Ruang makan ramai dengan celotehan anak-anak dan suamiku. Anak-anak berebut meminta perhatian dari ayahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Berusaha mengabaikan rasa sakit yang ku pendam jika mengingat foto yang dikirim Adel beberapa waktu yang lalu. Aku masih berusaha mempercayai suamiku.
Di depanku Kenzo duduk manis sambil menghabiskan roti isinya. Kenzo, anak pertamaku yang usianya delapan tahun. Dia duplikat Mas Hendra. Mata, hidung, bentuk wajah, kesukaannya, semua seperti ayahnya. Kenzo hadir tepat sebulan usia pernikahan kami. Aku masih ingat betapa bahagianya Mas Hendra saat mendengar kehamilanku. Dia sampai melompat-lompat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Selama kehamilan pertamaku, Mas Hendra lebih menunjukkan kasih sayangnya padaku. Beruntungnya aku tidak mengalami morning sickness yang parah. Moodku sangat baik. Hingga saat aku melahirkan, Mas Hendra setia mendampingiku. Dia tidak mempedulikan bagaimana aku menyalurkan rasa sakitku saat proses persalinanku berlangsung. Aku baru menyadari ada bekas cakaran di tangannya saat dia menggendong Kenzo untuk diadzani.
"Itu tangan kamu kenapa, Mas?" tanyaku saat melihat bekas cakaran di tangannya.
Dia hanya tersenyum. "Habis berantem."
Wajahku pias seketika. "Mas berantem sama siapa? Kapan?"
"Sama ibu-ibu melahirkan tadi."
"Kok bisa kamu dicakarin gitu?" Aku bertambah bingung menatapnya yang masih senyum. "Siapa wanita itu?"
"Sudahlah, sayang. Ngapain lagi sih dibahas? Kan udah lewat."
Aku memberengut kesal. "Trus ada hubungan apa kamu sama wanita itu? Kok dia sampai nyakarin kamu?"
Lagi-lagi Mas Hendra tersenyum sambil menimang Kenzo. "Kamu nih ya ..."
"Siapa wanita itu, Mas?" potongku tidak sabar.
"Eh, bundanya Kenzo nggak boleh marah-marah lho. Nanti pengaruh ke ASI."
"Ya, habisnya aku kesel. Masa tangan kamu dicakarin kayak gitu. Salah kamu itu apa? Coba liat sini!" Aku merentangkan tanganku agar Mas Hendra mendekat. Secara, aku belum bisa bangun dari tempat tidur pasca melahirkan.
Mas Hendra mendekat menunjukkan lengan kanannya, sementara lengan kirinya menggendong Kenzo.
Hatiku meradang melihat luka itu lebih dekat. "Liat deh tangan kamu. Sampai begini." Aku mengusap area sekitar bekas cakaran itu. Lengan suamiku memerah dan kulitnya sedikit terbuka. “Udah diobatin belum? Perih ya?”
"Nggak apa. Aku ikhlas kok."
"Siapa wanita itu? Biar aku samperin dia, Mas."
"Ngapain?"
"Mau ngasih pelajaran."
Mas Hendra tertawa.
"Kok kamu malah ketawa sih, Mas?"
"Kamu mau tahu siapa yang udah nyakar Mas?"
"Siapa? Minta dihajar tuh orang." Aku sudah pasang badan untuk meluapkan emosiku.
"Yakin?" tanya Mas Hendra penuh selidik.
"Siapa, Mas?"
Mas Hendra tersenyum. "Wanita itu adalah bundanya Rajendra Kenzo Prambudi."
Aku terdiam menatap Mas Hendra. Seketika air mataku meluruh. Aku mengambil tangan kanannya dan mencium tangan kanannya. "Maafin aku ya, Mas."
Mas Hendra melepas tanganku dan mengusap kepalaku dengan sayang. Sama seperti pertama kali dia melakukannya tengah malam itu. "Udah dong nangisnya. Nanti Kenzo ikutan nangis lho."
Aku masih tergugu saat pintu kamar inapku terbuka. Dua wanita paruh baya datang mendekatiku dan terkejut melihatku menangis.
"Ini ada apa, Ndra?" tanya Ibu Nani, ibu dari Mas Hendra. "Kenapa Rania nangis kayak gini?"
Mama yang melihatku juga terlihat panik. "Ada apa, Nak?"
Mas Hendra menyerahkan Kenzo kepada ibunya dan duduk di sampingku, di tepi ranjang. "Ini ... mantu Ibu lagi terharu karena baru lihat hasil karyanya pas lahirin Kenzo." Sementara aku kembali mencium tangan kanannya.
Dua wanita paruh baya itu pun saling ber'oh' ria mendengar penjelasan Mas Hendra.
"Kirain ada apa?" Mama yang tadinya terlihat panik, mulai lega. "Ingat nggak selain main cakar, kamu tuh juga jambakin suami kamu. Katanya rambutnya sampai mbrodol. Tuh pipinya masih merah, kamu pukulin berkali-kali. Teriakan kamu itu sampai kedengeran dari luar."
