Menjadi Madu Sahabatku
"Isyi, aku harus pulang" Ucap Ara merasa tak enak.
"Pulang? Aku pikir kau akan menginap disini." Isyi sedikit memanyunkan bibirnya.
"Amyra, Isyi benar. Menginap lah disini, sekalian menemani Isyi, karena saya akan dinas ke luar kota sore ini." Imran -suami Isyi- menginterupsi percakapan dua sahabat itu.
Ara menatap Isyi dan suaminya bergantian. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bukannya Ara nggak mau, tapi mamah sendirian di rumah." Ucap Ara.
"Maaf ya Isyi, Mas Imran." Lanjut Ara. Diangguki Imran.
"Yah, Ara nggak asik" Protes Isyi. "Mau pulang jam berapa?" Tanya Isyi pada akhirnya.
"Jam 3 an kayaknya" Jawab Ara sambil melihat jam tangannya.
Isyi melirik jam yang menempel di dinding. "Jam 12.25, masih ada waktu. Bagaimana kalau Ara bantu aku masak buat makan siang?" Tanya Isyi bersemangat.
"Em" Ara mengangguk memberi jawaban.
Ara dan Isyi beranjak menuju dapur untuk memasak. Sedangkan Imran memilih untuk mengemas barang yang akan dibawanya untuk kebutuhan selama perjalanan dinasnya.
"Sayang" Panggil Imran beberapa saat kemudian.
"Iya, mas" Jawab Isyi dari dapur. Isyi menatap Ara, Ara menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, setelah mendapat persetujuan dari Ara, Isyi bergegas menemui suaminya.
"Kenapa mas?"
"Aku tidak bisa menemukan dasi warna abu" Rengek Imran. Yah, begitulah. Biasanya Isyi yang selalu menyiapkan segalanya. Tapi Imran berinisiatif menyiapkan barang bawaannya sendiri karena melihat Isyi yang tengah sibuk di dapur bersama temannya.
Isyi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia mulai membuka laci kecil di dalam lemari pakaian.
"Bagaimana cara kamu mencarinya mas?" Tanya Isyi sambil menyodorkan dasi abu yang diinginkan suaminya.
Imran tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Sementara itu di dapur, Ara sedang berkutat dengan masakannya. Ara memang sudah sering berkunjung ke rumah Isyi, ia tahu betul dimana letak bahan maupun peralatan di dapur ini.
Tak berselang lama, Isyi kembali lagi ke dapur dan melanjutkan pekerjaan memasaknya bersama Ara.
...*****...
"Bagaimana mas?" Tanya Isyi antusias.
"Mmm.." Imran masih melanjutkan mengunyah makanannya.
"Iih, mas imraan" Rengek Isyi.
"Enakan yang mana mas?" Tanya Isyi -lagi.
"Semuanya enak." Jawab Imran seadanya.
"Iiiih, maaass. Aku serius ini mas. Mana yang lebih enak?"
"Hmm, semuanya emang enak sayang." Jawab Imran lembut sambil tersenyum. Digenggamnya tangan kiri Isyi yang menganggur diatas meja.
Isyi balas tersenyum dengan malu-malu, semburat merah muda menghiasi pipinya. Pasangan suami istri itu seolah melupakan keberadaan Ara.
Sementara itu, Ara yang duduk di seberang Isyi hanya tersenyum tak enak, merasa tidak seharusnya ia berada disana. Seharusnya ia sekarang sudah berada di rumah.
...-----...
Haaaah..
Ara menghela nafas panjang, tiba-tiba saja ia teringat kejadian hari itu. Kenapa? Karena, saat ini kejadian itu terjadi lagi, mungkin akan terus terjadi setiap harinya. Interaksi Isyi dan suaminya yang tak luput dari perhatiannya. Ini baru dua hari dan ia sudah merasa tak enak berada diantara pasangan suami istri itu.
Isyi yang saat itu duduk di seberang Ara, mengalihkan pandangannya pada Ara.
"Ara, kenapa?" Tanya Isyi. Mengikuti tatapan istrinya, Imran ikut menatap Ara.
Sadar dirinya menjadi pusat perhatian pasangan suami istri didepannya itu, Ara memiringkan kepalanya heran kemudian balik bertanya.
"Kenapa apanya?"
Isyi menatap Ara lamat-lamat,
"Kamu belum menyentuh makananmu" Ucap Isyi sambil menunjuk piring Ara yang masih utuh dengan matanya.
"Barusan juga, kamu menghela nafas. Ada apa Ara? Kamu ada masalah?" Tanya Isyi lembut.
"Ah, oh. Ti-tidak. Aku tidak apa-apa. Aku.. hanya.. sedang memikirkan.. magang, ya, sebentar lagi aku akan magang dan aku belum mendapatkan tempat magang-ku" Bohong Ara. Ah, tidak sepenuhnya bohong, karena itu juga salah satu masalah Ara saat ini.
Ara berharap alasannya dapat diterima oleh Isyi. Ara menampilkan senyumnya, berusaha meyakinkan sahabatnya itu bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sengaja, tatapan Ara bertemu dengan tatapan Imran, suami Isyi dan juga... suaminya sejak dua hari yang lalu. Dengan segera Ara memutus tautan tatapan mereka. Ia masih merasa canggung dengan statusnya saat ini.
