Mansoor menutup laptop di hadapannya dan hendak beranjak pergi pulang ke rumahnya. Ia berjalan keluar dan menuju lorong panjang yang menghubungkannya dengan lift. Dan tentu saja ia tidak berjalan seorang diri, ada Ali dan Badar yang mendampinginya. Protokol minimal yang diberikan khusus untuk para anak Emir Dubai. Ia bersyukur bukanlah anak yang mewarisi status putra mahkota seperti kakak lelakinya, Ahmed. Sehingga jumlah penjaganya tak sebanyak kakaknya itu dan lebih leluasa kemanapun ia pergi.
Sambil berjalan pulang, ia mengecek kehadiran setiap dokter dan perawat jaga. Seperti mendapatkan kejutan menyenangkan, ia mendapati Mundika yang sedang terkantuk-kantuk sendirian menjadi dokter jaga di lantai 5 rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul 23.30 malam. Entah mengapa ia rindu ekspresi menyenangkan dan tindakan diluar normal kebanyakan Emirati wanita yang hanya ditunjukkan oleh Mundika. Padahal jika dipikir-pikir ia jarang bertemu dengan gadis itu. Tapi aura yang terpancar dari gadis itu seolah menghipnotis bibirnya untuk tersenyum.
"Sheikh," Sebelum Ali melanjutkan ucapannya, tangan kanan Mansoor menghalangi tubuh kekar salah satu penjaganya itu untuk tidak membangunkan Mundika yang duduk di ruang jaga sambil setengah tertidur.
"Ali, Badar, aku minta tolong dibelikan dua gelas cappucino panas ukuran medium dan dua bungkus shawarma yang dijual tidak jauh dari rumah sakit."
Ali dan Badar tampak bingung dengan tuannya yang tiba-tiba memberikan instruksi untuk membeli makanan dan minuman saling bertatapan kemudian undur diri segera untuk memenuhi permintaan Tuannya itu.
"Baik Sheikh," Ujar Ali dan Badar bersamaan.
Setelah ditinggal dua punggawanya, kini hanya tertinggal Mansoor dan Mundika, lelaki itu duduk berhadapan dengan Mundika dan hanya sebuah meja panjang berbentuk segi empat panjang sambil memperhatikan ekspresi tidur Mundika yang terkantuk-kantuk tak biasa. Ia seperti menemukan sesuatu yang berbeda di dalam hidupnya. Ada dorongan kuat untuk mengenal lebih jauh gadis ini. Ia pun mengambil smartphone miliknya dan mulai merekam tingkah gadis tersebut. Ia tahu bahwa perbuatannya saat ini tidak sopan. Tapi apa daya, hatinya meminta.
"Ini Sheikh," Dalam sekian menit Hasyim dan Adnan membawakan pesanan Mansoor. Tentunya dengan tambahan untuk mereka.
"Terima kasih," Mansoor menerima pesanan yang dia minta dan entah kejahilan yang datang dari mana ia sengaja meletakkan cappucino panas dihadapan Mundika sehingga mengejutkan sang gadis yang sedang tertidur.
PRAK!
"Iya Pak, saya pesan shawarma-nya dua bungkus!" Teriak Mundika yang tersadar dari tidur ayamnya. "Eh?"
"Pufhh, hahahaha," Tak pelak Mansoor tertawa geli melihat ekspresi Mundika yang masih mengigau setengah sadar. "Iya, ini pesananmu, dua bungkus shawarma." Ia menyodorkan bungkusan makanan yang persis sama dengan igauan Mundika seolah hati mereka tersinkronisasi rasa.
"Sheikh Mansoor?!" Mundika yang telah sadar dari peraduannya mendadak panik ketika melihat lelaki yang sungguh tidak ia harapkan kehadirannya kini duduk dihadapannya. Sejak insiden konyol lalu, ia telah sekuat tenaga menghindar dari lelaki tersebut dan sejauh ini berhasil dengan lancar karena memiliki firasat bahwa ia akan selalu bertingkah konyol dihadapan lelaki tersebut seolah tembok tak kasat mata yang bernama keprofesionalan runtuh tanpa daya. Rupanya logikanya sebagai manusia kalah dengan logika Yang Mahakuasa sehingga mau tidak mau ia harus berurusan lagi dengan salah satu anak dari Emir Dubai tersebut. "Oh tidak, saya pasti terlihat konyol lagi di hadapan anda," Ia pun menutup wajahnya dengan kesepuluh jari tangannya.
