Kamila sudah mulai besar. Tahun ini dia sudah masuk ke sekolah dasar. Sedangkan sang kakak tidak melanjutkan sekolah ke jenjang menengah atas. Karena keterbatasan biaya, Dimas hanya sekolah sampai di sekolah menengah pertama.
Remaja itu sedih karena tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Tapi dia lebih sedih melihat bapak dan ibunya yang setiap hari harus bekerja keras untuk kedua anaknya.
Saat musim kemarau, Harun dan Karinah tidak mendapatkan pekerjaan di sawah ataupun di ladang. Keduanya hanya bisa mengandalkan berjualan kayu hasil mencari di hutan.
Kebutuhan mereka semakin hari semakin banyak. Sedangkan pemasukan tidak menentu setiap hari. Karinah kadang terpaksa meminjam ke tetangga untuk makan mereka. Tapi terkadang ada juga tetangga yang tidak meminjaminya uang.
Dimas sudah berusia tujuh belas tahun. Dia berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, karena pendidikannya hanya sampai di sekolah menengah pertama. Dimas kesulitan mencari pekerjaan.
Tapi untungnya beberapa hari yang lalu sebuah toko sembako menerimanya menjadi kuli angkut. Pekerjaannya memang berat, tapi demi membantu keluarga, Dimas harus bisa bertahan.
Sejak usia Kamila lima tahun sang bapak sering sakit-sakitan. Hingga pernah suatu hari bapaknya batuk dan mengeluarkan darah. Sejak saat itu, Dimas bertekad untuk membantu keuangan keluarganya. Meski belum sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dimas tetap berusaha dengan baik.
"Dimas, sini kamu!" panggil pemilik toko sembako itu. Seorang ibu muda bernama Nana.
Dimas segera mendekat kepada wanita itu. Sepertinya ada beberapa tumpuk karung beras yang harus di angkut olehnya.
"Kamu naikkan beras dan telur ini ke mobil ya!" perintahnya.
"Baik bu!" jawab Dimas.
Dimas segera memanggul karung berisi beras sekitar tiga puluh kilo itu. Berat tak lagi dia pedulikan. Asal bisa mendapatkan uang untuk makan keluarganya.
Dimas dan satu rekan kerjanya penuh dengan peluh di baju dan dahi mereka. Jika saja ada pekerjaan yang lebih ringan dari itu untuk mereka. Pasti Dimas dan temannya sudah memilih pergi dari toko sembako itu.
Sayangnya hanya berbekal ijazah sekolah menengah pertama. Dia tidak mungkin di terima bekerja di pabrik atau tempat yang lebih layak dari toko itu.
Dimas harus bersyukur, mungkin dia harus memulai menerima rejekinya dari pekerjaan berat ini.
"Hati-hati membawa telurnya!" Bu Nana memperingatkan keduanya.
"Baik bu," jawab keduanya.
Baru saja di peringatkan, Dimas harus menerima kemarahan dari bu Nana. Pasalnya pria itu tak sengaja menjatuhkan satu kilo telur yang dia bawa. Bukan karena kelalaiannya tapi karena plastik pembungkusnya telah sobek dan saat dia angkat oleh Dimas telur-telur itu akhirnya jatuh.
Bu Nana yang melihat hal itu segera mendekati Dimas dan memarahinya.
"Kamu sebenarnya bisa kerja apa tidak sih? Baru beberapa hari saja kerja sudah buat kesalahan kayak gini!" kesal bu Nana.
"Maaf bu saya tidak sengaja," ucap Dimas takut.
"Aduh bilang tidak sengaja terus. Kalau seperti ini terus bisa-bisa saya rugi dong!" ucap bu Nana.
Dimas hanya bisa berdiri ditempat dan diam membisu. Dia tahu kesalahannya, tapi dia juga tidak sengaja melakukan hal itu.
"Sudahlah, ini upah kamu beberapa hari ini. Besok jangan kerja lagi di sini!" bu Nana memecat Dimas karena kesalahan kecil itu. Dimas hanya bisa memohon.
"Bu saya mohon, jangan pecat saya bu. Saya janji tidak akan mengulangi lagi!" ucap Dimas memohon, tapi bu Nana tidak peduli akan permohonannya.
"Saya tidak mau kamu bekerja di sini lagi!" jawab bu Nana sambil melempar uang upah Dimas.
Setelah mendapat perlakuan seperti itu, Dimas hanya bisa pergi meninggalkan toko itu.
Sebelum pergi temannya mendekati Dimas.
"Dimas, kamu sabar ya. Insyaalloh kamu bisa mendapat pekerjaan yang lain lagi," ucap pemuda seumuran Dimas. Pemuda itu bernama Andri.
"Iya Ndri gak apa-apa kok. Kamu baik-baik saja kerja di sini, aku pulang dulu ya?" ucap Dimas.
"Iya hati-hati," jawab Andri merasa kasihan pada Dimas.
Meski keduanya baru kenal beberapa hari yang lalu, Andri sangat senang dengan kepribadian Dimas yang sangat baik itu. Sayangnya karena kesalahan kecil dia harus di pecat dari pekerjaan ini.
Dimas berjalan gontai di sore itu, melewati jalanan berlumpur menuju ke rumahnya. Sepanjang jalan dia hanya bisa mendesah napas panjang.
"Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?" gumam Dimas.
Semangatnya mulai redup, bagaimana dia akan memberitahu orang tuanya jika dia sudah di pecat. Pasti pikiran kedua orang tuanya semakin terbebani.
Di tengah perjalanan, seorang teman sekolah Dimas memanggilnya.
"Dim, Dimas!" panggil Aldi dari arah belakang Dimas. Dimas pun berhenti dan menoleh ke arah Aldi.
"Aldi, ada apa ya?" tanya Dimas.
"Kami mau kemana?" tanya Aldi.
"Aku mau pulang Al, tadi aku di pecat dari toko bu Nana," ucap Dimas, Aldi merasa kasihan dengan Dimas. Dia tahu bahwa Dimas sangat ingin membantu kedua orang tuanya.
"Kenapa emangnya Dim?" tanya Aldi.
"Aku gak sengaja menjatuhkan telur dagangannya, jadi di pecat deh!" jawab Dimas.
"Ya ampun segitunya?" tanya Aldi.Keduanya bercerita sambil melanjutkan perjalanannya. Dimas menganggukkan kepalanya.
"Ya udah kamu jangan sedih lagi," Aldi menepuk pundak Dimas.
"Oh iya, gimana kalau kamu ikut aku ke kota, kerja di sana?" ajak Aldi.
"Ke kota?"
"Iya, aku sudah sebulan kerja di kota. Ya meski cuma kerja jadi kuli bangunan," ucap Aldi.
"Apa aku boleh ikut?" tanya Dimas.
"Tentu saja kalau kamu mau,"jawab Aldi.
"Baiklah, biar aku bicara sama bapak ibu dulu. Kalau mereka mengizinkan, aku mau ikut kamu Aldi," ucap Dimas.
"Siap, nanti kabari kau ya, besok aku sudah berangkat ke sana lagi," pesan Aldi. Mereka berpisah di pertigaan jalan desa. Karena rumah Aldi sudah sampai. Sedangkan Dimas masih harus berjalan kurang lebih dua ratus meter dari pertigaan itu.
Dimas mempercepat langkahnya, dia ingin segera memberitahu bapak dan ibunya di rumah.
"Bapak ibu, Dimas pulang!" ucap Dimas saat masuk ke dalam rumah. Tampak Harun sedang duduk di kursi rumah mereka. Terlihat dia tengah melepas lelah, karena seharian bekerja di ladang.
Sedangkan Karinah sedang sibuk memasak di dapur. Dari baunya Dimas bisa mencium yang dimasak oleh ibunya adalah ikan asin.
"Dimas, sudah pulang ya? sini duduk dulu!" ajak Harun.
Dimas duduk di samping bapaknya. Membantu Harun mengipas dengan kipas anyaman bambu.
"Bapak, Dimas boleh ya bekerja di kota?" tanya Dimas pada Harun.
"Di kota? Sama siapa nak?" tanya Harun.
"Sama Aldi pak, dia yang ajak Dimas."
Karinah masuk ke dalam rumah dan meletakkan makan malam mereka di meja dekat Harun duduk.
"Bukannya kamu sudah bekerja di tokonya bu Nana nak?" tanya Karinah.
"Iya bu, tapi Dimas sudah di pecat," jawab Dimas sedih.
"Loh kenapa nak?" tanya Harun.
"Dimas tidak sengaja menjatuhkan telur dagangan pak," jawab Dimas.
