UANG

Hari senin menjadi hari yang super sibuk bagi para karyawan, tidak terkecuali seorang bos seperti Justin, pria itu terlalu sibuk hingga tidak bisa keluar untuk sekedar makan siang.

"Mbak! maaf, saya disuruh mengantar pesanan ini." Seorang waitress sebuah Restoran menghampiri Nena yang kala itu akan memasuki lift setelah makan siang. Nena mengambil catatan yang ternyata ditujukan untuk Justin.

"Ruangannya ada di lantai atas Mba." Nena mencoba ingin menjelaskan, namun wajah lelah pelayan yang usianya mungkin hampir seumuran ibunya membuat Nena merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk membantu pelayan itu.

 

Setelah pelayan itu berterimakasih dan pamit pergi, Nena segera mengantarkan pesanan milik Justin ke ruangannya.

 

Tok-tok-tok

 

"Bu Inggrit, saya bawa makanan pesanan Pak Justin, tolong berikan pada Beliau ya Bu." Nena melongokkan kepalanya kedalam ruangan sekretaris Justin. Namun raut wajah sekertaris itu tampak menyesal.

 

"Bisa tolong kamu antarkan tidak, soalnya saya sedang buru-buru ada urusan. Maaf ya Serena." Sesal Bu Inggrit dan kemudian pergi membawa tumpukan map entah kearah mana.

 

 

"Njirrr niatnya ngebantu kenapa jadi SUE gini si. Males banget gue masuk ruangan Ceo itu. Ya Allah Bismilah."

 

 

Nena mengetuk ruangan yang tempo hari juga sempat ia datangi, setelah dipersilahkan masuk gadis itu melangkah ragu kedalam ruangan yang didominasi warna putih milik bosnya.

 

Justin tampak masih sibuk dengan pekerjaannya, dan saat sempat menoleh sampai dua kali pada seseorang di hadapannya, pemuda itu mengerutkan dahinya. Bingung.

 

"Silahkan duduk." Suruh Justin.

 

"Tumben amat gue disuruh duduk, biasanya juga dicuekin aja." Nena membatin.

 

"Maaf tidak Usah Pak, tadi saya bertemu pelayan resto yang kebingungan mengantar pesanan Bapak, dan ini." Nena meletakan pesanan Justin di atas meja. Kemudian pamit undur diri.

 

 

"Serena!" panggil Justin, Nena menghentikan langkahnya dan berbalik.

 

"Iya, Pak."

 

"Kamu sudah makan siang?"

 

"Eu, Saya, su, sudah Pak tadi." Nena tergagap. Tumben sekali bosnya itu bersikap seperti ini. Pikir Nena.

 

"Kalau begitu, tolong temani saya makan."

 

"Ap, apa Pak?"

 

"Ck, Sya paling tidak suka mengulang kalimat Saya," tegas Justin, sebenarnya Nena mendengarnya tapi gadis itu terlalu terkejut.

 

"Tapi pekerjaan—"

 

"Di sini siapa bosnya, Saya atau pekerjaan kamu?" tanya Justin sedikit geram, pasalnya dia tidak pernah mendapat penolakan dari siapapun.

 

"Bapak," jawab Nena lirih, bahkan saking kecilnya suara gadis itu mungkin hanya telinganya saja yang mampu mendengar.

 

Nena mengikuti langkah Justin menuju sofa beludru di sudut ruangan itu, kemudian duduk berhadapan dengan bosnya.

 

Entah sejak kapan Justin sudah menggulung lengan kemejanya sebatas siku, tangan kokohnya yang dihiasi bulu-bulu halus benar-benar tampak hot di mata Nena.

 

"Astagfirulohhaladzim!!" Batin Nena.

 

"Benar kamu sudah makan?" tanya Justin memastikan, Nena mengangguk sebagai jawaban.

 

"Sejak kapan panggilan anda berganti jadi 'kamu'," pikir Nena.

 

Justin mulai menyendok menu makanan -yang Nena yakin bukan Nasi Padang- dengan begitu anggun. Belum pernah gadis itu melihat cara makan pria serapi itu meskipun sepertinya sedikit tergesa.

 

"Saya meminta kamu menemani di sini, bukan untuk pendekatan, jadi jangan besar kepala." Justin menghentikan makannya guna mengajak gadis di hadapannya berbicara.

 

Tapi pernyataan Justin barusan  sedikit membuat Nena terlonjak. Gadis itu menoleh cepat kemudian kembali membuang muka.

 

 

"Siapa yang besar kepala," gumam Nena, entah kenapa wajahnya berubah merah, hanya gumaman pelan namun nyatanya dapat didengar oleh pria di hadapannya. Diam-diam Justin tersenyum.

 

 

"Bagaimana kepala kamu? masih sakit?" Nena reflek memegang luka di kepalanya, sebenarnya masih nyeri.

 

 

"Sudah mendingan Pak, oh iya makasih soal kemarin—"

 

 

"Bukan apa-apa lupakan saja." Justin melanjutkan acara makannya setelah memotong kalimat Nena yang sebenarnya ingin berterimakasih sudah membawanya ke poliklinik kantor.

 

 

"Nggak usah dilupain juga gue nggak inget, orang gue pingsan," pikir Nena.

 

 

"Kamu, uang sebanyak itu untuk apa? saya lihat kamu bukan tipe perempuan yang termakan obral discon di Mall?"

 

 

"Eum, i, itu." Nena sedikit ragu. "Operasi Ayah saya dulu," lanjutnya.

 

 

Justin menatap Nena, gadis itu mengarahkan pandangannya ke arah lain, yang dia pastikan bukan raut tampan Justin, entah mengapa dirinya begitu gugup. Dan... Jantungnya berdebar-debar, harus Nena akui hal itu benar terjadi pada jantungnya.

 

 

"Nggak tahu diri banget jantung gue, milihnya Ceo, ganteng pula." Nena terus mengumpati perasaannya sendiri.

 

 

"Terus Ayah kamu masih hidup?"

 

 

"Tentu saja Beliau masih hidup," jawab Nena sedikit sewot. Justin tampak terkekeh pelan di ujung sana.

 

 

"Santai saja, saya hanya bertanya," Justin menghentikan acara makannya. Dia tidak ingin membahas Ayah gadis itu yang pasti akan membuatnya merasa sedih. Sebenarnya Justin mengajaknya menemaninya makan hanya ingin membuktikan omongan William kemarin.

 

 

'Kamu jika sudah bertemu perempuan macem dia, mau cari yang seperti apa lagi'

 

 

"Dulu waktu saya masih kecil, yang pertama dikenalkan ayah saya pada saya adalah uang." Nena menoleh menatap Justin bercerita, sekedar menghargai agar pria di hadapannya itu tidak merasa berbicara dengan sebongkah batu.

 

 

"Kenapa?"

 

 

"Dia bilang jika saya menginginkan sesuatu, saya harus punya uang."

 

 

Nena merasa bingung harus memberi tanggapan bagaimana, pasalnya dia tidak mengerti arah bicara bosnya itu.

 

 

"Definisi uang sendiri menurut kamu seperti apa?" Tanya Justin pandangannya tidak beralih dari wajah cantik Nena, ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu.

 

 

"Kalau menurut saya, uang memang tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang."

 

 

Justin menegakkan tubuhnya, mungkin sudah cukup jelas jawaban dari Nena, dan jawaban gadis itu sama dengan kebanyakan perempuan yang ditanyainya, jawaban yang munafik, bagaimana bisa uang tidak bisa menjamin kebahagiaan, omong kosong. Pikir Justin.

 

 

Tapi Nena belum selesai dengan jawabannya, "tapi kalau tidak punya uang akan lebih tidak terjamin lagi kebahagiaannya. Saya akui segalanya memang butuh uang, meskipun tidak benar-benar semuanya," Lanjutnya.

 

 

Mendengar itu, sudut bibir Justin sedikit terangkat.

 

 

BRAKK!!

 

 

Keduanya serempak mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang baru saja datang.

 

 

Terpopuler

Comments

Evii

Evii

😅

2024-10-27

0

Tatik Maulani

Tatik Maulani

nyebut na nyebut,,but but but

2022-10-15

1

Novianti Ratnasari

Novianti Ratnasari

tapi klw ga punya uang ga bisa mkn.

2022-07-20

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!