Gadis Cacat Itu Aku

Gadis Cacat Itu Aku

Kamila Maharani

Langit gelap perlahan mulai menutup bumi. Siang yang panjang sudah terganti dengan warna yang berbeda. Mendung pun ikut menambah warna gelap di langit sore itu.

Seorang ibu muda yang sedang hamil mengeluhkan sakit di perutnya. Sepertinya ibu itu sudah tiba waktunya untuk melahirkan.

Dia sedang duduk sendiri di gubuk kecil miliknya yang di buat bersama sang suami. Di belakangnya anak pertama dan suaminya sedang mempersiapkan keperluan untuk lahiran.

Gubuk yang mereka tempati hanya berdinding bambu yang di beberapa sisinya sudah terkoyak karena hujan dan panas yang menerpanya.

Hawa dingin mulai menusuk ke tulang wanita itu. Di tambah nyerinya perut yang sudah membesar.Menambah betapa sulitnya malam ini untuk dia lewati.

"Pak, sakit pak! Cepat panggilkan nyai Ijah." Perintah wanita itu pada sang suami. Dia masih mengelus perutnya yang sudah sangat keras karena kontraksi yang terjadi.

Ibu muda yang baru memiliki satu anak laki-laki.Setelah sebelas tahun akhirnya di karuniai anak kedua. Dan malam ini sepertinya sudah waktunya si jabang bayi itu lahir.

"Iya bu, bapak akan menjemput nyai Ijah dulu, kamu di rumah saja sama Dimas!" ucap Harun. Suami dari ibu yang tak lain bernama Karinah. Dimas adalah anak pertama mereka.

"Iya pak, kamu cepat sedikit aku sudah tidak tahan lagi!" ucap Karinah sambil menahan sakit. Di bantu Dimas, Karinah berjalan ke ranjang kayu tanpa kasur milik keluarga itu satu-satunya.

"Iya-iya," Harun segera keluar dari gubuk tempat tinggalnya. Dia harus menjemput nyai Ijah, dukun bayi di desa itu.

Karena desa masih sangat pelosok dan juga jauh dari puskesmas. Maka para penduduk di sana masih menggunakan jasa dukun bayi saat melahirkan anak mereka.

Harun bergegas melangkah, sesekali dia berlari agar segera sampai di rumah nyai Ijah. Jarak rumah mereka lumayan jauh. Harun hanya bisa berjalan kaki karena dia tidak memiliki sepeda atau motor.

Langit sedang tak bersahabat, baru beberapa puluh meter Harun keluar rumah, tiba-tiba hujan turun membasahi tubuhnya.

Karena terburu-buru dia lupa tidak membawa payung. Demi bisa segera membawa nyai Ijah, Harun harus menerobos hujan itu.

"Nyai-nyai!" teriak Harun saat di depan pintu rumah nyai Ijah sambil mengetuk pintu wanita paruh baya itu.

Nyai Ijah berjalan tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya karena mendengar seseorang memanggilnya dengan sangat khawatir.

"Harun ada apa?" tanya nyai Ijah saat dia sudah membuka pintu rumahnya.

"Nyai tolong bantu istri saya mau lahiran," pinta Harun.

"Karinah sudah mau lahiran, iya udah Harun tunggu sebentar saya mau mengambil payung dulu," ucap nyai Ijah, dia lalu terburu-buru masuk ke dalam rumah dan mengambil payung miliknya.

"Sudah ayo!" beberapa saat kemudian mereka sudah berangkat menuju ke rumah Harun.

Hujan semakin lebat saja,Harun yang sudah terlanjur basah hanya bisa menggigil karena kedinginan. Keduanya kesulitan dalam berjalan karena angin malam itu lumayan kencang. Di tambah air yang tak berhenti mengguyur bumi secara terus menerus.

Nyai Ijah dan Harun sampai di gubuk reyot milik pria itu beberapa saat setelah menerjang hujan. Terdengar rintihan Karinah di dalam rumah. Wanita itu sudah mengalami pembukaan hampir sempurna di atas ranjangnya.

Bahkan dia sudah beberapa kali mengejan. Untung saja nyai Ijah sudah sampai. Dia segera melihat keadaan Karinah.