"Ya sudah jangan sedih, ayo sana mandi dulu. Kita makan bersama nak!" pinta Karinah, Dimas mengangguk dan segera menuju ke sungai tak jauh dari rumah mereka.
Ya mereka harus mandi di sumur kecil dekat sungai itu. Sumir yang di buat oleh Harun untuk keperluan memasak dan mandi mereka.
Jaraknya lumayan dekat dengan rumah. Tapi jalannya sedikit menurun. Mereka harus bersusah payah mengambil air untuk memasak dari sumur itu.
Setelah semua selesai mandi, Karinah mempersiapkan piring dan makan malam mereka.
Meski hanya ada nasi, ikan asin dan sambal bawang. Bagi keluarga kecil seperti mereka, bisa makan pun sangat bersyukur.
Karinah membagi nasi menjadi empat piring. Dia memberi lebih banyak pada kedua anaknya. Sedangkan untuk dirinya dan suami tidak begitu banyak.
Tapi Dimas merasa tidak enak jika kedua orang tuanya harus makan sedikit seperti itu demi anak-anaknya. Dimas berjanji dalam hati untuk merubah nasib mereka menjadi lebih baik.
Keempatnya makan dalam diam. Kamila sangat lahap makan malam sederhana mereka.
Setelah selesai makan, Kamila menantu ibunya mencuci piring di dapur. Sedangkan Dimas dan bapaknya sedang duduk di depan rumah. Mereka memandangi langit yang diselimuti mendung malam itu.
"Bapak besok sore Aldi sudah berangkat ke kota, Dimas boleh kan ikut?" tanya Dimas hati-hati.
Berat bagi Harun melepaskan anaknya pergi ke kota. Bagaimana jika terjadi hal buruk pada anaknya di sana. Apalagi Dimas masih terlalu kecil untuk bekerja.
"Nak, bapak dan ibu tidak tega jika kamu pergi jauh dari kami," jawab Harun.
"Tapi pak, Dimas ingin membantu bapak dan ibu. Dimas tidak tega melihat kehidupan kita sekarang."
Harun merasa terharu mendengar ucapan anaknya. Dia bangga bisa mendidik anak seperti kedua anaknya. Yang mau mengerti kehidupan orang tuanya saat ini.
Karinah datang dan ikut bergabung dengan keduanya. Dia mengelus puncak kepala Dimas.
"Apa kamu yakin nak untuk pergi ke kota?" tanya Karinah juga tidak tega jika Dimas harus jauh dari mereka.
"Iya bu, Dimas yakin, tolong bapak ibu mengizinkannya," pinta Dimas memohon kepada kedua orang tuanya.
Harun dan Karinah menghela napas panjang. Mereka sebenarnya tidak ingin membuat Dimas terbebani dengan kebutuhan keluarga. Tapi keduanya juga tidak tahu harus bagaimana. Karena keadaan yang harus membuat mereka memilih pilihan yang sulit.
"Baiklah, kamu boleh ke kota. Tapi harus janji bisa menjaga diri. Besok bapak akan mengantarkan mu ke rumah Aldi."
Akhirnya kedua orang tuanya menyetujui Dimas merantau.
"Makasih ya bapak ibu, Dimas janji akan menjaga diri dengan baik dan mencari uang yang banyak untuk Kamila dan keluarga," Dimas begitu antusias.
Keesokan harinya, Dimas segera memberitahu Aldi bahwa dia akan ikut pemuda itu ke kota. Setelah memberitahunya, Dimas segera mempersiapkan beberapa baju yang akan dia bawa ke kota. Hanya beberapa setel baju bekas dari tetangga yang di berikan kepadanya, yang akan dia bawa. Karena memang Dimas tidak memiliki banyak baju.
Karinah menatap punggung anak sulungnya yang nanti sore akan berangkat ke kota.Dia tidak tega melepasnya pergi. Air mata seorang ibu tak bisa dia hentikan.
Sambil memegang sebuah celengan kecil yang berisi beberapa uang.Karinah mendekati putranya.
Uang itu dia kumpulkan saat bekerja, rencananya untuk biaya berobat Kamila suatu hari nanti. Tapi karena anak sulungnya akan merantau. Karinah harus memberikan uang untuk Dimas makan selama di sana.
"Dimas," panggil Karinah.
"Ya bu," jawab Dimas.
"Ini ibu ada sedikit uang untuk kamu di sana nak," ucap Karinah sambil memberikan celengan itu.
"Tapi bu, ini kak celengan untuk Kamila, Dimas tidak bisa menerimanya bu."
"Dimas, pakailah, nanti malam kamu akan pergi ke kota. Ibu takut kamu kelaparan di sana nak, bawalah uang ini meskipun hanya sedikit," ucap Karinah.
"Maaf ya bu, Dimas belum bisa membantu ibu dan bapak saat ini, Dimas masih merepotkan kalian," ucap Dimas sambil memeluk tubuh ibunya.
"Kamu gak ngerepotin bapak ibu nak, malah kami yang harus minta maaf karena tidak membesarkan kalian dengan cukup gizi," ucap Karinah sambil berlinang air mata.
"Tidak bu, jangan berkata begitu. Dimas senang kok bisa hidup sederhana seperti ini. Yang penting bisa sama ibu dan bapak serta Kamila."
Kamila yang sedang melihat keduanya penasaran. Kemudian mendekati ibu dan kakaknya.
"Bu kok ibu nangis?" tanya Kamila.
Karinah segera melepas pelukannya pada Dimas. Dan menghapus air matanya.
"Ibu gak nangis kok nak," ucap Karinah.
"Terus kenapa kalian berpelukkan?" tanya Kamila.
"Nanti sore kakak akan ke kota dek. Kamu baik-baik ya di rumah?" jawab Dimas.
"Ke kota? Kakak mau ngapain ke sana?" tanya Kamila.
"Kakak mau kerja, cari uang yang banyak buat Kamila," jawab Dimas.
"Wah berarti bisa beliin Kamila tas baru dong kak?" tanya Kamila polos.
"Iya tapi kalau kakak sudah punya uang banyak ya dek, pasti kakak beliin."
Wajah Kamila terlihat antusias mendengar bahwa kakaknya akan membelikannya tas baru.
"Asik! Tas baru!" teriak Kamila senang.
Sore pun tiba, Harun dan Dimas segera pergi ke rumah Aldi. Mereka akan berangkat dari rumah pemuda itu. Sedangkan Harun hanya mengantar Dimas.
"Kakak berangkat ya dek? jangan nakal sama bapak ibu," ucap Dimas sambil mencubit pipi gembul milik adiknya.
"Iya kak Dimas, Kamila gak akan nakal kok!" jawab Kamila.
"Bu Dimas berangkat dulu ya, doain Dimas biar selamat sampai tujuan," pinta Dimas.
"Iya nak, hati-hati ya," jawab Karinah. Wanita itu mencoba tegar melepas kepergian anak sulungnya.
Dimas dan Harun segera berangkat. Di sepanjang jalan menuju rumah Aldi. Harun hanya bisa terdiam. Banyak hal yang ada dalam pikiran pria itu. Tapi dia tidak mau membuat semangat anaknya kendur.
Setelah sampai di depan rumah Aldi. Ada beberapa orang yang sudah siap naik ke atas mobil sewaan mereka. Ada sekitar sepuluh pemuda yang akan berangkat termasuk Dimas.
"Dimas ayo naik!" teriak Aldi.
Dimas menganggukkan kepalanya pada Aldi. Lalu dia mencium punggung tangan bapaknya.
"Bapak Dimas berangkat dulu ya," pamit Dimas.
"Iya nak, hati-hati," jawab Harun.
Dimas melangkah pergi meninggalkan bapaknya. Dan segera naik ke dalam mobil.
Saat mobil mulai berjalan, Harun melambaikan tangannya pada Dimas. Dimas juga membalasnya.
"Bapak doakan Dimas agar bisa membawa uang yang banyak untuk keluarga kecil kita. Dimas akan berusaha sekuat tenaga bekerja di sana."
Batin Dimas penuh dengan semangat mencari rejeki. Sekitar tiga jam lagi mereka akan sampai di kota. Aldi dan teman-teman yang lain memilih untuk tidur terlebih dahulu. Tapi tidak untuk Dimas. Dia menikmati perjalanan pertamanya menaiki mobil yang baginya sangat bagus itu.
Dia menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Yang baru pertama dia lewati itu. Hari ini kehidupan sebenarnya baru dia mulai. Dimas harus selalu berusaha dan berdoa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ning Mar
jadi terharu..
2023-01-20
0