Setelah mengantar Kenzo sampai di sekolah, aku melajukan kendaraanku ke tujuan selanjutnya. Arka memang masih tiga tahun, tapi aku mendaftarkannya di sebuah Kelompok Bermain, yang nama kerennya Playgroup. Agar dia mendapat teman baru, bereksplorasi hal baru dan yang paling penting mendapat pengalaman baru. Selama beraktivitas di Kelompok Bermain, Arka ditunggui pengasuhnya, yang akrab dipanggil Mbak Hana. Biasanya Pak Razak yang akan menjemput Arka dan Kenzo sesuai jam pulang mereka.
Pak Razak sendiri sudah bekerja sejak aku duduk di sekolah menengah pertama. Dia supir Papa yang baik. Sama seperti Budhe Marni, istrinya. Mereka seperti keluargaku sendiri. Jika Mama dan Papa sedang lembur bekerja atau tugas di luar kota, merekalah yang selalu menemaniku.
Setelah memastikan Arka dan mbaknya masuk ke dalam gedung, aku melanjutkan perjalananku ke cafe.
R's Cafe
Cafe ini berdiri di sebelah butik yang ku bangun dengan bantuan Papa. Tepatnya, Papa mengeluarkan dana yang besar untuk mewujudkan impianku. Karena melihat banyaknya desain baju yang ku buat. Papa memberiku jalan untuk membuat nyata desain-desain tersebut. Akhirnya berdirilah R's Boutique saat aku masih duduk di semester empat jurusan ekonomi di sebuah universitas negeri.
"Papa hanya bisa kasih kamu ini. Tolong kamu kelola dengan baik. Jadi kalau besok Papa pulang, Papa nggak khawatir," ucap Papa saat memberikanku kunci butik untuk pertama kalinya.
Mataku berkaca-kaca mendengarnya. Aku memeluk Papa sebagai rasa terima kasih. Aku anak tunggal. Papa dan Mama menunggu kehadiranku selama enam tahun pernikahan mereka. Aku berjanji tidak akan mengecewakan Papa dan menghargai semua amanahnya. Tiga tahun sebelum Papa pensiun dari pekerjaannya, Papa menghadiahiku R's Cafe pada hari ulang tahunku.
"Hiduplah dengan baik," pesan Papa waktu itu.
Baru satu tahun aku mengelola cafe itu, Papa berpulang. Padahal aku ingin menunjukkan kepada Papa bahwa aku bisa mengelola butik dan cafe itu dengan baik.
Aku memejamkan mata sebelum melepas seatbelt-ku. Aku menatap cafe dan butik dari tempat parkir. Seandainya Papa di sini, pasti Papa bangga kepadaku, batinku. Aku menarik napas sebelum keluar dari mobil dan menguncinya.
"Pagi, Bu Rania," sapa Pak Totok saat aku melintasi pos penjagaannya. Dia sudah bekerja lima belas tahun sejak R's Boutique berdiri. "Bu Rania sudah ditunggu teman-temannya di dalam."
Dahiku mengernyit. "Siapa, Pak?"
"Temennya Bu Rania yang biasanya nongkrong disini itu loh, Bu."
Tumben. "Makasih ya, Pak."
Pak Totok mengangguk sambil tersenyum. Sementara aku mempercepat langkahku masuk ke dalam cafe. Penasaran mengapa mereka tiba-tiba nongkrong di jam kerja mereka. Ini masih terlalu pagi untuk berkumpul, apalagi di hari efektif kerja seperti ini. Bahkan R’s Café saja belum buka. Begitu aku membuka pintu cafe, aku tidak kesulitan menemukan mereka.
"Ran." Tania melambaikan tangannya untuk menyapaku. "Kita udah nungguin dari tadi."
Aku duduk di kursi yang tersisa, melihat isi meja mereka. Cappucino tinggal separuh, milkshake yang sudah tandas, kopi hitam yang sudah mendingin. Juga piring roti bakar dan waffle yang sudah ludes isinya.