"Hei, mengapa kau berpikir seperti itu?" Tanya Mansoor yang saat ini berusaha untuk mengendalikan tawanya.
"Karena untuk kesekian kalinya saya tidak pernah bisa bersikap profesional sebagai bawahan ke atasannya kepada anda," Mundika terkejut dengan apa yang diucapkannya sama persis dengan apa yang ada di dalam perasaannya.
"Apakah kau tidak menyukai pertemuan denganku?" Entah mengapa ada sesuatu yang tercubit sakit di dalam dadanya.
"Bukan seperti itu hanya saja...," Belum selesai Mundika berucap, Mansoor telah beranjak dari duduknya.
"Padahal aku ingin mengajakmu berbincang-bincang lebih lama, tapi sepertinya kau sangat sibuk dengan tugas jagamu," Mansoor tampak sedikit kecewa dengan penolakan halus dari Mundika. "Aku membelikanmu shawarma dan segelas cappucino panas. Semoga mereka dapat menemani tugasmu, selamat malam."
"Selamat malam," Balas Mundika. Aku salah apalagi kali ini pada lelaki ini? Keluh Mundika dalam hati sambil membuka bungkusan shawarma yang disodorkan Mansoor padanya. Ketika ia hendak mengucapkan terima kasih, Mansoor dan kedua pengawalnya sudah menghilang dari hadapannya. Ia merasa tidak enak hati dan akan mengucapkan rasa terima kasihnya jika bertemu kembali dengan lelaki itu.
"Badar," Ekspresi wajah Mansoor kembali berubah menjadi serius setelah meninggalkan Mundika sendirian di ruang jaga lantai 5.
"Iya Sheikh," Jawab Badar.
"Aku minta tolong untuk mengagendakan waktuku bertemu dengan Majid bin Dalmouk. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya."
"Baik Sheikh."
***
Majid mengelus-elus burung elang yang bertengger di tangan kirinya dengan beralaskan bahan khusus untuk tempat kaki bercakar elang menancam kuat dan kokoh. Di UEA, ada kebiasaan atau hobi dari para lelaki di sana memelihara elang untuk berburu burung yang lebih kecil. Ia tampak begitu menyayangi elang putih kesayangannya itu.
"Majid, apakah kau punya adik perempuan bernama Mundika?" Tanya Mansoor yang sibuk dengan memberi makan anak-anak elang peliharaannya di dalam kandang khusus anak-anak elang.
"Ada apa gerangan kau menanyakan tentangnya?" Majid mengangkat sebelah alisnya. "Benar, aku memiliki adik beda ibu yang bernama Mundika. Dari namanya saja sudah menunjukkan perbedaan kan?"
"Tidak kenapa-kenapa, hanya ingin bertanya saja," Mansoor tetap memunggungi Majid.
"Kau adalah orang kesekian yang menanyakan hal seperti ini padaku Mansoor," Majid menjawab sambil menunggu respon dari Mansoor. Lelaki yang terkenal dingin dan irit senyum itu adalah sahabatnya ketika mengambil pendidikan di Sandurst, Inggris. Pasti ada sesuatu hal penting dan krusial mengapa ia diajak bertemu ditempat ini.
"Oh ya?" Mansoor berpura-pura tenang. Padahal dalam hatinya ia terkejut. Ternyata banyak lelaki yang menanyakan tentang gadis itu. "Lantas kenapa adikmu itu masih sendiri?" Lanjutnya penasaran. Wajar saja jika Mundika menarik perhatian banyak lelaki. Gadis itu unik dan berbeda seperti yang diucapkan oleh Majid karena ia sendiripun merasakannya.
"Aku tanya dulu apa alasanmu menanyakan pertanyaan tadi? Baru aku bisa menjawabnya." Majid yang cukup gregetan karena sahabatnya masih bisa tenang akhirnya meletakkan elang putihnya di sangkarnya.
"Jika aku bilang bahwa aku tertarik pada adikmu itu apakah kau akan menjelaskannya?" Akhirnya Mansoor menoleh ke arah Majid dan menghampiri serta duduk disebelahnya.
