"Saya terima nikah dan kawinnya Zanna Kirania binti Adhitama Maliki dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaiman para saksi?"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Semua yang hadir berseru, "Sah!"
Mama menuntunku duduk di dekat Mas Hendra. Aku mengambil tangan kanan Mas Hendra, untuk pertama kalinya aku mencium tangannya sebagai suamiku. Kami saling bergantian memasangkan cincin. Setelah itu, aku menyalimi ibu dan ayah mertuaku. Mas Hendra menyalimi Mama. Kami juga berfoto sambil mengangkat buku nikah kami.
"Semoga kita menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah."
"Aamiin." Aku memejamkan mata sambil merapalkan doa yang sama di dalam hati saat Mas Hendra mengecup keningku.
Saat membuka mata, aku hanya melihat Tania, Danisha dan Adel. Aku mengedarkan pandangan ke arah sekitarku. Rupanya aku berada di ruangan pribadi yang ada di kantorku.
"Pusing?" Tania membantuku bangun. "Mau minum?"
Adel menyodorkan teh hangat padaku. Aku meminumnya sedikit dan menyandarkan kepalaku ke kepala ranjang. Mengingat apa yang terjadi padaku sebelumnya.
"Opo aku perlu telpon Hendra wae, Ran? (Apa aku perlu menelepon Hendra saja, Ran?)"
Aku menggeleng. "Jangan sampai dia tahu."
"Apa kita ke rumah sakit untuk periksa?" tawar Adel.
Aku kembali menggeleng. "Nggak usah. Aku baik-baik aja kok."
"La apik-apik wae tapi kowe semaput ngene? (La baik-baik saja tapi kamu pingsan begini?)"
"Please deh, Nish. Ngomong pake bahasa indonesia aja deh. Panas telingaku dari tadi dengernya."
"Sak karep ta, Tan. Wong Rania wae ga komen kok kowe sing repot. (Terserah dong, Tan. Rania saja tidak komentar kok kamu yang repot.)"
"Susah memang ngomong sama orang kampung."
"Lambe yo lambeku kok kowe seng susah seh. (Mulut ya mulutku kok kamu yang susah sih.)"
"Haduh!" potong Adel sebal. "Kalian ini dari dulu berantem aja kalo ketemu. Ini Rania baru aja sadar kok kalian malah debat."
"La iki janda perawan, ribut wae. (La ini janda perawan, ribut saja.)"
Aku terkekeh melihat mereka sementara ketiga sahabatku terbengong menatapku. Tania yang sudah mengangkat tasnya untuk dilempar ke arah Danisha, jadi urung. Adel menatapku prihatin. Danisha langsung duduk di dekatku. Dia mengecek panas badanku dengan menyentuh dahi dan leherku.
"Dadi gendeng ngene kowe, Ran? (Jadi gila begini kamu, Ran?)"
Aku masih tertawa hingga tak terasa air mataku jatuh. Aku tak sanggup mencegahnya.
"Ra popo ta kowe iki, Ran? (Kamu tidak apa-apa, Ran?)"
Aku menyeka air mataku. "Nggak apa. Justru aku merasa terhibur dengan kehadiran kalian."
"Ran ..."
"Beneran aku nggak apa." Aku menarik kedua ujung bibirku untuk tersenyum. Aku berusaha senyum setulus mungkin. "Aku nggak apa-apa. Tolong jangan khawatirin aku. Aku baik-baik aja."
Mereka tampak tidak puas dengan jawabanku.
"Aku hanya merasa ... takut." Aku menunduk dan memainkan cincin yang ada di jari manisku. "Aku takut bahwa kenyataannya aku bukan satu-satunya wanita yang dicintai suamiku. Aku takut Mas Hendra jauh dari anak-anaknya. Aku takut anak-anak akan kehilangan ayahnya. Mungkin jika aku yang ditinggalkan, aku akan berusaha kuat. Tapi aku nggak bisa membayangkan jika ..."
Aku tidak bisa meneruskan ucapanku. Hatiku berdebar tidak menentu. Kami berempat saling berpelukan. Aku tahu para sahabatku berusaha ingin berbagi rasa denganku. Hatiku sakit, tapi aku tidak mengijinkan air mata ini menambah pedihku. Aku harus mencari tahu jawabannya dan menyelesaikannya. Anak-anakku tidak boleh kehilangannya.
***
Setelah makan siang, ketiga sahabatku berpisah pulang. Aku memutuskan untuk pergi ke makam Mama dan Papa, yang letaknya bersebelahan.
