Langit gelap perlahan mulai menutup bumi. Siang yang panjang sudah terganti dengan warna yang berbeda. Mendung pun ikut menambah warna gelap di langit sore itu.
Seorang ibu muda yang sedang hamil mengeluhkan sakit di perutnya. Sepertinya ibu itu sudah tiba waktunya untuk melahirkan.
Dia sedang duduk sendiri di gubuk kecil miliknya yang di buat bersama sang suami. Di belakangnya anak pertama dan suaminya sedang mempersiapkan keperluan untuk lahiran.
Gubuk yang mereka tempati hanya berdinding bambu yang di beberapa sisinya sudah terkoyak karena hujan dan panas yang menerpanya.
Hawa dingin mulai menusuk ke tulang wanita itu. Di tambah nyerinya perut yang sudah membesar.Menambah betapa sulitnya malam ini untuk dia lewati.
"Pak, sakit pak! Cepat panggilkan nyai Ijah." Perintah wanita itu pada sang suami. Dia masih mengelus perutnya yang sudah sangat keras karena kontraksi yang terjadi.
Ibu muda yang baru memiliki satu anak laki-laki.Setelah sebelas tahun akhirnya di karuniai anak kedua. Dan malam ini sepertinya sudah waktunya si jabang bayi itu lahir.
"Iya bu, bapak akan menjemput nyai Ijah dulu, kamu di rumah saja sama Dimas!" ucap Harun. Suami dari ibu yang tak lain bernama Karinah. Dimas adalah anak pertama mereka.
"Iya pak, kamu cepat sedikit aku sudah tidak tahan lagi!" ucap Karinah sambil menahan sakit. Di bantu Dimas, Karinah berjalan ke ranjang kayu tanpa kasur milik keluarga itu satu-satunya.
"Iya-iya," Harun segera keluar dari gubuk tempat tinggalnya. Dia harus menjemput nyai Ijah, dukun bayi di desa itu.
Karena desa masih sangat pelosok dan juga jauh dari puskesmas. Maka para penduduk di sana masih menggunakan jasa dukun bayi saat melahirkan anak mereka.
Harun bergegas melangkah, sesekali dia berlari agar segera sampai di rumah nyai Ijah. Jarak rumah mereka lumayan jauh. Harun hanya bisa berjalan kaki karena dia tidak memiliki sepeda atau motor.
Langit sedang tak bersahabat, baru beberapa puluh meter Harun keluar rumah, tiba-tiba hujan turun membasahi tubuhnya.
Karena terburu-buru dia lupa tidak membawa payung. Demi bisa segera membawa nyai Ijah, Harun harus menerobos hujan itu.
"Nyai-nyai!" teriak Harun saat di depan pintu rumah nyai Ijah sambil mengetuk pintu wanita paruh baya itu.
Nyai Ijah berjalan tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya karena mendengar seseorang memanggilnya dengan sangat khawatir.
"Harun ada apa?" tanya nyai Ijah saat dia sudah membuka pintu rumahnya.
"Nyai tolong bantu istri saya mau lahiran," pinta Harun.
"Karinah sudah mau lahiran, iya udah Harun tunggu sebentar saya mau mengambil payung dulu," ucap nyai Ijah, dia lalu terburu-buru masuk ke dalam rumah dan mengambil payung miliknya.
"Sudah ayo!" beberapa saat kemudian mereka sudah berangkat menuju ke rumah Harun.
Hujan semakin lebat saja,Harun yang sudah terlanjur basah hanya bisa menggigil karena kedinginan. Keduanya kesulitan dalam berjalan karena angin malam itu lumayan kencang. Di tambah air yang tak berhenti mengguyur bumi secara terus menerus.
Nyai Ijah dan Harun sampai di gubuk reyot milik pria itu beberapa saat setelah menerjang hujan. Terdengar rintihan Karinah di dalam rumah. Wanita itu sudah mengalami pembukaan hampir sempurna di atas ranjangnya.
Bahkan dia sudah beberapa kali mengejan. Untung saja nyai Ijah sudah sampai. Dia segera melihat keadaan Karinah.
Peluh bercucuran di dahi dan tubuh Karinah. Dia sedang berjuang mengorbankan hidupnya demi kehidupan baru untuk anak keduanya.
"Ayo Karinah kamu mengejan, kepalanya sudah terlihat."
Nyai Ijah segera membantu Karinah. Sedangkan Harun dan Dimas menunggu di luar kamar Karinah.
"Bapak, adik Dimas sudah mau lahir ya?" tanya anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Dia masih sangat polos.
"Iya nak, adikmu sudah mau lahir. Semoga ibu dan adik selamat. Kamu berdoa ya nak?" pinta Harun pada anaknya.
"Baik pak," Dimas adalah anak penurut.Dia selalu bisa mengerti keadaan kedua orang tuanya.
Hidup dalam keluarga yang serba kurang, membuat Dimas menjadi anak yang mau bekerja keras. Di usianya yang masih terbilang kecil, dia sudah membantu bapaknya di ladang. Juga terkadang membantu ibunya menanam padi bersama para buruh lainnya.
"Oeeek oeek," suara tangisan bayi terdengar begitu nyaring.Bersamaan dengan suara guntur yang tak berhenti dari tadi.
Harun menghela napas lega. Akhirnya anak yang mereka nantikan selama sembilan bulan sepuluh hari kini telah lahir dengan selamat.
Harun dan Dimas segera masuk ke dalam kamar Karinah. Keduanya menyaksikan bagaimana lelahnya Karinah setelah melahirkan. Di sampingnya nyai Ijah membersihkan sisa lahiran di tubuh bayi kecil yang baru lahir itu. Kemudian dia membalutnya dengan jarit agar tidak kedinginan.
"Nyai Ijah, gimana keadaan anak kami?" tanya Harun mendekati wanita paruh baya itu.
"Sudah nak Harun, putrimu lahir dengan selamat. Tapi ada hal yang harus kamu terima dengan ikhlas nak Harun," ucap nyai Ijah memberi nasihat.
