"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengizinkan suamiku menikah lagi?" rintih hati Nayana--seorang wanita cantik yang berkulit putih, bertubuh semampai dan biasa dipanggil Naya. Ia tengah duduk tenang dengan lamunannya.
Ia baru saja selesai sholat, di sebuah mushola kecil yang tak jauh dari sebuah restoran sederhana di mana ia bekerja. Ia selalu memikirkan kata-kata ibu mertua yang mengusik hatinya.
"Biarkan suamimu menikah lagi, Naya ... itu demi kebaikanmu juga!" kata-kata ini begitu mulus meluncur dari mulut Sarita, waktu itu, tanpa memikirkan perasaan menantunya.
Wanita berjilbab ungu yang sedang istirahat disela-sela pekerjaannya itu sering kali melamun. Bahkan akhir-akhir ini pekerjaan yang ia lakukan sering kali salah karena ia tidak fokus. Pikirannya terganggu karena ucapan mertuanya itu.
Tiba-tiba ada seorang teman yang membersamainya melakukan sholat, mengganggu lamunannya.
"Kenapa kamu sering melamun, Nay? Gak biasanya kamu salah-salah terus gitu kalo kerja. Bu Nha marah terus ke kamu! Aku jadi kasihan liat kamu!" kata Sela, temannya itu.
"Iya, nih, Lagi banyak pikiran, tapi gak apa kok, kena marah bu Nha, udah biasa, kan?" kata Naya tersenyum sambil melipat mukenanya.
Ia tak mungkin menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain sekarang. Lagi pula soal suami menikah lagi adalah, hal yang sangat tabu diperbincangkan pada seorang teman biasa.
Masalah poligami, banyak wanita anti pati pada kata ini. Apalagi menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh tak bisa Naya bayangkan kedepannya. Baru membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Dalam hati ia memang ingin membahagiakan sang suami, tapi tidak harus dengan poligami. Meskipun ia tahu, poligami adalah sunah nabi yang menjadi favorit bagi setiap laki-laki.
Ini soal Hati. Soal yang sangat sensitif untuk dibicarakan dengan orang yang belum tentu bisa menjaga rahasianya. Namun, ini juga sangat meresahkannya.
"Aku duluan ya, Nay!" kata Sela sambil melangkah pergi meninggalkan Naya sendiri diruang mushola yang sengaja disiapkan oleh pemilik restoran sederhana tempatnya bekerja, sebagai bentuk pelayan dan fasilitas begi para pekerja di sana.
Naya mengangguk pelan. Pikirannya masih berkelana tentang suaminya Rudian yang sudah hampir setahun ini berubah sikap dan kebiasaan padanya.
Ingatannya juga melayang pada peristiwa sebulan lalu, saat Sarita berkunjung kerumahnya hanya untuk mengatakan bahwa Rudian akan secepatnya menikah lagi. Tentu saja Naya tidak rela. Tapi entah mengapa ia tak berdaya untuk melawan ibu mertuanya.
"Tapi kenapa, harus menikah lagi, Bu?" tanya Naya waktu itu.
Saat itu, Sarita memintanya mengijinkan Rudian menikah untuk kedua kalinya, dengan wanita pilihannya.
"Aku mau nimang cucu dari kalian, sudah enam tahun kalian menikah tapi kamu belum hamil juga!" kata Sarita. Ia duduk dengan gaya elegan khas wanita setengah baya.
"Kan ada cucu dari bang Bastian, Bu. Lagian kami menikah baru enam tahun. Banyak pasangan yang lain yang sudah belasan bahkan puluhan tahun tidak punya anak!" jawan Naya tenang, menutupi kekacauan di hatinya.
"Jadi, kamu nyruh ibumu ini menunggu selama itu, sampai belasan atau puluhan tahun baru bisa gendong cucu dari kamu,. begitu?" ujar Sarita tampak emosi.