Sesampainya di sana, aku hanya berdiam diri menatap pusara kedua orang tuaku. Walaupun mereka sudah tidak ada lagi di dunia ini tetapi aku masih merasa mereka selalu ada di dekatku. Aku menatap pusara orang tuaku bergantian sambil menceritakan apa yang ku rasakan saat ini. Aku merasa separuh bebanku terangkat.
Tiba-tiba aku teringat pesan terakhir Mama, aku harus menjadi ibu yang kuat apa pun yang terjadi. Yah, benar. Aku harus mempertahankan keluargaku. Aku tidak akan membiarkan hak anak-anakku diambil. Keluargaku harus tetap bertahan.
***
Masih sore, Mas Hendra pasti masih di kantor. Aku akan menjemputnya dan membuat kejutan untuknya dengan kedatanganku tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Aku melewati lobi rumah sakit dan mengangguk pada resepsionis. Melangkahkan kakiku pelan menuju ruangan suamiku. Sebuah bayangan terlintas. Ada seorang wanita di ruangan suamiku. Mereka tertawa bersama dan berbagi cerita. Bayangan itu itu membuatku nyaliku menciut dan ragu untuk terus berjalan.
Aku berbalik, mengurungkan niatku. Baru saja aku mau pergi, seorang perawat ber-name tag Mira menyapaku, "Bu Rania, kok tidak langsung masuk ke ruangan dokter Hendra saja?"
Aku gugup. "Tadi sepertinya ada yang ketinggalan, tapi apa ya?"
Perawat itu mengangguk. "Jam kerja dokter Hendra sudah habis. Tinggal satu pasien di dalam. Sudah dari tadi belum keluar."
Aku tersenyum, "Terima kasih infonya, Sus."
"Permisi, Bu."
Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku mendekati ruangan suamiku. Siapa pasien itu? Samar-samar terdengar percakapan dari dalam ruangan. Lebih baik aku menguping dulu.
"Ini lho Pak dokter anak saya, baru lulus kuliah. Masih perawan, cantik kan?" Terdengar suara laki-laki yang berbicara.
Heh! Suamiku ditawari seorang perawan? Apa mereka tidak tahu kalau Mahendra Prambudi sudah beristri? Main sodor aja!
"Namanya Hilda. Dia ini pinter masak lho. Anaknya pinter nyenengin orang tua, pasti pinter nyenengin suami kayak Pak dokter." Sekarang berganti suara wanita.
Ini apa-apaan, sih?! Kenapa mereka seperti mau menawarkan anak mereka? Wah, minta digilas nih dua orang itu! Aku meremas tanganku kesal.
"Gimana, Pak dokter? Pasti Pak dokter tertarik sama anak saya kan?"
Cukup! Keterlaluan mereka!
Aku mengetuk pintu yang ada di depanku keras-keras. Begitu pemilik ruangan menyuruh masuk, aku membuka lebar-lebar pintu itu.
Suamiku tampak terkejut dengan kehadiranku. Selain dia, ada laki-laki dan wanita paruh baya yang duduk di depan meja suamiku. Ada seorang wanita muda berambut panjang dengan dress flowernya. Kalau menurutku, bajunya sih norak! Kampungan!
"Maaf ya, Mbak. Dokter Hendra masih ada pasien." Wanita paruh baya itu tiba-tiba berbicara dengan tatapan sinisnya. Belum tahu dia siapa aku!
Suamiku tampak ingin meluruskan, tetapi laki-laki paruh baya yang ada di depannya sudah lebih dulu bicara. "Iya, mbaknya kok lancang tiba-tiba masuk ke ruangan ini. Nggak bisa antri dulu. Nggak sopan. Kami belum selesai konsultasi."
Nggak sopan katanya? Konsultasi atau promosi anaknya? Darahku mendidih. Benar-benar nih orang tua! Mulutnya minta disumpal pakai lap kompor.
Aku mengangkat tanganku saat suamiku akan berbicara. Menyuruhnya tetap diam sambil menatapnya tajam. Mas Hendra terlihat kikuk dan cemas melihatku yang siap meledak.
"Sayangnya, saya bukan pasiennya dokter Hendra," ucapku menahan amarah.
"Sudah bukan pasien, masuk nyelonong ajah!"
Nyelonong katanya si nenek lampir itu!
