Imran menelan ludahnya dengan susah payah.
Isyi, kenapa kau tidak diskusikan dulu denganku? Kenapa kau asal memutuskannya sendiri?
Ara menatap Isyi dan Imran bergantian. Ekspresi kedua orang itu jelas sangat berbeda. Isyi terlihat ceria dan cerah. Sedangkan Imran, ia terlihat tak nyaman dan tak sependapat dengan Isyi.
Tak menggubris reaksi suami dan sahabatnya, Isyi memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya. Ara hanya mengangguk berarti menyamakan pesanannya dengan Isyi, pun dengan Imran. Pelayan undur diri dan meminta mereka menunggu sebentar.
Ya ampun Isyi. Apa kau tidak lihat, suamimu tidak menyukai ide gila mu itu!
Isyi, konsep 'berbagai itu indah' tak selalu benar-benar indah. Tidak dalam hal madu dan dimadu. Batin Ara.
Ragu-ragu Ara hendak bertanya pada Isyi. Bukan bermaksud apa-apa, ia hanya penasaran, sungguh.
"Isyi, apa kau menginginkan anak dariku karena tidak bisa mengand-"
"Ara, JAGA UCAPANMU!" Sentak Imran, bangkit dari duduknya sambil menunjuk tepat di depan wajah Ara. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang marah besar.
Ia marah karena Isyi yang dengan sesuka hatinya menyuruh ia menikahi sahabat sang istri. Marah dengan Isyi yang selalu saja menyebut-nyebut nama Ara dalam setiap percakapan mereka. Marah dengan permintaan gila yang baru saja istrinya katakan. Imran marah.
Apa Isyi sudah tidak menyukainya lagi? Apa Isyi berniat membuangnya dengan mendekatkannya dengan sahabatnya sendiri? Apa Isyi sudah bosan dengannya? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Imran.
Ditambah lagi dengan pertanyaan Ara yang semakin menyulut api amarahnya sampai ke puncak nya. Dan akhirnya, Imran melampiaskan semuanya pada Ara.
Ara terkejut dengan sentakan Imran. Matanya melotot dan bergetar mendengar suara keras dan tegas dari Imran, suaminya, untuk pertama kalinya.
"Mas.." Isyi mencoba menenangkan Imran. Ia juga terkejut dengan reaksi Imran.
Ara menunduk dalam-dalam, tangan kanannya memeluk lengan kirinya.
"Maaf. Aku tidak bermak-"
"Tidak bermaksud, hah!?" Suara Imran masih terdengar kasar di telinga Ara, meski tidak sekeras tadi dan ia sudah duduk di kursinya lagi.
"Maaf"
"Maaf. Aku sungguh minta maaf" Suara Ara bergetar menahan tangis. Sekuat tenaga ia berusaha menahan agar air matanya tak terjatuh di depan mereka. Semakin erat ia memeluk dirinya sendiri.
"Maaf"
"Maaf"
Ara terus menggumamkan kata maaf. Ia sungguh merasa bersalah.
Mas Imran marah besar. Aku sudah membuat kesalahan fatal. Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu. Bagaimana dengan perasaan Isyi? Ia pasti merasa tersinggung. Maaf Isyi, aku benar-benar minta maaf, aku tak bermaksud begitu. Maaf, aku memang jahat!
Hening.
Ara semakin menunduk dan memeluk dirinya semakin erat lagi. Bahunya bergetar. Semua reaksi Ara tak luput dari perhatian Imran dan Isyi.
Apa aku keterlaluan? Imran.
Imran hendak berdiri untuk meraih lengan Ara. Tapi..
"Maaf. Aku ke toilet sebentar" Pamit Ara. Ia sudah tak bisa menahan air matanya. Tak menunggu persetujuan kedua orang itu, Ara bergegas meninggalkan mereka.
"Mas. Kamu keterlaluan. Aku tahu Ara bukannya bermaksud apa-apa. Dia hanya belum menerima situasinya saat ini. Aku harap mas mengerti, mas yang harus membujukny-"
"Isyi, aku juga belum bisa menerima semua ini. Kenapa aku harus mengerti sedangkan kamu juga nggak ngerti aku. Kenapa aku harus membujuknya?"
"Karena sekarang dia istrimu juga, mas." Ucap Isyi sambil menunduk.
"Isyi, apa kamu... sudah bosan denganku? Apa kamu ingin membuang ku? Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"
"Mas.. apa yang mas katakan. Aku mencintaimu mas, selalu, akan selalu."
"Lalu, kenapa kamu melakukan semua ini."
Isyi terdiam. Ia tak langsung menjawab. Mungkin ia sedang merangkai kata untuk menjawab pertanyaan suaminya.
"Aku sudah menjawab pertanyaan mas waktu itu kan?!"
Imran mengusap wajahnya frustasi.
"Isyi, aku tahu kalau kamu kesepian dan harus tinggal sendirian di rumah ketika aku bekerja." Ucap Imran selembut mungkin.