"Ibu, menikah itu bukan cuma pengen anak. Adopsi juga bisa!" jawab Rudian, ikut membela istrinya.
Keluarga itu tengah duduk di sofa yang ada di ruang serbaguna rumah kecil milik Rudian dan Naya. Mereka berdua membeli rumah itu ketika belum lama menikah. Rumah yang mereka cicil dari uang gaji mereka secara gotong royong berdua.
Rumah bersubsidi itu berada tak jauh dari tempat Naya dan Rudian bekerja. Perumahan rakyat yang dibayar melalui kredit perbankan biasa, yang terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, sebuah dapur dan satu ruang serbaguna dibagian tengahnya.
"Rumah kami masih belum lunas, masih ada cicilan motor Bang Rudi juga, mana mungkin beristri dua!" kata Naya menimpali.
"Nanti ibu beri kamunmodal lagi biar cicilan motormu lunas!" kata Sarita sambil tersenyum.
"Ibu, apa ibu ini bukan perempuan? bagaimana kalau ibu ada diposisi Naya? Apa Ibu juga mau kalau suami Ibu beristri dua?" kata Naya mulai tidak sabar menghadapi mertuanya.
"Ya, untungnya ayahnya Rudian sudah tidak ada. Jadi kamu akui saja Nay! Kamu ini mandul? Ibu punya calon buat Rudian! Dia cantik, juga kerja. Orang tuanya juga kaya! Jadi kalia jangan takut bakal melarat!" kata Sarita lagi.
Mendengar itu, Rudian seperti kepanasan, ia mengusap wajahnya kasar. Lalu, memandang Nayana dengan gelisah, ada sesuatu yang ia sembunyikan dari raut wajahnya.
"Ibu, sudah cukup! Soal ini akan aku bicarakan sendiri dengan Naya, Ibu pulang saja!" kata Rudian memalingkan pandangan pada ibunya.
"Tidak! Aku tidak mandul, Bu! Aku sehat, Bang Rudi dan aku sudah pernah periksa ke dokter kandungan, dan kami berdua sehat!" jawab Naya sambil berdiri, mencegah Sarita yang sudah beranjak pergi.
Mereka berdua memang sudah pernah melakukan beberapa tes. Hasilnya mereka sehat dan masih punya banyak peluang mendapatkan momongan.
Memang dulu Naya pernah berpikir untuk menunda memiliki anak karena ia masih tidak mau berhenti bekerja dan harus tinggal di rumah mertua. Bahkan, bersama kakak ipar pula, terlalu riskan baginya bila harus memiliki bayi di saat awal-awal menikah. Tidak ia duga kalau ternyata sampai detik ini ia belum hamil juga.
"Kalau memang kamu sehat, buktikan! Tapi kalau tidak, biarkan suamimu menikah lagi!" itulah kata-kata mertuanya yang membuatnya terganggu sampai saat ini, apalagi sebagai suami, Rudian tak tampak sedikit pun membelanya.
Nayana kembali bekrja setelah beberapa saat sibuk dengan pikirannya, ia kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah menunggunya. Sering ia membantu mencuci piring atau memasak, walau itu bukanlah bagiannya.
"Aaa ... Aaa ....!" tiba-tiba terdengar suara jeritan dari seorang anak kecil yang menangis.
Anak kecil itu tampak berurai air mata, ia menangis cukup keras di samping seorang pria yang tengah sibuk menikmati makanannya. Sedang di hadapan Pria itu ada seorang remaja perempuan yang asyik dengan ponselnya.
'Laki-laki itu, siapa. Bapaknya, kok cuek amat anak nangis dibiarin?' batin Naya.
"Ada, apa sayang?" kata Naya setelah mendekati anak itu, ia berdiri di samping bocah perempuan lucu dengan rambut ikalnya yang diikat dua dengan karet warna warni. Ia begitu manis.