Mendengarnya, aku mendongak menatap mas Hendra. "Benar, Mas?" Aku menyentuh pipi Mas Hendra dan benar. Pipi Mas Hendra terlihat memerah. "Ini aku, Mas?"
Mas Hendra mengangguk. "Ini nggak sebanding dengan perjuangan kamu saat hamil dan bertaruh nyawa untuk melahirkan Kenzo. Terima kasih sudah melahirkan Kenzo, Bunda."
Aku tersenyum melepas tangan Mas Hendra dan berusaha duduk. Mas Hendra membantuku duduk dengan benar, kemudian aku menyalimi Mama dan ibu mertuaku dengan penuh kerendahan hati.
"Ma, terima kasih ya sudah melahirkan dan membesarkan Rania dengan baik. Maafkan semua kenakalan Rania yang sudah buat Mama susah. Makasih ya, Ma." Aku berganti menatap ibu mertuaku setelah melihat senyum Mama. "Rania sangat berterima kasih sama Ibu karena udah melahirkan Mas Hendra. Rania sangat bersyukur sekali memilikinya."
Ibu mertuaku tersenyum. "Ibu juga senang sekali Hendra mendapatkan istri semanis kamu. Ibu minta kalian harus lebih dewasa karena kalian sudah jadi orang tua. Kalian harus jadi panutan yang baik untuk Kenzo."
Aku dan Mas Hendra mengangguk, dan Kenzo terbangun sambil menangis.
"Bundaaaaaaa."
Lamunanku terpecah saat mendengar Kenzo berteriak.
"Liat nih bajuku!" Kenzo terlihat marah. Baju seragamnya terkena tumpahan susu karena gelasnya tidak sengaja disenggol adiknya.
"Maap ya, Kakak."
Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah si bungsu meminta maaf. Mas Hendra menghela napas kasar melihatnya.
***
Si bungsu, Arka. Bocah berusia tiga tahun itu lebih aktif tingkahnya dibandingkan kakaknya dulu. Sangat aktif. Dia lahir saat Kenzo berusia lima tahun. Kenzo menganggap Arka sebagai kado ulang tahunnya. Selayaknya anak kecil yang mendapat hadiah, Kenzo melonjak kegirangan. Melihat Mas Hendra mengadzani Arka, Kenzo juga ingin melakukan hal yang sama. Katanya, dia ingin menjadi imam seperti ayahnya.
Kelahiran Arka semakin menambah kebahagian kami. Sayangnya, Mama telah berpulang saat Arka berusia tiga bulan. Mama terkena serangan jantung saat menunggui Arka tidur siang. Sebelumnya Mama sempat dilarikan ke rumah sakit tetapi takdir Tuhan berkata lain. Mama berpesan sebelum menutup mata, aku harus menjadi ibu yang kuat apapun yang terjadi nanti.
Aku sempat down dan melupakan kehadiran Arka yang masih bayi. Aku terlalu memikirkan Mama yang sudah tidak ada lagi. Tiap hari aku berdiam diri dan irit bicara. Setiap malam aku pasti menangisi Mama secara diam-diam saat semuanya sudah tertidur. Bagaimana tidak? Mama satu-satunya keluarga yang ku punya. Orang tuaku adalah seorang anak yatim piatu. Keduanya dulu tinggal di sebuah panti asuhan yang sama. Mama sudah tidak ada lagi, itu artinya aku sendirian.
Aku sering menangis saat menyusui Arka. Bahkan saat mataku bertemu dengan tatapan Arka. Matanya mengingatkanku pada Mama dan itu semakin menambah kesedihanku. Mas Hendra hanya memelukku erat saat mendapati aku menangis dan berbisik, “Mama tidak akan suka melihat anak kesayangannya seperti ini.” Bukannya dapat meredakan tangisanku, aku semakin merasa sedih.
Hingga Mas Hendra berinisiatif mengajak mertuaku tinggal di rumah. Beruntungnya mertuaku memahami keadaanku. Beliau mengajakku berbagi cerita dan tentang apa yang ku rasakan. Awal kedatangannya, beliau hanya memelukku. Tanpa ku mau, air mataku jatuh dan aku kesenggukan membalas pelukannya.
"Mamamu pasti juga akan sedih jika tahu putrinya seperti ini," ucapnya sambil mengusap kepalaku. Tidak ibu, tidak anak, sama saja. Usapan kepalanya sungguh menenangkan hati. "Ibu ada disini. Ibu juga mau menjadi mama untukmu," tambahnya dengan mempererat pelukannya padaku.
"Terima kasih, Bu." Aku mengusap air mataku yang terakhir.
"Bundanya Kenzo dan Arka harus kuat"
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum.
Tak lama setelah itu, Kenzo datang sambil membawa kertas dan pensil. "Bunda, aku ada tugas menulis nama anggota keluarga. Bunda bisa temani aku ngerjain nggak?"
Aku mengangguk. Kesedihan membuatku lupa dengan buah hatiku. Maafkan, Bunda ya nak.
"Narendra Arka Prambudi. Selesai. Yeah!" Kenzo bersorak gembira saat tulisannya selesai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments