"Isyi, aku harus pulang" Ucap Ara merasa tak enak.
"Pulang? Aku pikir kau akan menginap disini." Isyi sedikit memanyunkan bibirnya.
"Amyra, Isyi benar. Menginap lah disini, sekalian menemani Isyi, karena saya akan dinas ke luar kota sore ini." Imran -suami Isyi- menginterupsi percakapan dua sahabat itu.
Ara menatap Isyi dan suaminya bergantian. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bukannya Ara nggak mau, tapi mamah sendirian di rumah." Ucap Ara.
"Maaf ya Isyi, Mas Imran." Lanjut Ara. Diangguki Imran.
"Yah, Ara nggak asik" Protes Isyi. "Mau pulang jam berapa?" Tanya Isyi pada akhirnya.
"Jam 3 an kayaknya" Jawab Ara sambil melihat jam tangannya.
Isyi melirik jam yang menempel di dinding. "Jam 12.25, masih ada waktu. Bagaimana kalau Ara bantu aku masak buat makan siang?" Tanya Isyi bersemangat.
"Em" Ara mengangguk memberi jawaban.
Ara dan Isyi beranjak menuju dapur untuk memasak. Sedangkan Imran memilih untuk mengemas barang yang akan dibawanya untuk kebutuhan selama perjalanan dinasnya.
"Sayang" Panggil Imran beberapa saat kemudian.
"Iya, mas" Jawab Isyi dari dapur. Isyi menatap Ara, Ara menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, setelah mendapat persetujuan dari Ara, Isyi bergegas menemui suaminya.
"Kenapa mas?"
"Aku tidak bisa menemukan dasi warna abu" Rengek Imran. Yah, begitulah. Biasanya Isyi yang selalu menyiapkan segalanya. Tapi Imran berinisiatif menyiapkan barang bawaannya sendiri karena melihat Isyi yang tengah sibuk di dapur bersama temannya.
Isyi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia mulai membuka laci kecil di dalam lemari pakaian.
"Bagaimana cara kamu mencarinya mas?" Tanya Isyi sambil menyodorkan dasi abu yang diinginkan suaminya.
Imran tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Sementara itu di dapur, Ara sedang berkutat dengan masakannya. Ara memang sudah sering berkunjung ke rumah Isyi, ia tahu betul dimana letak bahan maupun peralatan di dapur ini.
Tak berselang lama, Isyi kembali lagi ke dapur dan melanjutkan pekerjaan memasaknya bersama Ara.
...*****...
"Bagaimana mas?" Tanya Isyi antusias.
"Mmm.." Imran masih melanjutkan mengunyah makanannya.
"Iih, mas imraan" Rengek Isyi.
"Enakan yang mana mas?" Tanya Isyi -lagi.
"Semuanya enak." Jawab Imran seadanya.
"Iiiih, maaass. Aku serius ini mas. Mana yang lebih enak?"
"Hmm, semuanya emang enak sayang." Jawab Imran lembut sambil tersenyum. Digenggamnya tangan kiri Isyi yang menganggur diatas meja.
Isyi balas tersenyum dengan malu-malu, semburat merah muda menghiasi pipinya. Pasangan suami istri itu seolah melupakan keberadaan Ara.
Sementara itu, Ara yang duduk di seberang Isyi hanya tersenyum tak enak, merasa tidak seharusnya ia berada disana. Seharusnya ia sekarang sudah berada di rumah.
...-----...
Haaaah..
Ara menghela nafas panjang, tiba-tiba saja ia teringat kejadian hari itu. Kenapa? Karena, saat ini kejadian itu terjadi lagi, mungkin akan terus terjadi setiap harinya. Interaksi Isyi dan suaminya yang tak luput dari perhatiannya. Ini baru dua hari dan ia sudah merasa tak enak berada diantara pasangan suami istri itu.
Isyi yang saat itu duduk di seberang Ara, mengalihkan pandangannya pada Ara.
"Ara, kenapa?" Tanya Isyi. Mengikuti tatapan istrinya, Imran ikut menatap Ara.
Sadar dirinya menjadi pusat perhatian pasangan suami istri didepannya itu, Ara memiringkan kepalanya heran kemudian balik bertanya.
"Kenapa apanya?"
Isyi menatap Ara lamat-lamat,
"Kamu belum menyentuh makananmu" Ucap Isyi sambil menunjuk piring Ara yang masih utuh dengan matanya.
"Barusan juga, kamu menghela nafas. Ada apa Ara? Kamu ada masalah?" Tanya Isyi lembut.
"Ah, oh. Ti-tidak. Aku tidak apa-apa. Aku.. hanya.. sedang memikirkan.. magang, ya, sebentar lagi aku akan magang dan aku belum mendapatkan tempat magang-ku" Bohong Ara. Ah, tidak sepenuhnya bohong, karena itu juga salah satu masalah Ara saat ini.
Ara berharap alasannya dapat diterima oleh Isyi. Ara menampilkan senyumnya, berusaha meyakinkan sahabatnya itu bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sengaja, tatapan Ara bertemu dengan tatapan Imran, suami Isyi dan juga... suaminya sejak dua hari yang lalu. Dengan segera Ara memutus tautan tatapan mereka. Ia masih merasa canggung dengan statusnya saat ini.
Ya, Ara dan Imran sudah menikah atas permintaan Isyi. Pernikahan yang... entah akan seperti apa kedepannya. Ara maupun Imran masih belum paham betul dengan apa yang dimaksudkan Isyi dengan menikahkan mereka berdua. Isyi bahkan mengancam akan kabur dan tidak akan menemui mereka lagi jika mereka tidak mau memenuhi keinginannya.
...*****...
"Ara udah sarapan?" Tanya mamah Diana -mamanya Ara.
"Hm? Udah mah. Mamah udah sarapan?" Tanya Ara.
"Sebenarnya mamah menunggu Ara untuk sarapan bersama, karena Ara bilang Ara mau kesini." Jelas mamah.
"Ya ampun mamah. Mamah belum sarapan? Ini udah jam berapa mah?" Ara jam yang menempel di dinding rumahnya. Jam 10. Astaga, apa yang mamanya pikirkan. Ara menepuk dahinya.
"Kalo begitu, ayo mamah sarapan dulu. Biar Ara temani di meja makan ya" Tawar Ara. Mamah mengangguk sambil tersenyum.
"Kenapa ga ajak Isyi kesini?" Tanya mamah disela kegiatan mengunyahnya.
"Isyi? Mas Imran masih cuti, jadi Isyi ga bakal kesepian mah" Jawab Ara sambil tersenyum. Ia ingat betul alasan apa yang Isyi jelaskan padanya ketika ia diminta untuk menikah dengan suaminya. Kesepian. Ya, katanya Isyi kesepian karena setiap mas Imran pergi bekerja Isyi akan sendirian di rumah. Ara juga tak habis pikir dengan Isyi.
Ara sempat menodong Isyi dengan berbagai pertanyaan ketika ia diminta menikah dengan suami Isyi, Imran.
Isyi, apa kamu bercanda? Jika tidak, apa kamu sudah gila, hm? Apa alasannya? Kenapa aku harus menikah dengan mas Imran? Jangan-jangan... kamu punya penyakit serius? Jika iya, Isyi, ini bukan penyelesaian masalahnya. Atau kamu ada masalah lain? Isyi, katakan padaku!
Ara tertawa lirih mengingat serentetan pertanyaan yang ia ajukan pada sahabatnya, Isyi.
"Kenapa?" Tanya mamah menyadarkan Ara dari lamunannya.
"Hm?"
"Hm? Kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Oh, nggak mah. Keinget sesuatu yang... ya, bisa dibilang lucu" Jawab Ara. Bukannya puas, mamah Diana malah merasa penasaran hal lucu apa yang diingat sama putrinya tiba-tiba sampai ia tertawa sendiri.
Mamah mengakhiri sarapannya dan mengelap bibirnya dengan tisu yang tersedia di meja makan.
"Bagaimana?"
"Apanya mah?" Tanya Ara.
Mamah memutar bola matanya,
"Oh ayolah, Ara. Kamu tahu pasti apa yang mamah maksud."