Ya, Ara dan Imran sudah menikah atas permintaan Isyi. Pernikahan yang... entah akan seperti apa kedepannya. Ara maupun Imran masih belum paham betul dengan apa yang dimaksudkan Isyi dengan menikahkan mereka berdua. Isyi bahkan mengancam akan kabur dan tidak akan menemui mereka lagi jika mereka tidak mau memenuhi keinginannya.
...*****...
"Ara udah sarapan?" Tanya mamah Diana -mamanya Ara.
"Hm? Udah mah. Mamah udah sarapan?" Tanya Ara.
"Sebenarnya mamah menunggu Ara untuk sarapan bersama, karena Ara bilang Ara mau kesini." Jelas mamah.
"Ya ampun mamah. Mamah belum sarapan? Ini udah jam berapa mah?" Ara jam yang menempel di dinding rumahnya. Jam 10. Astaga, apa yang mamanya pikirkan. Ara menepuk dahinya.
"Kalo begitu, ayo mamah sarapan dulu. Biar Ara temani di meja makan ya" Tawar Ara. Mamah mengangguk sambil tersenyum.
"Kenapa ga ajak Isyi kesini?" Tanya mamah disela kegiatan mengunyahnya.
"Isyi? Mas Imran masih cuti, jadi Isyi ga bakal kesepian mah" Jawab Ara sambil tersenyum. Ia ingat betul alasan apa yang Isyi jelaskan padanya ketika ia diminta untuk menikah dengan suaminya. Kesepian. Ya, katanya Isyi kesepian karena setiap mas Imran pergi bekerja Isyi akan sendirian di rumah. Ara juga tak habis pikir dengan Isyi.
Ara sempat menodong Isyi dengan berbagai pertanyaan ketika ia diminta menikah dengan suami Isyi, Imran.
Isyi, apa kamu bercanda? Jika tidak, apa kamu sudah gila, hm? Apa alasannya? Kenapa aku harus menikah dengan mas Imran? Jangan-jangan... kamu punya penyakit serius? Jika iya, Isyi, ini bukan penyelesaian masalahnya. Atau kamu ada masalah lain? Isyi, katakan padaku!
Ara tertawa lirih mengingat serentetan pertanyaan yang ia ajukan pada sahabatnya, Isyi.
"Kenapa?" Tanya mamah menyadarkan Ara dari lamunannya.
"Hm?"
"Hm? Kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Oh, nggak mah. Keinget sesuatu yang... ya, bisa dibilang lucu" Jawab Ara. Bukannya puas, mamah Diana malah merasa penasaran hal lucu apa yang diingat sama putrinya tiba-tiba sampai ia tertawa sendiri.
Mamah mengakhiri sarapannya dan mengelap bibirnya dengan tisu yang tersedia di meja makan.
"Bagaimana?"
"Apanya mah?" Tanya Ara.
Mamah memutar bola matanya,
"Oh ayolah, Ara. Kamu tahu pasti apa yang mamah maksud."
"Ya, begitulah mah." Jawab Ara seadanya. Mamah mengusap tangan kiri Ara yang berada diatas meja, menatap manik mata putri satu-satunya itu sambil tersenyum yang dibalas dengan senyuman juga oleh Ara.
"Mah" Panggil Ara setelah beberapa saat terdiam. Mamah hanya diam menunggu ucapan Ara selanjutnya.
"Apa keputusan yang Ara ambil ini sudah tepat?" Tanya Ara lirih.
"Kenapa Ara bertanya seperti itu? Menurut mamah, Ara lebih tahu jawabannya." Jawab mamah Diana.
"Kamu sedang ada masalah? Apa kamu menyesal dengan keputusan mu?" Lanjut mamah Diana.
Ara tidak tahu. Batin Ara. Akhirnya Ara hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Ara ingat betul apa yang Imran katakan padanya di malam pernikahan mereka. Bahwa ia menikahi Ara atas permintaan istrinya, Isyi. Imran tidak bisa menolak dan ia berharap Ara dapat membujuk Isyi dan menolak permintaan konyol istrinya itu. Ya, Imran mengatakan semua itu pada Ara. Imran juga sempat menyalahkan Ara karena tidak bisa menolak permintaan Isyi, walau akhirnya ia meminta maaf karena sadar ia juga tak berdaya untuk menolak permintaan Isyi, istri tercintanya.
Pada malam itu, Ara hanya bisa mengucapkan "maaf" pada Imran yang sudah menjadi suaminya itu. Tak ada malam pengantin yang bahagia, hanya kecanggungan yang menyelimuti mereka.
"Ara" Panggil mamah menyadarkan Ara dari lamunannya.
"Jauh termenung" Lanjut mamah dengan nada bercanda yang tak sungguh-sungguh bermaksud bercanda.
To be continued~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
aku mampir thor
2023-03-15
0
Xianlun Ghifa
semangat
2021-10-23
0
𝗦𝗦𝗖࿐𝙇⃝𝙂.ͩ𝘽𝙪ᷡ𝙡𝙚ᷜ
mengikuti kak
2021-10-21
0