"Nggak apa-apa. Sudah pergilah. Nanti Umi jadi curiga. Kak Ayu pasti balik."
" Ya sudah, Kak. Kita pergi dulu."
"Ya*."
Bara mengernyitkan dahinya. Ini anak, banyak kali namanya. Pertama bilang Indah, lalu Jamilah, sekarang yang kudengar Ayu. Biasanya yang ku tahu, nama boleh panjang, tapi panggilan hanya satu. Lha ini ....
"Sebenarnya nama kamu siapa?" tanya Bara sambil melanjutkan membalut kaki Jamilah dengan perban.
"Hehehe ... Untuk kakak, Jamilah saja."
"Kok bisa?" tanyanya serius.
"Karena kakak spesial.
senyum-senyum.
"Gini lho kak, Nama asliku itu Jamilah. Nama panggilanku yang banyak, tergantung situasi dan kondisi. Seperti kayak gini, Kakakkan sudah nolongi aku, maka kuijinkan panggil namaku. JAMILAH. Kalau teman biasa panggil aku Indah. Kalau saudaraku di panti asuhan harus panggil Ayu. Kalau Papa, Setyowati."
"Pusing kakak dengar kamu ngoceh. Tapi okelah Jamilah, sudah enakkan?"
"Sudah. Makasih Kak. Tapi sepertinya agak ribet jalan."
"Sabar, nggak sampai seminggu. Biar tulang menetap dulu.'
"Lha aku jadi nggak bisa pulang dong. Nggak bisa panjat."
"Nanti kakak antar. Lagian gadis manis kayak kamu panjat-panjat. Nggak keren."
Manik hitamnya langsung melotot menatapku, tambah manis. Apalagi dengan pipinya yang tembeb berhiaskan lesung Pipit, tuambaah muaniis. Gemeees ....
Tak tahan dech. Tangan ini pegang pipinya.
"Hmmm ..."
"Kakak, sakit tahu." dia mengibaskan tangan Bara hingga terlepas. Meski cemberut tapi tak marah. Persis Aisye, adikku.
Bara memapah Jamilah menuju ke laboratorium. Cukup jauh juga jaraknya. Apalagi ditempuh dengan kaki yang sudah terbalut macam begini. Alamat berjalannya seperti siput. Lama dan panjaaang sekali. Aku lelah, sudah tak sabar ingin duduk.
Untung ada kakak bermata biru, yang mau menolongku. Hehehe ... Dia kakak yang kereeeen dan juga penyabar. Nyaman rasanya ada di dekatnya.
"Capek?"
"Dah tau capek, masih juga nanya?"jawab Jamilah bersungut-sungut, membuat bara tersenyum simpul.
"Whuaaaah ... masyaallah ... kakak punya lab.?" Kata pertama yang terucap dari bibir Jamilah begitu melihat bangunan besar di depannya.
"Tunggu di sini sebentar, jangan kemana-mana. Oke ..." Bara pergi entah kemana, meninggalkannya sendirian di sebuah bangku yang ada di depan labolatorium-nya. Membuat Jamilah jenuh dan bosan. Kemana sich Kak Bara, lama banget?
Pintu ini dalam keadaan terbuka. Bikin penasaran, kepo kali si Jamilah.
Meski tertatih, dia nekad memasuki ruangan itu. Di sana hanya menemukan peralatan lab. Biasalah, tabung-tabung, dan cairan-cairan. Bukan hal yang menarik baginya.
Dia melanjutkan langkahnya hingga menemukan ruangan kaca yang penuh dengan tanaman. Luar biasa kak Bara!!
Tanamannya subur-subur, meski pohonnya pendek tapi buahnya lebat sekali, sampai-sampai daunnya tak terlihat. Dia tergoda untuk memetik dan mencicipinya.
"Enak sekali duku ini. besar-besar, sebesar bola kasti, tak berbiji lagi. Satu sudah cukup dech."
Lalu pandangannya tertuju pada satu tempat yang bertanda tengkorak yang di silang. Di sana terdapat pohon sawo, cabe, lalu anggur. Bukankah itu buah yang layak dan boleh dimakan, kok diberi gambar itu. Apanya yang berbahaya? Bikin penasaran saja.
Jamilah berjalan tertatih-tatih menuju ruangan itu. Tempatnya agak terpisah dan tersembunyi. Cukup bikin kaki ngilu. Tapi namanya juga Jamilah, ditempuh juga. Senyum kepuasan terukir di bibirnya, saat dirinya sudah di ruangan yang sangat teduh itu.
Kira-kira mana yang sedikit mengandung bahaya. Cabe, anggur, atau sawo.
Cabenya unik, lonjong ujungnya runcing persis peluru. Senyum jahilnya tiba-tiba menghias bibirnya. Petik saja, oke. Belum juga tangannya menyentuh, pikirkan lain menyadarkannya.Tapi untuk apa, nggak bisa langsung dimakan. Harus pakai makanan pendamping. Kalau ada tahu goreng, itu baru baru cocok. Tinggalkan, tak masuk kriteria, untuk dipetik.