"Ada apa nyai kenapa bilang seperti itu?" tanya Harun heran. Karinah yang masih lemas terbaring di atas ranjang juga ikut mendengarkan apa yang keduanya bicarakan. Sedangkan Dimas hanya memperhatikan nyai Ijah dan bapaknya yang sedang berbicara serius.
"Putrimu sangat cantik, tapi dia harus menanggung malu seumur hidup nak Harun."
Jawaban nyai Ijah membuat ketiganya terkejut dan bertanya-tanya.
"Maksud nyai apa?" tanya Karinah penasaran.
"Nak Karinah dan nak Harun harus sabar mendapatkan cobaan ini ya. Putri kalian cacat bawaan dari lahir di lehernya." Nyai Ijah tak tega menjelaskan hal ini pada kedua pasangan yang sudah tiga belas tahun menikah itu.
Harun lalu menggendong putri mereka. Dia menyingkap kain jarit yang menutupi leher putrinya. Dan benar saja, leher sebelah kanan putrinya lebih pendek dari sebelah kiri. Harun langsung terduduk di tanah, Karinah yang melihat keadaan anaknya dalam pangkuan suami hanya bisa menangis.
"Mas, kenapa? kenapa harus putri kita memiliki kekurangan ini mas?" ucap Karinah sedih. Air mata tak bisa lagi dia bendung. Dimas yang tahu bahwa ibunya sedang sedih segera mendekatinya dan merangkul Karinah.
"Bu, dia juga adikku,tidak apa-apa dia punya kekurangan. Dimas mau kok menjaganya," ucap Dimas tulus dan polos. Anak sebelas tahun bahkan tahu bagaimana menerima keadaan adiknya.
Tapi bukan hal itu yang Harun dan Karinah pikirkan. Keduanya sedang memikirkan bagaimana nasib masa depan putrinya itu jika memiliki kekurangan di fisiknya.
"Nyai, apa tidak ada cara untuk mengobatinya?" tanya Karinah khawatir.
Selang beberapa menit, nyai Ijah berfikir sesuatu. Dia lalu menghela napas panjangnya.
"Nak Karinah, kalau nyai tidak bisa menyembuhkan putrimu. Tapi kalian bisa mencoba membawanya ke ki Agung di desa sebrang. Barangkali dia bisa membantu kalian," jawab nyai Ijah.Karinah dan Harun saling memandang.
"Terima kasih nyai atas informasinya. Tapi nyai saya belum bisa memberi upah untuk nyai malam ini. Insyaalloh besok saya akan ke pasar menjual ayam untuk upah nyai," ucap Harun menahan malu karena dirinya sebagai kepala keluarga tidak bisa menghasilkan uang yang banyak untuk keluarga dan biaya kelahiran putrinya.
"Sudah nak Harun, nyai tahu kok keadaan kamu dan Karinah. Nyai gak perlu di bayar, yang penting kamu rawat putrimu. Jangan sia-siakan titipan-Nya ini. Meski putrimu berbeda, tapi dia masih tetaplah darah daging kalian." Nyai Ijah seperti ibu bagi Karinah dan Harun. Banyak sekali pertolong dari wanita tua itu bagi keluarga kecil ini.
Harun dan Karinah sama-sama orang tidak mampu. Kedua orang tua mereka juga sudah meninggal. Hanya sepetak tanah yang saat ini mereka tempati yang mereka punya.
Harun hanya bekerja di ladang milik orang lain,untuk mencangkul tanah di ladang itu pun saat masa tanam tiba. Sedangkan Karinah bekerja sebagai buruh tanam padi di sawah milik warga.
Dari belas kasih para tetangganya yang mau memperkerjakan Harun dan Karinah. Keduanya bisa menghidupi anak mereka.
Meski hidup serba kekurangan Harun dan Karinah selalu bersyukur masih bisa makan setiap hari.
"Makasih nyai untuk kebaikan nyai. Karinah belum bisa membalasnya," jawab Karinah.
"Sudah-sudah, nyai pulang dulu sudah larut malam. Kalian harus rawat dia dengan baik," pesan nyai Ijah. Dia lalu pamit untuk segera pulang. Untungnya hujan dan angin sudah mulai reda.
"Baik nyai," jawab Harun sambil meletakkan putrinya di samping Karinah. Pria itu lalu mengantar nyai Ijah sampai di depan rumah.
"Hati-hati nyai," pinta Harun pada nyai Ijah.
"Iya kamu masuklah, dan tenangkan istrimu Harun. Semua ini sudah kehendak dari yang di atas untuk kalian."
"Iya nyai, saya akan menghadapi semuanya dengan ikhlas."
Nyai Ijah pergi begitu juga dengan Harun. Pria itu masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Di dalam gubuk itu hanya ada lampu ublik sebagai penerangannya. Harun tak mampu memasang listrik untuk gubuknya. Mereka hanya menggunakan api kecil itu untuk penerang.
Tampak Karinah sedang mencoba menyusui putri mereka. Harun terduduk di kursi seberang ranjang Karinah.
Harun menatap nanar pada putrinya. Tanpa terasa air mata menetes dari kedua matanya. Kulit wajah Harun yang mulai berkeriput. Dan warna kulit itu mulai menghitam karena terlalu sering mencangkul di ladang. Membuatnya terlihat beberapa tahun lebih tua dari usianya.
"Bapak, siapa nama adikku ini?" tanya Dimas memecah keheningan di gubuk itu.
Harun cepat-cepat mengusap air matanya, agar kedua orang yang dia sayang i itu tidak melihat bahwa dia juga lemah saat ini.
"Bapak akan memberi nama dia Kamila Maharani. Bagaimana bu? Bagus kan?" tanya Harun sambil mengelus pipi Kamila.
Karinah menganggukkan kepalanya. Bagi dia nama pemberian dari suaminya itu sudah bagus untuk putri mereka.
"Iya pak, namanya bagus. Ibu suka," jawab Karinah.
"Bagaimana dengan kamu Dimas? Kamu suka nama adikmu?" tanya Harun pada anak laki-lakinya.
"Suka kok pak, Dimas suka nama Kamila. Kalau sudah besar pasti Kamila cantik sekali seperti namanya."
Ucapan Dimas yang begitu bahagia mendapatkan seorang adik malah membuat Karinah dan Harun sedih.
Keduanya tak sanggup membayangkan bagaimana nasib putri mereka kelak. Cacat fisik yang di derita putrinya ini semoga saja bisa sembuh. Tapi Harun tahu dia harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa menghasilkan uang demi putrinya.
Biaya berobat pasti tidaklah murah. Sedangkan sehari-hari dia harus mengandalkan cangkulnya untuk mencari uang dan sesuap nasi.
"Iya Dimas, Kamila pasti sangat cantik kalau besar nanti," jawab Karinah.
Memang benar ucapan Karinah. Dari wajah Kamila sudah terpancar kecantikan alami yang dia turunkan darinya. Tapi semua itu seolah tertutup oleh kekurangan Kamila.
"Ya Alloh ya Robb, salah apa diriku dan suamiku hingga engkau bertubi-tubi memberikan kami cobaan yang begitu berat ini?" batin Karinah menangis meratapi nasib keluarga kecilnya. Tapi Karinah tak mau mengeluh terus menerus pada Tuhannya. Dia tahu di balik cobaan ini pasti ada berkah di belakangnya.
Harun menatap sendu pada istrinya. Dia tahu bahwa Karinah sedang berfikir sesuatu. Pria itu merasa bersalah karena belum bisa memberikan kebahagiaan pada wanita yang telah dia persunting tiga belas tahun lalu itu.
Wanita yang setia menemani Harun selama ini. Hidup susah selalu mereka lalui bersama. Meski begitu mereka bisa saling melengkapi dan bersyukur atas apa yang Tuhan berikan pada mereka.
"Bapak Dimas mengantuk, Dimas mau tidur sama Kamila ya?" ucap Dimas pada bapaknya.
"Iya Dimas, kamu tidur dulu saja. Bapak bisa tidur di kursi nanti," jawab Harun.
Ranjang kayu yang mereka miliki tidak muat jika untuk berempat. Harun terpaksa harus tidur di kursi panjang di ruang tamu. Kursi yang terbuat dari bambu, kursi yang dia buat sendiri itu cukup untuk tempatnya tidur malam ini dam seterusnya.
Dimas naik ke atas ranjang dan tidur di samping Kamila yang sudah tertidur juga. Karinah masih belum tidur.
"Bu kenapa kok gak ikut tidur sekalian. Ini sudah malam loh bu?" tanya Harun heran.
"Ibu belum mengantuk pak," jawab Karinah. Harun tahu ada hal yang sedang di pikirkan oleh istrinya itu.
"Bu kamu sedang memikirkan apa?" tanya Harun.
"Pak, apa sebaiknya kita bawa Kamila ke ki Agung besok. Siapa tahu beliau bisa menyembuhkan putri kita?" tanya Karinah.
"Iya bu, kamu tenang saja. Besok pagi-pagi bapak akan ke pasar menjual ayam ternak kita. Semoga bisa untuk membayar ki Agung nantinya," jawab Harun.
"Iya pak, ibu akan selalu berdoa agar kita di permudah rejekinya ya pak," ucap Karinah.
"Amin bu, amin, ya sudah kamu tidur dulu."
"Iya pak," Karinah akhirnya ikut tidur di samping putrinya. Dimas bahkan sudah terlelap di samping sang adik.
"Kamila, putri ibu yang cantik. Ibu sayang sama Kamila, apapun kekurangan Kamila. Ibu tidak akan membedakan kasih sayang untukmu dan kakakmu. Kamu harus tumbuh menjadi pribadi yang kuat nak kelak jika sudah dewasa. Ibu dan bapak akan selalu berusaha mencari pengobatan untuk kamu sayang," batin seorang ibu pada anaknya. Karinah lagi-lagi meneteskan air mata.
Harun yang sudah berada di kursi panjangnya segera merebahkan tubuhnya. Dia yang sudah mengganti pakaiannya yang basah dengan yang kering. Harun harus segera tidur karena besok pagi-pagi dia akan ke pasar.
Jarak pasar dari rumahnya sangat jauh. Harun harus berangkat pagi agar bisa menjual ayam-ayamnya.
Pagi-pagi buta Harun sudah berjalan menyusuri jalanan licin di desanya. Dengan pundaknya memanggul keranjang berisi empat ekor ayam untuk di jual ke pasar.
Ayam-ayam itu hasil ternaknya sendiri. Jika sudah ada keperluan yang sangat mendesak Harun baru menjualnya. Kedua kaki pria itu penuh dengan lumpur sisa hujan semalam. Jalanan di desa mereka masih tanah rerumputan yang tandus saat musim kemarau dan akan licin saat musim hujan seperti saat ini.
Tapi bagi Harun jalanan itu bukanlah penghalang baginya untuk mencari rejeki di pasar. Dia begitu semangat kala mengingat keluarga kecilnya sedang menunggu Harun pulang dari pasar dan membawa hasil jualan pria itu.
Senyuman di bibir Karinah dan Dimas, sudah cukup membuatnya melupakan rasa lelah di kedua kakinya, karena berjalan sangat jauh.
Matahari pagi belum juga muncul saat Harun berangkat. Hingga kini fajar sudah mulai mengintip. Jika sudah seperti ini, Harun biasanya akan berhenti di sebuah mushola tak jauh dari jalanan yang kini dia lewati.
Harun ingin berserah diri pada Tuhannya. Melaksanakan sholat subuh berjamaah di mushola itu.
Setelah sampai di depan mushola. Harun meletakkan keranjang tempatnya menaruh ayam-ayamnya. Lalu dia mengeluarkan sandal jepit yang di bagian tengah dan pinggirnya sudah sangat tipis itu.
Harun membersihkan kakinya terlebih dahulu dan mengambil air wudhu. Beberapa bapak-bapak sudah berkumpul di dalam mushola,siap untuk melaksanakan panggilan wajib pagi itu.
Harun segera bergabung dengan mereka di dalam mushola. Menjalankan ibadah bersama.
Lantunan ayat-ayat suci terdengar di dalam mushola itu. Doa-doa pun tak lupa mereka panjatkan kepada yang di atas.
Harun tak lupa meminta berkah dan juga kesembuhan untuk putrinya. Segala upaya akan Harun lakukan demi Kamila.
Setelah menunaikan shalat subuh berjamaah. Harun segera melanjutkan perjalanannya untuk ke pasar. Masih ada separuh jarak yang harus dia tempuh.
Harun memanggul kembali keranjang berisi ayamnya. Empat ayam hidup yang siap dia jual. Jika biasanya dia akan mendapat uang sekitar seratus lima puluh ribu untuk empat ayam. Itu jika harga ayam lumayan laku di pasaran. Tapi jika tidak mungkin harganya akan lebih murah dari itu.
Ayam peliharaan Harun juga bobotnya tak terlalu berat. Jadi harganya juga tak bisa semahal di pasaran.
Dia mulai berjalan kembali menyusuri jalanan desa. Kedua kakinya kembali kotor oleh lumpur.
Perjalanan jauh dia lalui dengan semangat penuh. Meski perutnya belum sedikitpun ada makanan yang masuk ke dalamnya. Harun harus kuat demi anak-anak dan istri.
Sinar matahari pagi mulai terlihat jelas, saat Harun sampai di pasar pagi itu. Dia mulai menawarkan ayam-ayamnya ke pembeli ayam.
Tawar menawar pun terjadi. Empat ayamnya di hargai seratus dua puluh ribu. Tiga puluh ribu lebih murah dari biasanya. Karena kebetulan harga ayam turun akhir-akhir ini.
Harun terpaksa melepas harga segitu, karena dia sangat membutuhkan uangnya.
Perut pria itu berbunyi karena lapar. Ingin sekali dia membeli sarapan di pasar itu tapi dia teringat oleh istri dan anaknya yang belum makan karena persediaan beras di rumah sudah habis.
Harun menahan laparnya dan segera menuju ke penjual beras. Dia membeli beras untuk persediaan makan keluarganya.
Setelah selesai membeli, Harun harus buru-buru pulang. Karinah pasti sudah menunggunya.
Masih melewati jalanan sebelumnya, Harun sedikit lemas karena lapar. Tapi sebisa mungkin dia menahannya. Istrinya di rumah pasti sudah memasak untuk sarapan keluarga kecil mereka.
Perjalanan yang jauh akhirnya selesai. Harun kini sudah berada di depan rumahnya. Dengan langkah cepat dia segera masuk ke dalam rumah.
Meneguk segelas air yang di berikan oleh istrinya. Setelah dia meletakkan keranjangnya ke tanah.
"Gimana pak laku ayamnya?" tanya Karinah antusias.
"Laku seratus dua puluh ribu saja, harganya sedang turun."
"Gak apa-apa pak, yang penting ada uang buat berobat Kamila," jawab Karinah. Harun takut istrinya akan kecewa jika mengetahui sisa uang yang dia bawa pulang.
"Tapi bu, uangnya sudah bapak belikan beras lima kilo dan ikan asin untuk lauk kita, uangnya sisa ini," Harun mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang lima ribuan. Totalnya sekitar tujuh puluh lima ribu saja.
Karinah menerima uangnya. Dia lalu memasukkan uangnya ke dalam saku daster kusut wanita itu.
"Sudah gak apa-apa pak, kita juga butuh beras ini. Hari ini saja ibu sudah tidak masak nasi. Ini sarapan dulu pak," Karinah mengambilkan sebuah piring berisi beberapa potong singkong rebus.
"Maaf ya pak, ibu tidak berani hutang ke tetangga," ucap Karinah memohon maaf karena dia hanya bisa memasak singkong yang kemarin sore suaminya cabut dari belakang rumah.
"Tidak apa-apa bu, ini juga sudah bisa bikin perut bapak kenyang," jawab Harun. Dia malah merasa bersalah karena tidak bisa memberi gizi yang cukup untuk kedua anaknya.
Keluarga kecil itu sudah terbiasa makan tanpa nasi sehari atau beberapa hari jika mereka kehabisan persediaan beras. Hanya singkong dan ubi jalar yang bisa mengisi perut mereka. Tapi Harun dan anak istrinya selalu bersyukur masih bisa makan.
Mereka juga menanam beberapa sayuran di belakang rumah. Termasuk cabai, agar mereka bisa lebih berhemat.
"Oh iya, ini berasnya cepat kamu masak.Biar Dimas bisa makan!"
Karinah mengangguk paham.Meski dia masih dalam masa nifas tapi Karinah tidak mau hanya tiduran di ranjang. Dia harus mengerjakan pekerjaan rumah.
Selesai sarapan, Harun harus segera ke ladang milik pak Hadi. Beliaulah yang sering memberi pekerjaan untuk Harun.
"Kamila sedang tidur bu?" tanya Harun sambil membersihkan cangkulnya dari sisa tanah kemarin.
"Iya pak dia sedang tidur, Dimas juga sudah berangkat sekolah," jawab Karinah.
Bagi kedua orang tua itu, pendidikan adalah sebuah keharusan. Meski sesulit apapun, Harun ingin anak-anaknya tetap bersekolah. Setidaknya lebih baik dari kedua orang tuanya yang tidak lulus dari sekolah dasar dahulu. Karena keterbatasan ekonomi keduanya harus putus sekolah.
"Ya sudah bu, bapak berangkat dulu ya," pamit Harun.
"Hati-hati pak," jawab Karinah.
Harun segera bergegas ke ladang milik pak Hadi. Mencangkul ladang yang hendak di tanami jagung itu.
Sebagai orang kepercayaannya pak Hadi, Harun sering mendapat bonus dari pria itu. Sehari upah yang di berikan untuk Harun sekitar empat puluh ribu rupiah.
Biasanya pak Hadi memberikan upahnya tiga hari sekali. Kadang Harun mendapat tambahan uang sekitar dua puluh ribu.
Dari upah mencangkul itulah Harun menghidupi anak dan istrinya. Terkadang Harun juga bekerja serabutan. Jika ada yang memintanya untuk kerja yang lain dia selalu siap.
"Pak Harun!" panggil seorang remaja yang kebetulan bertemu di jalan dengan Harun.
"Eh nak Hendro, ada apa ya nak?" tanya Harun.
"Ini pak, tadi saya di suruh bapak buat memberitahu pak Harun kalau nanti siang untuk datang ke rumah," ucap Hendro, remaja berusia lima belas tahun itu.
"Oh begitu, iya nanti bapak akan ke sana sepulang mencangkul," ucap Harun.
"Baik pak, akan saya sampaikan ke bapak saya," Hendro akhirnya pamit undur diri. Begitu juga dengan Harun dia segera pergi ke ladang milik pak Hadi.
Di ladang itu pak Hadi sedang menunggunya.
"Pak Harun, nanti kira-kira sudah siap ya lahannya. Besok sudah harus di tanami jagungnya," pinta pak Hadi.
"Siap pak, insyaalloh siang nanti sudah selesai."
"Baiklah, oh iya ini upah tiga hari ini ya, saya kasih sekarang. Soalnya saya mau ke kota, besok baru pulangnya," ucap pak Hadi sambil menyerahkan uang seratus empat puluh untuk Harun.
"Terima kasih pak," jawab Harun.
Setelah pak Hadi pergi, Harun segera mencangkul ladangnya. Rasa lelah dan panas sudah biasa Harun rasakan. Peluhnya selalu menetes dari dahinya.
Hingga siang tiba, Harun sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah membersihkan cangkul milik pria itu,Harun segera pulang ke rumah.
Kemudian membersihkan diri terlebih dahulu sebelum ke rumahnya pak Hari, bapaknya Hendro. Selesai makan siang pria itu baru ke sana.
Karinah sedang sibuk menyusui Kamila, putri kecil mereka sedikit rewel hari ini.
"Bu, kalau ada yang mencari bapak. Bilang saja bapak di rumahnya pak Hari ya!" pesan Harun pada istrinya.
"Iya pak," jawab Karinah sambil masih fokus menyusui Kamila.
Harun segera pergi ke rumah pak Hari.Di sana beliau sudah menunggu Harun tiba.
"Pak Hari," sapa Harun pada pemilik rumah ketika dia sampai di sana.
"Eh sudah sampai ya pak Harun, kalau begitu langsung saja ya. Ini ada yang pesan arang kayu. Kamu antar ya ke desa seberang," pinta pak Hari.
Pak Hari memang sering menyuruh Harun untuk mengantarkan dagangannya. Dia adalah pedagang arang di desa mereka.
"Baik pak, kepada siapa ya penerimanya nanti?" tanya Harun.
"Ke nak Galang, dia anaknya ki Agung, katanya mau buat jualan sate," jelas pak Hari.
"Baik pak," jawab Harun.
Dia segera memanggul sekarung arang. Kira-kira beratnya sekitar dua puluh kiloan.
Kaki pria itu mulai melangkah ke jalanan. Menyusuri jalan setapak yang penuh dengan rumput. Harun harus berhati-hati agar tidak terpeleset oleh rumput-rumput yang basah itu.
Berat di punggungnya membuat langkah Harun semakin pelan. Jalanan nya juga naik turun. Setelah sampai di pinggir sungai, Harun harus menyeberangi sungai itu.
Meski tidak dalam, tapi di sungai itu sering terdapat banyak cangkang siput yang mati. Jika tidak berhati-hati bisa saja kaki Harun mengenainya.
Wajah pria berusia empat puluh tahun itu penuh dengan peluh. Pelan-pelan dia menyeberang sungai tanpa jembatan itu,air setinggi pahanya sudah membasahi celana pria itu.
Harun pantang menyerah, demi mengais rejekinya, dia harus berusaha keras bekerja siang dan malam.
Setelah menyeberangi sungai, Harun segera tiba di rumah ki Agung.
Seorang pemuda di depan rumah sudah menyambutnya. Harun segera menurunkan sekarung arang yang berada di punggung pria itu.
"Nak Galang ya?" tanya Harun.
"Benar pak saya Galang, ini dari pak Hari kan?" tanya Galang.
"Benar nak," jawab Harun.
"Baiklah, ini uangnya ya pak, nanti tolong di berikan pada pak Hari," Galang memberikan uang pembayaran arang pada Harun.
"Baik nak terima kasih, nanti saya sampaikan ke pak Hari," Harun menengok ke rumah Galang. Dia ingin sekali menyapa ki Agung. Tapi sepertinya beliau tidak ada di rumah.
"Kenapa pak?" tanya Galang ikut menengok ke dalam rumahnya.
"Tidak nak, cuma bapak pengen ketemu sama bapakmu, tapi sepertinya sedang tidak di rumah ya?" tanya Harun.
"Iya pak, bapak saya sedang keluar tadi pagi. Belum pulang sampai sekarang," jawab Galang.
"Oh iya nak, kalau begitu bapak pamit ya," Harun akhirnya memilih untuk pulang saja. Dia juga harus segera memberikan uang dari Galang kepada pak Hari.
"Iya pak, terima kasih ya."
Harun membalas dengan senyuman di bibirnya yang memucat itu. Dia harus kembali sebelum sore tiba.
Harun kembali menyeberang sungai, tapi baru beberapa meter dari tepi. Kakinya merasakan perih.
"Duh ini pasti terkena potongan rumah keong," gumam Harun saat sudah sampai di tepi desanya dengan sungai.
Dia lalu memeriksa kakinya, dan benar saja darah mengalir di kaki kanannya.Harun hanya bisa membalut sementara dengan kain bajunya. Lalu dia melanjutkan perjalanan kembali.
Meski tertatih, Harun akhirnya sampai juga di rumah pak Hari sebelum sore tiba. Dia lalu memberikan uangnya pada pria itu.
"Ini pak uang jualannya," ucap Harun. Pak Hari menerimanya dan mengambil tiga lembar sepuluh ribuan. Dan memberikannya pada Harun.
"Ini buat kamu ya," ucapnya.
Harun menerimanya.
"Tapi pak ini kok kelebihan ya," ucap Harun. Biasanya dia hanya menerima dua puluh ribu saja. Tapi pak Hari kali ini memberinya tiga puluh ribu rupiah.
"Sudah gak apa-apa pak, lebihnya untuk beli salep buat kaki bapak," jawab pak Hari.
"Ya Alloh pak terima kasih ya, sudah baik sekali sama saya," Harun merasa sangat berhutang budi pada orang-orang baik yang selalu membantunya.
"Sudah-sudah, itu kan juga rejekinya bapak kok," pak Hari malah menjadi sungkan jika Harun mencium punggung tangannya karena berterima kasih.
"Iya pak."
Setelah itu Harun pamit pulang karena sudah sangat sore. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu anak dan istrinya.
Di depan rumah tampak Dimas tengah bermain kelereng bersama dua temannya. Harun mendekati mereka.
"Bapak!" teriak Dimas senang karena bapaknya sudah pulang bekerja.
"Dimas, sudah mainnya ya . Kan sudah sore, mau magrib loh," nasihat Harun pada anaknya.
"Iya pak ini juga sudah selesai kok. Besok main lagi."
Kedua teman Dimas pamit untuk pulang. Begitu pula Dimas segera masuk ke dalam rumah.
Harun duduk di kursi samping meja di dapur. Kursi tua yang sudah tidak kokoh lagi di keempat kakinya.
"Bu, ini ada uang dari pak Hadi dan pak Hari tadi,lumayan buat tambahan keperluan kita," Harun memberikan semua uang hasil jerih payahnya hari ini kepada Karinah. Wanita itu menerima dengan senang hati.
Air mata bahkan secara tak terduga menetes di pipinya.
"Kenapa bu kok malah nangis?" tanya Harun.
"Gak apa-apa pak, ibu cuma senang saja. Selama kita bersama bapak selalu berusaha menyenangkan ibu dan anak-anak. Ibu merasa kasihan melihat bapak sendirian mencari rejeki seperti ini. Ibu belum bisa membantu lagi."
Harun tersentuh mendengar ucapan istrinya itu. Baginya Karinah adalah wanita tegar yang sangat dia cintai.
"Sudah bu, bapak tidak apa-apa kok. Asal ibu terus berdoa agar rejeki kita lancar. Insyaalloh kita bisa membawa Kamila berobat."
Karinah mengangguk, kemudian memeluk Harun. Wanita itu sudah berjanji akan selalu setia selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang dengan pria di depannya itu.
Karinah sedang menidurkan Kamila di kamar. Setelah itu dia mengambil beberapa lembar uang dari sakunya. Uang yang tadi di beri kan oleh suami, rencananya akan untuk biaya berobat Kamila.
Ada dua ratus empat puluh lima ribu rupiah. Karinah menyisihkan beberapa puluh ribu untuk kebutuhan mereka. Dan uang jajan Dimas jika bersekolah.
"Mudah-mudahan bisa cukup untuk besok ke rumah ki Agung. Kamila bapak ibu akan berusaha menyembuhkan mu nak," ucap Karinah sambil mengelus pipi putri kecilnya.
Bulir air mata menetes perlahan tak kala dia mengingat keadaan Kamila.Memikirkan bagaimana nasibnya kelak jika harus menanggung malu karena kekurangannya.
"Bu," Harun menepuk pundak istrinya. Karinah segera menyeka air matanya dengan cepat.
"Bapak," jawab Karinah.
"Kenapa bu kok nangis?" tanya Harun. Karinah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau menambah beban pikiran bagi sang suami.
"Tidak pak, ibu hanya menguap tadi," jawab Karinah berbohong.
"Bapak tahu bu, apa yang ibu khawatirkan. Bapak juga sama. Besok kita coba bawa Kamila ke rumah ki Agung ya?" tanya Harun.
"Tapi pak, Kamila masih berusia dua hari. Bukankah terlalu kecil untuk kita bawa ke sana, apalagi melewati sungai. Ibu takut," jawab Karinah.
"Benar juga ya bu, sebaiknya kita menunggu Kamila usia satu bulan saja. Sambil mengumpulkan uang untuk dia nantinya."
"Benar pak. Semoga Kamila bisa seperti anak-anak seusianya ya," harap Karinah.
"Amin bu," Harun mendekap istrinya. Memberikan ketenangan bagi ibu dua anak itu.
Tepat sebulan usia Kamila saat ini. Harun dan Karinah membawanya ke rumah ki Agung. Dengan berbekal dua ratus ribu rupiah dari hasil menyisihkan upah sang suami. Karinah meminta Harun untuk mengantarnya ke rumah ki Agung.
Sama seperti jalanan yang di lalui oleh Harun sebelumnya. Namun kali ini perjalanan mereka lebih aman, karena beberapa hari yang lalu kedua desa itu sudah di buat jembatan gantung.Jembatan itu untuk memudahkan para penduduk ke desa seberang.
Pagi-pagi Karinah dan sang suami sudah pergi ke sana. Sekitar pukul delapan pagi mereka sudah berada di depan rumah ki Agung.
Harun mengetuk pintu rumah ki Agung. Dan seorang ibu paruh baya membuka pintunya.
"Cari siapa ya?" tanyanya.
"Maaf bu, kami mencari ki Agung. Apa beliau ada di rumah?" tanya Harun.
"Ada, silahkan masuk nak," jawab ibu itu.
Karinah dan Harun masuk ke dalam rumah. Keduanya lalu di persilahkan duduk di kursi ruang tamu.
"Tunggu ya ki Agungnya masih mandi,"ucap ibu yang di ketahui bernama bu Darti. istri dari ki Agung.
"Baik bu Darti," jawab Harun.
Beberapa menit berlalu, ki Agung akhirnya menemui keduanya. Mereka saling berjabat tangan.
"Ada apa ya nak mencari saya?" tanya ki Agung.
"Begini ki, saya ke sini karena nyai Ijah yang memberitahu ke saya bahwa ki Agung tukang urut terkenal di sini. Saya ingin meminta tolong, barangkali ki Agung bisa menyembuhkan anak saya, Kamila."
Harun menjelaskan apa tujuannya ke rumah ki Agung. Pria paruh baya itu mengangguk tanda mengerti. Dia lalu memeriksa leher Kamila.
Ki Agung menghela napas berat. Dari wajah pria itu tampak sebuah keraguan. Harun dan Karinah saling memandang. Keduanya khawatir jika saja ki Agung menyerah tentang kekurangan putrinya.
"Gimana ki? Apakah bisa sembuh?" tanya Harun.
"Kelihatannya sulit nak, tapi biar aki coba dulu," jawab ki Agung. Harun mengangguk.
Perlahan leher Kamila di urut oleh ki Agung. Putri kecil itu menangis karena pijatan itu. Karinah tidak tega melihatnya. Tapi mereka harus berikhtiar demi kesembuhan Kamila.
Setengah jam ki Agung memijat leher Kamila. Mencari otot-otot yang mungkin tidak pada tempatnya. Tapi helaan nafas pria tua itu seolah menjawab kegundahan hati Harun dan Karinah.
"Sepertinya memang dia harus menerima takdirnya nak Harun. Kalian yang sabar. Ini memang sudah digariskan oleh Tuhan untuknya."
Nasihat ki Agung menjadi tamparan bertubi-tubi bagi Karinah. Dia menangis lagi.
"Sudah bu, sudah jangan menangis lagi. Kita terima saja keadaan anak kita. Dia memang anak spesial."
Harun mencoba menenangkan istrinya, ki Agung yang melihat tangis kedua orang di depannya itu merasa tidak tega. Tapi memang dia tidak bisa merubah takdir seorang anak yang sudah di tuliskan seperti itu.
"Iya ki,kami akan menerima apapun keadaan anak kami. Ini untuk aki, maaf hanya sedikit ki," ucap Harun sambil menyerahkan sebuah amplop yang berisi sejumlah uang untuk upah ki Agung.
Tapi ki Agung menolaknya. Dia tidak tega mengambil upah itu karena dia tahu bagaimana kehidupan Harun dan keluarganya.
"Sudah kamu simpan saja nak Harun. Aki ikhlas membantu kalian, semoga ada keajaiban untuk putri kalian."
"Ya Alloh ki, terima kasih. Saya berhutang budi pada aki," Harun mencium punggung tangan ki Agung seperti bapaknya sendiri.
Setelah itu Harun dan Karinah pamit untuk segera pulang. Sepanjang jalan Karinah tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Harun hanya bisa menghela napas panjang.
Begitu berat cobaan yang dia hadapi kali ini. Harun sangat merasa khawatir jika suatu saat putrinya tidak bisa menerima dirinya sendiri yang memiliki kekurangan.
"Kamila, kamu putri kecil bapak yang cantik. Meski kamu cacat dari lahir. Tapi kecantikkan mu sudah terlihat jelas. Semoga kelak kamu akan bertemu dengan jodoh yang baik nak. Yang bisa menerimamu apa adanya." Batin Harun tak pernah berhenti berharap.
Keduanya sampai di rumah saat siang hari. Bersamaan dengan Dimas pulang sekolah. Anak itu terlihat murung saat masuk ke pekarangan rumah mereka.
Karinah tengah sibuk menidurkan Kamila di dalam rumah. Sedangkan Harun mendekati Dimas. Duduk di samping anak itu.
"Dimas, kamu kenapa nak?" tanya Harun yang melihat anaknya murung di kursi depan rumah.
"Bapak, tadi teman Dimas bilang kalau adik Dimas jelek karena lehernya cacat. Dimas gak suka pak dia bilang seperti itu. Tapi dia masih terus bilang kalau adik jelek!" cerita Dimas polos.
Harun langsung memeluk putranya. Rasa gemuruh di hati pria itu saat mendengar cerita polos sang anak.
"Sudahlah Dimas, jangan di masukkan hati perkataan temanmu. Kamila cantik kok."
"Iya bapak, Dimas sayang kok sama Kamila. Biarpun Kamila berbeda," jawab Dimas, seketika bulir air mata menetes di kedua pipi Karinah saat mendengar keduanya bercerita.Karinah sedang berada diambang pintu rumah mereka.Mendengarkan semua cerita putra sulungnya.
Hati orang tua mana yang tak teriris saat mendengar di luar sana. Putrinya menjadi perbincangan orang lain karena kekurangan gadis itu. Bahkan Kamila saja belum mengerti tentang dirinya. Usia yang begitu kecil masih harus menerima cobaan yang begitu berat.
"Dimas, ayo masuk nak. Kamu belum makan siang kan?" tanya Karinah membuyarkan pelukan antara bapak dan anak itu. Karinah tidak mau jika putranya terlalu sedih memikirkan perkataan temannya itu.
"Ibu," sapa Dimas. Dia lalu berdiri dan memeluk ibunya. Meski putranya terlihat kuat di luar,tapi dia hanyalah anak kecil yang kadang juga masih suka bermanja pada ibu dan bapaknya.
"Ayo ganti baju dan makan!" ajak Karinah pada putranya.
*****
Tiga tahun berlalu seperti biasanya, Harun pergi ke ladang setiap hari untuk mencari uang. Begitu pula Karinah, wanita itu setelah melewati masa nifas berusaha membantu suaminya. Kamila bahkan sering di ajak olehnya saat Karinah menanam padi milik tetangga yang menyuruhnya.
Kamila bukan anak yang sering rewel, bahkan dia sangat senang saat diajak sang ibu ke sawah. Duduk di tepi sawah melihat ibunya menanam padi.
Kini usia gadis itu sudah menginjak tiga tahun. Parasnya yang cantik sudah terlihat dari kecil. Para tetangga Karinah juga sudah terbiasa dengan keadaan anak itu. Mereka kasihan padanya, tapi demi menjaga hati sang ibu. Para ibu itu hanya diam saja tidak berkomentar apapun tentang putri kecil Karinah.
"Karinah! Gawat Karinah!" teriak seorang pria tetangga Karinah bernama pak Tamri. Pria itu lari di tepian sawah mendekati Karinah yang sedang menanam padi.
"Ada apa kang?" tanya Karinah ikut khawatir.
"Suamimu, suamimu dia-" ucap pria itu sambil mengatur nafasnya yang terengah - engah.
"Suamiku kenapa kang?" tanya Karinah semakin khawatir. Dia berhenti menanam padi. Begitu juga para ibu yang berada di sawah itu.
"Suamimu pingsan Karinah!" ucap pak Tamri. Karinah terkejut mendengar kabar itu,dia segera keluar dari kubangan lumpur di sawah. Dan menggendong Kamila di punggungnya.
"Dimana dia sekarang kang?" tanya Karinah.
"Dia sedang di rumahmu, tadi pak Hadi sudah memanggil mantri desa," jawabnya.
Karinah segera mempercepat langkahnya,rasa berat di punggungnya tak lagi dia pedulikan. Asal segera bisa melihat sang suami.Untungnya Kamila tidak rewel, dia diam di punggung sang ibu.
Karinah dan Tamri tiba di depan rumah Harun. Ada sebuah sepeda motor tua di depan rumah itu. Motor milik mantri desa yang akan memeriksa Harun.
Karinah segera masuk ke dalam rumah. Dia mencari dimana suaminya. Harun tengah tergeletak di atas ranjang mereka.
"Ada apa pak Hadi?" tanya Karinah panik.
"Karinah, Harun terkena cangkul di kakinya. Ini sudah di jahit oleh pak mantri."
"Ya Alloh pak kenapa bisa seperti ini, cepat sadar pak!" ucap Karinah di samping Harun.
"Ba-pak te-na-pa?" seolah ingin tahu apa yang terjadi dengan bapaknya, Kamila bertanya meski belum bisa terdengar jelas kata-katanya.
"Bapak gak apa-apa Kamila, dia sedang istirahat ya," jawab pak Hadi sambil membantu Karinah menurunkan Kamila.
Kamila mendekati bapaknya, dan mengelus kepala pria itu.
"Ba-pak ba-nun eh, mi-ya ma-yu en-dong,(bapak bangun deh, mila mau di gendong), ucap Kamila pada Harun.
Beberapa orang yang ada di rumah, terharu dengan ucapan anak kecil itu.
Harun perlahan sadar dari pingsannya. Samar-sama dia mendengar celoteh sang putri mereka. Harun menatap ke arah Kamila. Gadis itu tersenyum sambil memainkan rambut Harun.
"Ba-pak,ba-pak!" teriak Kamila senang karena sang bapak sudah sadar.
"Iya Kamila, bapak sudah bangun. Kamila main dulu ya sama kak Dimas," pinta Karinah. Kamila mengangguk mengerti lalu berlari ke arah kakaknya.
Karina lalu mengambilkan minuman untuk Harun. Sedangkan pak Hadi membantunya untuk duduk di ranjang itu.
"Harun kamu istirahat dulu saja sampai lukanya sembuh," pinta pak Hadi.
"Iya pak, maaf ya saya kurang hati-hati hari ini," jawab Harun merasa bersalah sudah merepotkan pak Hadi.
"Sudah tidak apa-apa, ini kan memang kecelakaan, tidak ada yang meminta seperti ini juga pak Harun," jawab pak Hadi.
"Iya pak Hadi," jawab Harun. Dari pintu kamar Karinah membawa segelas air. Lalu memberikannya pada Harun. Pria itu segera meneguk air itu hingga habis.
Pak Hadi segera membayar biasa pengobatan untuk Harun. Setelah itu dia dan yang lainnya pamit untuk pulang.
Rasa nyeri mulai terasa di kaki pria itu. Tepat di punggung kaki kirinya luka sepanjang sepuluh jahitan terlihat membengkak. Bekas darah masih terlihat di pinggiran kakinya. Karinah segera membersihkan sisa darah itu dengan kain bersih dan air hangat.
"Bapak kok bisa kayak gini, lagi mikirin apa pak?" tanya Karinah.
"Tidak bu, bapak cuma lelah saja. Jadi tidak fokus malah cangkulnya kena kaki," jawab Harun.
"Ya sudah bapak istirahat dulu ya, ibu akan siapkan makanan untuk kita makan sore ini," Karinah membantu Harun merebahkan tubuhnya.
"Iya bu."
Kamila dan Dimas sedang bermain di ruang tamu mereka. Ruang kecil yang telah di beri sekat bambu oleh Harun. Agar bisa menutupi kamar mereka.
Di rumah itu hanya ada dua ruang itu saja. Sedangkan dapur mereka ada di luar rumah. Itupun hanya terbuat dari bambu di dinding dan tiangnya.
Harun dan Karinah hanya bisa membangun rumah seperti itu. Mereka tak punya uang untuk membangun yang lebih baik. Kadang kala saat hujan lebat di malam hari mereka tidak bisa tidur. Karena atap rumah mereka yang bocor. Membasahi kamar dan juga ruang tamu mereka.
Jika di perhatikan dari jauh. Rumah mereka sudah hampir miring. Banyak bambu yang sudah mulai lapuk di atap rumah mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!