"Ya, begitulah mah." Jawab Ara seadanya. Mamah mengusap tangan kiri Ara yang berada diatas meja, menatap manik mata putri satu-satunya itu sambil tersenyum yang dibalas dengan senyuman juga oleh Ara.
"Mah" Panggil Ara setelah beberapa saat terdiam. Mamah hanya diam menunggu ucapan Ara selanjutnya.
"Apa keputusan yang Ara ambil ini sudah tepat?" Tanya Ara lirih.
"Kenapa Ara bertanya seperti itu? Menurut mamah, Ara lebih tahu jawabannya." Jawab mamah Diana.
"Kamu sedang ada masalah? Apa kamu menyesal dengan keputusan mu?" Lanjut mamah Diana.
Ara tidak tahu. Batin Ara. Akhirnya Ara hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Ara ingat betul apa yang Imran katakan padanya di malam pernikahan mereka. Bahwa ia menikahi Ara atas permintaan istrinya, Isyi. Imran tidak bisa menolak dan ia berharap Ara dapat membujuk Isyi dan menolak permintaan konyol istrinya itu. Ya, Imran mengatakan semua itu pada Ara. Imran juga sempat menyalahkan Ara karena tidak bisa menolak permintaan Isyi, walau akhirnya ia meminta maaf karena sadar ia juga tak berdaya untuk menolak permintaan Isyi, istri tercintanya.
Pada malam itu, Ara hanya bisa mengucapkan "maaf" pada Imran yang sudah menjadi suaminya itu. Tak ada malam pengantin yang bahagia, hanya kecanggungan yang menyelimuti mereka.
"Ara" Panggil mamah menyadarkan Ara dari lamunannya.
"Jauh termenung" Lanjut mamah dengan nada bercanda yang tak sungguh-sungguh bermaksud bercanda.
To be continued~
"Mah, Ara nginep sini ya?" Tanya Ara pada mamah Diana tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi yang menyala.
"Mamah sih boleh-boleh aja, sayang. Tapi, kamu harus minta izin dulu sama suamimu" Jelas mamah sambil mengusap lembut kepala Ara yang berada di pangkuannya.
Ara hanya menganggukkan kepalanya. Mamah kembali sibuk dengan televisi yang sengaja mereka nyalakan untuk sekedar menghabiskan waktu bersama.
Aku akan telepon Isyi saja. Batin Ara.
Ara menatap jam yang menempel di dinding, jam 3 sore.
"Kalo begitu, Ara ke kamar dulu ya mah. Mau telepon buat minta izin terus Ara mau mandi deh." Ara segera bangkit dan memasuki kamar setelah mendapat anggukan dari mamah.
Huft.
Ara menghempaskan tubuhnya di kasur, menghela nafas.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia bangun dan menyambar handphone yang tergeletak begitu saja di atas nakas samping tempat tidur.
"Isyi.. Isyi.. Nah, ini dia"
Tut.. Tut..
Tut.. Tut.. tuut..
"Halo, Isyi" Sapa Ara.
"Isyi, sepertinya aku akan menginap di rumah mamah malam ini. Kau tenang saja, aku tidak apa-apa. Hanya saja, aku akan pulang sangat sore, dan rumah mamah lebih dekat dari kampus. Oh iya, tolong beritahu mas Imran aku menginap di rumah mamah. Tadinya aku mau menelepon mas Imran, tapi aku pikir sebaiknya aku menelepon mu saja." Cerocos Ara. Ara berhenti bicara untuk sekedar mengisi oksigen di paru-parunya, mengingat laju bicaranya yang seperti kereta api itu Ara bahkan lupa kapan ia mencuri waktu untuk bernafas.
"Isyi!?" Ara bingung karena Isyi tak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun. Dilihatnya layar handphonenya, masih tersambung. Tapi kenapa Isyi tak mengatakan apapun!?
"Halo, Isyi. Kau disana?"
[Ah, Isyi sedang di kamar mandi. Ini aku.]
Mas Imran. Itu suara mas Imran! Apa yang harus aku katakan sekarang? Jerit batin Ara.
"Oh, em. Ah ya kalau begitu. Ara minta izin buat nginep di rumah mamah malam ini ya mas?" Tanya Ara hati-hati.
