Tiba di rumahnya kembali, Bara mengamati pohon sawo yang sesaat lalu telah membuatnya berjibaku. Ada apa dengan pohon ini ....
Bara mengambil satu daun dan satu buah sawo dari pohonnya. Tentu tangan sudah dilapisi dengan sarung tangan. Bara terkejut sewaktu melihat getah yang keluar dari kedua benda tersebut. Dari daun keluar getah berwarna putih seperti susu. Sedangkan dari buahnya, keluar getah bening dengan aroma yang menyengat.
Sayang, buah sawo yang bikin heboh itu hanya ada satu buahnya, sudah dipetik Jamilah. Sedangkan buah yang lainnya seperti biasa. Hanya buah itu yang mengalami perubahan.
Dan pohon itu, kini telah mati beserta buah yang masih ada.
Untuk memecahkan persoalan-persoalan ini, sepertinya aku harus mengadakan penelitian ulang.
"Assalamualaikum, Papa." sapa Bara dari telpon genggamnya.
"Gimana Akmal?"
"Oke Papa. Tapi penelitian ku tidak seluruhnya gagal. Akmal perlu pendalaman Pa, kasih kesempatan dong, Pa."
"Tidak. Waktu untukmu sudah finish. Atau kamu tidak bisa lagi mengadakan penelitian."
"Asalkan aku bisa melanjutkan penelitianku, Oke."
"Deal. Papa setuju. Papa jemput kamu satu minggu lagi."
Ulya, papanya Akmal.
Bukannya tidak tahu akan ketertarikan putranya akan tanaman. Tetapi ada bagian dari hobbynya itu yang perlu dikembangkan tapi perlu perlindungan yang baik.
Jika penelitian itu hanya pengembangan untuk pertanian, Papa Ulya tak apa-apa. Tapi semenjak masuk ke sekolah menengah, dia sudah coba-coba dengan penelitian yang menyebabkan dirinya was-was.
Papa Ulya sudah mencium adanya gelagat yang kurang baik yang mengincar diri putra itu. Karena kecerdasan yang dimiliki.
Kalaulah selama ini dia mengirim ke Indonesia, itu semua demi keamanan putranya. Tapi tak selamnya itu dia dapat dilakukan. Karena dia orang sipil.
Dengan pengaruhnya di pemerintahan, Ulya mencoba mengarahkan putranya. Toh Akmal insyaallah dengan mudah melewati ujian masuk akademi militer, baik secara pemikiran maupun secara pisiknya.
Dengan begitu secara lembaga, jiwa putranya akan terlindungi.
💎
Kini waktu yang ditunggu pun tiba. Bara sudah menetapkan hati untuk pergi. Meski menjadi seorang prajurit bukan suatu yang diinginkannya, tapi dicobanya untuk menerimanya dengan lapang dada.
Demikian yang dia katakan kepada papa Ulya dahulu sebagai janji. Apabila dalam satu tahun ini dia tak bisa menyelesaikan proyeknya ini. Maka pilihan kedua adalah masuk akademi militer sesuai dengan keinginan ayahnya.
"Mang, aku titip tempat ini ya .... Mungkin lama nggak bisa ke sini."
"Tapi, Den. Mang Maman takut. Nanti kalau ada tanaman yang kayak gitu lagi, Mang Maman harus bagaimana?"
"Jangan khawatir, Mang. Tanaman-tanaman yang itu aku bawa juga. Aku mau lanjutkan penelitianku di sana. Pasti boleh. Yang ku tinggal hanya tanaman-tanaman yang memang sudah aman. Dan bisa dinikmati."
"Lalu, kalau berbuah itukan banyak banget, Den ..."
Belum selesai bicara, Bara sudah angkat bicara ...
"Boleh mang Maman jual. Tapi kirim untuk adik-adik Panti Asuhan dulu sepertiga hasil kebun, yang lainnya boleh mang Maman jual, dan ambil 20% nya untuk kalian. Sisanya tabung dulu. Siapa tahu nanti ada kebutuhan mendadak."
Sebentar-sebentar, Den Bara tadi ngomong apa. Pakai menyebut angka-angka juga. Mumet aku. Lha pelajaran matematika ku dulu hancur. Mana bisa hitung-hitungan seperti itu. Pokoknya yang kuingat untuk panti asuhan sebagian ditabung sisanya.
"Nggeh Den."
"Aku percaya sama mang Maman."
"Ya, Den."
Mang Maman manggut-manggut, tapi bingung.
"Tanaman yang kemarin sudah aku pindahin ke pot. Sepertinya tenang, nggak terjadi apa-apa."
"Semoga, Aamiiin."
