Wanita-wanita Suamiku
Aku masih berdiam diri di kamar. Masih duduk di tepi ranjang sambil memejamkan mata. Mencoba menahan sesak di dada ini dan berpuas diri setelah menangis semalaman. Berkali-kali aku menarik napas untuk melegakan hatiku. Ku alihkan pandanganku ke arah jam dinding.
Sudah pukul enam pagi. Seharusnya aku sudah ada di dapur, membantu Budhe Marni menyiapkan sarapan. Seharusnya aku mengecek kesiapan anak-anakku yang akan pergi ke sekolah. Aku masih bergeming dengan pikiranku. Ah, biarlah si mbaknya yang mengurus. Aku masih ingin disini. Masih mencoba meyakini bahwa semua masih baik-baik saja.
Dari jam dinding, ku alihkan pandanganku ke sebuah frame foto yang berukuran televisi empat belas inchi. Ada gambar dua orang disana. Seorang wanita yang mencium takzim tangan kanan seorang laki-laki. Gambar yang diambil sembilan tahun yang lalu.
Itu adalah potret kami. Aku dan suamiku.
Kami sangat berbahagia waktu itu. Kami adalah pasangan serasi, menurut orang-orang di sekitar kami. Terlihat jelas cinta di mata kami berdua. Ya, kami sangat bahagia. Kebahagiaan kami sangat lengkap dengan kehadiran dua anak laki-laki kami saat ini. Sungguh indah bukan?
Aku sangat menikmati peranku sebagai seorang istri dari Mahendra Prambudi. Nama suamiku. Dia suami dan ayah yang sangat luar biasa. Aku mencintainya dengan segenap jiwaku. Keluarga kami sangat bahagia. Suamiku, Mas Hendra sangat mencintaiku. Aku bisa membacanya dari sikap dan tatapannya. Aku sangat bahagia.
Hingga kemarin malam, Adel, sahabatku mengirim sebuah foto ke nomorku. Foto Mas Hendra dengan seorang wanita berjilbab di sebuah cafe. Wanita itu tengah berbadan dua. Siapa dia? Mereka tampak bahagia. Di foto itu, Mas Hendra mengusap perut wanita itu dengan sayang. Aku seolah merasa hantaman kuat di kepalaku.
Tanganku bergetar memegang ponsel. Aku menggenggam ponsel itu kuat-kuat menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Dengan gerakan cepat, aku menghapus foto itu. Tak lama setelahnya, Adel meneleponku.
Ran, sapa Adel di seberang.
Ku hela napas panjang sebelum aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum,
“Assalamu’alaikum, Del.”
Wa’alaikumsalam. Itu…
"Jelas itu bukanlah Mas Hendra, Del. Kamu pikir Mas Hendra lelaki seperti itu? Aku tahu Mas Hendra," sanggahku.
tegas.
Tapi... Aku jelas-jelas melihat kalau itu Hendra. Aku nggak mungkin salah lihat.
"Mungkin kamu salah orang, Del.”
Salah orang?
“Mas Hendra sedang bersamaku sekarang."
Sama kamu?
"Iya. Mas Hendra lagi main sama anak-anak."
Sejenak Adel tidak bersuara.
"Del?"
Ku dengar Adel menghembuskan napas lega. Alhamdulillah. Maaf ya, Ran. Aku sempet panik tadi.
Aku tertawa. Mencoba tertawa lepas. "Iya, nggak apa. Tapi kami baik-baik saja disini. Makasih ya."
Setelah mengucap salam perpisahan, Adel menutup percakapan kami. Tinggallah aku yang masih tertegun. Aku berbohong, Mas Hendra tidak sedang bersamaku saat ini. Siapa wanita itu?
Suamiku menyimpan sebuah rahasia. Setelah sekian lama kami bersama, begitu rapinya dia menyimpan ini semua. Sejak kapan? Apa yang sudah dilakukannya di belakangku?
Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkan pernikahanku hancur. Jika memang benar ada wanita lain di belakangku, aku harus tetap mempertahankan pernikahanku apapun yang terjadi. Pernikahanku harus tetap bertahan demi anak-anakku, demi keluarga yang utuh dan untuk kebahagiaanku.
***
Mahendra Prambudi.
Aku mengenalnya karena dia adalah dokter yang menangani penyakit jantung Mama. Kami bertemu setiap Mama melakukan kontrol sebulan sekali di sebuah rumah sakit swasta. Jujur saja, aku tidak bisa berkedip saat melihat wajahnya untuk pertama kali. Ya, dia sangat rupawan. Tapi aku harus tetap menjaga image-ku. Jangan sampai aku terlihat seantusias itu padanya. Dimana harga diriku sebagai perempuan? Maka aku berusaha mengabaikannya.