[Hm. Terserah kau saja. Nanti aku sampaikan pada Isyi.]
"Hm, terima kasih mas. Kalau begitu, a-aku tutup teleponnya."
[Ya-]
[-Ah, tunggu-]
Suara dari seberang sana menginterupsi.
Terpaksa Ara menghentikan niatnya yang akan mematikan panggilan itu.
"Ya!?"
[Lain kali. Jika ada apa-apa, kau bisa meneleponku.]
Ara mngerjapkan matanya.
Drrt
[Aku mengirim pesan WhatsApp. Save nomorku] Terdengar seperti perintah bagi Ara.
"Ba-baiklah" Gelagap Ara.
[Yasudah-]
Tut. Panggilan diakhiri.
Huh, padahal Ara belum menjawab meski sekedar ucapan 'sampai jumpa besok' tapi Imran sudah mematikan teleponnya.
Ara tahu, sebenarnya suaminya itu sedang menjaga jarak dengannya. Dia memang memenuhi permintaan Isyi, tapi sebenarnya dalam hatinya, ia tak pernah benar-benar menerima Ara sebagai istri keduanya, Ara tahu itu, sungguh.
Ara duduk termenung -lagi- di sisi tempat tidur. Handphonenya ia letakkan begitu saja diatas kasur.
...-----...
"Aku juga minta maaf padamu... Ara. Aku akan memenuhi kewajibanku untuk menafkahimu. Kau tidak usah khawatir, aku juga akan membayar biaya kuliahmu. Tapi, hanya itu yang bisa kuberikan."
Ara yang duduk dengan memeluk kedua lututnya semakin mengeratkan tangannya. Menumpuk dagunya diatas kedua lututnya. Ara paham betul apa yang dimaksud suaminya. Jadi seperti itu ya? Pernikahan ini hanya sebatas diatas buku nikah. Hanya sebatas 'status' suami dan istri. Ah iya, pernikahan terjadi juga sebatas memenuhi permintaan Isyi.
"Jika... kamu punya, maksudku, jika ada seseorang yang kau sukai-"
"Tidak, aku tidak punya. Mas jangan khawatir tidak ada orang yang aku sukai, aku tidak akan melakukan hal yang tidak seharusnya." Jelas Ara sambil mengangkat kepalanya, menatap Imran dengan meyakinkan.
"Tidak, bukan itu maksudku. Aku tidak akan melarangmu. Jika suatu saat nanti ada seseorang yang kau cintai yang juga mencintaimu, katakan saja padaku. Aku akan membujuk Isyi agar aku bisa-"
"Membujuk Isyi agar mas bisa melepaskan ku?" Potong Ara. Suaranya terdengar sedikit tegas dan datar. Ara mengalihkan pandangannya ke sisi kanan, menghindari bertatapan langsung dengan Imran. Ada sesak yang entah karena apa sebabnya menyerang dadanya.
...-----...
Haah..
Ara masih saja merasa sesak jika mengingat percakapan malam itu. Ara juga tidak tahu apa sebabnya. Apa mungkin karena statusnya sekarang ia sudah menjadi seorang istri?
Jika seorang istri mendengar bahwa suaminya akan dengan suka rela melepaskannya untuk pria lain, entah bagaimana dan seperti pernikahan yang mereka jalani, tentunya akan merasa sesak dan sakit hati juga kan!? Ya, pasti karena itu. Pikir Ara.
Aku bukannya menyukai mas Imran juga kan!? Tidak, pasti perasaan sesak itu hanya karena aku merasa bahwa ego ku sebagai seorang istri terluka. Ya, seperti itu.
15.39.
Huft,
"Sebaiknya aku cepat mandi saja" Gumam Ara.
...-----...
"Oh iya mah. Hari ini mamah nggak ke toko?" Tanya Ara sambil menuangkan segelas air hangat untuk mamah Diana.
"Enggak" Jawab mamah sambil menggeleng.
"Mamah mau menghabiskan waktu sama putri mamah satu-satunya. Lagian di toko juga ada Nisa sama Arin, mereka pasti bisa meng-handle urusan di toko."
"Iya mah. Sebaiknya mamah banyak istirahat aja di rumah jangan cape-cape. Nanti biar Ara bantu-bantu lagi di toko."
Mamah menggeleng.
"Ara fokus saja sama kehidupan Ara."
"Kehidupan Ara? Mamah juga bagian dari kehidupan Ara. Ara memang udah nikah, tapi Ara tetap putri mamah 'kan!?" Ara mengeluarkan pertanyaan retoris nya.
"Tapi, nak-"
"Mah," Ara menggenggam kedua tangan mamah Diana.
"Mas Imran juga pasti tidak akan melarang"
Dia bahkan mungkin tidak akan tertarik dengan segala urusanku.
"Kalo soal Isyi. Aku akan ajak Isyi supaya dia nggak kesepian." Ara tersenyum sampai matanya sedikit menyipit.
"Baiklah. terserah Ara saja."
Setidaknya aku tidak akan merasa tak enak ataupun sesak ketika berada di toko.
"Ayo makan mah." Ara mengambilkan nasi dan lauknya untuk mamah.
"Ara juga makan yang banyak" Mamah mengambil piring Ara dan mengisinya.
"Ara bisa ambil sendiri padahal mah."
"Ara isi piring mamah, mamah isi piring Ara. Romantis 'kan?" Kelakar mamah sambil tertawa ringan. Ara ikut terkekeh.
"Kok aku geli ya, dengar kata romantis dari mamah.. hehe"
"Eh jangan salah, biarpun mamah udah tua, mamah juga ngerti yang romantis-romantisan, mamah juga sering liat sinetron di TV-TV."
"Hahaha.. Iya deh iya. Kayaknya itu efek kebanyakan nonton sinetron deh" Ara terus tertawa, Ara mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf 'V' tanda damai dan ia akan berusaha menghentikan tawanya. Sedangkan mamah Diana hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya itu yang susah sekali berhenti jika sudah tertawa.
"Sudah-sudah.. cepat habiskan makananmu" Tegur mamah pada akhirnya. Obrolan-obrolan ringan diselingi suara tawa menemani makan malam ibu dan anak itu.
Sedangkan di tempat lain, di rumah pasangan suami istri Isyi dan Imran. Isyi tak henti-hentinya menanyakan Ara.
"Kenapa Ara menginap? Kenapa Ara tak menelepon lagi dan bicara langsung padaku?" Keluh Isyi.
"Sudahlah sayang. Nanti kan kamu bisa telepon dia setelah makan malam." Ucap Imran lembut meski ia merasa sedikit jengah karena sedari tadi, istrinya itu terus saja membahas Ara.
...-----...
Mamah Diana dan Ara sedang duduk di kursi depan tv setelah selesai makan malam. Menonton sinetron yang ditayangkan sambil mengomentari beberapa adegan.
Drrt.. drrt..
Handphone Ara yang tergeletak di atas meja bergetar. Mendapati sebuah panggilan masuk, dilihatnya nama si pemanggil kemudian Ara segera mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Isyi" Sapa Ara.
To be continued~
"Halo, Isyi."
[Ara, aku kangen] Suara Isyi begitu menggemaskan ditelinga Ara. Ara terkekeh pelan.
"Astaga Isyi. Belum juga satu hari" Ara geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Memang ada-ada saja sahabatnya itu.
[Gimana di kampus?] Tanya Isyi dari seberang.
"Hm? Ah, oh. Ya, seperti biasa." Ara mendadak gelagapan.
[What's wrong, Ara? Sepertinya kamu sedang ada masalah!?]
Banyak. Masalahku banyak Isyi.
"Nothing.. cuma masalah nilai. Sepertinya aku harus mengikuti perbaikan nilai. Akhir-akhir ini sepertinya aku akan sedikit sibuk."
[Ooh, baiklah. Semangat ya Ra! Aku tahu kamu pasti bisa.]
"Iya, makasih Isyi."
[Em, besok kamu pulang kan Ra?] Tanya Isyi.
"Pu-pulang?"
[Heem, pulang kesini. Sekarang rumah kamu kan disini.]
"Ah i-iya. Besok aku akan pulang."