"Mbaknya siapa? Mbak itu mengganggu waktu saya dengan dokter Hendra," lanjut nenek lampir.
Aku melirik putri mereka yang katanya cantik. Dih, biasa aja tuh! Maskara sudah mau luntur seperti itu dibilang cantik. Warna lipstiknya juga menor. Memang sih, kecap nggak ada yang nomor dua! Apalagi anak sendiri.
"Saya berhak tahu segala yang berhubungan dengan dokter Hendra. Sampai warna ****** ******** pun saya tahu."
Kedua orang tua itu syok, sementara putrinya menatapku marah. Membuatku ingin menusuk mata itu dengan heels-ku.
"Jangan kurang ajar, Mbak kalau berada di rumah sakit ini."
"Memangnya kenapa, Pak?" tantangku.
"Dasar wanita nggak tahu diri. Mudah-mudahan seret jodoh."
Tanpa bisa menahan diri, aku tertawa mendengar ocehan si nenek lampir barusan. "Sayangnya saya sudah menikah, Bu. Bukan saya yang nggak tahu diri. Tapi situ. Bapak sama Ibu itu kok kepedean nawari anaknya ke suami saya."
Ketiga orang yang tadinya merasa pongah sekarang melotot keras-keras padaku.
"Perkenalkan saya istrinya dokter Hendra." Dengan bangga aku mengangkat tangan kananku untuk menunjukkan cincin kawinku. Aku tersenyum penuh kemenangan menatap ketiga orang itu yang kini mulai salah tingkah sementara suamiku menahan rasa gelinya.
Si nenek lampir spontan menoleh pada suamiku. "Beneran, dok?"
Suamiku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Seperti tahu akan digrebek, ketiga orang itu berdiri dan buru-buru keluar ruangan. Aku bisa mendengar si nenek lampir mengomel dan mengatakan tidak akan memeriksakan suaminya lagi di rumah sakit ini.
Aku menatap suamiku yang masih tertawa di kursinya. "Enak ya ada yang nawari perawan," ejekku. "Kalau aku nggak datang pasti maghrib nanti sah."
"Apaan sih? Lagian tumben banget ke sini?"
"Nggak boleh? Ya sudah aku balik aja."
Mas Hendra buru-buru berdiri dari kursinya dan mendahuluiku yang akan keluar ruangannya. Dia menutup pintu dan menguncinya. "Kebiasaan deh ngambeknya."
"Ow, jadi sudah biasa ada yang nawari kamu kayak tadi?"
"Su'udzon amat sih sama suami sendiri."
Aku menepis lengannya saat dia berusaha memelukku. Aku terlanjur kesal. Kejadian barusan saja membuatku meledak, apalagi jika benar Mas Hendra memiliki wanita lain. Bagaimana ini?
Mas Hendra kembali mendekati dan mengurungku dalam pelukannya. Menatapku dengan penuh tanda tanya. “Kenapa sih? Kayaknya sebelum ke sini kamu sudah marah. Cerita sama aku.”
“Jengkel aja sama pasien kamu tadi.” ucapku kesal dan berusaha melepaskan diri darinya, tetapi tidak bisa. “Lepas dong, Mas. Ntar ada yang lihat.”
“Pintunya sudah aku kunci. Lagian kenapa memangnya kalau ada yang lihat? Nggak masalah juga, toh kamu istri aku.”
Wajah Mas Hendra mendekat, membuatku was-was dan menahan dadanya. “Mau ngapain?”
Suamiku berdecak kesal. “Masa cium istri sendiri nggak boleh sih?”
“Nggak. Aku ngambek,” ketusku.
“Salah aku tuh apa sih?” protes suamiku lesu.
“Makanya jangan suka tebar pesona kalau sama pasien.”
Tangan Mas Hendra mengerat di pinggangku dan mencuri kecupan di pipiku dengan cepat. “Siapa juga sih yang tebar pesona? Kamu tuh kalau cemburu nggemesin banget.”
“Siapa juga yang cemburu? Aku cuma jengkel aja.”
“Jengkel karena cemburu, sayang.”
Aku mendorongnya ke samping dan membuka kunci pintunya dengan cepat. Tanpa menunggunya aku bergegas melangkahkan kakiku ke tempat aku memarkirkan mobil. Moodku benar-benar kacau sore ini. Aku mengemudikan mobilku tanpa arah. Aku belum ingin pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
M.J.M
sudah tap ❤️
5 like dan komen ya Thor,
nanti lanjut lagi
2021-10-09
1