Mengulang kembali, tak ada waktu.
Menyusun yang telah ada, tak mungkin. Karena sulit bagiku menyusun hasil penelitian tanpa adanya data-data yang benar.
Kali ini Bara benar-benar sedih. Melihat sampah-sampah yang dibawa mang Maman ke luar. Catatan-catatan pentingnya hampir tak tersisa.
Astaghfirullah al adzim
Astaghfirullah al adzim
Astaghfirullah al adzim
Ya maqolubal qulub stabbit qolbu 'ala diinika wa tho'atik.
Akmal berucap lirih dan senantiasa menghiasi bibirnya dengan dzikir. Karena hatinya saat ini benar-benar sedang sedih.
Setelah semua terlihat lebih rapi, lebih bersih, dia mengambil nafas panjang dan membuangnya secara berlahan.
"Mang, aku titip dulu ya. Aku akan ngantar Jamilah ke rumahnya."
"Apa perlu saya temenin, Den?"
"Eeee .... kalau mang Maman nggak keberatan. Dach, ayok!" ajaknya. Diapun mengikuti Bara menuju mobilnya yang sudah terparkir lama di jalan trotoar yang menghubungkan dengan halaman depan.
Mang Maman, dia abdi dalem yang paling setia dan sangat dipercaya oleh mamanya untuk menjaga rumah mama Naura, rumah orang tuanya yang ada di Indonesia, sampai dengan saat ini.
Rumah yang bagian belakangnya kini sudah disulapnya menjadi laboratorium pribadi. Tempat dia mengurungkan diri, untuk memuaskan rasa keingintahuannya akan tanaman.
Saat sampai di sana, dia menemukan Jamilah sudah tertidur di kursi depan, dengan mata sembab dan bengkak. Meski dirinya marah sangat, tapi tak tega juga untuk membangunnya.
"Mang Maman di belakang ya ...."
"Ya, Den."
Bara terlebih dahulu duduk di belakang kemudi. bersamaan dengan mang Maman masuk, lalu duduk dengan nyaman di belakang mereka.
Saat melewati pos satpam, Bara berhenti sejenak.
"Pak nanti tolong perbaiki listrik yang di lab. ya!"
"Ya, Den." jawab mang Kasim, satpam rumahnya.
"Tapi hati-hati. Kalau perlu semua kabel diganti."
"Ya, Den."
Setelah itu, Bara melanjutkan laju mobilnya menuju panti asuhan, tempat Jamilah tinggal.
Bagian belakang boleh berhimpitan, tapi bagian depan, cukup memakan waktu juga. Hingga perlu seperempat jam untuk sampai di pintu depannya. Tapi sekalian putar - putarnya juga.
Saat tiba, Jamilah masih tertidur pulas. Bara hanya melirik sekilas, lalu mengambil kaca matanya. Memasangnya indah di bola matanya serta mengambil buku yang ada di depannya, membacanya dengan santai. Dia tak hendak turun, hingga membuat mang Maman bingung.
"Den, sudah sampe kan?"
"Hemmm ..." jawaban ambigu, bikin pusing kepala pengawal setia.
"Atau mang Maman keluarkan dulu buah - buahan yang kita bawa."
"Terserah*."
Lagi - lagi itu yang dikatakan. Ditunggu - tunggu, bagasinya tak jua dibuka. Mach, dia sudah di luar mobil juga. Marah ya marah, tapi mang Maman jangan jadikan sasaran Den!?
Dari pada bengong, mengikuti sabda tuan yang lagi muram, akhirnya mang Maman memberanikan diri untuk membuka pintu depan, ingin membangunkan Jamilah.
Belum sempat menyentuh,
"Biarkan, sampai dia bangun sendiri." ucapnya dingin.
Ini sayang atau marah ya ....
Ya Allah, ampuni tuanku yang lagi khilaf ini.
Mang Maman mau mengelus dada, tapi tak berani. Takut makin menjadi.
Akhirnya dia tutup kembali depan. Lalu berjalan menjauh dari mobil Bara. Beruntung tak jauh dari mobil terparkir terdapat bangku taman yang nyaman diduduki. Apalagi terletak di bawah pohon kelengkeng yang rindang.
"Ah ... nyamannya." gumamnya senang.
Sementara itu, mendengar adanya sedikit keributan, Jamilah terbangun. Pertama yang ditatapnya adalah laki-laki yang masih tekun membaca sebuah buku.
"Sudah bangun kamu." ucapan sapa yang dingin.
Jamilah tak berani menjawab. Dia hanya mengangguk. Lalu kembali dirinya terisak.
"Kak Bara, maafin Jamilah, hiks... hiks ... hiks ..." ucapnya sedih.
