Malam harinya Naya gelisah ditempat tidur, matanya tak juga terpejam, meski ia berusaha membuat dirinya tertidur. Naya mencoba menghubungi suaminya, menanyakan kapan ia akan pulang. Namun, setelah beberapa lama telepon, tidak diangkat Rudian juga.
"Halo, Bang ...! Lama banget sih, angkat teleponnya?"" kata Naya setelah beberapa lama kemudian akhirnya terdengar suara sang suami menyambut panggilan telponnya.
"Ada apa? Kan, sudah kubilang aku akan pulang malam! Tidur saja dulu. Tak usah menungguku!" kata Rudian dari balik telpon.
"Iya, tapi ini sudah jam berapa, Bang? Hampir jam satu malam!" kata Naya kesal.
"Memangnya kenapa, sih? Kan, aku besok juga pulang!"
"Loh? Apa kanda mau tidur disana?"
Lama tidak terdengar jawaban, karena Rudian menyadari kalau dirinya salah bicara.
"Ya sudah, anggap saja aku menginap! Jadi kamu gak perlu repot!" lalu terdengar suara, tut, dan telpon ditutup secara sepihak oleh suaminya.
Naya menatap layar telepon yang menggelap. Rasa aneh dan gelisah menghantuinya. Ada apa ini? Ia sendiri tak mengerti, ada perasaan tidak tenang yang tiba-tiba mengganggu pikirannya.
Naya meninggalkan tempat tidurnya, mengambil air wudhu dan menunaikan sholat malam. Memohon kekuatan dan ketenangan. Memasrahkan seluruh jiwa raga hanya pada penciptanya.
Hingga akhirnya ia tertidur diatas sajadah.
Keesokan harinya, Naya bangun setelah mendengar suara nyaring alarm dari ponselnya, yang menjadi pertanda waktu subuh sudah dekat. Naya kembali mengambil air wudhu di kamar mandinya.
Setelah selesai, ia kembali ke kamarnya dengan perasaan sepi. Rudian benar-benar tidak pulang lagi malam ini.
Mengapa hubungan ini menjadi seperti ini? Apa yang salah dengan diriku, benarkah hanya karena tidak memiliki anak membuat Bang Rudi sebagai suami boleh mengabaikan aku, istrinya? Pikir Naya.
Pernikahannya dulu sangat sederhana, Naya mencintai Rudian apa adanya, begitu pula sebaliknya. Mereka bertemu saat mereka sama-sama menjadi karyawan pabrik disalah satu perusahaan swasta.
Setelah menemukan kecocokan, dan juga merasa sudah cukup lama saling mengenal, mereka pun akhirnya menikah. Walaupun pesta pernikahan mereka digelar dengan sederhana, tapi pernikahan itu sangat membahagiakan kedua pihak keluarga yang merestui hubungan mereka.
Mereka berasal dari satu suku yang sama, dalam kota metropolitan itu. Ini mungkin sebuah kebetulan, sebab di kota ini banyak terdapat aneka ragam suku, terlebih lagi mereka sama-sama perantau. Bertemu dan saling mencintai dalam satu suku yang sama sangat melengkapi kebahagiaan mereka.
Naya menyelesaikan sholatnya, lalu bersiap membuat sarapan seperti biasanya sebelum berangkat bekerja. Ia terlebih dahulu menelpon Rudian kembali untuk mengingatkan agar suaminya tidak terlambat sholat subuh.
"Halo! Bang!" kata Naya setelah lama telpon baru diangkat.
"Apa lagi? mau diantar kerja? Aku tidak bisa!" balas Rudian dari seberang telepon.
"Bukan itu. Hanya mau mengingatkan sholat subuh! Tadi malam, Abang tidur di mana?"
"Tidur di rumah ibu..." Jawab Rudian
"Kenapa tidur di sana?"
"Lebih dekat dari rumah temanku, daripada pulang!"
"Ya Allah, Abang, malu dong sama ibu, pulang malam-malam! Kasihan, ibu pasti terganggu."
"Tidak! Ibu memang menungguku. Aku juga sudah sholat. Kamu nanti berangkat sendiri saja ya?"
Tut!
Lagi-lagi telepon ditutup secara sepihak oleh Rudian, padahal Naya ingin bertanya, kenapa Rudian tidak bisa mengantarnya pergi bekerja.
"Apa maksudnya ibu menunggu Bang Rudi? Apa mereka sudah janjian di rumah? Tapi kenapa tidak sekalian mengajakku, kalau mau ke sana? Atau itu hanya alasan saja?" lirih Naya dalam hatinya.
Banyak pertanyaan menggenangi otak Naya. Ia jadi tak semangat membuat sarapan dan membiarkan bahan makannya tetap berada di kulkas. Kini ia hanya duduk di sofa kecilnya dan memainkan ponsel ditangannya. Berusaha menepis pikiran buruk tentang suaminya.
Tiba-tiba ada rasa penasaran dan ingin menyelidiki suaminya, sebab kebiasaan Rudian semakin aneh saja. Namun, ia kembali meyakinkan diri bahwa, apa pun yang terjadi dalam rumah tangganya, maka ia akan menghadapinya dengan lapang dada. Sebab, dikemudian hari, yang akan terjadi memang mesti terjadi. Allah tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada hamba-Nya kalau tak ada izin dari-Nya. Bukankah satu daun yang gugur pun atas sepengetahuan-Nya? Apalagi kalau sebuah ujian dan cobaan pada manusia, pastilah Allah mengetahui juga. Ia yakin Allah menguji hanya sebatas kemampuan manusia yang diuji-Nya.