Dari parasnya, terlihat dia masih terlalu muda untuk menjabat dokter spesialis. Apalagi spesialis jantung. Mungkin dia masih mempunyai tali persaudaraan dengan Einstein. Tutur katanya sangat sopan dan pandai mengkomunikasikan apa yang dia disampaikan tentang penyakit Mama, sehingga sedikit banyak aku mulai memahami kondisi Mama. Sikapnya juga sangat ramah. Membuat aku jadi...
Tidak, mungkin hanya kagum saja. Iya kali, dia masih single? Bagaimana jika dia sudah menjadi suami orang? Oke, baiklah, aku skip saja rasa kagumku.
***
Aku bukan remaja yang tidak dapat membedakan rasa kagum dan rasa jatuh cinta. Aku pernah merasakan jatuh cinta yang sangat dalam sebelumnya hingga hampir menikah. Tetapi semua gagal karena orang yang sangat aku cintai itu lebih memilih kontrak kerjanya di Singapura daripada aku. Aku hampir gila karena itu semua. Calon suamiku meninggalkanku seminggu sebelum pernikahan kami terjadi.
Apa yang harus aku lakukan saat dia meminta maaf dan berpamitan untuk pergi? Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan air mataku saat itu. Aku hanya tidak tahu dari mana aku harus memberitahu orang-orang yang sudah menerima undangan pernikahanku bahwa acara itu batal.
Terlebih saat mendengar Papa kecelakaan setelah pulang dari tempatku menyewa jasa WO untuk membatalkan acara pernikahanku. Papa meninggal di tempat kecelakaan karena tidak memperhatikan lampu merah lalu lintas. Itu membuatku lebih putus asa. Kondisi Mama pun drop setelah Papa berpulang. Hingga saat tengah malam aku terpaksa menyetir seperti orang gila untuk mengantar Mama ke rumah sakit. Malam itulah aku bertemu Mahendra Prambudi untuk pertama kalinya.
Aku yang panik lupa mengganti baju tidurku. Baju yang sangat tidak manusiawi untuk dipakai keluar tengah malam. Baju terusan selutut tanpa lengan. Aku bahkan tak menghiraukan dinginnya AC rumah sakit. Aku lebih mengkhawatirkan Mama yang saat itu belum sadar.
Setelah dokter menyelesaikan tugasnya, aku menangis sambil menggenggam tangan Mama yang tengah berbaring di tempat tidur. Mama sudah dipindahkan ke ruangan dan harus opname hingga keadaannya stabil. Aku merapalkan doa berkali-kali untuk Mama. Hanya Mama satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku masih tergugu dan menenggelamkan wajahku di tepi ranjang Mama, hingga aku merasakan sebuah jaket menutup punggungku.
Aku menghapus air mataku dan menoleh ke samping. Ada sesosok laki-laki dengan senyumnya. Dia adalah Mahendra Prambudi.
"Keadaan Ibu Ambar sudah membaik. Beliau hanya perlu istirahat," ucapnya.
Aku hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih karena aku belum bisa bersuara.
"Pakailah, di tengah malam seperti ini AC rumah sakit terasa dingin."
Aku kembali mengangguk.
"Beristirahatlah. Mungkin beberapa jam lagi ibumu akan terbangun."
Dia mengusap kepalaku pelan, membuatku tertegun. Hei, apa-apaan itu? Apakah dokter tengah malam memang begini kalau sedang simpati? Tapi aku hanya diam, tidak mempedulikan tindakannya. Aku terlalu lelah untuk merespon. Begitu pun dia yang sudah keluar dari ruang inap Mama. Ah, masa bodo lah. Mataku terasa berat sekali.
Mama harus melakukan kontrol rutin untuk pemeriksaan lebih lanjut setelah keluar dari rumah sakit. Seperti biasa, aku menemani Mama untuk kontrol rutin. Seperti biasa, aku bertemu dengannya yang sepertinya semakin bersinar di mataku. Seperti biasa, aku berusaha menghindari tatapannya. Lebih memilih memperhatikan Mama saat sesi kontrol berlangsung. Seperti biasa, aku gugup saat dia mengajakku berbicara. Seperti biasa, dia memberikan senyum manisnya saat kami menyudahi sesi kontrol. Seperti biasa, aku hanya mengangguk saja. Seperti biasa... Aku tidak sanggup berlama-lama di hadapannya. Ingin cepat pergi dari hadapannya karena debaran jantungku yang tidak mau ku atur. Jantung ini selalu berdetak lebih kencang saat kami bertemu.
Perlahan aku juga ikutan latah berpenyakit jantung seperti Mama saat bertemu dengannya. Jantungku yang awalnya melemah karena putus cinta, lama-lama mulai senang melakukan senam aerobik jika di dekatnya. Tidak mungkin secepat itu aku berpindah hati. Aku merasa seperti seorang pengkhianat. Semakin lama, aku merasa ini bukan sekedar rasa kagum. Tidak mungkin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Tri Widayanti
Like & ❤️
2021-12-21
0
👸 Naf 👸
like 💛🖤
2021-10-10
0
M.J.M
story about of Tiara mampir ka
2021-10-09
0