Apa disana memang rumah tempatku pulang?
[Kalo begitu. See you tomorrow~]
"Heem. See you~"
Tut. Panggilan berakhir.
"Apa itu Isyi?" Tanya mamah.
"Hm, iya mah"
"Dia benar-benar perhatian padamu. Dia selalu mengkhawatirkan mu. Sebenarnya mamah senang karena kamu sekarang tinggal bersama seseorang seperti Isyi. Dia begitu menyayangimu, mamah tahu bahwa dia benar-benar menyayangimu. Dia pasti akan selalu ada untukmu."
"Mah.."
"Mamah sudah merasa tenang jika yang maha kuasa memanggil mamah-"
"Mah, jangan bicara seperti itu."
"Ara.. mamah tidak bisa selamanya menemani Ara. Dan sekarang mamah sudah tenang karena Ara sudah menikah dan juga bisa bersama dengan sahabat Ara."
"Mamah." Mata Ara berkaca-kaca, pun dengan mamah yang sedari tadi suaranya sudah bergetar seperti mau menangis.
Mamah merentangkan tangannya, disambut pelukan oleh Ara. Mamah mengusap lembut Surai hitam milik Ara.
"Cinta akan hadir seiring waktu yang dihabiskan bersama. Mamah yakin kalian bertiga bisa hidup bahagia bersama, saling menjaga, menyayangi dan mencintai."
Berbahagialah, Ara sayang.
Ara tak menyahut, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menahan suara tangisnya.
Hidup bahagia, ya!?
"Aduh.. kenapa putri mamah cengeng banget si hm!?" Dengan nada mengejek yang dibuat-buat, Mamah mengusap sisa air mata di pipi Ara.
"Ya karena mamahnya juga cengeng.. hehe" Sahut Ara sambil menghapus sisa air mata di pipi mamahnya.
"Dah.. tidur gih. Ini udah malem." Titah mamah Diana.
"Oke, mah. Selamat malam"
Cup cup. Ara mengecup pipi kiri dan kanan mamah Diana. Membuat sebuah senyuman kembali terlukis di wajah mamah Diana.
"Oke, sayang. Selamat malam"
Dikecupnya kedua pipi dan kening Ara.
Drrt
Baru saja Ara memasuki kamarnya, sebuah notifikasi pesan masuk WhatsApp menjadi perhatiannya. Itu dari Isyi.
[Jaga diri baik-baik. Besok pulang sebelum makan siang ya~ Besok mas Imran akan mengajak kita makan siang di luar. Yuhuu]
^^^Ya, baiklah. Aku akan pulang sebelum jam makan siang. ^_^^^^
[👍👍👍 Aku akan menunggumu. 😄]
Read.
Haah.
Ara meringis saat tiba-tiba ia ingat alasannya untuk keluar rumah. Ia izin untuk pergi ke kampus, dan itu hanyalah kebohongan belaka. Itu hanya akal-akalan Ara agar bisa keluar rumah dan tidak menggangu Isyi dan suaminya.
...-----...
"Araaa"
Ara mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang memanggil namanya. Ia tahu betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Isyi. Ara berdiri menyambutnya.
Isyi menghampiri Ara dan memeluknya seperti baru bertemu setelah beberapa tahun, begitu erat.
Ara hendak mengambil tangan Imran untuk mencium punggung tangan pria itu. Tapi ia mengurungkan niatnya karena sebuah suara yang tak asing memanggil namanya. Imran dan Isyi menatap tangan Imran yang masih menggantung di udara.
"Hai, Myr" Sapa seorang wanita. Berjalan menghampiri Ara bersama seorang pria disampingnya.
"Oh, hai Lia" Balas Ara.
"Amyra Rahma" Panggil pria yang datang bersama Lia, tiba-tiba.
"Y-ya?" Ara mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba dia memanggil namanya? lengkap pula.
"Hai, ini pertama kalinya kita berbicara. Kamu pasti belum tahu siapa aku-"
"Fikri Mahendra. Aku tahu. Kita kan sekelas" Potong Ara.