Peluh bercucuran di dahi dan tubuh Karinah. Dia sedang berjuang mengorbankan hidupnya demi kehidupan baru untuk anak keduanya.

"Ayo Karinah kamu mengejan, kepalanya sudah terlihat."

Nyai Ijah segera membantu Karinah. Sedangkan Harun dan Dimas menunggu di luar kamar Karinah.

"Bapak, adik Dimas sudah mau lahir ya?" tanya anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Dia masih sangat polos.

"Iya nak, adikmu sudah mau lahir. Semoga ibu dan adik selamat. Kamu berdoa ya nak?" pinta Harun pada anaknya.

"Baik pak," Dimas adalah anak penurut.Dia selalu bisa mengerti keadaan kedua orang tuanya.

Hidup dalam keluarga yang serba kurang, membuat Dimas menjadi anak yang mau bekerja keras. Di usianya yang masih terbilang kecil, dia sudah membantu bapaknya di ladang. Juga terkadang membantu ibunya menanam padi bersama para buruh lainnya.

"Oeeek oeek," suara tangisan bayi terdengar begitu nyaring.Bersamaan dengan suara guntur yang tak berhenti dari tadi.

Harun menghela napas lega. Akhirnya anak yang mereka nantikan selama sembilan bulan sepuluh hari kini telah lahir dengan selamat.

Harun dan Dimas segera masuk ke dalam kamar Karinah. Keduanya menyaksikan bagaimana lelahnya Karinah setelah melahirkan. Di sampingnya nyai Ijah membersihkan sisa lahiran di tubuh bayi kecil yang baru lahir itu. Kemudian dia membalutnya dengan jarit agar tidak kedinginan.

"Nyai Ijah, gimana keadaan anak kami?" tanya Harun mendekati wanita paruh baya itu.

"Sudah nak Harun, putrimu lahir dengan selamat. Tapi ada hal yang harus kamu terima dengan ikhlas nak Harun," ucap nyai Ijah memberi nasihat.

"Ada apa nyai kenapa bilang seperti itu?" tanya Harun heran. Karinah yang masih lemas terbaring di atas ranjang juga ikut mendengarkan apa yang keduanya bicarakan. Sedangkan Dimas hanya memperhatikan nyai Ijah dan bapaknya yang sedang berbicara serius.

"Putrimu sangat cantik, tapi dia harus menanggung malu seumur hidup nak Harun."

Jawaban nyai Ijah membuat ketiganya terkejut dan bertanya-tanya.

"Maksud nyai apa?" tanya Karinah penasaran.

"Nak Karinah dan nak Harun harus sabar mendapatkan cobaan ini ya. Putri kalian cacat bawaan dari lahir di lehernya." Nyai Ijah tak tega menjelaskan hal ini pada kedua pasangan yang sudah tiga belas tahun menikah itu.

Harun lalu menggendong putri mereka. Dia menyingkap kain jarit yang menutupi leher putrinya. Dan benar saja, leher sebelah kanan putrinya lebih pendek dari sebelah kiri. Harun langsung terduduk di tanah, Karinah yang melihat keadaan anaknya dalam pangkuan suami hanya bisa menangis.

"Mas, kenapa? kenapa harus putri kita memiliki kekurangan ini mas?" ucap Karinah sedih. Air mata tak bisa lagi dia bendung. Dimas yang tahu bahwa ibunya sedang sedih segera mendekatinya dan merangkul Karinah.

"Bu, dia juga adikku,tidak apa-apa dia punya kekurangan. Dimas mau kok menjaganya," ucap Dimas tulus dan polos. Anak sebelas tahun bahkan tahu bagaimana menerima keadaan adiknya.

Tapi bukan hal itu yang Harun dan Karinah pikirkan. Keduanya sedang memikirkan bagaimana nasib masa depan putrinya itu jika memiliki kekurangan di fisiknya.

"Nyai, apa tidak ada cara untuk mengobatinya?" tanya Karinah khawatir.

Selang beberapa menit, nyai Ijah berfikir sesuatu. Dia lalu menghela napas panjangnya.

"Nak Karinah, kalau nyai tidak bisa menyembuhkan putrimu. Tapi kalian bisa mencoba membawanya ke ki Agung di desa sebrang. Barangkali dia bisa membantu kalian," jawab nyai Ijah.Karinah dan Harun saling memandang.

"Terima kasih nyai atas informasinya. Tapi nyai saya belum bisa memberi upah untuk nyai malam ini. Insyaalloh besok saya akan ke pasar menjual ayam untuk upah nyai," ucap Harun menahan malu karena dirinya sebagai kepala keluarga tidak bisa menghasilkan uang yang banyak untuk keluarga dan biaya kelahiran putrinya.

"Sudah nak Harun, nyai tahu kok keadaan kamu dan Karinah. Nyai gak perlu di bayar, yang penting kamu rawat putrimu. Jangan sia-siakan titipan-Nya ini. Meski putrimu berbeda, tapi dia masih tetaplah darah daging kalian." Nyai Ijah seperti ibu bagi Karinah dan Harun. Banyak sekali pertolong dari wanita tua itu bagi keluarga kecil ini.

Harun dan Karinah sama-sama orang tidak mampu. Kedua orang tua mereka juga sudah meninggal. Hanya sepetak tanah yang saat ini mereka tempati yang mereka punya.

Harun hanya bekerja di ladang milik orang lain,untuk mencangkul tanah di ladang itu pun saat masa tanam tiba. Sedangkan Karinah bekerja sebagai buruh tanam padi di sawah milik warga.

Dari belas kasih para tetangganya yang mau memperkerjakan Harun dan Karinah. Keduanya bisa menghidupi anak mereka.

Meski hidup serba kekurangan Harun dan Karinah selalu bersyukur masih bisa makan setiap hari.

"Makasih nyai untuk kebaikan nyai. Karinah belum bisa membalasnya," jawab Karinah.

"Sudah-sudah, nyai pulang dulu sudah larut malam. Kalian harus rawat dia dengan baik," pesan nyai Ijah. Dia lalu pamit untuk segera pulang. Untungnya hujan dan angin sudah mulai reda.

"Baik nyai," jawab Harun sambil meletakkan putrinya di samping Karinah. Pria itu lalu mengantar nyai Ijah sampai di depan rumah.

"Hati-hati nyai," pinta Harun pada nyai Ijah.

"Iya kamu masuklah, dan tenangkan istrimu Harun. Semua ini sudah kehendak dari yang di atas untuk kalian."

"Iya nyai, saya akan menghadapi semuanya dengan ikhlas."

Nyai Ijah pergi begitu juga dengan Harun. Pria itu masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Di dalam gubuk itu hanya ada lampu ublik sebagai penerangannya. Harun tak mampu memasang listrik untuk gubuknya. Mereka hanya menggunakan api kecil itu untuk penerang.

Tampak Karinah sedang mencoba menyusui putri mereka. Harun terduduk di kursi seberang ranjang Karinah.

Harun menatap nanar pada putrinya. Tanpa terasa air mata menetes dari kedua matanya. Kulit wajah Harun yang mulai berkeriput. Dan warna kulit itu mulai menghitam karena terlalu sering mencangkul di ladang. Membuatnya terlihat beberapa tahun lebih tua dari usianya.

"Bapak, siapa nama adikku ini?" tanya Dimas memecah keheningan di gubuk itu.

Harun cepat-cepat mengusap air matanya, agar kedua orang yang dia sayang i itu tidak melihat bahwa dia juga lemah saat ini.

"Bapak akan memberi nama dia Kamila Maharani. Bagaimana bu? Bagus kan?" tanya Harun sambil mengelus pipi Kamila.

Karinah menganggukkan kepalanya. Bagi dia nama pemberian dari suaminya itu sudah bagus untuk putri mereka.

"Iya pak, namanya bagus. Ibu suka," jawab Karinah.

"Bagaimana dengan kamu Dimas? Kamu suka nama adikmu?" tanya Harun pada anak laki-lakinya.

"Suka kok pak, Dimas suka nama Kamila. Kalau sudah besar pasti Kamila cantik sekali seperti namanya."

