"Mah, Ara nginep sini ya?" Tanya Ara pada mamah Diana tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi yang menyala.
"Mamah sih boleh-boleh aja, sayang. Tapi, kamu harus minta izin dulu sama suamimu" Jelas mamah sambil mengusap lembut kepala Ara yang berada di pangkuannya.
Ara hanya menganggukkan kepalanya. Mamah kembali sibuk dengan televisi yang sengaja mereka nyalakan untuk sekedar menghabiskan waktu bersama.
Aku akan telepon Isyi saja. Batin Ara.
Ara menatap jam yang menempel di dinding, jam 3 sore.
"Kalo begitu, Ara ke kamar dulu ya mah. Mau telepon buat minta izin terus Ara mau mandi deh." Ara segera bangkit dan memasuki kamar setelah mendapat anggukan dari mamah.
Huft.
Ara menghempaskan tubuhnya di kasur, menghela nafas.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia bangun dan menyambar handphone yang tergeletak begitu saja di atas nakas samping tempat tidur.
"Isyi.. Isyi.. Nah, ini dia"
Tut.. Tut..
Tut.. Tut.. tuut..
"Halo, Isyi" Sapa Ara.
"Isyi, sepertinya aku akan menginap di rumah mamah malam ini. Kau tenang saja, aku tidak apa-apa. Hanya saja, aku akan pulang sangat sore, dan rumah mamah lebih dekat dari kampus. Oh iya, tolong beritahu mas Imran aku menginap di rumah mamah. Tadinya aku mau menelepon mas Imran, tapi aku pikir sebaiknya aku menelepon mu saja." Cerocos Ara. Ara berhenti bicara untuk sekedar mengisi oksigen di paru-parunya, mengingat laju bicaranya yang seperti kereta api itu Ara bahkan lupa kapan ia mencuri waktu untuk bernafas.
"Isyi!?" Ara bingung karena Isyi tak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun. Dilihatnya layar handphonenya, masih tersambung. Tapi kenapa Isyi tak mengatakan apapun!?
"Halo, Isyi. Kau disana?"
[Ah, Isyi sedang di kamar mandi. Ini aku.]
Mas Imran. Itu suara mas Imran! Apa yang harus aku katakan sekarang? Jerit batin Ara.
"Oh, em. Ah ya kalau begitu. Ara minta izin buat nginep di rumah mamah malam ini ya mas?" Tanya Ara hati-hati.
[Hm. Terserah kau saja. Nanti aku sampaikan pada Isyi.]
"Hm, terima kasih mas. Kalau begitu, a-aku tutup teleponnya."
[Ya-]
[-Ah, tunggu-]
Suara dari seberang sana menginterupsi.
Terpaksa Ara menghentikan niatnya yang akan mematikan panggilan itu.
"Ya!?"
[Lain kali. Jika ada apa-apa, kau bisa meneleponku.]
Ara mngerjapkan matanya.
Drrt
[Aku mengirim pesan WhatsApp. Save nomorku] Terdengar seperti perintah bagi Ara.
"Ba-baiklah" Gelagap Ara.
[Yasudah-]
Tut. Panggilan diakhiri.
Huh, padahal Ara belum menjawab meski sekedar ucapan 'sampai jumpa besok' tapi Imran sudah mematikan teleponnya.
Ara tahu, sebenarnya suaminya itu sedang menjaga jarak dengannya. Dia memang memenuhi permintaan Isyi, tapi sebenarnya dalam hatinya, ia tak pernah benar-benar menerima Ara sebagai istri keduanya, Ara tahu itu, sungguh.
Ara duduk termenung -lagi- di sisi tempat tidur. Handphonenya ia letakkan begitu saja diatas kasur.
...-----...
"Aku juga minta maaf padamu... Ara. Aku akan memenuhi kewajibanku untuk menafkahimu. Kau tidak usah khawatir, aku juga akan membayar biaya kuliahmu. Tapi, hanya itu yang bisa kuberikan."
Ara yang duduk dengan memeluk kedua lututnya semakin mengeratkan tangannya. Menumpuk dagunya diatas kedua lututnya. Ara paham betul apa yang dimaksud suaminya. Jadi seperti itu ya? Pernikahan ini hanya sebatas diatas buku nikah. Hanya sebatas 'status' suami dan istri. Ah iya, pernikahan terjadi juga sebatas memenuhi permintaan Isyi.
"Jika... kamu punya, maksudku, jika ada seseorang yang kau sukai-"
"Tidak, aku tidak punya. Mas jangan khawatir tidak ada orang yang aku sukai, aku tidak akan melakukan hal yang tidak seharusnya." Jelas Ara sambil mengangkat kepalanya, menatap Imran dengan meyakinkan.
