1-1

CIITT!

Sebuah sepeda Cross Country dengan Full Suspension berwarna merah berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua dengan konsep minimalis dilengkapi taman penuh bunga dan hanya dibatasi oleh pagar kecil berbahan stainless steel warna hitam sebagai tanda pemisah dari rumah yang berada disebelahnya. Pemilik sepeda itu tak lain adalah Junna, gadis berusia tujuh belas tahun yang saat ini sedang duduk di bangku kelas XII di SMA Perguruan TA, sebuah SMA Swasta elit yang terkenal di salah sudut Jakarta. Dengan seragam kemeja biru muda lengan pendek berlogo lambang sekolahnya dikantong saku dada kirinya, dasi berbentuk kupu-kupu berwarna merah polos sangat serasi dengan rok kotak-kotak perpaduan merah dan biru dan kaus kaki biru tua sebetis serta sepatu pantofel hitamnya membuatnya nampak manis. Peluh didahinya menunjukkan bahwa ia baru saja berjuang sekuat tenaga menempuh jarak yang cukup jauh dari sekolah menuju rumahnya. Tak seperti biasanya, ia yang selalu langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa memperdulikan lingkungan sekitar, saat ini justru terpaku memperhatikan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya.

Lho, sejak kapan rumah disebelah diisi orang? Tapi baguslah, setidaknya rumah hantunya berkurang satu lagi! Gumam Junna. Bola matanya mengikuti gerak-gerik beberapa kurir yang sibuk memindahkan barang-barang dari dalam mobil wingbox besar yang terparkir didepan rumah tersebut dan membawanya ke dalam rumah tersebut.

Komplek perumahan tempat Junna sangatlah sepi. Bagaimana tidak, mengingat betapa jauhnya jarak antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan cluster masing-masing rumah memiliki luas tanah yang cukup besar yaitu 700 meter dengan luas bangunan kurang lebih 500 meter. Jumlah blok masing-masing tipe rumah pun sangat terbatas yaitu hanya terdapat empat bangunan rumah yang terpisah oleh jalan raya komplek dan jarang terlihat lalu-lalang orang sehingga membuat perumahan tersebut mendapat julukan komplek perumahan hantu. Padahal komplek tersebut merupakan salah satu komplek perumahan mewah dengan standar keamanan nomor wahid dikelasnya. Sungguh wajar Junna terheran-heran mengapa ada orang yang memilih tinggal tepat disebelah kanan rumahnya yang notabennya merupakan cluster paling belakang dari pintu masuk perumahan, sementara masih banyak pilihan rumah kosong yang dapat dibeli dan ditinggali dengan lokasi yang lebih dekat dengan pintu gerbang masuk perumahan.

"Eh, anak Mama sudah pulang," Suara Nadia, sang Mama gadis manis itu membuyarkan pikiran-pikiran tak berujung nyata yang merasuk di otak anak gadisnya.

"Ma, ada tetangga baru ya?" Tanya Junna sambil menuntun sepeda kesayangannya yang merupakan hadiah ulang tahun keenam belas dari Papanya memasuki garasi rumahnya.

"Iya, orangnya ganteng lho, mirip artis!" Ujar Nadia berceloteh. "Mungkin sepantaran sama kamu. Yah, lebih tua sedikit sih."

"Enggak tertarik sama sekali! Aku kan sudah punya Ega, jadi nggak ada waktu untuk ngelirik cowok lain!" Jawab Junna pendek dan cuek. Ia segera masuk ke dalam rumah dan merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwarna krem yang berada di ruang tamu. "Duh, capeknya, jika diibaratkan kompor minyak tanah, otakku hari ini bukan hanya berapi namun juga berasap setelah ulangan seharian tadi," Sesekali ia memijit dahinya mengurangi kerutan stres yang dialaminya.

"Tapi bisa dikerjakan dengan baik kan?"

"Tentu saja!" Ujar Junna mantap dan percaya diri. "Tidak akan mengecewakan Papa dan Mama deh pokoknya."

"Junna, hari ini Mama masak scotel kentang keju dan sop kacang merah kesukaanmu lho."

Nadia berjalan ke dapur dan kembali sibuk berkutat dengan masakan yang sedang dibuatnya. Tak Lupa Bi Imah, asisten rumah tangganya membantu.

"Oh ya? Asyik!!" Junna dengan penuh semangat berdiri dari duduknya dan berjalan menuju meja makan yang letaknya berdekatan dengan dapur. "Kebetulan perutku sudah konser dari tadi minta diisi. Mending konsernya bagus, orang bunyinya KRUYUUK-KRUYUUK gitu Ma, hehehe."