Anggur!!
Itu tak mungkin. Meski terlihat menggoda, tapi tanganku nggak bisa menggapainya, apalagi memetiknya. Kakiku lagi diperban, nggak bisa sembarangan digerakkan. Ini merepotkan. Tak masuk kriteria lagi ....
Tinggal satu, yaitu sawo. Itu sawo buahnya kok besar-besar amat. Sebesar gelas air mineral. Wah, besar sekali. Kalau aku makan pasti menyegarkan dan mengenyangkan. Hehehe.... selain itu, pohonnya pendek, aku bisa memetiknya, dan paling unik. Nach ini saja yang aku petik.
Sementara itu, Bara yang sedang membantu Mang Maman memetik buah-buahan, untuk dibawa ke Panti Asuhan sebagai oleh-oleh, kini sudah selesai. Dia kembali ke tempat dimana Jamilah, dia tinggalkan.
Tapi agak was-was, sewaktu tak menemukan gadis kecil itu di tempatnya.
Jangan-jangan ....
Dirinya lupa kalau meninggalkan labolatorium dalam keadaan terbuka. Tak mau ambil resiko, Bara segera masuk dan langsung ke rumah kaca.
Nach benarkan.
Semoga dia belum memetik apapun. Itu penelitian aku yang baru, bisa gagal kalau sampai dia otak-atik tanamanku yang itu.
Dengan langkah lebar, dia menuju ke ruangan tanaman khususnya. Dia mendapati tangan Jamilah sedang berusaha melepas buah sawo dari pohonnya.
"Astaghfirullah ... Jamilah. Jangan!!"
Tapi tangan Jamilah telah memetik sawo dengan sempurna. Diapun terkejut. Lalu melepaskan buah itu begitu saja. Dengan sigap Bara menangkap buah yang terlepas dari tangan Jamilah. Alhamdulillah berhasil ketangkap.
Tapi yang membuat keduanya terkejut. Buah itu mengkerut dengan cepat, hingga bentuknya seperti granat.
"Subhanallah ... aku tak mengira seperti ini."
Bara masih fokus dengan sawo yang ada ditangannya. Tampak raut kekecewaan di wajahnya. Membuat Jamilah merasa bersalah.
"Maafkan Jamilah, Kak."
Tapi Bara diam, tak juga menjawab ataupun menganggukkan kepala. Dia semakin merasa berdosa. Satu dua tiga menit, sunyi tanpa suara.
Jamilah sedih, menundukkan kepala. Raut wajahnya terlihatsangat menyesal. Membuat Bara tak tega. Sebagai anak-anak rasa ingin tahunya sangat tinggi. Tapi kalau mengorbankan penelitiannya selama ini, rasanya dia belum rela.
"Sudah, ayo kakak antar kamu pulang. Nanti kamu dicari sama bapak ibu pengasuh."
"Maafkan aku, Kak."
"Iya, Ayo."Bara segera melangkah keluar. Diikuti Jamilah yang berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Agak tertinggal jauh darinya.
Setelah meletakkan benda itu, Bara menghampiri Jamilah membantunya berjalan. Meskipun saat ini Bara benar-benar kesal, sedih, penelitiannya terancam gagal. Tapi dirinya tak tega melihat Jamilah yang berjalan tertatih-tatih di belakangnya.
"Sudah, kamu kakak gendong saja, biar cepat."
Tanpa menunggu persetujuan Jamilah, Bara meraih tubuh kecil itu dalam gendongannya. Jamilah diam tanpa suara. Rasa bersalah masih tetap menyelimuti perasaannya. Hingga dia terisak-isak dalam gendongan Bara.
"Kenapa nangis."
"Aku telah merusak pekerjaan kakak."
"Sudahlah, nanti kakak akan mulai dari awal lagi atau mungkin itu sebuah petunjuk hasil dari penelitian kakak. Sudah jangan menangis."
Jamilah masih juga terisak hingga sampai di mobil Bara.
"Kamu hapus air matamu. Nanti dikira aku ngapa-ngapain kamu sama paman dan bibiku." sambil memberikan tissu.
"Ini!"
"Terima kasih, Kak."
Melihat banyak buah dibelakangnya yang besar-besar, timbul ide dalam diri Jamilah.
"Kakak bolehkah aku minta benihnya agar tak mencuri lagi di kebun kakak."
"Ide bagus, sebentar kakak ambilkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Sukhana Lestari
semangat terus ya Thor...
the best
2022-02-10
1
Rosni Lim
Semangat boom like
2021-12-27
0
نور✨
ceritanya bagus seru👍👍👍.... semangat up nya 💪💪💪
2021-09-03
1