William Handelson, pria itu teman SMA Nena, mereka sempat dekat meski hanya sebagai teman. Namun saat lulus SMA William yang ayahnya berkewarganegaraan Amerika mengharuskan pemuda itu untuk kuliah di sana, dan sejak saat itu mereka lost contact.
Nena terus saja bercerita tentang apapun, termasuk luka di keningnya. Dan pria di hadapannya tak henti-henti tertawa, mungkin cerita atau cara bercerita gadis itu yang terlampau lucu, atau memang Willian tengah gembira karena bisa berjumpa lagi dengan sahabat lamanya. Mereka tengah makan siang berdua di kantin kantor, tapi pria itu malah memesan dua cangkir kopi, sedangkan dia sudah memesan minumannya sendiri, Nena pikir mungkin teman lamanya itu tengah menunggu seseorang.
"Aku sudah hampir dua tahun di Jakarta, dan selama itu juga aku terus mencari keberadaanmu," aku William, gadis di hadapannya hanya tersenyum canggung.
"Jadi, bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanya Nena penasaran.
"Aku dan Justin berteman, kami kuliah di Universitas yang sama di Amerika. Sebenarnya tempatku bukan di sini, aku menaruh saham di perusahaan Justin, kamu tahu Adley Corp?" tanya William, dan Nena seketika ingat celotehan Siska waktu itu.
"Iya tahu, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, bahkan untuk Export, import barang dia punya maskapai penerbangan sendiri," tebak Nena, William tertawa mungkin mengiyakan, dan nanti gadis itu harus berterimakasi pada sahabatnya itu.
"Kami benar- benar memulainya dari nol," jelas William.
"Pantesan dia marah banget sama Bu Mira, jadi gitu." Pikir Nena.
"Justin membutuhkan seseorang di posisi yang sekarang ini menyebabkan aku bisa bertemu denganmu," William mengembangkan senyumnya kembali. "Aku tidak tahu apakah Jakarta ini sudah menyempit atau memang kita itu jodoh, sampai dipertemukan lagi seperti ini dan kamu ternyata jauh lebih cantik sekarang," lanjutnya kemudian.
Nena mengangguk-angguk, jadi teman lamanya ini yang akan menggantikan Pak Handoyo, pikirnya. "Kamu itu nggak berubah yah? Selalu aja godain aku," tuturnya, kemudian tertawa, memamerkan deretan gigi putihnya yang cantik, dan untuk kesekian kalinya William tidak pernah berhenti terpesona.
"Kamu sudah punya pacar, Na? Atau malah sudah punya anak?"
"Tidak dua-duanya." Entah mengapa, mengatakan kalimat itu berasa ngenes banget, sebenarnya jomblo itu bukan aib, banyak kok yang usianya lebih matang dari Nena belum juga punya pasangan. Tapi kok kayaknya berasa nggak laku gitu. Pikir Nena.
Drap
Seseorang menghentikan langkahnya tepat di sebelah meja mereka. Nena menoleh dan mendapati sepasang mata elang yang Nena kenal tengah menatapnya. Gadis itu memalingkan wajah.
"Hay! Just, duduk." William menyapanya. Ya, dia Justin, pria itu menurut pada perintah William duduk di hadapan Nena dan menatap gadis itu penuh rasa ingin tahu. Mendadak Nena merasa canggung sendiri mengingat dia dan bosnya tidak sedekat itu untuk bisa satu meja bersama.
William yang menyadari ketidaknyamanan keduanya langsung membuka suara, seolah mengerti dengan pertanyaan yang nampaknya tidak perlu dilontarkan Justin, pria itu terlalu piawai menebak sifat keduanya.
"Nena ini dulu satu SMA denganku, Kau pasti sudah kenal kan," tutur William, dan Justin hanya menanggapi dengan oh tanpa suara kemudian kembali bersikap acuh.
Nena yang tahu diri akan kecanggungan yang mereka ciptakan segera berdiri dari kursinya, "Sepertinya saya ada urusan, Saya duluan," pamit Nena yang tidak segera diiyakan oleh William, nampaknya pria itu masih berat untuk kembali berpisah dengan gadis itu. Namun iya mengerti dan membiarkan Nena pergi.
"Dia adik kelasku dulu, kita cukup dekat, bisa dibilang sahabat lah." William mulai menceritakan kisahnya pada Justin yang nampak acuh menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Wiliam tersenyum, pikirannya melayang pada kenangan beberapa tahun silam. Melihat sahabatnya itu Justin hanya mendengus.
"Pepatah lama mengatakan, bahwa tidak ada yang murni dengan persahabatan antara pria dan wanita. Kalo bukan dia yang suka sama—"
"Aku yang menyukainya." William, memotong kalimat sahabatnya.
Justin berdehem untuk menahan tawanya agar tidak tergelak, "cinta lama belum kelar?" sindir Justin. William mendengus, tahu betul bahwa bukan itu penjabaran dari singkatan CLBK.
"Bukan," bantah William, tidak berminat menjelaskan apapun pada sahabatnya itu.
"Jadi ceritanya ketemu mantan gebetan." Justin terus menggoda sahabatnya.
"Dia bukan mantan, dan tidak termasuk kedalam daftar gebetanku."
"Oh, kau pasti ditolak ."
"Ck, aku tidak pernah menyatakan perasaanku padanya." William mulai kesal.
"Pecundang!" tukas Justin.
Dengan gemas William menendang kaki sahabatnya di bawah meja sana. Asli hanya William yang berani melakukan itu pada seorang Justin tanpa takut dibunuh.
"Kau tahulah, dan aku berbeda, terutama soal keyakinan." William menjelaskan dan Justin mengangguk mengerti, menegakkan tubuhnya untuk kemudian menyesap kopi yang sudah sedaritadi dia acuhkan.
"Dan kalo kau mau, kau bisa mendekatinya. Dengan senang hati akan kubantu."
Justin tersedak, cairan kopi yang barusaja mengaliri tenggorokannya serasa ingin keluar kembali, mendengar tawaran yang menurutnya gila dari shahabatnya.
"Kenapa harus aku?" tanya Justin bingung, egonya sedikit terluka seolah sahabatnya itu iba padanya karena tidak kunjung laku juga. Padahal dia sendiri juga belum punya pasangan, lebih tua darinya pula.
"Dengarkan aku baik-baik. Tidak semua perempuan itu sama seperti mantanmu yang, siapa namanya aku lupa."
"Tidak usah dibahas." Tolak Justin mengangkat telapak tangannya.
"Ok, Serena itu gadis baik-baik, aku kenal betul siapa dia dan keluarganya. Meskipun memang gadis itu bukan dari kalangan terpandang, tapi Nena gadis yang cerdas, cantik, baik dan segala kesempurnaan dari kekurangan yang sampai saat ini aku belum tahu pasti ada atau tidaknya."
"Nobody is perfect," tukas Justin.
"That's right," William mengulum senyum. "Tapi apa salahnya kau coba mengenal Serena, kamu jika sudah bertemu perempuan macam dia, mau mencari yang seperti apa lagi."
Justin diam saja mendengar petuah dari William yang selama ini sudah dia anggap sebagai kakak. Iya, Mereka memang sedekat itu.
Justin bukan tipe orang yang gampang dibujuk atau terpengaruh. Tapi entah kenapa di lubuk hati Justin yang paling jauh, dalam, sempit dan gelap. Pria itu nampak sedikit mempertimbangkan tawaran sahabatnya. Yang sialnya sampai dia kembali memasuki ruangan kebesarannya, pria itu nampak tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan. Entah mengapa obrolan antara dia dan William tigapuluh menit yang lalu seperti terus mengulang-ulang di otaknya seperti kaset kusut.
"Sialan! kambing bule itu ngomong apa sih tadi. Aku jadi nggak bisa konsentrasi ," Justin terus mengumpati sahabatnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
@shiha inayah
Justin mulai ga fokus gara² omongannya kambing bule....
2022-03-12
0
Dayah Akbar
mantap
2022-02-04
0
࿇KangEs😏😜✿࿐ ❦︎⃝ ⃝ ᵍᵇᵗ
Abang kambing bule 🤣🤣🤣🤣
2022-01-01
0