"Tidak, bukan itu maksudku. Aku tidak akan melarangmu. Jika suatu saat nanti ada seseorang yang kau cintai yang juga mencintaimu, katakan saja padaku. Aku akan membujuk Isyi agar aku bisa-"
"Membujuk Isyi agar mas bisa melepaskan ku?" Potong Ara. Suaranya terdengar sedikit tegas dan datar. Ara mengalihkan pandangannya ke sisi kanan, menghindari bertatapan langsung dengan Imran. Ada sesak yang entah karena apa sebabnya menyerang dadanya.
...-----...
Haah..
Ara masih saja merasa sesak jika mengingat percakapan malam itu. Ara juga tidak tahu apa sebabnya. Apa mungkin karena statusnya sekarang ia sudah menjadi seorang istri?
Jika seorang istri mendengar bahwa suaminya akan dengan suka rela melepaskannya untuk pria lain, entah bagaimana dan seperti pernikahan yang mereka jalani, tentunya akan merasa sesak dan sakit hati juga kan!? Ya, pasti karena itu. Pikir Ara.
Aku bukannya menyukai mas Imran juga kan!? Tidak, pasti perasaan sesak itu hanya karena aku merasa bahwa ego ku sebagai seorang istri terluka. Ya, seperti itu.
15.39.
Huft,
"Sebaiknya aku cepat mandi saja" Gumam Ara.
...-----...
"Oh iya mah. Hari ini mamah nggak ke toko?" Tanya Ara sambil menuangkan segelas air hangat untuk mamah Diana.
"Enggak" Jawab mamah sambil menggeleng.
"Mamah mau menghabiskan waktu sama putri mamah satu-satunya. Lagian di toko juga ada Nisa sama Arin, mereka pasti bisa meng-handle urusan di toko."
"Iya mah. Sebaiknya mamah banyak istirahat aja di rumah jangan cape-cape. Nanti biar Ara bantu-bantu lagi di toko."
Mamah menggeleng.
"Ara fokus saja sama kehidupan Ara."
"Kehidupan Ara? Mamah juga bagian dari kehidupan Ara. Ara memang udah nikah, tapi Ara tetap putri mamah 'kan!?" Ara mengeluarkan pertanyaan retoris nya.
"Tapi, nak-"
"Mah," Ara menggenggam kedua tangan mamah Diana.
"Mas Imran juga pasti tidak akan melarang"
Dia bahkan mungkin tidak akan tertarik dengan segala urusanku.
"Kalo soal Isyi. Aku akan ajak Isyi supaya dia nggak kesepian." Ara tersenyum sampai matanya sedikit menyipit.
"Baiklah. terserah Ara saja."
Setidaknya aku tidak akan merasa tak enak ataupun sesak ketika berada di toko.
"Ayo makan mah." Ara mengambilkan nasi dan lauknya untuk mamah.
"Ara juga makan yang banyak" Mamah mengambil piring Ara dan mengisinya.
"Ara bisa ambil sendiri padahal mah."
"Ara isi piring mamah, mamah isi piring Ara. Romantis 'kan?" Kelakar mamah sambil tertawa ringan. Ara ikut terkekeh.
"Kok aku geli ya, dengar kata romantis dari mamah.. hehe"
"Eh jangan salah, biarpun mamah udah tua, mamah juga ngerti yang romantis-romantisan, mamah juga sering liat sinetron di TV-TV."
"Hahaha.. Iya deh iya. Kayaknya itu efek kebanyakan nonton sinetron deh" Ara terus tertawa, Ara mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf 'V' tanda damai dan ia akan berusaha menghentikan tawanya. Sedangkan mamah Diana hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya itu yang susah sekali berhenti jika sudah tertawa.
"Sudah-sudah.. cepat habiskan makananmu" Tegur mamah pada akhirnya. Obrolan-obrolan ringan diselingi suara tawa menemani makan malam ibu dan anak itu.
Sedangkan di tempat lain, di rumah pasangan suami istri Isyi dan Imran. Isyi tak henti-hentinya menanyakan Ara.
"Kenapa Ara menginap? Kenapa Ara tak menelepon lagi dan bicara langsung padaku?" Keluh Isyi.
"Sudahlah sayang. Nanti kan kamu bisa telepon dia setelah makan malam." Ucap Imran lembut meski ia merasa sedikit jengah karena sedari tadi, istrinya itu terus saja membahas Ara.
...-----...
Mamah Diana dan Ara sedang duduk di kursi depan tv setelah selesai makan malam. Menonton sinetron yang ditayangkan sambil mengomentari beberapa adegan.
Drrt.. drrt..
Handphone Ara yang tergeletak di atas meja bergetar. Mendapati sebuah panggilan masuk, dilihatnya nama si pemanggil kemudian Ara segera mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Isyi" Sapa Ara.
To be continued~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
𝗦𝗦𝗖࿐Melda Ayu Refflessia
hadiirr nihhh kakak
smngat ya otho
2021-09-02
1
Masyitah Ellysa
next yaa author 😘 ceritanya best 👍
2021-08-22
1