Naya mendesah pelan, ia mengambil segelas air minum dan menghabiskannya. Lapu pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, dan berpakaian rapi seperti biasa, lengkap dengan jilbabnya. Ia memakai stelan tunik merah, berbahan katun yang dipadu padankan dengan kulot coklat tua.
Hari ini ia berangkat lebih pagi. Ia harus menunggu angkutan umum untuk sampai di restoran.
"Bismillah ..., bisiknya pelan ketika menaiki angkutan umum yang akan membawanya ke tempat kerja.
Naya bekerja di restoran itu baru dua tahun yang lalu, ketika ibu mertuanya mengatakan kalau ia harus banyak istirahat agar bisa cepat hamil.
Saat itu, ia pun berhenti bekerja, demi memenuhi keinginan ibu mertua, di samping itu ia juga memang ingin memiliki anak.
Namun, ternyata keadaan mereka tidak seperti yang diharapkan. Suaminya masih harus membayar cicilan, baik motor baru dan juga rumah. Sementara janji sang ibu untuk membantu biaya sehari-hari ternyata bohong belaka. Oleh karena itu, Naya memilih kembali bekerja di restoran, yang direkomendasikan oleh kakak iparnya--Bastian.
Ibu mertuanya pun menyetujui, karena bekerja disana menurutnya tidak terlalu lelah, dan bisa istirahat lebih banyak, hingga tetap bisa punya kesempatan memiliki anak.
Bekerja di restoran itu, Naya mendapatkan gaji yang kecil, tidak sama saat ia bekerja di pabrik. Namun, setidak-tidaknya, dengan sedikit penghasilan itu, Naya bisa membantu meringankan beban Rudian--sebagai penanggung jawab keuangan keluarga.
Uang gaji Naya, biasa digunakan untuk makan dan membayar listrik atau kebutuhan sehari-hari, sedangkan penghasilan Rudian,.bisa digunakan untuk membayar cicilan.
Mereka memang belum memiliki anak, tapi biaya pengeluaran untuk menopang hidup mereka berdua di kota Metropolitan seperti itu, cukup besar.
Naya sampai di restoran lebih pagi dari biasanya, pemilik restoran dan dua karyawan lainnya masih sibuk mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak oleh koki di sana. Naya membantu apa saja yang bisa ia lakukan. Hal inilah yang membuat Naya sangat disayang oleh Bu Nha--sang pemilik restoran, yang terkenal ramah tapi juga tegas pada karyawannya. Selain karena rajin, Naya adalah menantu dari keluarga Sarita--ibu mertuanya. Bu Nha sudah berteman dengan Sarita cukup lama.
Setelah beberapa hidangan sarapan sudah siap di etalase restoran, Naya mulai mempersiapkan beberapa meja dan mulai membersihkannya, melipat tissu dan merapikan segala pernak-perniknya. Teman-teman seprofesinya juga melakukan hal yang sama.
Tak lama, beberapa pelanggan mulai berdatangan, tentu saja mereka yang belum sarapan dari rumah dan harus pergi bekerja tepat waktu.
"Ajumma!" terdengar suara keras tapi nyaring dibelakang Naya.
Wanita berjilbab merah yang memakai celemek khas seragam restoran itu menoleh. Ia tersenyum lebar begitu mengetahui siapa yang datang sambil berteriak padanya, dengan memanggilnya Ajumma. Seorang gadis cilik dengan pipi gembil yang tersenyum manis itu mendekati Naya.
"Yoni?!" Sahut Naya. Ia langsung menghampiri dan memeluk gadis mungil yang membawa tas kecil dipunggungnya itu.
Wajah imut dan lucu itu, sudah seperti merangkum seluruh dunia dan membuat Naya memiliki sebuah kesenangan tersendiri dengan rupa yang manis, seperti Yoni.
Seketika kegelisahan yang masih membayang dihati Naya, seolah lenyap begitu saja. Wajah manis tak berdosa itu yang sudah melenyapkannya. Wajah yang seperti melukis kerinduan dihatinya.
"Hei, mau sarapan, ya?" Kata Naya sambil menarik tubuh kecil Yoni dalam pangkuannya. Yoni mengangguk.
"Mana, kakak?" tanya Naya lagi
"Raya sekolah," jawab Ares tanpa melihat pada Naya. Laki-laki itu sudah berada di antara mereka.
Naya pun sama, ia tidak memperhatikan Ares. Ia seperti menganggap Ares tidak ada, seperti udara yang menguap begitu saja.
"Oh iya! Ini masih pagi, tentu saja kakakmu sekolah, apa Yoni belum sekolah?" tanya Naya dan Yoni pun mengangguk.
"Belum!" katanya.
"Ayo Yoni, sini! Makan dulu!" Tiba-tiba Ares memanggil anaknya, sambil menarik sebuah kursi, lalu menaruh sebuah piring berisi makanan, di atas meja. Ia melambai pada Yoni agar menghampirinya.
Naya menurunkan Yoni, agar anak itu segera menghampiri Ayahnya.
"Ajumma! Cini!" Kata Yoni sambil melambai pada Naya.
Naya tahu panggilan yang disematkan padanya--Ajumma--adalah berasal dari bahasa korea. Ia tidak menolaknya walau, ia tidak tahu siapa yang sudah mengajari anak sekecil itu.
"Itu panggilan yang manis" gumam Naya.
Naya menatap anak kecil yang tengah duduk manis di samping papanya dengan perasaan campur aduk. Ia seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Nur Kediri
benih" masalah
2023-09-04
2
◌ᷟ⑅⃝ͩ●⍣క🎸BuNdAιиɑ͜͡✦●⑅⃝ᷟ◌ͩ
ajumma... panggilan yg manis.
sepertinya rudian sudah mendahului niat ibunya ya. selingkuh dari naya?
2023-04-01
1
Ujung Pena
setuju
2022-03-07
10