Perjuangan Seorang Ayah

Pagi-pagi buta Harun sudah berjalan menyusuri jalanan licin di desanya. Dengan pundaknya memanggul keranjang berisi empat ekor ayam untuk di jual ke pasar.

Ayam-ayam itu hasil ternaknya sendiri. Jika sudah ada keperluan yang sangat mendesak Harun baru menjualnya. Kedua kaki pria itu penuh dengan lumpur sisa hujan semalam. Jalanan di desa mereka masih tanah rerumputan yang tandus saat musim kemarau dan akan licin saat musim hujan seperti saat ini.

Tapi bagi Harun jalanan itu bukanlah penghalang baginya untuk mencari rejeki di pasar. Dia begitu semangat kala mengingat keluarga kecilnya sedang menunggu Harun pulang dari pasar dan membawa hasil jualan pria itu.

Senyuman di bibir Karinah dan Dimas, sudah cukup membuatnya melupakan rasa lelah di kedua kakinya, karena berjalan sangat jauh.

Matahari pagi belum juga muncul saat Harun berangkat. Hingga kini fajar sudah mulai mengintip. Jika sudah seperti ini, Harun biasanya akan berhenti di sebuah mushola tak jauh dari jalanan yang kini dia lewati.

Harun ingin berserah diri pada Tuhannya. Melaksanakan sholat subuh berjamaah di mushola itu.

Setelah sampai di depan mushola. Harun meletakkan keranjang tempatnya menaruh ayam-ayamnya. Lalu dia mengeluarkan sandal jepit yang di bagian tengah dan pinggirnya sudah sangat tipis itu.

Harun membersihkan kakinya terlebih dahulu dan mengambil air wudhu. Beberapa bapak-bapak sudah berkumpul di dalam mushola,siap untuk melaksanakan panggilan wajib pagi itu.

Harun segera bergabung dengan mereka di dalam mushola. Menjalankan ibadah bersama.

Lantunan ayat-ayat suci terdengar di dalam mushola itu. Doa-doa pun tak lupa mereka panjatkan kepada yang di atas.

Harun tak lupa meminta berkah dan juga kesembuhan untuk putrinya. Segala upaya akan Harun lakukan demi Kamila.

Setelah menunaikan shalat subuh berjamaah. Harun segera melanjutkan perjalanannya untuk ke pasar. Masih ada separuh jarak yang harus dia tempuh.

Harun memanggul kembali keranjang berisi ayamnya. Empat ayam hidup yang siap dia jual. Jika biasanya dia akan mendapat uang sekitar seratus lima puluh ribu untuk empat ayam. Itu jika harga ayam lumayan laku di pasaran. Tapi jika tidak mungkin harganya akan lebih murah dari itu.

Ayam peliharaan Harun juga bobotnya tak terlalu berat. Jadi harganya juga tak bisa semahal di pasaran.

Dia mulai berjalan kembali menyusuri jalanan desa. Kedua kakinya kembali kotor oleh lumpur.

Perjalanan jauh dia lalui dengan semangat penuh. Meski perutnya belum sedikitpun ada makanan yang masuk ke dalamnya. Harun harus kuat demi anak-anak dan istri.

Sinar matahari pagi mulai terlihat jelas, saat Harun sampai di pasar pagi itu. Dia mulai menawarkan ayam-ayamnya ke pembeli ayam.

Tawar menawar pun terjadi. Empat ayamnya di hargai seratus dua puluh ribu. Tiga puluh ribu lebih murah dari biasanya. Karena kebetulan harga ayam turun akhir-akhir ini.

Harun terpaksa melepas harga segitu, karena dia sangat membutuhkan uangnya.

Perut pria itu berbunyi karena lapar. Ingin sekali dia membeli sarapan di pasar itu tapi dia teringat oleh istri dan anaknya yang belum makan karena persediaan beras di rumah sudah habis.

Harun menahan laparnya dan segera menuju ke penjual beras. Dia membeli beras untuk persediaan makan keluarganya.

Setelah selesai membeli, Harun harus buru-buru pulang. Karinah pasti sudah menunggunya.

Masih melewati jalanan sebelumnya, Harun sedikit lemas karena lapar. Tapi sebisa mungkin dia menahannya. Istrinya di rumah pasti sudah memasak untuk sarapan keluarga kecil mereka.

Perjalanan yang jauh akhirnya selesai. Harun kini sudah berada di depan rumahnya. Dengan langkah cepat dia segera masuk ke dalam rumah.

Meneguk segelas air yang di berikan oleh istrinya. Setelah dia meletakkan keranjangnya ke tanah.

"Gimana pak laku ayamnya?" tanya Karinah antusias.

"Laku seratus dua puluh ribu saja, harganya sedang turun."

"Gak apa-apa pak, yang penting ada uang buat berobat Kamila," jawab Karinah. Harun takut istrinya akan kecewa jika mengetahui sisa uang yang dia bawa pulang.

"Tapi bu, uangnya sudah bapak belikan beras lima kilo dan ikan asin untuk lauk kita, uangnya sisa ini," Harun mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang lima ribuan. Totalnya sekitar tujuh puluh lima ribu saja.

Karinah menerima uangnya. Dia lalu memasukkan uangnya ke dalam saku daster kusut wanita itu.

"Sudah gak apa-apa pak, kita juga butuh beras ini. Hari ini saja ibu sudah tidak masak nasi. Ini sarapan dulu pak," Karinah mengambilkan sebuah piring berisi beberapa potong singkong rebus.

"Maaf ya pak, ibu tidak berani hutang ke tetangga," ucap Karinah memohon maaf karena dia hanya bisa memasak singkong yang kemarin sore suaminya cabut dari belakang rumah.

"Tidak apa-apa bu, ini juga sudah bisa bikin perut bapak kenyang," jawab Harun. Dia malah merasa bersalah karena tidak bisa memberi gizi yang cukup untuk kedua anaknya.

Keluarga kecil itu sudah terbiasa makan tanpa nasi sehari atau beberapa hari jika mereka kehabisan persediaan beras. Hanya singkong dan ubi jalar yang bisa mengisi perut mereka. Tapi Harun dan anak istrinya selalu bersyukur masih bisa makan.

Mereka juga menanam beberapa sayuran di belakang rumah. Termasuk cabai, agar mereka bisa lebih berhemat.

"Oh iya, ini berasnya cepat kamu masak.Biar Dimas bisa makan!"

Karinah mengangguk paham.Meski dia masih dalam masa nifas tapi Karinah tidak mau hanya tiduran di ranjang. Dia harus mengerjakan pekerjaan rumah.

Selesai sarapan, Harun harus segera ke ladang milik pak Hadi. Beliaulah yang sering memberi pekerjaan untuk Harun.

"Kamila sedang tidur bu?" tanya Harun sambil membersihkan cangkulnya dari sisa tanah kemarin.

"Iya pak dia sedang tidur, Dimas juga sudah berangkat sekolah," jawab Karinah.

Bagi kedua orang tua itu, pendidikan adalah sebuah keharusan. Meski sesulit apapun, Harun ingin anak-anaknya tetap bersekolah. Setidaknya lebih baik dari kedua orang tuanya yang tidak lulus dari sekolah dasar dahulu. Karena keterbatasan ekonomi keduanya harus putus sekolah.

"Ya sudah bu, bapak berangkat dulu ya," pamit Harun.

"Hati-hati pak," jawab Karinah.

Harun segera bergegas ke ladang milik pak Hadi. Mencangkul ladang yang hendak di tanami jagung itu.

Sebagai orang kepercayaannya pak Hadi, Harun sering mendapat bonus dari pria itu. Sehari upah yang di berikan untuk Harun sekitar empat puluh ribu rupiah.

Biasanya pak Hadi memberikan upahnya tiga hari sekali. Kadang Harun mendapat tambahan uang sekitar dua puluh ribu.

Dari upah mencangkul itulah Harun menghidupi anak dan istrinya. Terkadang Harun juga bekerja serabutan. Jika ada yang memintanya untuk kerja yang lain dia selalu siap.

"Pak Harun!" panggil seorang remaja yang kebetulan bertemu di jalan dengan Harun.

"Eh nak Hendro, ada apa ya nak?" tanya Harun.

"Ini pak, tadi saya di suruh bapak buat memberitahu pak Harun kalau nanti siang untuk datang ke rumah," ucap Hendro, remaja berusia lima belas tahun itu.

"Oh begitu, iya nanti bapak akan ke sana sepulang mencangkul," ucap Harun.

"Baik pak, akan saya sampaikan ke bapak saya," Hendro akhirnya pamit undur diri. Begitu juga dengan Harun dia segera pergi ke ladang milik pak Hadi.

Di ladang itu pak Hadi sedang menunggunya.

"Pak Harun, nanti kira-kira sudah siap ya lahannya. Besok sudah harus di tanami jagungnya," pinta pak Hadi.

"Siap pak, insyaalloh siang nanti sudah selesai."

"Baiklah, oh iya ini upah tiga hari ini ya, saya kasih sekarang. Soalnya saya mau ke kota, besok baru pulangnya," ucap pak Hadi sambil menyerahkan uang seratus empat puluh untuk Harun.

"Terima kasih pak," jawab Harun.

Setelah pak Hadi pergi, Harun segera mencangkul ladangnya. Rasa lelah dan panas sudah biasa Harun rasakan. Peluhnya selalu menetes dari dahinya.

Hingga siang tiba, Harun sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah membersihkan cangkul milik pria itu,Harun segera pulang ke rumah.

Kemudian membersihkan diri terlebih dahulu sebelum ke rumahnya pak Hari, bapaknya Hendro. Selesai makan siang pria itu baru ke sana.

Karinah sedang sibuk menyusui Kamila, putri kecil mereka sedikit rewel hari ini.

"Bu, kalau ada yang mencari bapak. Bilang saja bapak di rumahnya pak Hari ya!" pesan Harun pada istrinya.

"Iya pak," jawab Karinah sambil masih fokus menyusui Kamila.

Harun segera pergi ke rumah pak Hari.Di sana beliau sudah menunggu Harun tiba.

"Pak Hari," sapa Harun pada pemilik rumah ketika dia sampai di sana.

"Eh sudah sampai ya pak Harun, kalau begitu langsung saja ya. Ini ada yang pesan arang kayu. Kamu antar ya ke desa seberang," pinta pak Hari.

Pak Hari memang sering menyuruh Harun untuk mengantarkan dagangannya. Dia adalah pedagang arang di desa mereka.

"Baik pak, kepada siapa ya penerimanya nanti?" tanya Harun.

"Ke nak Galang, dia anaknya ki Agung, katanya mau buat jualan sate," jelas pak Hari.

"Baik pak," jawab Harun.

Dia segera memanggul sekarung arang. Kira-kira beratnya sekitar dua puluh kiloan.

Kaki pria itu mulai melangkah ke jalanan. Menyusuri jalan setapak yang penuh dengan rumput. Harun harus berhati-hati agar tidak terpeleset oleh rumput-rumput yang basah itu.

Berat di punggungnya membuat langkah Harun semakin pelan. Jalanan nya juga naik turun. Setelah sampai di pinggir sungai, Harun harus menyeberangi sungai itu.

Meski tidak dalam, tapi di sungai itu sering terdapat banyak cangkang siput yang mati. Jika tidak berhati-hati bisa saja kaki Harun mengenainya.

Wajah pria berusia empat puluh tahun itu penuh dengan peluh. Pelan-pelan dia menyeberang sungai tanpa jembatan itu,air setinggi pahanya sudah membasahi celana pria itu.

Harun pantang menyerah, demi mengais rejekinya, dia harus berusaha keras bekerja siang dan malam.

Setelah menyeberangi sungai, Harun segera tiba di rumah ki Agung.

Seorang pemuda di depan rumah sudah menyambutnya. Harun segera menurunkan sekarung arang yang berada di punggung pria itu.

"Nak Galang ya?" tanya Harun.

"Benar pak saya Galang, ini dari pak Hari kan?" tanya Galang.

"Benar nak," jawab Harun.

"Baiklah, ini uangnya ya pak, nanti tolong di berikan pada pak Hari," Galang memberikan uang pembayaran arang pada Harun.

"Baik nak terima kasih, nanti saya sampaikan ke pak Hari," Harun menengok ke rumah Galang. Dia ingin sekali menyapa ki Agung. Tapi sepertinya beliau tidak ada di rumah.

"Kenapa pak?" tanya Galang ikut menengok ke dalam rumahnya.

