Aku masih berdiam diri di kamar. Masih duduk di tepi ranjang sambil memejamkan mata. Mencoba menahan sesak di dada ini dan berpuas diri setelah menangis semalaman. Berkali-kali aku menarik napas untuk melegakan hatiku. Ku alihkan pandanganku ke arah jam dinding.
Sudah pukul enam pagi. Seharusnya aku sudah ada di dapur, membantu Budhe Marni menyiapkan sarapan. Seharusnya aku mengecek kesiapan anak-anakku yang akan pergi ke sekolah. Aku masih bergeming dengan pikiranku. Ah, biarlah si mbaknya yang mengurus. Aku masih ingin disini. Masih mencoba meyakini bahwa semua masih baik-baik saja.
Dari jam dinding, ku alihkan pandanganku ke sebuah frame foto yang berukuran televisi empat belas inchi. Ada gambar dua orang disana. Seorang wanita yang mencium takzim tangan kanan seorang laki-laki. Gambar yang diambil sembilan tahun yang lalu.
Itu adalah potret kami. Aku dan suamiku.
Kami sangat berbahagia waktu itu. Kami adalah pasangan serasi, menurut orang-orang di sekitar kami. Terlihat jelas cinta di mata kami berdua. Ya, kami sangat bahagia. Kebahagiaan kami sangat lengkap dengan kehadiran dua anak laki-laki kami saat ini. Sungguh indah bukan?
Aku sangat menikmati peranku sebagai seorang istri dari Mahendra Prambudi. Nama suamiku. Dia suami dan ayah yang sangat luar biasa. Aku mencintainya dengan segenap jiwaku. Keluarga kami sangat bahagia. Suamiku, Mas Hendra sangat mencintaiku. Aku bisa membacanya dari sikap dan tatapannya. Aku sangat bahagia.
Hingga kemarin malam, Adel, sahabatku mengirim sebuah foto ke nomorku. Foto Mas Hendra dengan seorang wanita berjilbab di sebuah cafe. Wanita itu tengah berbadan dua. Siapa dia? Mereka tampak bahagia. Di foto itu, Mas Hendra mengusap perut wanita itu dengan sayang. Aku seolah merasa hantaman kuat di kepalaku.
Tanganku bergetar memegang ponsel. Aku menggenggam ponsel itu kuat-kuat menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Dengan gerakan cepat, aku menghapus foto itu. Tak lama setelahnya, Adel meneleponku.
Ran, sapa Adel di seberang.
Ku hela napas panjang sebelum aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum,
“Assalamu’alaikum, Del.”
Wa’alaikumsalam. Itu…
"Jelas itu bukanlah Mas Hendra, Del. Kamu pikir Mas Hendra lelaki seperti itu? Aku tahu Mas Hendra," sanggahku.
tegas.
Tapi... Aku jelas-jelas melihat kalau itu Hendra. Aku nggak mungkin salah lihat.
"Mungkin kamu salah orang, Del.”
Salah orang?
“Mas Hendra sedang bersamaku sekarang."
Sama kamu?
"Iya. Mas Hendra lagi main sama anak-anak."
Sejenak Adel tidak bersuara.
"Del?"
Ku dengar Adel menghembuskan napas lega. Alhamdulillah. Maaf ya, Ran. Aku sempet panik tadi.
Aku tertawa. Mencoba tertawa lepas. "Iya, nggak apa. Tapi kami baik-baik saja disini. Makasih ya."
Setelah mengucap salam perpisahan, Adel menutup percakapan kami. Tinggallah aku yang masih tertegun. Aku berbohong, Mas Hendra tidak sedang bersamaku saat ini. Siapa wanita itu?
Suamiku menyimpan sebuah rahasia. Setelah sekian lama kami bersama, begitu rapinya dia menyimpan ini semua. Sejak kapan? Apa yang sudah dilakukannya di belakangku?
Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkan pernikahanku hancur. Jika memang benar ada wanita lain di belakangku, aku harus tetap mempertahankan pernikahanku apapun yang terjadi. Pernikahanku harus tetap bertahan demi anak-anakku, demi keluarga yang utuh dan untuk kebahagiaanku.
***
Mahendra Prambudi.