"Maaf, bisa pinjam gunting?" kata Ares--pria yang duduk disamping anak kecil yang menangis itu. Ia memegangi satu pergelangan tangan anaknya.
"Oh, ada!" kata Naya segera berlalu ke arah dapur dan kembali dengan gunting kecil ditangannya.
"Buat apa?" kata Naya lagi setelah kembali mendekat.
"Buat ini ..." kata hadis kecil itu sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang terikat banyak benang, hingga tampak memerah.
"Wah, kok bisa begini?" kata Naya seraya meraih tangan anak itu dengan lemah lembut, lalu memutuskan benang dari tangannya secara perlahan dan hati-hati. Ia kuatir tangan anak itu lebih sakit lagi.
"Gak boleh mainan benang seperti ini ya? Ini bahaya lho! Darahmu bisa berhenti disini!" kata Naya lagi sambil mengusap-usap pergelangan tangan anak itu yang memerah setelah terlepas dari benang yang tadi melilit tangannya.
Ares menatap interaksi antara anaknya dan Naya, dengan alis yang bertaut penuh tanda tanya. Begitu pula anak gadis remaja yang ada disebelahnya, menatap heran pada adiknya dan juga Naya.
"Ayah! Lihat, kok bisa, anak manja ini gak muntah?" kata anak remaja itu, pada Ares--ayahnya.
Bersambung
Gadis remaja yang bernama Raya itu melempar pandangannya pada Ares, dan ayahnya itu membalas tatapan anak sulungnya sambil mengendikkan bahu, seolah memberi isyarat bahwa, ia pun tidak tahu mengapa anak bungsunya yang bernama Yoni, tidak mengamuk saat berdekatan dengan Nayana, yang notabene adalah orang asing. Biasanya, Yoni akan tantrum jika didekati siapa saja selain orang dari keluarganya.
Namun, interaksi antara Naya dan Yoni saat itu tidak membuat anak kecil itu bereaksi secara berlebihan.
Naya, menatap wajah Yoni dengan intens, meraih tubuh kecil dan montok itu ke dalam pangkuannya.
"Kamu lucu banget, sih? Jadi, siapa namamu?" tanya Naya lembut. Ia duduk di jajaran kursi tak jauh dari meja Ares dan Raya.
"Nayoni!" kata gadis kecil itu membalas tatapan Naya.
"Eh, nama kita mirip ya? Nama Tante Nayana. Kamu Nayoni!" kata Naya sambil tertawa kecil.
"Apa? Nama Tante Nayana? Sama apanya? Jelas-jelas beda!" sahut Raya sambil melirik pada Ares-ayahnya, ia berharap laki-laki itu tidak marah atas komentarnya.
"Yoni, sudah makan?" tanya Naya, mengabaikan kelakar Raya, ia tahu anak itu bersaudara karena wajah mereka mirip.
"Belum dihabiskan. Ayo sini, Yoni! Habiskan makananmu!" kata Ares, sambil menunjukkan piring Yoni yang masih utuh.
"Oh, belum makan ya? Ayo, makan sana, bisa sendiri kan?" tanya Naya dan Yoni menggeleng.
"Wah, masih disuapin? Ayo sini, tante suapin!" kata Naya sambil menurunkan Yoni dari pangkuannya. Berniat menyuapi Yoni, karena ia juga merasa tidak terlalu sibuk. Apalagi anak itu sangat lucu hingga ia tertarik untuk mengasuhnya sebentar saja.
"Tidak usah! Biar makan sendiri saja!" kata Ares sudah menggamit tangan Yoni dan mendudukannya dikursi dekat Raya.
"Jangan ganggu orang! Tantenya mau kerja!" kata Ares tanpa melihat pada Naya yang terlihat kecewa, ia tahu Naya adalah pegawai di sana karena melihat seragam yang dikenakannya.
"Emang tante kerja ya, disini?" kata Yoni sambil menyuap nasi kemulutnya. Naya mengangguk dan tersenyum, kemudian pergi ke dapur.