"Dasar anak Mama yang satu ini manjanya minta ampun," Nadia tersenyum dan membawa masakannya ke meja makan. "Bagaimana kalau kamu jadi kakak nanti?"

"Ya, otomatis jadi nggak manja lagi dong Ma," Junna menghampiri Mamanya yang sedang hamil besar 8 bulan. Ia mengusap-usap perut Mamanya yang membesar. "Dek, nanti kalau kamu lahir, aku pasti jadi kakak yang baik buatmu!" Ujarnya penuh semangat.

"Junna, nanti kalau sudah selesai makan, Mama minta  tolong untuk mengantarkan makanan ini kesebelah ya," Nadia meletakkan dua kotak makan berbahan plastik dengan kualitas tinggi berisi scotel kentang keju dan sop kacang merah.

"HUUK! Uhuk-uhuk!" Junna yang sedang asyik mengunyah makanan di dalam mulutnya mendadak tersedak setelah mendengar permintaan Mamanya. Ia segera mengambil gelas berisi air mineral yang berada disebelahnya dan segera meminumnya. "Kesebelah?! Maksud Mama ke tetangga baru itu Ma?"

"Ya iya dong sayang, memangnya tetangga kita siapa lagi? Perumahan ini kan penghuninya jaraknya jauh-jauh, hanya kita dan tetangga baru itu yang dekat, kasihan dia tinggal sendirian," Nadia berkata dengan nada suara tenang dan datar. "Kamukan tahu kalau Papamu yang agak anti sosial itu adalah penyebab kita tinggal di tempat yang agak terpelosok seperti ini. Tapi bukan berarti kita juga ikut-ikutan anti sosial kan? Lagi pula tidak salah juga kok kita tinggal disini karena lingkungannya masih sepi dan aman, udaranya juga bagus buat kesehatan."

"Iya, karena terlalu terpelosok, aku jadi terpaksa ke sekolah naik sepeda dan menempuh jarak 5 km hingga betisku besar kayak talas bogor!" Ujar Junna seenaknya.

"Eh ini anak...," Belum selesai Nadia mengomel, Junna telah mengambil langkah seribu keluar dari rumah sambil membawa dua kotak makanan pesanan Mamanya untuk tetangga barunya.

"Fiiuuuh, hampir saja kena semprot Mama," Junna yang berhasil keluar rumah menghela napas sambil mengusap keringatnya dengan telapak tangannya. Setelah mengatur irama napasnya yang sempat tidak beraturan menjadi normal kembali, ia segera melesat ke rumah tetangga barunya.

TING-TONG! TING-TONG!

Junna menekan tombol bel yang tepat terpasang di sebelah pintu rumah.

"Iya sebentar!" Teriak orang dari dalam rumah tersebut.

Hmmm, kira-kira tetangga baruku kayak apa ya? Cowok ya? Katanya umurnya nggak jauh beda sama aku walaupun lebih tua sedikit... Dan kata Mama orangnya ganteng. Lumayan juga kali ya bisa digebet?! Hush! Ngaco! Memangnya si Ega mau aku kemanakan? Tapi ngomong-ngomong lama amat sih orang didalam membukakan pintunya? Aku kan capek nunggunya, duh, malah aku masih lapar lagi, tadi kan belum selesai makannya. Keluh Junna sambil mengerucutkan bibirnya kesal.

TING-TONG! TING-TONG!

Sang gadis yang merasa tidak ditanggapi mulai kehabisan sabarnya. Ia pun kembali menekan bel beberapa kali.

"Iya sebentar," Kali ini sang pemilik rumah benar-benar keluar dari dalam rumah. Ketika pintu dibuka, Junna yang super cerewet dan sok supel mulai memasang aksinya untuk menyapa tetangga barunya itu.

"Halo tetangga baru, hari ini Mamaku masak scotel kentang keju dan sop kacang merah, jadi Mama menyuruhku mengantar ini untukmu sebagai salam perkenalan dari kami," Tanpa titik dan koma yang jelas, Junna yang begitu bersemangat tak menyadari bahwa ia berbicara bak kereta express yang tidak pernah berhenti kecuali dibeberapa stasiun tertentu. Terlihat bahwa ia berusaha mengakrabkan diri. Sebenarnya tindakan itu dapat dimaklumi karena ia yang sudah lama tidak memiliki tetangga akhirnya dapat memilikinya. Ia tak hanya sibuk berbicara tanpa memberikan sang tetangga baru kesempatan untuk memulai pembicaraan namun juga kurang memperhatikan secara detail siapa lelaki tetangga barunya itu. "Mamaku bilang kamu tinggal sendirian jadi Mamaku tidak tega sama kamu. Dimakan ya, masakan Mamaku enak lho."