"Oho wOw~ ternyata kamu tahu namaku. Aku tak menyangka ternyata kau juga memperhatikan aku. Ah tapi aku tahu, kau juga pasti tak bisa menolak pesona ku ya." Ucap Fikri dengan percaya dirinya.
Lia menepuk keningnya melihat kelakuan temannya itu. Sedangkan Ara, ia melongo melihat kelakuan pria bernama Fikri itu yang sok akrab dengannya.
"Heh, jangan bikin malu dong Lo" Bisik Lia yang masih bisa Ara dengar. Lia menyikut perut Fikri membuat pria itu mengaduh pelan.
"Udah Myr, gausah peduliin dia. Dia emang narsis and annoying." Jelas Lia pada Ara.
I know. dia memang menyebalkan, makanya aku tak suka terlibat dengannya.
"Eh iya Myr. Jadi kan kita magang bareng?" Tanya Lia.
"Eh, sama gue juga kan Mel!?" Tanya Fikri yang tak digubris oleh Lia ataupun Ara.
"Iya Lia. Udah ada tempat yang fiks belum ya?" Tanya Ara.
"Iya Myr. Ini tuh kantor tempat sepupuku kerja, jadi gampang lha.. hehe"
"Amalia" Fikri tak menyerah.
"Oh gitu ya, syukur deh. Makasih ya Lia."
"Iya Myr. Santai aja Myr. Apa sih Fik?"
"Gue ikut-"
"Ara" Panggil Isyi membuat ucapan Fikri terpotong, hal itu menarik perhatian Ara dan Lia juga Fikri.
"Ya!? Eh, iya. Isyi, Mas Imran, ini Lia dan ini Fikri, teman kelas Ara. Lia, Fikri, ini Isyi teman SMA-ku dan suaminya Mas Imran" Ara mengenalkan mereka.
Isyi menatap Ara dengan ekspresi yang tak terbaca, pun dengan Imran. Kemudian mereka saling menatap.
Jadi, dia benar-benar ingin menyembunyikannya ya!? Seperti itulah kira-kira isi hati pasangan suami istri itu.
"Oh iya, salam kenal" Lia.
"Salam kenal" Fikri.
"Salam kenal" Isyi dan Imran berbarengan.
"Yaampun, kalo suami istri emang beda ya. Kompak banget." Kelakar Fikri sambil tertawa ringan. Tapi, respon pasangan suami istri itu diluar dugaan. Mereka seperti.. tak nyaman!? pun dengan Ara.
Sadar dengan situasi yang kurang nyaman, Lia memutuskan untuk undur diri.
"Kalo begitu. Kami permisi dulu. Nanti aku chat ya Myr" Pamit Lia sambil menarik Fikri agar mengikutinya. Dibalas anggukan oleh Ara, Isyi dan Imran.
"Maaf ya Isyi, mas Imran. Ayo, kita bisa pesan sekarang."
"Ara-"
"Oh iya. Aku minta maaf karena aku tidak bisa pulang dulu tadi. Aku abis dari toko dulu, kalo pulang dulu takutnya nanti kalian malah nunggu lama." Ara memotong ucapan Isyi. Katakanlah ia tak sopan, tapi ia tahu apa yang akan Isyi katakan dan Ara sedang tidak ingin membahasnya.
"Ah iya. Baiklah, aku akan memaafkan mu tapi dengan satu syarat." Ucap Isyi sambil mengacungkan jari telunjuknya. Raut wajahnya berubah ceria seketika.
"S-Syarat?"
"Ya. Malam ini, Mas Imran akan tidur di kamarmu." Ucap Isyi bersemangat sambil tersenyum cerah.
"Hah!?"
"What!?" Ara membekap mulutnya karena sadar suaranya terlalu keras hingga menarik perhatian beberapa pelanggan yang duduk di meja dekat dengan mereka.
"Kenapa kalian sangat terkejut? Itu bukanlah hal yang aneh bukan?"
Itu sangat aneh! Seorang istri yang dengan semangat menyerahkan suaminya pada madunya sendiri yang adalah sahabatnya. Apa kepala Isyi terbentur sesuatu? Batin Ara menjerit.
Ara dan Imran saling menatap sampai Ara memutusnya terlebih dahulu.
To be continued~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!