"Tapi bukan seperti ini jalan keluarnya, Isyi." Lanjut Imran.
"Jika ada anak mungkin kamu tidak akan kesepian" Lirih Imran.
Tiba-tiba Imran kepikiran. Kenapa Isyi ingin menunda punya anak? Pernikahan mereka sudah hampir 2 tahun dan mereka memutuskan untuk menunda punya anak seperti permintaan Isyi. Saat itu Imran tidak banyak berpikir. Ia pikir, Isyi hanya belum siap. Bagaimana kalau Isyi tidak pernah siap?
Deg. Bola mata Imran melebar.
Deg deg deg.
Tiba-tiba saja Imran merasa jantungnya berdetak lebih cepat sampai-sampai rasanya ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
"Jangan berpikir macam-macam mas. Aku melakukan semua ini untuk kita semua. Karena aku menyayangimu juga Ara." Jelas Isyi sambil mengusap lembut bahu suaminya.
Imran tak membalas ucapan Isyi karena pramusaji datang untuk menghidangkan pesanan mereka.
Sepeninggal pramusaji, keheningan melanda atmosfer disekitar pasangan suami istri itu. Isyi maupun Imran sepertinya tak ada yang berselera untuk makan, tak ada juga yang berminat melanjutkan perbincangan tadi.
Sedangkan Ara, ia tak kunjung keluar dari toilet. Ketika Isyi teringat dengan Ara, ia hendak menyusul Ara ke toilet tapi tak jadi karena sebuah notif pesan masuk WhatsApp yang ternyata dari Ara.
"Ara.."
"Hm? Kenapa?" Tanya Imran. Ia juga baru teringat dengan Ara.
"Ara pulang duluan katanya." Jelas Isyi.
"Ohh"
"Kita pulang juga yuk mas." Ajak Isyi tergesa-gesa.
"Tapi kamu belum makan sayang. Kamu makan dulu makananmu ya." Bujuk Imran. Imran memang sedikit khawatir dengan Ara. Tapi, Ia juga khawatir dengan Isyi yang belum menyentuh makanannya.
"Tapi, mas-"
"Isyi.. makan dulu." Titah Imran lembut.
Isyi yang mengerti dan tak ingin menambah masalah, ia pun mulai menyantap makanannya.
Isyi benar. Sepertinya aku memang sudah keterlaluan. Aku akan bicara padanya nanti. Batin Imran.
...-----...
Sementara itu ditempat lain, Ara baru saja sampai di rumah barunya, rumah Isyi dan suaminya tentunya. Tapi, ia tak bisa masuk karena ia tak punya kuncinya.
"Astaga Ara. Kamu kan nggak punya kuncinya." Ara bergumam sambil menepuk dahinya.
Ara duduk menunggu di kursi depan rumahnya. Dikeluarkannya handphone dari tas jinjingnya.
Apa aku harus menghubungi Isyi atau mas Imran? Ah tidak, tidak. Sebaiknya aku tunggu saja. Ara.
Untuk menghilangkan bosan, Ara memutuskan untuk bermain game di handphone nya. Tapi, sepertinya itu tak mempan. Sekarang Ara malah mengantuk. Beberapa kali ia menutup mulutnya karena menguap. Dan beberapa saat kemudian, la tertidur. Bahkan ia belum sempat mengeluarkan gamenya.
•••
"Astaga, Ara." Pekik Isyi.
"Kenapa lagi?" Imran tak habis pikir. Tak ada habis-habisnya Isyi mengkhawatirkan Ara.
"Itu mas. Ara kok nggak masuk? Malah tidur diluar. Gimana kalo terjadi sesuatu coba- Ya ampun, Ara kan nggak punya kunci rumah. Gimana bisa masuk kalo dia ga ada kuncinya."
"Anak itu.. lagi-lagi. Kenapa nggak telepon atau apa kek, bilang kuncinya ga ada." Cerocos Isyi sambil melepaskan seat belt.
Imran geleng-geleng kepala melihatnya. Istrinya itu kalo soal Ara, selalu saja mengkhawatirkan segalanya. Tapi, kemudian ia tersenyum. Istrinya ini memang orang yang sangat-sangat baik.
"Ya ampun mas, kok malah senyum-senyum sih? Ayo cepat turun, kasian Ara."
"Iya iya, istriku yang cerewet." Imran terkekeh di akhir kalimatnya.
Blush.
Padahal Isyi bukanlah pengantin baru lagi. Pernikahannya sudah hampir dua (2) tahun. Tapi, panggilan seperti 'istriku' itu selalu saja membuat pipinya memerah.
To be continued~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Acaa Manlng
isyi tipe sahabat yang egois, kekanak kanakan banget
2025-01-14
0
Hanipah Fitri
Ara, sessbat itu kah dirimu . menghadapi sahabat mu yg membingungkan
2023-03-15
0
Jo Doang
semangat ya
2021-10-19
0