Ucapan Dimas yang begitu bahagia mendapatkan seorang adik malah membuat Karinah dan Harun sedih.

Keduanya tak sanggup membayangkan bagaimana nasib putri mereka kelak. Cacat fisik yang di derita putrinya ini semoga saja bisa sembuh. Tapi Harun tahu dia harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa menghasilkan uang demi putrinya.

Biaya berobat pasti tidaklah murah. Sedangkan sehari-hari dia harus mengandalkan cangkulnya untuk mencari uang dan sesuap nasi.

"Iya Dimas, Kamila pasti sangat cantik kalau besar nanti," jawab Karinah.

Memang benar ucapan Karinah. Dari wajah Kamila sudah terpancar kecantikan alami yang dia turunkan darinya. Tapi semua itu seolah tertutup oleh kekurangan Kamila.

"Ya Alloh ya Robb, salah apa diriku dan suamiku hingga engkau bertubi-tubi memberikan kami cobaan yang begitu berat ini?" batin Karinah menangis meratapi nasib keluarga kecilnya. Tapi Karinah tak mau mengeluh terus menerus pada Tuhannya. Dia tahu di balik cobaan ini pasti ada berkah di belakangnya.

Harun menatap sendu pada istrinya. Dia tahu bahwa Karinah sedang berfikir sesuatu. Pria itu merasa bersalah karena belum bisa memberikan kebahagiaan pada wanita yang telah dia persunting tiga belas tahun lalu itu.

Wanita yang setia menemani Harun selama ini. Hidup susah selalu mereka lalui bersama. Meski begitu mereka bisa saling melengkapi dan bersyukur atas apa yang Tuhan berikan pada mereka.

"Bapak Dimas mengantuk, Dimas mau tidur sama Kamila ya?" ucap Dimas pada bapaknya.

"Iya Dimas, kamu tidur dulu saja. Bapak bisa tidur di kursi nanti," jawab Harun.

Ranjang kayu yang mereka miliki tidak muat jika untuk berempat. Harun terpaksa harus tidur di kursi panjang di ruang tamu. Kursi yang terbuat dari bambu, kursi yang dia buat sendiri itu cukup untuk tempatnya tidur malam ini dam seterusnya.

Dimas naik ke atas ranjang dan tidur di samping Kamila yang sudah tertidur juga. Karinah masih belum tidur.

"Bu kenapa kok gak ikut tidur sekalian. Ini sudah malam loh bu?" tanya Harun heran.

"Ibu belum mengantuk pak," jawab Karinah. Harun tahu ada hal yang sedang di pikirkan oleh istrinya itu.

"Bu kamu sedang memikirkan apa?" tanya Harun.

"Pak, apa sebaiknya kita bawa Kamila ke ki Agung besok. Siapa tahu beliau bisa menyembuhkan putri kita?" tanya Karinah.

"Iya bu, kamu tenang saja. Besok pagi-pagi bapak akan ke pasar menjual ayam ternak kita. Semoga bisa untuk membayar ki Agung nantinya," jawab Harun.

"Iya pak, ibu akan selalu berdoa agar kita di permudah rejekinya ya pak," ucap Karinah.

"Amin bu, amin, ya sudah kamu tidur dulu."

"Iya pak," Karinah akhirnya ikut tidur di samping putrinya. Dimas bahkan sudah terlelap di samping sang adik.

"Kamila, putri ibu yang cantik. Ibu sayang sama Kamila, apapun kekurangan Kamila. Ibu tidak akan membedakan kasih sayang untukmu dan kakakmu. Kamu harus tumbuh menjadi pribadi yang kuat nak kelak jika sudah dewasa. Ibu dan bapak akan selalu berusaha mencari pengobatan untuk kamu sayang," batin seorang ibu pada anaknya. Karinah lagi-lagi meneteskan air mata.

Harun yang sudah berada di kursi panjangnya segera merebahkan tubuhnya. Dia yang sudah mengganti pakaiannya yang basah dengan yang kering. Harun harus segera tidur karena besok pagi-pagi dia akan ke pasar.

Jarak pasar dari rumahnya sangat jauh. Harun harus berangkat pagi agar bisa menjual ayam-ayamnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!