"Oh, eh, terima kasih," Si pemilik rumah itu menerima kotak berisi makanan yang dibawa Junna dengan sedikit ragu-ragu.

"Sama-sama," Junna kemudian tersadar dan mulai memperhatikan detail lelaki yang sejak tadi diajak berbicara secara sepihak olehnya. Ketika ia benar-benar tersadar, Junna mendadak mematung. Tata cara bicaranya yang semula sangat cepat mendadak berubah drastis menjadi terbata-bata bak anak TK yang baru belajar mengeja.

"Eng...,ka...yak...nya...aku...ha...rus...pu...lang...se...ka...rang...deh...," Junna segera membalikkan tubuhnya dan membelakangi lelaki itu. Ia berjalan secepat mungkin meninggalkan rumah berpenghuni baru itu. Sepertinya ia mengenal betul siapa orang yang menjadi 'TETANGGA' barunya itu...

"Mampus gue! Ketahuan dong siapa gue," Lelaki itu memukul kepalanya sendiri dengan tangan kanannya. "Sial! Susah kan harus mencari tempat yang strategis seperti ini, masak harus pindah lagi?" Keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya.

Sementara itu Junna yang sangat panik, segera berlari masuk ke dalam rumahnya dan tanpa sadar membanting pintu dengan keras.

BLAM!

"Junna, pintu itu jangan dibanting gitu dong sayang," Nadia yang sedang asyik membaca majalah sambil mendengarkan musik klasik di ruang tengah tergelitik berkomentar. "Kasihan pintunya setiap kamu kesal atau marah pasti kebagian imbasnya kamu banting terus, gimana tetangga barunya? Benar kan kata Mama tetangga baru kita kayak artis?"

"Aduh Mama, bukan kayak artis lagi, tapi dia memang beneran artis Ma!!!" Junna yang sejak pulang dari rumah tetangga barunya masih menahan gejolak emosinya, tanpa sadar meledak ketika sang Mama bertanya tentang objek yang berhasil membuatnya emosi. Ia pun telah melupakan perutnya yang masih lapar tadi.

"Lho, malah bagus kan kalau jadi tetangga, oh bukan, teman barumu itu artis, berarti kalau mau minta tanda tangan tinggal jalan dong kesebelah," Nadia yang tidak tahu menahu alasan Junna mendadak emosi masih saja dengan santainya berbicara sambil membolak-balik halaman majalah yang dibacanya.

"Bagus gimana sih Ma?! Dia itu Rhine! Penyanyi terkenal yang narsis-nya minta ampun deh Ma! Oh my God... kemarin aku mimpi apa sih sampai bisa punya tetangga si Rhine itu?!" Ujar Junna frustasi.

"Kok kamu malah stres gitu sih?" Nadia yang melihat putrinya tampak stres mengernyitkan dahinya dengan tatapan heran.

"Mamaku yang tercinta, masalahnya makhluk itu..."

"Manusia Junna," Ralat Nadia untuk memperbaiki tata kata anak gadisnya itu. Ia tak ingin anaknya lupa akan tata krama ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.

"Iya apalah itu namanya Ma, pokoknya aku nggak suka kalau dia jadi tetangga kita!"

"Sudahlah sayang, lebih baik kamu simpan tenagamu untuk belajar karena Mama yakin di dalam tasmu yang diletakkan di sofa terdapat banyak PR yang harus kamu selesaikan, iya kan?" Nadia tersenyum menunjuk kearah tas punggung berwarna ungu magenta milik Junna. Ia berusaha meredam emosi anaknya itu dengan mengalihkan topik pembicaraan. "Lagian memangnya kamu betah ya, pakai seragam yang bau keringat dan matahari? Ooo, Mama tahu, kamu buru-buru balik ke rumah karena ketahuan bau ya?"

"Ukh," Junna menggerutu kesal karena kalah telak dalam beragumen dengan Mamanya dan ia juga tak mau dicap sebagai anak durhaka karena berbicara kurang sopan. "Iya-iya, aku tahu!"

Dengan berat hati Junna mengambil tas miliknya dan segera menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, yang ia lakukan hanyalah mengeluh dalam hati.

Kenapa sih harus dia yang jadi tetanggaku??? Ya Tuhan, Engkau sedang tidak menguji hamba-Mu yang lemah ini kan...

***

Terpopuler

Comments

Meknong Rustiani

Meknong Rustiani

x

2020-12-23

0

Alya Putri

Alya Putri

o Dum lk

2020-12-23

0

AngghyShifah_chy

AngghyShifah_chy

ngomong2 Junna sama mamanya itu keluarga yg hangat yah,keinget sama mama
oh iya happy mothers day yah mom,juga buat para ibu diluar sana😍😍😍😍luvvvvvv😘😘😘

2020-12-22

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!