"Tumben banget sih pagi-pagi ke sini?"
Tania, Danisha dan Adel menatapku prihatin. Aku semakin bingung melihatnya. Tatapan mereka seolah-olah mengasihaniku.
"Kamu bisa berbagi cerita sama kami," ucap Tania. Janda perawan ini memasang wajah seriusnya. Yah, janda perawan. Karena waktu dia cerai, segelnya masih utuh. "Jangan nutup-nutupin dari kami."
Aku semakin tidak mengerti. "Ini ada apa sih? Aku baik-baik aja kok."
"Mosok? Ra usah ngapusi kowe iki. (Benar? Kamu tidak perlu berbohong.)" Danisha, walaupun bapaknya dari Kanada, logatnya medok Jawa karena masa kecilnya dia dibesarkan di Semarang. Tanah kelahiran ibu dan nenek moyangnya. Karena terbiasa, aku sedikit mengerti bahasanya. "Yen onok masalah kuwi, ojok mbok tutup-tutupi. Mengko malah kepentut. (Kalau ada masalah, jangan ditutup-tutupi. Nanti bisa buang angin.)"
"Hush!" potong Tania. "Kami sengaja ambil cuti hari ini."
Cuti? Sebegitunya mereka padaku? "Kalian ini kenapa sih?"
Tania mengeluarkan ponselnya. "Aku melihat mereka dua kali."
Aku menatap gambar yang ada di ponsel Tania. Di gambar itu, Mas Hendra menggandeng seorang wanita, kira-kira sebaya denganku. Wanita ini berbeda dengan yang ditunjukkan Adel sebulan lalu. Dia tidak berjilbab. Dia tampak anggun meski wajahnya tampak pucat.
"Itu Hendra kan?" tanya Tania. "Aku dua kali melihat mereka bersama. Dua bulan lalu mereka nge-mall. Sebulan yang lalu, mereka keluar dari hotel."
Aku merasa ada yang mengguyur kepalaku dengan air es. Lidahku keluh. Hatiku berdebar kencang. Untung saja tanganku ada di bawah meja, sehingga mereka tak tahu aku mencengkram ujung dress-ku erat-erat dengan telapak tanganku yang basah oleh keringat.
"Apa kamu tahu siapa dia?" tanya Tania. Aku hanya menggeleng. "Apa ada yang berubah dari Hendra?"
Aku kembali menggeleng.
Danisha menepuk bahuku, kebetulan dia duduk di sampingku. "Sepurane yo, Ran. Tapi kowe kudu ngerti soal iki. Sebenere aku, Tania lan Adel iki wes arep ngomong mbek kowe. Tapi jek mamang. (Maaf ya, Ran. Tapi kamu harus tahu soal ini. Sebenarnya aku, Tania dan Adel ini sudah mau cerita sama kamu. Tapi masih ragu.)"
Aku mencoba tersenyum menatap mereka. "Makasih ya. Tapi aku nggak bisa menyimpulkan ini secara sepihak. Mas Hendra pasti punya alasan. Ini pasti hanya salah paham."
Danisha mencebik, "Alasan opo? Yen wong lanang metu mbek wadon liyo ngene iki alasan opo maneh to, Ran? Aku yo tahu lo ngonangi Hendra mlaku mbek wadon iki. Dadi ga Tania tok seng weruh. (Alasan apa? Kalau laki-laki keluar dengan wanita lain seperti ini alasan apalagi sih, Ran? Aku juga pernah memergoki Hendra jalan dengan wanita ini. Jadi bukan Tania saja yang tahu.)"
Aku menatap Adel dan memohon agar dia juga tidak menceritakan kejadian Mas Hendra dan wanita berjilbab yang dilihatnya sebulan lalu. Aku tidak mau pagi ini bertambah runyam dengan sesuatu yang masih belum jelas kebenarannya. Adel mengangguk, tampaknya dia mengerti arti sinyal yang ku kirimkan.