Raya menatap kepergian Naya dengan senyum samar. Ia meletakkan ponselnya dan menghabiskan sisa air putih dalam gelasnya.
"Papa, bukankah tante itu cantik? Apa Papa tidak tertarik?" katanya.
Mendengar kata-kata Raya, Ares mengerutkan alisnya. Anak pertamanya ini memang pendiam, jarang bicara sejak kepergian mamanya, tapi sekali bicara ia akan mengeluarkan kata-kata pedas atau ceplas ceplos semaunya.
Sudah beberapa bulan ini Ares menjadi pelanggan di restoran sederhana yang menjadi tempat bernaung bagi Nayana dan beberapa karyawan lainnya. Akan tetapi ia merasa kalau Naya tidak pernah menganggapnya ada. Baginya, Naya hanya lah pelayan restoran biasa yang juga memperlakukan para pelanggannya dengan biasa pula.
Tentu saja Ares tidak pernah memperhatikannya, apalagi Naya juga sejak bicara dengan Yoni tadi menganggapnya seperti udara, yang tak terlihat. Mungkin karena wanita berjilbab itu sangat menjaga harga dirinya sebgai muslimah atau wanita yang bersuami. Sehingga ia tidak berinteraksi dengan lawan jenis secara berlebihan.
"Mana ada itu! Kita kenal saja tidak! Ada-ada aja kamu!" jawab Ares, sambil menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak tau harus berkata apa, karena ia memang tak pernah memperhatikan Naya, walau sering makan di sana.
Kalau ia datang, biasanya hanya memesan, duduk menunggu sambil menatap layar ponselnya, setelah hidangan tersedia, ia langsung menyantapnya tanpa banyak bicara. Ia sama sekali tak pernah melihat siapa yang sudah menghidangkan makanannya.
"Tapi Yoni tidak muntah waktu dipegang sama Tante itu! Anak manja ini tidak nangis, tidak ngamuk waktu dipangku sama tante itu, apa Papa tidak penasaran sama semua itu?" kata Raya.
"Apa kamu sudah selesai makan? Suapi adikmu! Jangan bicara hal aneh lagi!"
"Aku tidak mau! Biar anak manja ini makan sendiri?" kata Raya, dan kembali meraih ponselnya.
"Papa ..!" kata Yoni, dipipinya banyak sekali nasi yang menempel, tapi makanan di piringnya hampir habis, meski berantakan di meja itu.
Ares membereskan makanan anaknya, lalu menyuapinya makan sampai habis dengan sabar. Anak kecil itu tak henti-hentinya berceloteh dengannya.
"Hei, yoyo!" panggil Raya pada adiknya.
"Panggil nama adikmu dengan benar. Yoyo itu nama mainan!" kata Ares sambil merapikan Yoni, mereka sudah selesai makan, dan bersiap hendak pergi.
"Sstt..! Yoyo! Panggil Tante itu ajumma. Apa kamu tahu, Tante itu bisa jadi ibumu! Soalnya kamu tidak kumat, kan?" kata Raya pada Yoni sambil berbisik agar tidak didengar oleh ayahnya yang sedang membayar makanan mereka di kasir.
Saat itu Raya melihat Naya yang sedang mengelap satu meja tak jauh dari tempatnya berdiri,
Yoni diam tanpa ekspresi, anak kecil polos itu tentu tak tahu apa maksud kakaknya dengan kata-kata kumat dan orang yang bisa menjadi Ibu. Selama ini, anak kecil itu pun tak tahu kalau dirinya menderita alergi atau phobia terhadap orang asing. Ia akan kumat jika berdekatan dengan orang yang belum pernah dekat dengannya.
Raya kembali mengarahkan pandangan Yoni pada Naya. Lalu, dia membawa Yoni mendekatinya dan meminta agar Yoni mau digendong Naya.