Aku mengenalnya karena dia adalah dokter yang menangani penyakit jantung Mama. Kami bertemu setiap Mama melakukan kontrol sebulan sekali di sebuah rumah sakit swasta. Jujur saja, aku tidak bisa berkedip saat melihat wajahnya untuk pertama kali. Ya, dia sangat rupawan. Tapi aku harus tetap menjaga image-ku. Jangan sampai aku terlihat seantusias itu padanya. Dimana harga diriku sebagai perempuan? Maka aku berusaha mengabaikannya.
Dari parasnya, terlihat dia masih terlalu muda untuk menjabat dokter spesialis. Apalagi spesialis jantung. Mungkin dia masih mempunyai tali persaudaraan dengan Einstein. Tutur katanya sangat sopan dan pandai mengkomunikasikan apa yang dia disampaikan tentang penyakit Mama, sehingga sedikit banyak aku mulai memahami kondisi Mama. Sikapnya juga sangat ramah. Membuat aku jadi...
Tidak, mungkin hanya kagum saja. Iya kali, dia masih single? Bagaimana jika dia sudah menjadi suami orang? Oke, baiklah, aku skip saja rasa kagumku.
***
Aku bukan remaja yang tidak dapat membedakan rasa kagum dan rasa jatuh cinta. Aku pernah merasakan jatuh cinta yang sangat dalam sebelumnya hingga hampir menikah. Tetapi semua gagal karena orang yang sangat aku cintai itu lebih memilih kontrak kerjanya di Singapura daripada aku. Aku hampir gila karena itu semua. Calon suamiku meninggalkanku seminggu sebelum pernikahan kami terjadi.
Apa yang harus aku lakukan saat dia meminta maaf dan berpamitan untuk pergi? Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan air mataku saat itu. Aku hanya tidak tahu dari mana aku harus memberitahu orang-orang yang sudah menerima undangan pernikahanku bahwa acara itu batal.
Terlebih saat mendengar Papa kecelakaan setelah pulang dari tempatku menyewa jasa WO untuk membatalkan acara pernikahanku. Papa meninggal di tempat kecelakaan karena tidak memperhatikan lampu merah lalu lintas. Itu membuatku lebih putus asa. Kondisi Mama pun drop setelah Papa berpulang. Hingga saat tengah malam aku terpaksa menyetir seperti orang gila untuk mengantar Mama ke rumah sakit. Malam itulah aku bertemu Mahendra Prambudi untuk pertama kalinya.
Aku yang panik lupa mengganti baju tidurku. Baju yang sangat tidak manusiawi untuk dipakai keluar tengah malam. Baju terusan selutut tanpa lengan. Aku bahkan tak menghiraukan dinginnya AC rumah sakit. Aku lebih mengkhawatirkan Mama yang saat itu belum sadar.
Setelah dokter menyelesaikan tugasnya, aku menangis sambil menggenggam tangan Mama yang tengah berbaring di tempat tidur. Mama sudah dipindahkan ke ruangan dan harus opname hingga keadaannya stabil. Aku merapalkan doa berkali-kali untuk Mama. Hanya Mama satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku masih tergugu dan menenggelamkan wajahku di tepi ranjang Mama, hingga aku merasakan sebuah jaket menutup punggungku.
Aku menghapus air mataku dan menoleh ke samping. Ada sesosok laki-laki dengan senyumnya. Dia adalah Mahendra Prambudi.
"Keadaan Ibu Ambar sudah membaik. Beliau hanya perlu istirahat," ucapnya.
Aku hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih karena aku belum bisa bersuara.
"Pakailah, di tengah malam seperti ini AC rumah sakit terasa dingin."
Aku kembali mengangguk.
"Beristirahatlah. Mungkin beberapa jam lagi ibumu akan terbangun."
Dia mengusap kepalaku pelan, membuatku tertegun. Hei, apa-apaan itu? Apakah dokter tengah malam memang begini kalau sedang simpati? Tapi aku hanya diam, tidak mempedulikan tindakannya. Aku terlalu lelah untuk merespon. Begitu pun dia yang sudah keluar dari ruang inap Mama. Ah, masa bodo lah. Mataku terasa berat sekali.