"Pakai nangis gala. Apa kamu tahu kerugian yang harus aku tanggung, dengan kegagalan yang disebabkan olehmu. Kurasa air matamu tak bisa mengembalikan segalanya. Sekarang turunlah!"
Jamilah mencoba membuka pintu mobil. Yang sebenarnya mudah. Tapi karena hatinya sedang kacau, maka menjadi sulit. Membuat Bara jengkel.
Tapi dirinya tak tega juga. Dia keluar terlebih dahulu, membantu Jamilah membuka pintu mobil itu.
"Makasih, Kak."
"Hapus itu ingusmu. Jorok banget."
Jamilah mengambil tissu yang ada di depannya.
"Cuci mukamu. Nggak enak banget dipandangnya."
"Baik, Kak."
Meski malas banget berurusan dengan Jamilah saat ini, tapi dibantunya juga Jamilah untuk berdiri dan berjalan di pancuran yang ada di tempat itu.
Dari kejauhan mang Maman, melihatnya senyum-senyum saja. Itu tuannya kenapa mesra banget. Katanya marah?!
Mang Maman bangkit menuju bagasi mobil dan mengambil dua keranjang penuh yang mereka bawa dari rumah beserta benih-benih tanaman yang sudah menjadi pohon kecil-kecil. Siap untuk ditanam.
Sementara Bara menuntun Jamilah, dia membawa keranjang itu menuju rumah utama yang ada di depan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh." sapa mang Maman sebelum memasuki ruangan.
Satu dua kali tak ada sahutan. Baru yang ketiga terdengar dari ruangan dalam terdengar suara yang menjawab salamnya.
"Wa alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh, masuk masuk." ajak Pak Ridwan, paman Jamilah.
"Setyawati ...." Dia kaget dengan kedatangan keponakannya dengan kaki dibalut dan juga 2 orang laki-laki bersamanya.
"Bukankah adik ini, den Bara nggeh."
Dia mengenalnya karena pernah suatu waktu yang lalu, kakek nenek bara berkunjung ke sini, membawa Bara kecil bersama mereka.
"Inggih, Paman."
"Apa yang dilakukan keponakanku padamu."
Meski dia dibuatnya jengkel, tapi dia tak hendak melaporkan kejadian yang sebenarnya.
"Anak-anak, Paman." jawab Bara.
"Maafkan ponakan Paman."
Bara mengangguk dengan senyum ramah.
"Paman, aku ada oleh-oleh untuk adik-adik di sini. Buah sekaligus benihnya, untuk ditanam."
"Wah, terima kasih sekali den Bara."
Terlihat Mang Maman sibuk sendiri mengeluarkan barang bawaan mereka, pak Ridwan tak tega. Dia memanggil 3 anak yang melintas untuk membantunya.
"Rizki, Ahmad, Ali bantu sana."
"Nggeh Bah." jawab mereka taat. Mereka menuju mobil Bara, membantu mang Maman membawanya ke dalam tempat mereka.
"Sampun, Paman. Kami balik dulu." Bara segera bangkit, berpamitan dan akan meninggalkan tempat itu.
"Kak Bara, maafkan Jamilah."
Bara diam tak menyahut.
"Mungkin kamu nggak akan melihat kak Bara lagi di sini. Kak Bara akan pulang ke orang tua kak Bara minggu depan."
"Apa karena aku?"
Bara diam menundukkan kepalanya. lalu mengangkat kepalanya tanpa mau melihat Jamilah.
Ada apa sebenarnya antara Jamilah dan Bara. Terlihat sekali kalau Bara menyembunyikan sesuatu. Tapi Ridwan tak mau mengorek itu terlalu jauh.
"Assalamualaikum, Paman."
"Wa alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh. Terima kasih nak, atas kunjungan dan oleh-olehnya."
Keduanya meninggalkan tempat itu menuju mobil yang terparkir.
"Kak Bara ...."
Bara tak menolah, terus melangkah pergi,
seolah-olah dia tak mendengarnya.
Tak lama kemudian dia sudah berada di dalam mobilnya. Berlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Setelah menghilang dari pandangan, Jamilah balik badan hendak menuju ke kamarnya. Tapi dicegah pamannya.
"Setyawati, kamu berhutang penjelasan sama paman."
"Ya Paman. Tadi Setyawati sudah merusak lab kak Bara. Tapi Setyawati tak sengaja paman."
"Lalu kakimu?"
"Jatuh dari pohon." jawab Jamilah dengan polosnya.
Sekali lagi paman Ridwan harus mengelus dada, menghadapi keponakannya yang bandelnya luar biasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
gia anggi🌷
di atas ada dach, skrg ada mach
apa arti nya ya?
2022-10-14
0
Ana Yulia
Semangat untuk karya barunya, semoga sukses 🤗
2021-09-03
0