"Tidak nak, cuma bapak pengen ketemu sama bapakmu, tapi sepertinya sedang tidak di rumah ya?" tanya Harun.

"Iya pak, bapak saya sedang keluar tadi pagi. Belum pulang sampai sekarang," jawab Galang.

"Oh iya nak, kalau begitu bapak pamit ya," Harun akhirnya memilih untuk pulang saja. Dia juga harus segera memberikan uang dari Galang kepada pak Hari.

"Iya pak, terima kasih ya."

Harun membalas dengan senyuman di bibirnya yang memucat itu. Dia harus kembali sebelum sore tiba.

Harun kembali menyeberang sungai, tapi baru beberapa meter dari tepi. Kakinya merasakan perih.

"Duh ini pasti terkena potongan rumah keong," gumam Harun saat sudah sampai di tepi desanya dengan sungai.

Dia lalu memeriksa kakinya, dan benar saja darah mengalir di kaki kanannya.Harun hanya bisa membalut sementara dengan kain bajunya. Lalu dia melanjutkan perjalanan kembali.

Meski tertatih, Harun akhirnya sampai juga di rumah pak Hari sebelum sore tiba. Dia lalu memberikan uangnya pada pria itu.

"Ini pak uang jualannya," ucap Harun. Pak Hari menerimanya dan mengambil tiga lembar sepuluh ribuan. Dan memberikannya pada Harun.

"Ini buat kamu ya," ucapnya.

Harun menerimanya.

"Tapi pak ini kok kelebihan ya," ucap Harun. Biasanya dia hanya menerima dua puluh ribu saja. Tapi pak Hari kali ini memberinya tiga puluh ribu rupiah.

"Sudah gak apa-apa pak, lebihnya untuk beli salep buat kaki bapak," jawab pak Hari.

"Ya Alloh pak terima kasih ya, sudah baik sekali sama saya," Harun merasa sangat berhutang budi pada orang-orang baik yang selalu membantunya.

"Sudah-sudah, itu kan juga rejekinya bapak kok," pak Hari malah menjadi sungkan jika Harun mencium punggung tangannya karena berterima kasih.

"Iya pak."

Setelah itu Harun pamit pulang karena sudah sangat sore. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu anak dan istrinya.

Di depan rumah tampak Dimas tengah bermain kelereng bersama dua temannya. Harun mendekati mereka.

"Bapak!" teriak Dimas senang karena bapaknya sudah pulang bekerja.

"Dimas, sudah mainnya ya . Kan sudah sore, mau magrib loh," nasihat Harun pada anaknya.

"Iya pak ini juga sudah selesai kok. Besok main lagi."

Kedua teman Dimas pamit untuk pulang. Begitu pula Dimas segera masuk ke dalam rumah.

Harun duduk di kursi samping meja di dapur. Kursi tua yang sudah tidak kokoh lagi di keempat kakinya.

"Bu, ini ada uang dari pak Hadi dan pak Hari tadi,lumayan buat tambahan keperluan kita," Harun memberikan semua uang hasil jerih payahnya hari ini kepada Karinah. Wanita itu menerima dengan senang hati.

Air mata bahkan secara tak terduga menetes di pipinya.

"Kenapa bu kok malah nangis?" tanya Harun.

"Gak apa-apa pak, ibu cuma senang saja. Selama kita bersama bapak selalu berusaha menyenangkan ibu dan anak-anak. Ibu merasa kasihan melihat bapak sendirian mencari rejeki seperti ini. Ibu belum bisa membantu lagi."

Harun tersentuh mendengar ucapan istrinya itu. Baginya Karinah adalah wanita tegar yang sangat dia cintai.

"Sudah bu, bapak tidak apa-apa kok. Asal ibu terus berdoa agar rejeki kita lancar. Insyaalloh kita bisa membawa Kamila berobat."

Karinah mengangguk, kemudian memeluk Harun. Wanita itu sudah berjanji akan selalu setia selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang dengan pria di depannya itu.

Terpopuler

Comments

Oktafiapipit Nuraini

Oktafiapipit Nuraini

nangis ikut baper 😭😭😭

2022-10-05

0

Tito Assa

Tito Assa

ceritanya bagus kok ga ada yg intip ya.dr awal sangat bagus loh

2022-01-31

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!