Mama harus melakukan kontrol rutin untuk pemeriksaan lebih lanjut setelah keluar dari rumah sakit. Seperti biasa, aku menemani Mama untuk kontrol rutin. Seperti biasa, aku bertemu dengannya yang sepertinya semakin bersinar di mataku. Seperti biasa, aku berusaha menghindari tatapannya. Lebih memilih memperhatikan Mama saat sesi kontrol berlangsung. Seperti biasa, aku gugup saat dia mengajakku berbicara. Seperti biasa, dia memberikan senyum manisnya saat kami menyudahi sesi kontrol. Seperti biasa, aku hanya mengangguk saja. Seperti biasa... Aku tidak sanggup berlama-lama di hadapannya. Ingin cepat pergi dari hadapannya karena debaran jantungku yang tidak mau ku atur. Jantung ini selalu berdetak lebih kencang saat kami bertemu.
Perlahan aku juga ikutan latah berpenyakit jantung seperti Mama saat bertemu dengannya. Jantungku yang awalnya melemah karena putus cinta, lama-lama mulai senang melakukan senam aerobik jika di dekatnya. Tidak mungkin secepat itu aku berpindah hati. Aku merasa seperti seorang pengkhianat. Semakin lama, aku merasa ini bukan sekedar rasa kagum. Tidak mungkin.
Aku tersenyum saat Mas Hendra mengusap kepalaku pelan. Rasanya nyaman sekali. Setiap kali dia melakukannya, aku akan diam dan menikmatinya. Biasanya aku akan tertidur jika dia terus melakukannya.
"Kok senyum-senyum gitu?" tanyanya.
Aku masih tersenyum sambil menatapnya. Posisi kami sama-sama berbaring dengan dia memelukku. Aku menatapnya intens, mengamati tiap detail wajahnya. Matanya, terpancar cinta disana. Berharap hanya aku satu-satunya wanita yang dicintainya seumur hidupnya.
"Kenapa sih?" tanyanya lagi.
Kamu sudah berbohong, batinku. Rahasia apa yang kamu sembunyikan dariku? Sedetik kemudian aku tersenyum. "Dasar pikun."
"Dosakamu ngatai suami pikun." Mas Hendra menatapku kesal kemudian menjepit hidungku dengan kuat hingga aku memukul lengannya karena kesakitan. Sambil tertawa dia melepaskan jepitannya di hidungku. "Makanya yang sopan kalo ngomong sama suami."
Aku memukul dadanya berkali-kali sementara dia tergelak. "Sakit tau, Mas!"
"Lagian kamu ngapain ngatain aku pikun sih, sayang?"
"Memang kamu sudah pikun kan?"
Aku menahan tangannya yang hendak menjepit hidungku lagi. "Mas lupa?"
"Lupa apa? Ulang tahun kamu bukannya sudah lewat. Ulang tahun anak-anak juga masih lama kan?"
"Ih, Mas nih." Aku merajuk.
"Apa sih, sayang?"
Suara lembutnya selalu membuatku meleleh. Selama aku mengenalnya, Mas Hendra selalu bertutur kata lembut. Membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya.
"Kamu nih kalo ngomong nggak usah pake kode-kodean deh."
Aku memeluknya dan menenggelamkan wajahku ke dadanya. "Mas ingat nggak? Tengah malam kayak gini waktu kita pertama bertemu?" Tidak ada sahutan dari Mas Hendra. Saat aku mendongak, ku lihat dia tersenyum menatap langit-langit kamar. "Sudah ingat?"
Dia kembali tersenyum. "Seperti ini, kan?" ucapnya sambil mengusap kepalaku. "Aku spontan melakukannya waktu itu. Saat pertama kita bertemu, aku berdebar melihatmu memohon untuk menyelamatkan Mama."
Ya, saat itu sambil menangis aku memohon kepadanya untuk menolong Mama. Tengah malam itu, saat aku sampai di rumah sakit bersama Mama, air mataku mengalir deras melihat kondisi Mama yang napasnya sudah terengah-engah. Para petugas kesehatan membantuku menaikkan Mama ke atas brankar. Aku menghampiri dokter jaga yang ber-name tag dr. Mahendra Prambudi dan menggenggam tangannya.
“Tolong selamatkan Mama saya, dok.”
