisi.

“Astaga, banyak juga orang yang berminat nonton film berdarah- darah seperti ini,“ pikir Meira

Sebetulnya Meira tidak terlalu menyukai film thriller. Film-film thriller membuatnya begidik ngeri dan ketakutan sepanjang menonton film. Meira menutup wajah dengan kedua tangannya atau bahkan terkadang ia mengubur wajahnya di bahu Deni saat muncul adegan-adegan paling berdarah di layar bioskop. Wajah tegang dan ketakutan benar-benar tidak bisa ia tutupi. Mungkin saja wajahnya nampak pucat seperti kurang darah kalau lampu di bioskop ini dinyalakan. Meira kembali mengubur wajahnya ke bahu Deni saat ia melihat seorang wanita yang akan dibunuh oleh seorang laki-laki bertubuh besar. Meskipun Meira mengerti sedikit jalan ceritanya, tetapi ia tidak menikmati sama sekali film tersebut.

Deni mengelus kepala Meira. Ia tidak tega melihat Meira begitu ketakutan.

“Kalau kamu takut dan tidak nyaman, kita keluar saja Mir,” bisik Deni

“Nggak usah, lanjutkan saja nontonnya, nanggung, sebentar lagi juga filmnya selesai.“ Ujar Meira lirih, takut penonton lainnya terganggu. Meira meminta Deni untuk tidak usah menghiraukan dirinya.

“Lanjutkan nontonnya Den!” Pinta Meira ketika Deni masih memandanginya dengan tatapan tidak tega.

“Sebentar lagi ya,” bisik Deni menenangkan Meira. Meira mengangguk.

Meira benar-benar merasa lega ketika film itu berakhir. Ia menggigit bibir bawahnya lalu menarik nafas panjang.

“Legaaaa!!” Ujarnya.

Bagi Meira menonton film thriller sama saja dengan ia tidak menonton apapun. Kalau ia paksakan untuk terus menontonnya , bisa- bisa adegan-adegan menyeramkan dalam film itu terbawa dalam mimpinya. Ia melihat popcorn di tangannya juga masih utuh, ia tidak sanggup memakannya.

***

“Kita mau kemana Mir?“ tanya Deni ketika keluar dari bioskop

“Katanya mau ke kafe yang kamu bilang tadi,” jawab Meira

“Masih mau ke sana?“ Deni mulai menggoda lagi

“Kapan aku bilang nggak mau ke sana?“ jawab Meira sewot

Deni buru-buru memeluk Meira, supaya tidak menimbulkan “pertengkaran” lagi.

“Kita mau langsung ke sana?“ tanya Deni lagi

“Maksudku, kamu nggak pengen jalan-jalan ke mal dulu gitu?” tanya Deni lagi.

Meira menggeleng, “enggak…langsung ke sana aja.”

Deni setuju.

Perjalanan dari bioskop ke kafe tidak terlalu jauh, akan tetapi karena ini hari Minggu, jalanan jadi sangat padat. Kemacetan terlihat dimana-mana.

Terpopuler

Comments

Ufuk Timur

Ufuk Timur

kak aku baca pelan-pelan ya🥰🥰bagussss suka sma ceritanya. .
kalo berkenan mampir di novel ku juga ya🥰🥰makasihhhh

2021-12-07

2

Ufuk Timur

Ufuk Timur

Nah lohh alesannya. tangannya yang sakit eh pipinya yg di cium🤣🤣

2021-12-07

1

auliasiamatir

auliasiamatir

semoga langgeng yah maira dan Deni

2021-12-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!