Yoni menurut, lalu ia mendekati Naya dan menarik roknya. Tingkah anak kecil itu membuatnya merasa terusik. Lalu, Naya menoleh kebelakang, dan mendapati Yoni yang sedang memegangi roknya.
"Eh, ada anak manis disini ..., ada apa, Sayang?" kata Naya seraya berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Yoni sambil tersenyum dan mengusap rambut kuncirnya.
"Apa, kamu mau pulang?" kata Naya lembut. Yoni pun mengangguk.
"Hemm ...!" Naya mencium pipi gembil Yoni, "Hhati-hati di jalan, ya? Besok kesini lagi!" kata Naya, dan Yoni tersenyum lucu padanya.
Adegan itu dilihat oleh Ares dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan, ada rasa heran campur takjub dibuatnya. Sungguh hal langka kalau Yoni tidak muntah-muntah disentuh Naya. Biasanya, alerginya kambuh setiap kali disentuh orang yang baru saja ditemuinya.
"Benarkan, Pa. Anak manja itu tidak kumat disentuh tante itu!" kata Raya begitu Ares berdiri didekatnya, bersiap-siap pergi menuju mobil. Lalu, setelah semua orang masuk ke mobil, mereka pergi dengan cepat dari restoran itu.
___
Hari sudah hampir mendekati waktu ashar, saat Naya sudah menyelesaikan pekerjaannya dan ia bersiap untuk pulang. Jadwal ship siangnya sudah selesai. Ia segera berpamitan dengan pemilik restoran atau Bos-nya, sebagai bentuk kesopanan.
Sampai di pinggir jalan, ia berniat menaiki angkutan umum seperti biasanya. Rudian tidak bisa menjemputnya, karena suaminya itu juga sibuk bekerja. Ia akan menjemput Naya kalau ia menjalani ship sore saja.
Tiba-tiba sebuah mobil minibus keluaran brand ternama berhenti di depannya. Salah satu jendela kaca mobil terbuka perlahan dan sebuah wajah muncul disana.
"Tante mau pulang? Ayo bareng!" kata Raya, ia terlihat tersenyum ramah dari balik jendela yang terbuka.
Naya melihat hal ini tak percaya, kok bisa kebetulan seperti ini, baru saja mereka bertemu saat makan siang tadi.
"Ayo, gak apa biar sekalian, siapa tahu kita satu arah!" kata Ares dari balik kemudi.
Walau agak ragu, Naya tetap masuk ke dalam mobil. Setelah duduk di samping Raya, ia melihat Yoni yang tengah tertidur. Ia tersenyum dan membelai pipinya dengan lembut. sementara mobil terus melaju.
"Dimana rumahmu?" tanya Ares tanpa melirik Naya, pandangannya lurus ke jalanan.
Naya menunjukkan alamat dan jalan yang mengarah pada perumahan tempatnya tinggal bersama suaminya. Rumah yang jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain berhimpitan, hanya terbatas bata saja dan halaman yang kecil.
"Tante seneng ya, lihat Yoyo?" kata Raya mencoba memecah kesunyian.
"Yoyo, siapa Yoyo?" tanya Naya heran.
"Yoni,.Tante, maksudnya?" jawab Raya sambil tertawa. Mereka baru saja kenal, tapi sudah terlihat akrab.
"Oh! Kalau tante punya anak, pasti sudah sama besarnya dengan Yoni!" kata Naya, sambil melirik anak kecil di sampingnya.
"Oh! Jadi, Tante belum punya anak?"
"Belum!"
"Oh!"
Tak membutuhkan waktu lama, Naya menghentikan mobil Ares dan mengatakan kalau mereka sudah sampai rumahnya.
"Terimakasih, Pak" kata Naya begitu turun dari mobil. Ares hanya mengangguk dan Raya tersenyum tipis. Ia yang sudah berinisiatif pada ayahnya untuk mengajak Naya ikut serta, saat ia melihat perempuan itu berdiri di jalanan dan terlihat sedang menunggu angkutan umum.
Saat Naya baru saja menginjakkan kaki di teras rumahnya, ada sebuah suara yang mengagetkan dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya sebuah suara dari belakang Naya, begitu mobil Ares telah menjauh.
"Bukan siapa-siapa. Jangan salah sangka! Orang itu cuman mengantarku pulang tadi, kebetulan kita searah!" kata Naya setelah menoleh kebelakang dan melihat Rudian--suaminya, berdiri di dekat motornya.
Bersambung
Naya berjalan mendahului Rudian masuk ke dalam rumah, menyimpan tasnya di sofa dan menghenyakkan tubuhnya disana. Ia menatap Rudian yang juga menatapnya dengan tajam, lalu duduk di hadapannya.
"Apa kamu berbohong padaku? Mana mungkin orang yang bukan siapa-siapa, tapi mengantarmu pulang? Kok, aku curiga!" katanya.
"Kenapa harus curiga? Kok, tumben, Abang sudah pulang, biasanya maghrib baru pulang?" tanya Naya mengalihkan pembicaraan dan malas membahas soal Ares--orang yang mengantarnya pulang.
"Jangan mengalihkan perkataanku! Pasti ada yang kamu sembunyikan, kalau tidak, buat apa kamu mengelak?"
"Aku tidak bohong, Bang ...! Yang mengantarku tadi, pelanggan di restoran, dia namanya Raya, dia perempuan, Bang! Aku juga tidak kenal sebelumnya! Tapi aku baru kenal sama anaknya!" kata Naya tersenyum tipis, mengingat wajah Yoni yang lucu.
"Berarti kamu sering ketemu, dong. Awas saja kalau kamu selingkuh!"
"Apa maksud, Abang? Aku tidak akan melakukan perbuatan keji atau berzina, Bang! Aku tahu itu dilarang dalam agama. Naudzubillah ... Astaghfirullah," kata Naya, sambil melangkah ke kamar mandi.
"Aku hanya mengingatkan, Naya! Jangan berbuat macam-macam, hanya karena kamu tidak suka dengan permintaan ibu, soal poligami, lalu kamu begitu ...!" kata Rudian dengan suara keras, ia masih tetap duduk di sofa.
Naya menghentikan langkahnya. Ia kembali menghampiri Rudian, dan membungkukkan badan kearahnya.
"Apa maksud Abang, apa kata-kata ibu yang bisa membuatku tidak suka? Apa Abang benar-benar mau poligami?"
"Itu... Ya... itu kan, ibu yang minta aku buat menikah lagi!" kata Rudian tanpa ekspresi.
"Oh, ya! Bang, walau aku tidak suka, tapi aku tidak akan selingkuh! Apa Abang curiga oadaku, atau berusaha menutupi sesuatu?" Naya berkata sambil menegakkan badannya lagi, hatinya mulai panas.
Rasa lelah setelah bekerja belumlah sirna, tapi kepulangan suaminya yang diluar kebiasaan justru membuat mereka bertengkar.
Sebenarnya hubungan rumah tangga mereka baik-baik saja selama empat tahun, hanya dua tahun belakangan ini yang membuat rumah tangganya mulai dipenuhi banyak masalah, terutama soal anak.
Panggilan Sayang yang selama ini melekat sebagai panggilan kesayangan pada Naya, pun mulai tak terdengar lagi dari mulut Rudian akhir-akhir ini.
"Sudahlah, aku sebagai suami hanya mengingatkan saja, Naya!"
"Atau jangan-jangan, Abang cemburu?"
"Buat apa aku cemburu. Aku hanya benci melihatmu diantar laki-laki lain. Kupikir kamu mendahuluiku selingkuh, padahal aku belum memulainya!" kata Rudian pergi mendahului Naya ke kamar mandi dan menutup pintunya.
"Apa, jadi Abang berniat selingkuh? Istigfar Bang. Istigfar!"
Dok! Dok! suara pintu kamar mandi digedor Naya, meluapkan rasa kesalnya.
"Bang! Apa itu tadi maksudnya, mendahului selingkuh, bahkan sebelum memulai. Apa kanda benar-benar selingkuh? Tapi bukankah menikah lagi lebih baik dari pada berbuat kotor seperti itu? Bang!"
"Ahk ... Tidak, tidak, keduanya tidak ada yang lebih baik! Memangnya siapa Abang mau beristri dua? Ingat, Bang! Penghasilan kita itu pas-pasan!"
Rudian diam di kamar mandi, ia tidak bergeming walau Naya mengoceh di luar pintu sambil berteriak padanya.
-
Sementara di dalam mobil Ares.
"Papa, bukankah aneh, kalau Yoni tidak kambuh?" Tanya Raya masih dengan rasa penasarannya.
"Tidak aneh. Mungkin memang ada beberapa orang asing, yang tidak membuat Yoni mual atau marah!"
"Menurutku ini aneh. Dasar anak manja. Kenapa harus punya alergi seperti itu, apa karena dia tidak punya ibu sejak lahir?"
Ares tak menjawab, menurutnya kejadian antara Naya dan Yoni hari ini hanya kebetulan.
Andai saja ada diantara baby sitter yang pernah bekerja padanya, bisa seperti Naya, yang tidak membuat alergi pada anaknya. Maka ia tidak akan kerepotan seperti sekarang kalau tidak ada ibunya. Ia harus mengantar dan menjemput Raya sekolah, sedangkan, ia juga harus mengurus Yoni jika bekerja.
Biasanya, yang menjaga Yoni adalah ibunya. Namun hari ini, ibunya, Rasti, sedang berada di luar kota menengok keponakannya yang baru melahirkan. Biasanya Yoni selalu diasuh olehnya, karena hanya ibunya lah yang cocok mengasuh Yoni. Anak perempuannya itu baik-baik saja selama bersama neneknya.
Ares, sudah menyerah untuk mencari pendamping yang bisa mengurus anak-anaknya. Bukan karena ia sudah tidak memiliki keinginan terhadap perempuan, tapi kondisi anaknya lah yang memaksanya menyerah. Walaupun, ia sendiri lelah, harus mengurus keluarga dan pekerjaan tanpa bantuan seorang pembantu atau pasangan, tapi ia masih baik-baik saja dan sanggup mengurus mereka.
Menyerah bukan berarti kalah, tapi seandainya ia masih bisa menemukan wanita yang memang bisa beradaptasi dengan Yoni, tentu ia pun ingin menjadikannya sebagai istri.
"Papa tidak penasaran dengan Tante tadi? Papa, aku pikir, Tante itu _ _ " ucapan Raya terputus.
"Hus. Diam, jangan lagi ngomongin orang!" Ares menyela anaknya.
Seketika suasana di mobil itu menjadi hening, sampai mereka tiba di rumah.
-
Sementara itu di tempat yang berbeda. Naya sedang melanjutkan kegiatannya memasak untuk makan malam bersama suaminya. Begitulah aktifitasnya di sela-sela waktunya bekerja. Saat ia mendapat shift pagi, maka ia bisa memasak untuk makan malam. Tapi saat ia mendapatkan ship sore, maka hanya bisa memasak sarapan.
Suasana masih kaku dan canggung, setelah pertengkaran tadi dengan suaminya. Aroma kemarahan masih menyelimuti hati mereka berdua. Rudian benar-benar tak suka melihat istrinya diantar seorang pria. Apalagi laki-laki yang mengantar Naya pulang tadi, terlihat lebih baik dari dirinya.
Ini pertama kalinya Rudian melihat Naya diantar seseorang menggunakan mobil pribadi. Biasanya ia hanya menggunakan ojek, atau angkutan umum lainnya.
Saat makan malam, Rudian masih penasaran dengan kejadian itu, tapi wajah Naya terlihat enggan membahasnya. Jadi, ia memilih membicarakan topik lain.
"Tadi, ada kejadian di pabrik, karyawan pada demonstrasi minta kenaikan gaji. Jadi, mereka mogok kerja masal! Makanya aku pulang lebih awal" katanya panjang lebar.
Pernyataan Rudian itu membuat Naya heran, ia pun bertanya, "Kalau memang ada waktu, kenapa tidak menjemputku?"
"Itu juga mau jemput. Eh, ternyata sudah ada laki-laki lain yang nganter. Wajar, kan, kalau aku kesal?"
"Maaf! Tadi itu anaknya yang ngajak bareng, aku sudah nolak, tapi anaknya yang maksa!" kilah Nayana.
"Wah, kamu akrab ya? Sudah lama kenal?"
"Eh, aku sudah bilang, baru saja kenal sama anaknya hari ini!" kata Naya cemberut, "Sudah, aku malas membahasnya ... Buat apa dijelaskan kalau Abang tidak percaya?"
"Terserah! Kamu sudah tahu, kan, mana yang baik mana yang buruk?" kata Rudian, menyudahi makan malamnya.
Naya mengangguk.
"Abang juga dong, harus hati-hati! Di pabrik banyak cewek cantik, dulu teman-temanku waktu masih kerja di pabrik juga begitu, kalau orang yang tidak kuat-kuat iman, bisa mudah terjerumus dan tergoda!"
Mendengar kata-kata Naya, Rudian tiba-tiba terbatuk-batuk. Naya menyerahkan air minum dan menepuk-nepuk punggung suaminya lembut.
"Oh, iya! Malam ini aku ada perlu, Tio mengundangku main catur dirumah barunya. Jadi gak usah nunggu aku pulang, tidur duluan saja!" kata Rudian sambil menggeser kursi dan meninggalkan meja.
"Cuma mau main catur, Bang?"
"Ya! Kan cuma main catur, bukan main perempuan! Aku mungkin pulang malam."
Naya mengerti, ini sudah jadi kebiasaan suaminya beberapa bulan terakhir, pergi bersenang-senang dengan teman-temannya. Kalau sudah bilang seperti itu, artinya Naya akan tidur sendiri sampai lewat tengah malam, dan tidak perlu menunggu suaminya pulang.
"Aku bawa kunci cadangan, kamu tidur lebih awal, ya!" kata Rudian sambil berlalu, menyalakan sepeda motor yang baru saja lunas cicilannya. Lalu, pergi meninggalkan Naya sendirian.
Setelah Rudian, wanita itu langsung kembali ke dalam, dan memberskan sisa makan malam mereka. Besok, ia harus segera pergi bekerja pagi-pagi sekali, hingga semua pekerjaan rumah, harus ia bereskan di malam hari. Terkadang Naya mencicil meracik masakannya dimalam hari, hingga setelah subuh, ia bisa dengan cepat membereskan masakan untuk sarapan.
"Ya Allah, beri aku kesabaran, apa keadaan rumah tangga yang sudah lama terbina, akan sama seperti ini juga. Tidak ada lagi keromantisan di dalamnya?" gimana Naya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ada perasaan tidak enak, selain itu ada juga rasa diabaikan oleh suaminya yang tidak tahu kerepotannya setiap hari.
Ia tetap harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, tapi ia juga harus mengurus rumah dengan segala perintilannya seorang diri, seolah semua bukan kewajiban suami. Lalu, apa sebenarnya fungsi suami dalam rumah tangga kalau seperti ini, bukankah lebih baik hidup sendiri?
"Rasanya sama saja kalau aku hidup seorang diri tanpa suami!" katanya.lagi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!