Dokter bermasker itu hanya diam memperhatikanku dengan mata tajamnya. Aku tidak melepas genggamanku sampai seorang perawat menginterupsiku untuk mengisi biodata Mama dan menyelesaikan administrasi. Aku hanya mengangguk sambil menghapus air mataku dan berjalan ke arah resepsionis rumah sakit. Setelah beberapa langkah aku berjalan, aku berbalik menoleh ke belakang. Tatapan mataku bertemu dengan dokter bermasker itu. Dia sedang berjalan ke arah ruang periksa dengan kepala menoleh kepadaku. Aku menganggukkan kepalaku sopan, berharap dokter itu dapat menolong Mama.
"Aku nggak pernah merasakan rasa itu sebelumnya," ucap Mas Hendra memutus ingatanku. “Aku nggak tahu kenapa aku tiba-tiba masuk ke ruang inap Mama dan memberimu jaket itu. Setelah keluar dari ruangan, aku buru-buru kembali ke ruangannku. Aku jalan mondar-mandir kayak setrikaan. Untung di ruangan itu nggak ada siapa-siapa."
Aku terkikik mendengarnya. "Lagian ngapain sih Mas mondar-mandir?"
"Yah, karena berasa bodoh aja."
"Memang dokter boleh ngerasa bodoh?"
"Kan manusia. Aku merasa bodoh aja, kok aku nggak sekalian cium kamu malam itu."
Sekali lagi aku memukul dadanya. "Ih, apaan sih!"
Mas Hendra tertawa keras. "Muka kamu malam itu tuh sumpah, jelek banget tahu nggak. Ingusnya mbeler dimana-mana."
Kali ini aku bangun dan mengambil bantal. Aku memukul wajah dan badan Mas Hendra dengan bantal secara brutal untuk melampiaskan kekesalan. Enak saja, bilang aku jelek. Pakai insert ingus lagi! Aku semakin kesal saat Mas Hendra tak berhenti tertawa. "Bisa diem nggak sih, Mas!"
"Nggak bisa"
Tawa Mas Hendra lebih nyaring. Aku tidak perlu khawatir Mas Hendra tertawa seperti orang gila tengah malam. Kamar kami kedap suara. Sebulan setelah menikah, Mas Hendra membuat kamar ini jadi kedap suara. Katanya agar kami bebas berekspresi setiap saat jika kami berduaan di kamar. Yah, kalian tahu sendiri kan maksudnya?
"Habisnya kamu itu nggemesin malam itu. Stop!" Mas Hendra menahan tanganku yang akan memukulnya lagi dengan bantal. Dengan cepat dia mengambil bantal yang ku pegang dan mencium bibirku. "Jika aku nggak peduli sama norma-norma, saat itu aku pasti sudah ..."
Aku merasakan hangat napasnya karena wajah kami yang begitu dekat. "Apa?" tantangku, walau aku tahu kelanjutan ucapannya.
Dia menatapku lama dengan tatapan jahilnya dan berbisik, "Ngatain kamu jelek."
Mas Hendra kembali tertawa sementara aku mencubiti perutnya. "Jahat kamu, Mas!"
Setelah aku puas mencubitinya, aku melipat tanganku sambil bersandar di kepala ranjang. Menatapnya penuh kesal. Kalau Mas Hendra sudah jahil, dia akan sangat menyebalkan. Tingkah jahilnya sama seperti anak ramaja.
"Udah dong, nggak perlu ngambek gitu," rayunya dengan mengusap lenganku dan menyengir. Cengiran itu mengingatkanku pada anak pertama kami. Aku hanya diam, mengabaikannya. "Kan cuma bercanda."
"Nggak lucu," ketusku.
"Kalau ngambek gini nih, kamu juga jelek lho."
Mataku melotot ke arahnya. Terus saja jahilnya! “Kamu tuh lama-lama nyebelin banget sih, Mas!”
“kayak anak SMP aja deh suka ngambek.”
Aku melempar sebuah bantal ke wajahnya dan berhasil dihindarinya. Membuat Mas Hendra kembali tertawa. Melihatnya aku semakin kesal kemudian membaringkan tubuhku, membelakanginya dan menutup mataku. Dasar dokter gila!