"Makasih kalian udah sangat peduli padaku. Tapi aku tahu Mas Hendra pasti punya alasannya."
"Sori ya, Ran. Tapi lebih baik kamu tanya ke Hendra soal ini." Tania mengusulkan. "Kamu harus bertindak tegas. Demi anak-anakmu juga."
"Iyo. Bener kuwi, Ran. Ga lilo aku yen kowe digawe ngene. Iyo ga, Del? Ket mau kowe ki meneng ae nyapo? (Iya. Benar itu, Ran. Aku tidak rela kalau kamu diperlalukan begini. Iya tidak, Del? Dari tadi kamu ini diam saja kenapa?)"
Adel hanya menggeleng. "Trus aku mesti gimana? Masalah ini harus dibicarakan baik-baik dengan kepala dingin."
Hhh, aku sudah merasa disiram air es tadi saat kalian mulai bercerita. Ya Allah, ada apa dengan suamiku? Benarkah dia mempunyai wanita lain?
Danisha mencolek lenganku. "Aku heran kok kowe ga nangis blas seh krungu ngene iki? (Aku heran kok kamu tidak menangis sama sekali sih mendengar hal ini?)"
Tania mendorong bahu Danisha keras-keras sementara Adel hanya memijit pelipisnya. Terkadang bule jawa itu mulutnya minta diplester. Lamis.
Aku? Tidak menangis? Sebenarnya aku tidak tahu apa yang ku rasakan. Hatiku mendadak kosong. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Mataku tergerak melirik cincin kawin yang tersemat di jari manisku.
Mas Hendra memang tidak pernah menunjukkan perubahan. Dari awal menikah sampai sekarang, dia menunjukkan rasa sayang dan cintanya dengan tulus. Mas Hendra tidak pernah tidak pulang ke rumah. Kecuali saat mengikuti seminar atau pelatihan. Ataukah?
Benarkah Mas Hendra menyembunyikan sesuatu dariku? Aku harus bagaimana jika semua ini benar? Aku tidak mau. Bagaimana nasib anak-anakku?
"Ran." Adel merangkulku dari samping. "Kamu bisa minta penjelasan ini sama Hendra. Kamu harus tegas."
"Iyo, Ran. Pokok nek sampek Hendra macem-macem, tak obong mengko rumah sakite. (Iya, Ran. Kalau sampai Hendra macam-macam, akan ku bakar nanti rumah sakitnya.)"
"Eh, bule ... ininya dipake." Tania menunjuk pelipisnya. "Nggak usah lebay lah."
"Lho lak bener seh. Pokoke aku ga lilo nyawang Rania dingenekno. (Lho kan benar. Pokoknya aku tidak rela melihat Rania diperlakukan begini.)"
"Udahlah, Nish," sela Adel. Dari kami berempat, Adel lah yang paling bijak.
Aku menghela napas panjang. Tak ada gunanya aku menangisi hal yang belum ada jawabannya. Belum tentu juga suamiku mempunyai hubungan dengan wanita-wanita itu.
"Aku makasih banget kalian udah perhatian padaku. Aku akan cari jawabannya. Kalian doain aku aja biar rumah tanggaku baik-baik aja."
"Aamiin," balas mereka kompak.
Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku memulai dari mana? Apa aku menanyakan langsung pada suamiku? Kepalaku mendadak pusing.
"Ran, mengko aku bungkusno muffin ya gawe anak-anakku. Soale muffin nang cafe-mu iki paling enak. (Ran, nanti aku tolong bungkuskan muffin ya untuk anak-anakku. Karena muffin di cafe-mu ini paling enak.)"
Belum sempat aku menjawab, pandanganku tiba-tiba gelap. Aku bisa mendengar pekikan tiga sahabatku sebelum tubuhku lemas dan terjatuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Ita Imus
kasian
2021-12-09
1
Nina Karlina
dadaku sesak bacabya...
2021-09-16
0