Baru beberapa langkah kaki ini berjalan, aku mendengar sesuatu. Sepertinya dari laboratorium.
Taarrr ...
Suara gelas yang pecah.Aku menghentikan langkah kakiku, dan berbelok pada bangunan yang sesaat lalu aku tinggalkan.
Masya Allah ....
Apa yang terjadi?
Dimanakah buah sawo itu?
Yang kulihat kini hanyalah biji sawo yang berakar, mengait satu dengan lainnya membentuk sebuah pohon dengan cepat, akarnya menjalar kemana-mana hingga menyentuh gelas praktikum yang ada di sebelahnya. Dan pecah.
Sebelum semuanya menjadi liar, aku segera berlari meraihnya. Ingin membawanya keluar. Tapi ini sangat sulit. Akarnya menancap kuat di meja. Aku memindahkan peralatan praktikum dengan cepat. Harus berpacu dengan waktu, karena akar itu sangat cepat menjalar.
Kurasa aku kalah cepat. Tak ada jalan lain. Segera aku meraih pohon itu beserta mejanya sekalian.
Untung ada mang Maman.
"Den Bara!" dia terkejut dengan apa yang aku pegang. Diapun berlari menghampiriku. Yang sedang berjibaku melawan pohon sawo yang baru tumbuh.
"Tolongin, Mang."
Akhirnya bisa kita keluarkan. Tak sengaja salah satu akarnya menyentuh tanganku. Aku seperti tersengat listrik meski dengan daya kecil. Tapi mengapa kulit tanganku seperti tergores pisau, dan mengeluarkan darah.
"Den Bara. Tangan!!."
"Nggak apa-apa, Mang."
Kami mengangkat meja itu, yang terasa semakin berat. Karena pertumbuhan sawo itu semakin besar dan juga akarnya semakin banyak.
Aku tak bisa berpikir lagi, untuk menghentikan pertumbuhan pohon sawo ini. Apalagi sepertinya pohon ini bernyawa.
Saat sudah di tempat terbuka, dan sinar matahari mengenai pohon sawo secara langsung, aku perhatikan pertumbuhannya melambat. Dan semakin lambat saat sampai di taman kecil yang ada di depan labolatorium.
Dan dia benar-benar berhenti, manakala salah satu akarnya menyentuh tanah. Akar yang semula seperti akar serabut kita berubah bentuk menjadi akar tunggang. Semua akar mengikuti nya. Menyatu menuju arah yang sama ke dalam tanah.
Berlahan tapi pasti, pohon itu kini sudah menancap dan tumbuh dengan baik. Seperti pohon pada umumnya. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Yang lebih mengherankan lagi, terlihat buah kecil-kecil bermunculan di sela-sela daunnya. Dan mengembang sebagimana biasanya buah sawo pada umumnya. Sekarang pohon itu sudah benar-benar berhenti tumbuh. Kurasa ....
Dengan nafas tersengal dan tubuh yang lelah, aku beristirahat di sebuah bangku, yang ada di dekatnya.
Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi dengan tanaman itu. Ingin aku mencari tahu tapi sepertinya otak ini sulit berfikir.
Capek sekali menangani pohon ini. Moga-moga sudah benar-benar berhenti sampai di sini.
Belum juga diriku menikmati istirahat, mang Maman berteriak.
"Den ada apa api, di ruangan Aden."
Aku tersentak. Dan segera berlari menuju laboratorium. Di sana, mang Maman sedang sibuk memadamkan apinya yang mulai menjalar ke mana-mana.
Api itu membakar almari kecil kayu.Tempat aku menyimpan catatan-catatan hasil penelitian.
"Astaghfirullah Al adzim. Apa yang terjadi."
Terlihat mang Maman keluar. Lalu kembali dengan seember air.
"Sebentar, Mang. Jangan disiramkan dulu."
Secara tak sengaja aku melihat percikan api dari kabel yang terbuka. Kemungkinan besar karena tergores akar pohon sawo sesaat lalu.
Mana panel listrik?
Ah, ternyata dekat kepalaku. Segera kutarik tuas kecil, untuk mematikannya.
"Sudah, Mang."
Mang Maman pun segera menyiramkan air pada lemari yang terbakar. Aku pun membantunya, mengambilkan seember air lagi, menyiramnya kembali, hingga benar-benar padam.
Kini yang terlihat adalah ruangan yang berantakan. Pecahan tabung-tabung penelitian berserakan di lantai, lemari terbakar, berkas-berkas hasil penelitian, kini menjadi abu.