Terkadang Mas Hendra kelewat jahil padaku. Aku pernah ngambek berhari-hari karena kejahilannya. Waktu itu dia menemukan fotoku semasa aku duduk di bangku SMP. Saat itu aku masih memakai kaca mata dan behel. Mas Hendra bertanya berkali-kali padaku apakah itu benar aku atau bukan. Bahkan dia memanggilkku Betty La Fea karena foto itu. Karena foto itu juga dia mengganti namaku di ponselnya dengan nama itu. Katanya iseng, tetap saja membuatku nggondok habis-habisan. Selama dua hari dia selalu memanggilku Betty La Fea dengan sengaja hingga aku menangis karena kesal sekali padanya. Ngambekku baru hilang setelah Mas Hendra mengajakku berlibur ke Bali selama seminggu.
Tawa Mas Hendra mereda, dia memelukku dari belakang. "Kamu nih masih aja ngambekan deh. Kamu hamil lagi ya?"
"Apaan sih? Apa hubungannya coba?"
"Ya mungkin aja lah. Kalau nggak hamil lagi, ya aku mau bikin kamu hamil lagi aja."
Aku menepuk tangannya yang melingkar di perutku gemas. "Sudah ah, katanya besok kamu ada operasi. Istirahat. Aku juga capek.”
Tangan Mas Hendra semakin erat memelukku. "Tapi aku mau seronde dua ronde lagi." bisiknya.
Seketika aku menengoknya dengan tatapan horor. Tubuhku masih terasa lelah setelah pergulatan panas kami tadi. Sekarang dia mau seronde dua ronde lagi? "Setelah yang tadi?" tanyaku tak percaya. Yang benar saja? Aku bisa pingsan atau mungkin bisa dipastikan besok aku akan terlambat bangun.
Mas Hendra tersenyum, "Aku nggak akan pernah puas dengan kekasih halalku." Dia membalik tubuhku dan mengusap pipiku. Aku tahu arti tatapannya dan tidak bisa menolak permintaannya. Dia suamiku, berhak atas apapun yang ada di diriku. “Aku janji hanya seronde lagi, lalu kita tidur. Oke?
Tangannya sudah masuk ke dalam kaos besar miliknya yang ku pakai. Tubuhku meremang merasakan usapan tangan besarnya di perutku. Aku bisa apa sementara dia terus menyalakan gairahku.
“Beri aku seorang anak lagi.”
“With my pleasure.” Senyumku mengembang mendengar permintaannya. Kuusap dadanya yang terbuka dengan ujung jariku dan beralih mengusap rahangnya. Aku menatapnya. Dalam hati, aku bertanya siapa wanita itu, Mas? Apakah dia kekasih halalmu yang lainnya?
Ruang makan ramai dengan celotehan anak-anak dan suamiku. Anak-anak berebut meminta perhatian dari ayahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Berusaha mengabaikan rasa sakit yang ku pendam jika mengingat foto yang dikirim Adel beberapa waktu yang lalu. Aku masih berusaha mempercayai suamiku.
Di depanku Kenzo duduk manis sambil menghabiskan roti isinya. Kenzo, anak pertamaku yang usianya delapan tahun. Dia duplikat Mas Hendra. Mata, hidung, bentuk wajah, kesukaannya, semua seperti ayahnya. Kenzo hadir tepat sebulan usia pernikahan kami. Aku masih ingat betapa bahagianya Mas Hendra saat mendengar kehamilanku. Dia sampai melompat-lompat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Selama kehamilan pertamaku, Mas Hendra lebih menunjukkan kasih sayangnya padaku. Beruntungnya aku tidak mengalami morning sickness yang parah. Moodku sangat baik. Hingga saat aku melahirkan, Mas Hendra setia mendampingiku. Dia tidak mempedulikan bagaimana aku menyalurkan rasa sakitku saat proses persalinanku berlangsung. Aku baru menyadari ada bekas cakaran di tangannya saat dia menggendong Kenzo untuk diadzani.
"Itu tangan kamu kenapa, Mas?" tanyaku saat melihat bekas cakaran di tangannya.
Dia hanya tersenyum. "Habis berantem."
Wajahku pias seketika. "Mas berantem sama siapa? Kapan?"
"Sama ibu-ibu melahirkan tadi."
"Kok bisa kamu dicakarin gitu?" Aku bertambah bingung menatapnya yang masih senyum. "Siapa wanita itu?"