Sudah ia duga! Batin Majid. Selama ini banyak lelaki mundur untuk memperjuangkan Mundika karena ulah kedua adiknya, Maitha dan Haya. Bukan karena mereka berdua tidak terima jika Mundika melangkahi mereka melainkan mereka masih tidak dapat menerima kehadiran bahwa Mundika adalah adik mereka yang lahir dari ibu yang seolah merebut cinta ayahnya dengan mengatakan bahwa Mundika lahir dengan ibu yang bukan emirati asli. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia sebagai kakak tertua hanya bisa menghela napas panjang melihat kelakuan mereka. Bagaimana mereka bisa mendapat jodoh jika menghalangi jodoh adiknya sendiri? Keluhnya.
"Pikirkanlah lagi niatmu itu Mansoor," Ujar Majid. "Kau adalah anak dari Emir Dubai, apa jadinya jika kau beristrikan perempuan yang setengah emirati seperti adikku sedangkan banyak lelaki emirati yang hendak mengajukan lamaran kepadanya mundur teratur setelah mengetahui latar belakang ibunya."
"Memangnya kenapa dengan setengah emirati? Toh secara legalitimasi adikmu tetaplah emirati dan putri dari Dalmouk Al Hassimi," Mansoor menjawab dengan teguh. "Aku bukanlah seperti kakak lelakiku, Ahmed yang demi menjaga tongkat estafet kepemimpinan dari Ayahku harus menikahi emirati murni yang ada di dalam keluarga besar kami."
"Aku tak tahu dari mana kau kenal adikku, namun pikirkanlah dulu matang-matang niatmu itu Mansoor," Majid menghela napas panjang. "Aku adalah orang pertama yang ingin adikku itu berbahagia setelah apa yang selama ini ia rasakan dan alami. Jika kau ingin bertanya apakah adikku itu gadis berkepribadian baik? Akan aku jawab ia adalah gadis yang berkepribadian baik luar dan dalam melebihi anggota keluarga kami lainnya. Jika kau ingin bertanya apakah adikku itu memiliki tata krama yang baik, aku akan menjawabnya bahwa ia jauh memiliki tata krama yang baik dibandingkan kami semua karena didikan Ibunya yang berasal dari Jawa, salah satu suku di Indonesia yang menjunjung tinggi tata krama melebihi bangsawan disini. Jadi kumohon Mansoor, jika kau tak sanggup menjadi pelindungnya, walaupun kau anak Emir sekalipun aku akan memintamu mundur dengan hormat."
***
Mansoor termangu di beranda rumahnya. Banyak hal berkelibat di kepalanya setelah mendengarkan seluruh kisah tentang Mundika. Namun entah mengapa hati kecilnya berkata bahwa ia harus bersama Mundika. Padahal setiap kali ia bertemu dengan berbagai perempuan, tak satupun dari mereka menggetarkan hatinya. Ada apa dengan ini semua? Apakah ia sudah jatuh cinta pada gadis itu? Mengingat pertemuan pertama mereka membuatnya tertawa. Gadis itu sungguh lucu apa adanya. Begitu ekspresif mengungkapkan rasanya.
"Ada apa gerangan dengan putraku yang satu ini?" Tiba-tiba Maktoum, Ayah dari Mansoor datang dan bersandar duduk disebelah anak lelakinya itu.
"Baba, Baba ingin aku menikah kan?" Maktoum terkejut dengan ucapan anak lelakinya itu. Diusianya yang ke-31, hanya anaknya satu ini yang agak susah diyakinkan untuk menikah sementara anak lelakinya yang sudah cukup umur lainnya telah melepas masa lajang mereka.
"Tentu saja anakku, apakah kau sudah memiliki seseorang yang ingin kau lamar?"
"Ada, salah satu putri dari Dalmouk bin Al Hassimi," Jawab Mansoor mantap.
Kedua mata Maktoum berbinar-binar mendengar nama Damouk bin Al Hassimi. Sejak dulu dirinya memang berkeinginan untuk berbesanan dengan salah satu putri Dalmouk bin Al Hassimi. Lelaki itu adalah salah satu orang berpengaruh dalam hal bisnis di kotanya. Alangkah beruntungnya jika ia bisa mendapatkan salah satu putri darinya sebagai menantu.
"Siapakah nama putri dari Dalmouk bin Al Hassimi yang telah menarik perhatianmu anakku?"
"Mundika," Mansoor menatap lekat kearah Ayahnya. "Mundika binti Dalmouk namanya, putri dari istri kedua beliau."
"Eh?" Maktoum terkejut dengan nama gadis yang disampaikan Mansoor. Bagaimana bisa takdir begitu mempermainkannya?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments