1

Suara nyanyian burung bersiul indah menyambut pagi hari di Dubai. Sinar-sinar lembut dari sang mentari mengintip dibalik jendela kamar Mundika yang berada di lantai dua.

"Pipipipipipipiiiii"

Bunyi alarm jam terdengar dari smartphone milik Mundika. Sontak ia terbangun dengan membuka bedcover yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia segera mengambil smartphone-nya dan mengecek jam berapa saat ini.

"Gyaaaaa!! Aku terlambat!!!" Teriak Mundika segera turun dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap. Kebiasaannya ini ia dapat dari ibunya yang mendidiknya untuk membersihkan diri minimal dua kali sehari. Namun saat ini ia sudah tidak perduli mau bersih atau tidak, yang pasti dress panjang semata kaki bermotif bunga-bunga hijau dan abaya hitam senada dengan hijab yang dikenakannya terpakai rapi di dirinya. Ia bersyukur diberikan kulit wajah yang tanpa diberikan make up tebal sudah tampak fresh dan kemerahan alami. Terima kasih kepada sang ibu yang telah menurunkan gen baik tersebut.

"Bu, aku berangkat sekarang ya karena harus mampir kerumah utama untuk pamit ke Baba dan Mama Latifa serta kakak-kakak yang lain," Mundika turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh menghampiri ibunya yang sudah selesai menyiapkan sarapan untuknya dan sang adik, Zayed. "Jam 10 nanti ada meeting antar direktorat di rumah sakit."

"Kau tidak sarapan dulu Nduk?" Tanya Artika yang menerima ciuman tangan dan kecupan di pipi kanan dan kirinya dari Mundika.

"Aku sarapan di rumah sakit saja," Jawab Mundika mengecup dan mengelus rambut adiknya, Zayed yang berusia 15 tahun kemudian keluar dari rumah. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan,"

Mundika berjalan setengah berlari menuju rumah utama untuk berpamitan. Bagaimanapun sebagai anak dari istri muda ayahnya, sudah menjadi kewajibannya untuk berpamitan kepada ayahnya dan ibu tuanya. Setelah sampai dirumah utama, ia melihat ayah, ibu tuanya, Kak Majid, Kak Maitha, dan Kak Haya, anak-anak dari ayah dan ibu tuanya sedang sarapan juga di meja makan.

"Selamat pagi Baba, Mama Latifa, Kak Majid," Mundika melakukan aktifitas mencium tangan, pipi kanan dan kiri kepada ayah, ibu tuanya dan Kak Majid. Ketika ia hendak melakukan hal yang sama dengan kedua kakak perempuannya, dirinya mendapatkan penolakan seperti biasanya.

"Jangan pernah sentuh aku dan adikku Haya!" Ujar Maitha ketus. Pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa selama 25 tahun hidupnya. Namun tetap saja masih menyisakan rasa ngilu di dada. Rupanya sudah selama itu kakak-kakaknya masih saja membencinya. Ya sudahlah, yang pasti ia tetap mencintai dan menyayangi mereka.

"Kau tampak terburu-buru sekali Nak, apakah ada urusan penting?" Tanya Dalmouk, Ayahnya.

"Aku pamit dulu izin pergi terburu-buru karena jam 10 pagi ini ada meeting di rumah sakit. Sepertinya akan ada kunjungan dari orang penting ke rumah sakit dan aku tidak boleh absen." Perasaan Mundika semakin kalut karena waktu terus berjalan. "Aku pergi semuanya, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam,"

Setelah meyakinkan bahwa sudah tidak ada yang tertinggal, ia segera masuk ke mobil SUV silver miliknya dan keluar dari parkiran mobil menuju jalan raya yang akan mengarahkannya ke salah satu rumah sakit tempat ia bekerja di Kawasan Dubai Healthycare City.

Ada apa gerangan hari ini sehingga ia sampai salah memasang jam alarm. Bisa-bisanya ia setelah sholat shubuh kembali tertidur. Apa karena dirinya terlalu rileks berendam di laut kemarin? Ngomong-ngomong, mengingat laut membuatnya terkenang insiden dimarahi lelaki yang tak dikenal. Dirinya pun bergidik ngeri karena dimarahi dan dituduh mau bunuh diri. Padahal kegiatan di laut seperti kemarin sering dia lakukan jika pikirannya sedang kacau. Yah, bagaimanapun ia juga manusia biasa yang tak selamanya bisa cerah ceria seperti tidak ada beban saja.

Mundika memarkirkan mobilnya di salah satu slot parkiran khusus untuk dokter. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, ia segera berlari menuju mesin absen kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju lantai 15 untuk mengikuti rapat. Fiuhhh, dirinya mengusap bulir-bulir keringat yang menetes di pelipisnya dengan tisu yang ia simpan di tas punggung coklatnya. Salah satu perbedaan yang ia rasakan mengapa ia lebih memilih menggunakan tas punggung dibandingkan dengan tas wanita seperti kebanyakan emirati yang lain karena tas tersebut banyak memuat kebutuhan yang ia miliki. Ia jadi sedikit mengerti mengapa dua kakak perempuannya sering menyebutnya setengah emirati. Ia selalu punya tampilan yang berbeda dari kebanyakan orang di sana dan lebih cenderung menerima budaya dari pihak ibunya yang berasal dari Indonesia.

TING!

Bunyi lift terdengar. Mundika yang melihat pintu lift terbuka untuk lantai 15 segera melangkahkan kakinya menuju ruang rapat besar di sana.

"Selamat datang Dokter Mundika binti Dalmouk," Sapa Hakeem, Dokter Kepala rumah sakit nampaknya mengetahui kedatangan Mundika yang berjalan sedikit mengendap-endap untuk tidak mengganggu suasana hening di dalam ruang rapat tersebut. Seluruh dokter yang menjadi peserta rapat di sana sontak menoleh ke arah Mundika.

Mundika hanya bisa menepuk wajahnya menahan malu. Mengapa Dokter yang satu ini hobi sekali mengerjai dirinya. Mentang-mentang sahabat babanya sekaligus dosen pembimbingnya sewaktu thesis. Apakah ia masih tidak ikhlas memberinya nilai A sementara yang lain nilai tertinggi adalah B?

"Selamat Pagi Dokter Kepala," Mundika menarik napas kemudian memasang senyum andalannya yang menurut teman-temannya dapat menaklukkan siapa saja. "Mohon maaf agak sedikit terlambat."

"Untung saja pemilik rumah sakit ini masih dalam perjalanan menuju ruangan ini. Sehingga kejadian seperti ini tidak diketahui oleh mereka," Hakeem, lelaki tua namun berkharisma menegur Mundika dengan halus kepada dokter kebanggaannya itu. Ia dipesankan oleh ayah gadis itu untuk mendidiknya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. "Saya harap kejadian seperti ini tidak terjadi lagi."

"Baik Dokter Kepala," Mundika mengangguk dan berjalan ketempat duduknya di sebelah Rabiya, salah satu teman satu kuliahnya dulu dan juga dokter di rumah sakit tersebut.

"Tumben kau terlambat?" Tanya Rabiya sambil berbisik.

"Aku salah pasang alarm," Mundika meringis mengingat kebodohannya.

"Untung saja rapatnya belum mulai."

"Memangnya sepenting apa orang yang akan datang hari ini? Apakah Emir atau Putra Mahkota yang akan datang?" Tanya Mundika. "Mengapa aku merasa ekspresi orang-orang yang hadir di sini tampak tegang dan serius sekali?"

"Apakah kau tidak membaca detail undangan yang dikirimkan pihak Umum terkait rapat hari ini?"

"Tidak," Mundika menggelengkan dengan wajah polosnya. "Aku hanya membaca tanda 'urgent' di email tersebut.”

"Sepertinya akan ada pergantian penanggung jawab rumah sakit ini," Rabiya menghela napas melihat sifat temannya ini yang jika sedang terburu-buru kurang memperhatikan detail apapun. "Kau kan tahu sendiri bahwa Emir kita memiliki putra yang cukup banyak, mungkin salah satu dari mereka yang akan datang adalah penanggung jawab rumah sakit yang baru."

"Ooo," Mundika mengangguk malas. Bukan ia tak menghormati pimpinan atau keluarga pendiri dari kota tempat ia lahir dan dibesarkan. Hanya saja ia bukanlah orang yang suka menonjolkan diri untuk menarik perhatian keluarga tersebut karena ia ingin dikenal dengan prestasinya, bukan latar belakang keluarganya. Hal yang sangat bertolak belakang dengan orang-orang di sekelilingnya yang berlomba-lomba ingin menjadi bagian dari keluarga Emir tersebut dengan segala cara untuk mencari muka.

Berdekatan dengan keluarga Emir sangat kental beraroma politik dan ia bukanlah penikmat politik. Baginya dunia perpolitikan sangatlah memusingkan dan memuakkan sehingga ia menjauhinya karena dirinya pun adalah salah satu korban politik itu. Baba dan ibunya adalah sepasang kekasih sebelumnya. Hanya karena ibunya adalah orang luar negeri dan tak punya latar belakang keluarga darah biru seperti babanya akhirnya babanya dijodohkan dan menikah dengan Mama Latifa yang sekufu untuk meneruskan generasi darah murni keluarga besarnya.

Ibunya yang mengetahui hal tersebut memilih mundur dari kehidupan Babanya dan berusaha untuk ikhlas bahwa jodohnya dengan babanya berakhir sampai disini. Entah bagaimana ceritanya, Mama Latifa datang kepada ibunya untuk memohon agar ibunya bersedia menikah dengan babanya dan ikhlas dirinya dimadu. Benar-benar gila! Apakah mereka tidak sadar efek buruknya kepada anak-anaknya kelak?

Ah, setiap kali memikirkan hal itu membuat dadanya seperti diiris sembilu. Ia bahkan tak pernah berani bermimpi dengan siapa dirinya akan menikah nanti mengingat dirinya yang setengah emirati ini. Yang dapat ia lakukan hanyalah membuat dirinya eksis dengan caranya sendiri.

"Dika,"

"Mundika...,"

"Dokter Mundika binti Dalmouk, apakah kau sejak tadi tidak memperhatikan apa yang diucapkan oleh Sheikh Mansoor bin Maktoum?" Lagi-lagi Hakeem menangkap Mundika melakukan kesalahan. Ada apa gerangan dengan gadis itu hari ini? Biasanya gadis itu tampil begitu cemerlang seolah tanpa cela. Namun hari ini sang gadis nyaris membuatnya murka. Bagaimana bisa Mundika melamun di saat krusial seperti ini? Terlebih lagi pada saat salah satu putra Emir Dubai, Mansoor bin Maktoum, sedang berbicara di atas podium.

"Eh?" Mundika yang tersadar dari lamunannya mengerjapkan matanya untuk memastikan ia fokus ke depan setelah mendapat teguran yang lebih keras dari Dokter Kepala. Tadi Dokter Kepala bilang apa? Sheikh Mansoor bin Maktoum? Salah satu putra Emir Dubai?

Sontak Mundika terdiam seolah baru saja melihat hantu dihadapannya. Ekspresi ketakutan bercampur ketidakpercayaan dengan sosok di podium yang sedang mengarah kepadanya dengan pandangan menusuk membuatnya ingin segera kabur dari ruangan tersebut.

Tamat sudah riwayatnya kali ini! Ia tak menyangka bahwa lelaki yang memarahinya dan dibalas olehnya dengan menginjak kaki lelaki tersebut ternyata salah satu orang penting di Dubai! Salahkan dirinya yang tidak pernah memperhatikan teman-teman atau keluarganya jika sedang membicarakan para anggota keluarga Emir Dubai. Kalau sudah begini ia harus bagaimana?!

Mansoor yang menyadari ekspresi ketakutan dan kepanikan Mundika, tersenyum miring sambil menatap tajam kearah sang gadis.

Aku menemukanmu! Jangan harap kau bisa lari dariku seperti kemarin!

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!