"Sudahlah, sayang. Ngapain lagi sih dibahas? Kan udah lewat."
Aku memberengut kesal. "Trus ada hubungan apa kamu sama wanita itu? Kok dia sampai nyakarin kamu?"
Lagi-lagi Mas Hendra tersenyum sambil menimang Kenzo. "Kamu nih ya ..."
"Siapa wanita itu, Mas?" potongku tidak sabar.
"Eh, bundanya Kenzo nggak boleh marah-marah lho. Nanti pengaruh ke ASI."
"Ya, habisnya aku kesel. Masa tangan kamu dicakarin kayak gitu. Salah kamu itu apa? Coba liat sini!" Aku merentangkan tanganku agar Mas Hendra mendekat. Secara, aku belum bisa bangun dari tempat tidur pasca melahirkan.
Mas Hendra mendekat menunjukkan lengan kanannya, sementara lengan kirinya menggendong Kenzo.
Hatiku meradang melihat luka itu lebih dekat. "Liat deh tangan kamu. Sampai begini." Aku mengusap area sekitar bekas cakaran itu. Lengan suamiku memerah dan kulitnya sedikit terbuka. “Udah diobatin belum? Perih ya?”
"Nggak apa. Aku ikhlas kok."
"Siapa wanita itu? Biar aku samperin dia, Mas."
"Ngapain?"
"Mau ngasih pelajaran."
Mas Hendra tertawa.
"Kok kamu malah ketawa sih, Mas?"
"Kamu mau tahu siapa yang udah nyakar Mas?"
"Siapa? Minta dihajar tuh orang." Aku sudah pasang badan untuk meluapkan emosiku.
"Yakin?" tanya Mas Hendra penuh selidik.
"Siapa, Mas?"
Mas Hendra tersenyum. "Wanita itu adalah bundanya Rajendra Kenzo Prambudi."
Aku terdiam menatap Mas Hendra. Seketika air mataku meluruh. Aku mengambil tangan kanannya dan mencium tangan kanannya. "Maafin aku ya, Mas."
Mas Hendra melepas tanganku dan mengusap kepalaku dengan sayang. Sama seperti pertama kali dia melakukannya tengah malam itu. "Udah dong nangisnya. Nanti Kenzo ikutan nangis lho."
Aku masih tergugu saat pintu kamar inapku terbuka. Dua wanita paruh baya datang mendekatiku dan terkejut melihatku menangis.
"Ini ada apa, Ndra?" tanya Ibu Nani, ibu dari Mas Hendra. "Kenapa Rania nangis kayak gini?"
Mama yang melihatku juga terlihat panik. "Ada apa, Nak?"
Mas Hendra menyerahkan Kenzo kepada ibunya dan duduk di sampingku, di tepi ranjang. "Ini ... mantu Ibu lagi terharu karena baru lihat hasil karyanya pas lahirin Kenzo." Sementara aku kembali mencium tangan kanannya.
Dua wanita paruh baya itu pun saling ber'oh' ria mendengar penjelasan Mas Hendra.
"Kirain ada apa?" Mama yang tadinya terlihat panik, mulai lega. "Ingat nggak selain main cakar, kamu tuh juga jambakin suami kamu. Katanya rambutnya sampai mbrodol. Tuh pipinya masih merah, kamu pukulin berkali-kali. Teriakan kamu itu sampai kedengeran dari luar."
Mendengarnya, aku mendongak menatap mas Hendra. "Benar, Mas?" Aku menyentuh pipi Mas Hendra dan benar. Pipi Mas Hendra terlihat memerah. "Ini aku, Mas?"
Mas Hendra mengangguk. "Ini nggak sebanding dengan perjuangan kamu saat hamil dan bertaruh nyawa untuk melahirkan Kenzo. Terima kasih sudah melahirkan Kenzo, Bunda."
Aku tersenyum melepas tangan Mas Hendra dan berusaha duduk. Mas Hendra membantuku duduk dengan benar, kemudian aku menyalimi Mama dan ibu mertuaku dengan penuh kerendahan hati.
"Ma, terima kasih ya sudah melahirkan dan membesarkan Rania dengan baik. Maafkan semua kenakalan Rania yang sudah buat Mama susah. Makasih ya, Ma." Aku berganti menatap ibu mertuaku setelah melihat senyum Mama. "Rania sangat berterima kasih sama Ibu karena udah melahirkan Mas Hendra. Rania sangat bersyukur sekali memilikinya."