Bara sangat sedih. Beberapa kali dia mengambil nafas panjang. Dan mengeluarkannya dengan lirih mengucap istighfar.
Seandainya dia wanita, dia akan menangis. Tempat yang selama ini selalu dia jaga, kini tak ubahnya sebuah gudang yang sangat kotor dan berantakan.
"Mang, bantu aku membereskannya."
"Baik, Den."
Mang Maman dengan setia dan tanpa banyak kata membantu Bara membersihkan tempat itu.
Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan plastik, Bara mengais setiap benda-benda yang ada di sana, dengan hati-hati sekali. Mengingat di sana banyak cairan yang berbahaya.
Setelah membereskan dan merapikan barang-barang yang selamat. Dia membantu mang Maman mengelap dan mengepel ruangan itu dengan wajah tertunduk sedih.
"Kak Bara, apa yang terjadi?"
Kapan si biang kerok ini datang. Kenapa aku tak menyadari kehadirannya. Saat ini aku benar-benar lelah. Tak ingin diusik ...
Gadis kecil ini adalah sumber masalah yang dihadapinya saat ini. Seandainya gadis itu lebih bisa menahan diri. tentu hal ini tak terjadi.
Sesaat yang lalu, dirinya bisa memaklumi keingintahuan anak kecil seusia Jamilah. Tapi melihat laboratorium miliknya kini hancur, dia berubah pikiran, Ingin sekali dia marah, lalu menghukumnya atau entahlah. Tapi itu tak bisa dilakukannya, sebab dia masih anak-anak.
Bara membiarkan Jamilah berdiri tanpa berkata apa-apa, apalagi menoleh padanya. Membuat Jamilah sedih dan bingung. Tanpa disuruh, diapun ikut membantu membereskan ruangan itu. Dia mendekati Bara yang sedang mengelap meja porselen yang ada di pinggir ruangan.
"Kak Bara, jangan diamkan Jamilah. Jamilah nggak sengaja. Nggak tahu kalau akan seperti ini."
Bara tak bergeming. Dengan tertatih - tatih, Jamilah meneruskan membantu membereskan tempat itu.
Kini suasana hati Jamilah ikut kacau, apalagi dengan sikap Bara yang demikian. Sehingga tak menyadari tangannya menyentuh tabung berisi cairan bening. Dan posisi tabung itu kini miring. Hampir-hampir isinya tumpah.
Untung Bara melihatnya. Segera dia menggeser Jamilah, mencegah tabung itu jatuh, membuat Jamilah hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di dekatnya.
Bara tak hendak membantunya, bahkan dia merapikan tabungnya, tanpa mau melihat apalagi membantunya berdiri.
"Kak Bara ...."
"Sudah kamu tunggu di mobil saja jangan kemana-mana, nanti kakak antar." ucapnya dingin.
"Hiks ... hiks ... hiks ... aku minta maaf, Kak."
Jamilah tetap berdiri di samping Bara.
"Disuruh pergi, nggak pergi-pergi juga. Apa mau tempat ini semakin hancur, baru mau pergi."
"Hiks ... hiks ... hiks." Jamilah tak bergeming, dia ingin minta maaf.
Akhirnya mang Maman angkat bicara.
"Non, pergilah. Biarlah den Bara membersihkan tempat ini. Ayok, Mang Maman antar ke mobil." kata mang Maman lembut.
Dengan dibantu mang Maman, Jamilah kembali ke mobil menunggu Bara dengan sabar .
Saat Jamilah melangkah pergi, Pikirkan Bara bermonolog sendiri ....
Untuk kali ini, tak ada maaf bagimu. Karena dengan ini, cukup bagi papa untuk memasukkan diriku ke dunia militer. Karena aku telah gagal. Gagal membuktikan kalau aku bersungguh-sungguh dalam bidang ini.
Mengulang kembali, tak ada waktu.
Menyusun yang telah ada, tak mungkin. Karena sulit bagiku menyusun hasil penelitian tanpa adanya data-data yang benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kasian banget Bara..Ini semua ulahnya Ayu,kesel aku gak nisa diam tu bocah..
2024-06-12
0
Een Mely Santi
nama y jg Jamilah y Bader bngt apa g ada nama lain ky y g enak bngt d dengar y
2022-12-29
1
Elizabeth Zulfa
kasian bngt bara....
kejahilan Jamilah mmbawa petaka trnyata ..
2022-09-19
0