Mang Maman jangan diajak bicara pakai bahasa itu, Den Bara. Benar-benar puyeng kepala, gerutu mang Maman.
Tak berapa lama, sebuah mobil Jip datang. Terparkir di depan rumah.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh, Kak Akmal?" Seorang gadis cantik bercadar dan bermata kebiruan datang langsung memeluk Bara.
"Wa alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh Aisye. Mana papa mama?"
"Bentar lagi datang. Masih mampir ke Om Mustofa, jenguk Kak Devra."
"Kak, ada yang baru untukku?"
"Kakak belum sempat. Kakak masih serius dengan proyek kakak.
Wajahnya menjadi makyun. Tak ada hadiah untuknya. Padahal hadiah dari kakaknya yang satu ini adalah hadiah yang selalu ditunggunya.
"Lalu ...."
"Tuch ... ada di kulkas."
"Asyiiiik ...." serunya bahagia.
Akmal tahu benar kesukaan adik satu-satunya itu. Salad buah. Sebelum mereka datang dia sudah menyiapkan itu semua di lemari pendingin.
Aisye menuju lemari pendingin dan segera menikmatinya di ruang keluarga, sambil menghidupkan televisi di depannya. Meninggalkan kakak kembarnya berbincang hangat di ruang tamu. Menunggu papa mama datang.
"Kak Akram, kamu enjoy banget, nggak disuruh papa masuk militer."
"Dik, justru aku iri sama kamu. Dikasih kesempatan papa untuk masuk militer."
"Kita tukeran aja yok. Kakak masuk militer aku mau terus ke tanaman."
"Kamu mau sekolah bisnis. Sesuai yang papa minta ke aku?"
"Nggak ... nggak. Mendingan aku masuk militer dari pada suruh bisnis."
"Nah ... gitu aja kok repot. Papa berharap dengan penelitian mu itu akan dapat membantu melindungi negara."
"Oh ...." jawab Akmal dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selama ini, Akmal tak pernah berfikir ke sana. Yang dia lakukan hanyalah meneliti dan meneliti, sekedar ingin memenuhi rasa keingintahuannya.
"Udah, ah. Aku mau santai, puyeng aku kalau banyak mikir. Aku bukan kamu." celoteh Akram, saudara kembar. Kembar memang ... tapi dari fisik maupun sifatnya nggak ada mirip-miripnya.
Kulit, Akram agak gelap, Akmal lebih bening. Mata, Akram coklat, Akmal biru.
Akmal lebih tenang dan tertutup.
Akram lebih terbuka.
Meski begitu bandel sama sejak kecil.
Begitulah kembar hasil perpaduan ayah Andre, orang Indonesia asli, dengan Naura orang Turki. Hehehe ....
Diapun keluar, menikmati tanaman-tanaman yang ada. Dari macam-macam spesies bunga, hasil penelitian adik kembarnya itu, maupun buah yang selalu berbuah meski bukan musimnya.
Akmal pun menyusulnya, mengikuti langkah Akram hingga sampai di sungai yang membelah kebun belakang.
Akram berdiri di jembatan yang berdiri kokoh di atas sungai itu. Terlihat dari jauh, anak-anak kecil yang berenang ria, ada juga yang membentangkan sebuah kain seperti membentangkan sebuah jala, mungkin mencari ikan.
Akmal melihat Jamilah di antara mereka. Tak sadar bibirnya berucap," Eghhhhehh ..." seakan ingin meluapkan amarah.
Akram yang mendengar suara saudaranya bergumam, meliriknya sebentar, lalu senyum-senyum penuh arti.
"Hai-hai, ada apa dengan dirimu?"
"Tak ada apa-apa."
"Jangan bohong, aku kembaranmu. Aku tahu yang kau rasakan. Mengapa harus marah sama gadis kecil itu, kalau kau suka."
"Suka?! ... yang bener aja." jawabnya ketus.
"Atau untukku saja ... karena aku suka." ucap Akram menggoda. Ya ... memang dia suka.
"Ya kakak, Phedopil dong, suka anak kecil."
"Sekarang masih kecil, 7-10 tahun lagi apa masih dikatakan kecil?"
"Dia yang menghancurkan lab-ku."
"Itu masalahmu, aku tak ada masalah. Jadi aku pasti menang."
"Berkhayal ... sekolah belum lulus juga "
"Hahahaha ...." Akram benar-benar senang kali ini. Menikmati wajah muram adiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Yukity
Mampir di sini juga Thor...
Semangaat...👍♥️
2021-09-06
0
Ana Yulia
lanjut thor
2021-09-05
0
mutoharoh
lanjut
2021-09-05
0