Ibu mertuaku tersenyum. "Ibu juga senang sekali Hendra mendapatkan istri semanis kamu. Ibu minta kalian harus lebih dewasa karena kalian sudah jadi orang tua. Kalian harus jadi panutan yang baik untuk Kenzo."
Aku dan Mas Hendra mengangguk, dan Kenzo terbangun sambil menangis.
"Bundaaaaaaa."
Lamunanku terpecah saat mendengar Kenzo berteriak.
"Liat nih bajuku!" Kenzo terlihat marah. Baju seragamnya terkena tumpahan susu karena gelasnya tidak sengaja disenggol adiknya.
"Maap ya, Kakak."
Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah si bungsu meminta maaf. Mas Hendra menghela napas kasar melihatnya.
***
Si bungsu, Arka. Bocah berusia tiga tahun itu lebih aktif tingkahnya dibandingkan kakaknya dulu. Sangat aktif. Dia lahir saat Kenzo berusia lima tahun. Kenzo menganggap Arka sebagai kado ulang tahunnya. Selayaknya anak kecil yang mendapat hadiah, Kenzo melonjak kegirangan. Melihat Mas Hendra mengadzani Arka, Kenzo juga ingin melakukan hal yang sama. Katanya, dia ingin menjadi imam seperti ayahnya.
Kelahiran Arka semakin menambah kebahagian kami. Sayangnya, Mama telah berpulang saat Arka berusia tiga bulan. Mama terkena serangan jantung saat menunggui Arka tidur siang. Sebelumnya Mama sempat dilarikan ke rumah sakit tetapi takdir Tuhan berkata lain. Mama berpesan sebelum menutup mata, aku harus menjadi ibu yang kuat apapun yang terjadi nanti.
Aku sempat down dan melupakan kehadiran Arka yang masih bayi. Aku terlalu memikirkan Mama yang sudah tidak ada lagi. Tiap hari aku berdiam diri dan irit bicara. Setiap malam aku pasti menangisi Mama secara diam-diam saat semuanya sudah tertidur. Bagaimana tidak? Mama satu-satunya keluarga yang ku punya. Orang tuaku adalah seorang anak yatim piatu. Keduanya dulu tinggal di sebuah panti asuhan yang sama. Mama sudah tidak ada lagi, itu artinya aku sendirian.
Aku sering menangis saat menyusui Arka. Bahkan saat mataku bertemu dengan tatapan Arka. Matanya mengingatkanku pada Mama dan itu semakin menambah kesedihanku. Mas Hendra hanya memelukku erat saat mendapati aku menangis dan berbisik, “Mama tidak akan suka melihat anak kesayangannya seperti ini.” Bukannya dapat meredakan tangisanku, aku semakin merasa sedih.
Hingga Mas Hendra berinisiatif mengajak mertuaku tinggal di rumah. Beruntungnya mertuaku memahami keadaanku. Beliau mengajakku berbagi cerita dan tentang apa yang ku rasakan. Awal kedatangannya, beliau hanya memelukku. Tanpa ku mau, air mataku jatuh dan aku kesenggukan membalas pelukannya.
"Mamamu pasti juga akan sedih jika tahu putrinya seperti ini," ucapnya sambil mengusap kepalaku. Tidak ibu, tidak anak, sama saja. Usapan kepalanya sungguh menenangkan hati. "Ibu ada disini. Ibu juga mau menjadi mama untukmu," tambahnya dengan mempererat pelukannya padaku.
"Terima kasih, Bu." Aku mengusap air mataku yang terakhir.
"Bundanya Kenzo dan Arka harus kuat"
Aku mengangguk dan mencoba tersenyum.
Tak lama setelah itu, Kenzo datang sambil membawa kertas dan pensil. "Bunda, aku ada tugas menulis nama anggota keluarga. Bunda bisa temani aku ngerjain nggak?"
Aku mengangguk. Kesedihan membuatku lupa dengan buah hatiku. Maafkan, Bunda ya nak.
"Narendra Arka Prambudi. Selesai. Yeah!" Kenzo bersorak gembira saat tulisannya selesai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!