"Sebenarnya ada apa denganmu hari ini Dokter Mundika?" Setelah rapat penting pagi yang cukup menghebohkan karena ulah gadis di hadapannya ini, akhirnya Hakeem meminta Mundika menghadap kepadanya di ruangannya. Ia sungguh merasa tidak enak dengan Mansoor bin Maktoum karena hari ini adalah hari pelantikannya sebagai penanggung jawab rumah sakit menggantikan kakaknya, Ahmed bin Maktoum sang Putra Mahkota Dubai. "Jika seperti ini bagaimana kau bisa menyelamatkan nyawa orang lain?"
"Mohon maaf Dokter Kepala, saya akui keteledoran ini salah saya sepenuhnya," Mundika yang juga bingung mengapa tingkat error dirinya hari ini cukup parah hanya bisa pasrah dimarahi oleh Hakeem. Ini sudah dua hari berturut-turut ia bisa melakukan kesalahan dan selalu berhubungan dengan lelaki yang tak ia sangka adalah salah satu anak dari Emir Dubai. Bahkan lelaki tersebut akan menjadi penanggung jawab komplek rumah sakit terbesar di Dubai ini. Ia harus bisa membunuh egonya dengan memohon maaf atas perbuatan dan sikap konyol yang telah dilakukannya kepada lelaki itu. Bukan karena ia takut kehilangan pekerjaannya disini namun karena ia tak ingin nama keluarganya tercemar. "Saya akan menghampiri beliau dan meminta maaf atas ketidaksopanan saya tadi."
Mundika undur diri dari ruangan Hakeem setelah diinfokan bahwa Mansoor saat ini berada di S Coffee Cafe yang ada di rumah sakit. Ia segera melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut. Terlebih lagi ia memang membutuhkan asupan racikan biji kopi dan susu guna membuatnya lebih bertenaga dan konsentrasi. Ia sebenarnya kurang menyukai kopi murni, namun jika dicampur dengan susu dan sedikit gula serta sentuhan magic dari tangan sang barista maka akan menjadi perpaduan yang sempurna untuknya.
***
Mansoor berjalan cepat bersama tiga anggota tim yang selalu mendampinginya. Ia memasuki S Coffee Cafe untuk memesan kopi favoritnya, cappucino. Setelah pesanannya datang, ia memilih duduk di pojokan dimana ia dapat melihat orang berlalu lalang sambil mengingat-ingat kejadian di ruang rapat tadi. Entah musibah atau anugerah, ia bisa bertemu gadis itu lagi. Melihat ekspresi gadis itu ia pun tertawa geli. Rupanya pertemuan mereka kemarin benar hanya kesalahpahaman saja. Dan lucunya, gadis itu melakukan hal konyol lagi dengan tertangkap oleh Kepala Dokter di rumah sakit sedang melamun pada saat serah terima tanggung jawab rumah sakit kepada dirinya. Di saat ia sedang menikmati kopinya, tiba-tiba terdengar sedikit keributan antara anggota timnya yang berusaha menahan seseorang yang hendak menghampirinya. Ia paham bahwa keselamatan dan keamanannya sangat penting sehingga tidak sembarangan orang bisa berdekatan atau menghampirinya.
"Biarkan dia menghampiriku, Badar," Ujar Mansoor mengakhiri keributan.
"Tapi Sheikh," Badar, salah satu penjaganya masih sedikit keberatan mengingat beberapa bulan yang lalu ada fans yang cukup agresif menghampiri tuannya itu.
"Tidak apa-apa," Ujar Mansoor tersenyum tipis.
"Terima kasih atas kebijaksanaannya Sheikh Mansoor," Mundika menundukkan tubuhnya. "Mohon maaf jika mengganggu waktu anda."
Hei, gadis ini lagi? Ada apa gerangan? Dirinya seperti mendapatkan jackpot bertemu dengannya berkali-kali. Mansoor tersenyum dalam hati. Ini sudah pasti bukan kebetulan belaka.
"Silahkan duduk," Mansoor yang memperhatikan Mundika tidak kunjung duduk akhirnya mempersilahkan sang gadis untuk duduk dihadapannya.
"Terima kasih, namun mohon maaf izinkan saya untuk sejenak meminum minuman saya," Mundika segera menegak caramel macchiato ice ukuran venti pesanannya. Ia butuh kesadaran penuh karena tak mau kali ini menimbulkan masalah yang akan membuatnya semakin berlarut-larut berurusan dengan salah satu anak Emir tempatnya tinggal. Tanpa ia sadari, Mansoor terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Bagaimana? Apakah saya sudah dapat mendengarkan alasan mengapa kau sengaja menghampiri saya kemari?"
"Saya hendak meminta maaf atas ketidaksopanan yang saya lakukan," Mundika kembali menundukkan dirinya di hadapan Mansoor. "Yang pertama saya sudah menginjak kaki anda karena saya kesal dianggap anda hendak bunuh diri padahal yang saya lakukan hanyalah terapi menenangkan diri dan yang kedua karena saya menghiraukan anda yang sedang berpidato di ruang rapat tadi dengan melamun, oleh sebab itulah saya juga meminum kopi saya terlebih dahulu karena khawatir akan berbicara tidak sopan atau bertindak konyol lagi di hadapan anda Sheikh."
Mansoor yang terkenal jarang tertawa tak dapat menutupi kekehannya. Hal tersebut membuat para penjaganya saling bertatapan tak percaya bahwa tuannya ini bisa tertawa seperti itu. Gadis ini lucu, bagaimana bisa ia bertemu seseorang yang unik seperti ini? Kejujurannya sungguh diacungi jempol. Biasanya orang-orang yang berhadapan dengan dirinya akan memasang wajah palsu untuk menarik perhatiannya. Oleh sebab itulah ia selalu bersikap dingin kepada orang-orang yang mendekatinya. Meskipun tidak semua orang seperti itu ia perlakukan, karena ada beberapa orang juga yang jujur seperti gadis manis dihadapannya itu.
"Apakah Sheikh akan memaafkan saya?" Tanya Mundika penuh harap. Ayolah Tuan Besar, kumohon maafkan aku, aku tak mau membuat masalah yang lebih besar lagi, ya..., ya..., please, keluhnya berkomat-kamit dalam hati. Jangan sampai masalah ini terdengar oleh keluarga besarnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ibunya yang memiliki posisi terlemah di keluarga besarnya.
"Siapa namamu tadi? Mun...Mundi...," Mansoor berusaha mengingat nama gadis ini. Namanya sedikit susah untuk dieja oleh lidahnya dan terdengar tidak familier ditelinganya.
"Mundika binti Dalmouk Sheikh," Jawab Mundika. "Saya adalah salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit ini."
"Dalmouk? Apakah kau kenal dengan Dalmouk Al Hassimi?"
"Apakah Sheikh Mansoor mengenal Baba?" Oh tidak, apakah ia harus memohon dengan sangat kepada lelaki di hadapannya itu untuk tidak melibatkan ayahnya?
"Aku baru tahu jika Pak Dalmouk memiliki anak gadis bernama cukup unik sepertimu?" Mansoor mulai bertanya lebih dalam kepada Mundika. Wajah gadis ini memiliki keindahan tersendiri, perpaduan Arab dan Asia Timur. Dan semakin ia memandang Mundika, ia semakin terhanyut untuk terus menatap pemilik nama tersebut.
"Saya anak beliau dari...," Mundika merasa lehernya tercekat setiap kali ia mengungkapkan jati dirinya. "Istri kedua beliau yang berasal dari Indonesia," Matanya berubah nanar seolah ia baru saja menelan bulatan batu yang cukup besar namun berusaha ditutupinya dengan senyuman andalannya yang selalu berhasil menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
"Ooo, begitu," Mansoor mengangguk-anggukan kepalanya. Pantas saja nama gadis ini sedikit mengingatkan dirinya tentang Indonesia, sebuah negara dengan sebutan sepenggal surga dengan kekayaan alamnya yang berlimpah serta eksotisme pantai yang tak ia dapat di belahan negara manapun sejauh ini. "Baiklah, kau kumaafkan karena menghormati orang tuamu. Saya harap kau bisa menggantinya dengan bekerja lebih profesional lagi."
"Terima kasih Sheikh, atas kebijaksanaannya," Mundika menunduk dalam kemudian berdiri untuk berpamitan, sebuah attitude yang tak pernah ia temui selama hidupnya atau mungkin pernah ia menemukannya tapi entah di negara mana. "Kalau begitu saya pamit dulu, karena sudah waktunya saya kembali bekerja."
"Pergilah," Mansoor memberikan senyum tipis andalannya dan membiarkan Mundika berlalu dari hadapannya.
"Akhirnya lega juga!" Teriak Mundika sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan berjalan keluar cafe. Hal tersebut tak luput dari pandangan Mansoor yang hanya bisa geleng-geleng kepala. Kira-kira ia akan mendapatkan kejutan-kejutan apa lagi selama dirinya menjadi penanggung jawab yang baru di rumah sakit ini?
Mansoor kembali menikmati kopinya yang tertunda. Otaknya seperti sedang berpikir merencanakan sesuatu yang tak terbaca oleh para penjaganya. Sesuatu yang mungkin akan sedikit mengguncang keluarganya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments