Diujung Harapan
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengizinkan suamiku menikah lagi?" rintih hati Nayana--seorang wanita cantik yang berkulit putih, bertubuh semampai dan biasa dipanggil Naya. Ia tengah duduk tenang dengan lamunannya.
Ia baru saja selesai sholat, di sebuah mushola kecil yang tak jauh dari sebuah restoran sederhana di mana ia bekerja. Ia selalu memikirkan kata-kata ibu mertua yang mengusik hatinya.
"Biarkan suamimu menikah lagi, Naya ... itu demi kebaikanmu juga!" kata-kata ini begitu mulus meluncur dari mulut Sarita, waktu itu, tanpa memikirkan perasaan menantunya.
Wanita berjilbab ungu yang sedang istirahat disela-sela pekerjaannya itu sering kali melamun. Bahkan akhir-akhir ini pekerjaan yang ia lakukan sering kali salah karena ia tidak fokus. Pikirannya terganggu karena ucapan mertuanya itu.
Tiba-tiba ada seorang teman yang membersamainya melakukan sholat, mengganggu lamunannya.
"Kenapa kamu sering melamun, Nay? Gak biasanya kamu salah-salah terus gitu kalo kerja. Bu Nha marah terus ke kamu! Aku jadi kasihan liat kamu!" kata Sela, temannya itu.
"Iya, nih, Lagi banyak pikiran, tapi gak apa kok, kena marah bu Nha, udah biasa, kan?" kata Naya tersenyum sambil melipat mukenanya.
Ia tak mungkin menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain sekarang. Lagi pula soal suami menikah lagi adalah, hal yang sangat tabu diperbincangkan pada seorang teman biasa.
Masalah poligami, banyak wanita anti pati pada kata ini. Apalagi menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh tak bisa Naya bayangkan kedepannya. Baru membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Dalam hati ia memang ingin membahagiakan sang suami, tapi tidak harus dengan poligami. Meskipun ia tahu, poligami adalah sunah nabi yang menjadi favorit bagi setiap laki-laki.
Ini soal Hati. Soal yang sangat sensitif untuk dibicarakan dengan orang yang belum tentu bisa menjaga rahasianya. Namun, ini juga sangat meresahkannya.
"Aku duluan ya, Nay!" kata Sela sambil melangkah pergi meninggalkan Naya sendiri diruang mushola yang sengaja disiapkan oleh pemilik restoran sederhana tempatnya bekerja, sebagai bentuk pelayan dan fasilitas begi para pekerja di sana.
Naya mengangguk pelan. Pikirannya masih berkelana tentang suaminya Rudian yang sudah hampir setahun ini berubah sikap dan kebiasaan padanya.
Ingatannya juga melayang pada peristiwa sebulan lalu, saat Sarita berkunjung kerumahnya hanya untuk mengatakan bahwa Rudian akan secepatnya menikah lagi. Tentu saja Naya tidak rela. Tapi entah mengapa ia tak berdaya untuk melawan ibu mertuanya.
"Tapi kenapa, harus menikah lagi, Bu?" tanya Naya waktu itu.
Saat itu, Sarita memintanya mengijinkan Rudian menikah untuk kedua kalinya, dengan wanita pilihannya.
"Aku mau nimang cucu dari kalian, sudah enam tahun kalian menikah tapi kamu belum hamil juga!" kata Sarita. Ia duduk dengan gaya elegan khas wanita setengah baya.
"Kan ada cucu dari bang Bastian, Bu. Lagian kami menikah baru enam tahun. Banyak pasangan yang lain yang sudah belasan bahkan puluhan tahun tidak punya anak!" jawan Naya tenang, menutupi kekacauan di hatinya.
"Jadi, kamu nyruh ibumu ini menunggu selama itu, sampai belasan atau puluhan tahun baru bisa gendong cucu dari kamu,. begitu?" ujar Sarita tampak emosi.
"Ibu, menikah itu bukan cuma pengen anak. Adopsi juga bisa!" jawab Rudian, ikut membela istrinya.
Keluarga itu tengah duduk di sofa yang ada di ruang serbaguna rumah kecil milik Rudian dan Naya. Mereka berdua membeli rumah itu ketika belum lama menikah. Rumah yang mereka cicil dari uang gaji mereka secara gotong royong berdua.
Rumah bersubsidi itu berada tak jauh dari tempat Naya dan Rudian bekerja. Perumahan rakyat yang dibayar melalui kredit perbankan biasa, yang terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, sebuah dapur dan satu ruang serbaguna dibagian tengahnya.
"Rumah kami masih belum lunas, masih ada cicilan motor Bang Rudi juga, mana mungkin beristri dua!" kata Naya menimpali.
"Nanti ibu beri kamunmodal lagi biar cicilan motormu lunas!" kata Sarita sambil tersenyum.
"Ibu, apa ibu ini bukan perempuan? bagaimana kalau ibu ada diposisi Naya? Apa Ibu juga mau kalau suami Ibu beristri dua?" kata Naya mulai tidak sabar menghadapi mertuanya.
"Ya, untungnya ayahnya Rudian sudah tidak ada. Jadi kamu akui saja Nay! Kamu ini mandul? Ibu punya calon buat Rudian! Dia cantik, juga kerja. Orang tuanya juga kaya! Jadi kalia jangan takut bakal melarat!" kata Sarita lagi.
Mendengar itu, Rudian seperti kepanasan, ia mengusap wajahnya kasar. Lalu, memandang Nayana dengan gelisah, ada sesuatu yang ia sembunyikan dari raut wajahnya.
"Ibu, sudah cukup! Soal ini akan aku bicarakan sendiri dengan Naya, Ibu pulang saja!" kata Rudian memalingkan pandangan pada ibunya.
"Tidak! Aku tidak mandul, Bu! Aku sehat, Bang Rudi dan aku sudah pernah periksa ke dokter kandungan, dan kami berdua sehat!" jawab Naya sambil berdiri, mencegah Sarita yang sudah beranjak pergi.
Mereka berdua memang sudah pernah melakukan beberapa tes. Hasilnya mereka sehat dan masih punya banyak peluang mendapatkan momongan.
Memang dulu Naya pernah berpikir untuk menunda memiliki anak karena ia masih tidak mau berhenti bekerja dan harus tinggal di rumah mertua. Bahkan, bersama kakak ipar pula, terlalu riskan baginya bila harus memiliki bayi di saat awal-awal menikah. Tidak ia duga kalau ternyata sampai detik ini ia belum hamil juga.
"Kalau memang kamu sehat, buktikan! Tapi kalau tidak, biarkan suamimu menikah lagi!" itulah kata-kata mertuanya yang membuatnya terganggu sampai saat ini, apalagi sebagai suami, Rudian tak tampak sedikit pun membelanya.
Nayana kembali bekrja setelah beberapa saat sibuk dengan pikirannya, ia kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah menunggunya. Sering ia membantu mencuci piring atau memasak, walau itu bukanlah bagiannya.
"Aaa ... Aaa ....!" tiba-tiba terdengar suara jeritan dari seorang anak kecil yang menangis.
Anak kecil itu tampak berurai air mata, ia menangis cukup keras di samping seorang pria yang tengah sibuk menikmati makanannya. Sedang di hadapan Pria itu ada seorang remaja perempuan yang asyik dengan ponselnya.
'Laki-laki itu, siapa. Bapaknya, kok cuek amat anak nangis dibiarin?' batin Naya.
"Ada, apa sayang?" kata Naya setelah mendekati anak itu, ia berdiri di samping bocah perempuan lucu dengan rambut ikalnya yang diikat dua dengan karet warna warni. Ia begitu manis.
"Maaf, bisa pinjam gunting?" kata Ares--pria yang duduk disamping anak kecil yang menangis itu. Ia memegangi satu pergelangan tangan anaknya.
"Oh, ada!" kata Naya segera berlalu ke arah dapur dan kembali dengan gunting kecil ditangannya.
"Buat apa?" kata Naya lagi setelah kembali mendekat.
"Buat ini ..." kata hadis kecil itu sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang terikat banyak benang, hingga tampak memerah.
"Wah, kok bisa begini?" kata Naya seraya meraih tangan anak itu dengan lemah lembut, lalu memutuskan benang dari tangannya secara perlahan dan hati-hati. Ia kuatir tangan anak itu lebih sakit lagi.
"Gak boleh mainan benang seperti ini ya? Ini bahaya lho! Darahmu bisa berhenti disini!" kata Naya lagi sambil mengusap-usap pergelangan tangan anak itu yang memerah setelah terlepas dari benang yang tadi melilit tangannya.
Ares menatap interaksi antara anaknya dan Naya, dengan alis yang bertaut penuh tanda tanya. Begitu pula anak gadis remaja yang ada disebelahnya, menatap heran pada adiknya dan juga Naya.
"Ayah! Lihat, kok bisa, anak manja ini gak muntah?" kata anak remaja itu, pada Ares--ayahnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
sedihnya. kenapa kalo gak bisa punya anak langsung wanita yg disangka mandul? padahal lebih sering laki yg tak mampu.
2023-04-01
0
El Geisya Tin
like this
2022-03-14
10
Ujung Pena
mertuaku juga ibu
2022-03-07
11