Sang Pengganti
"Ziii!!!" Satu panggilan sangat keras membuat semua yang sedang menikmati kopi di warkop depan pasar langsung serempak menoleh.
Terutama seorang gadis berusia belasan tahun yang terlihat sangat berantakan dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Ya, Ziva Kara namanya. Gadis manis berlesung pipit tapi tomboi.
"Apa-apaan sih?! Berisik banget pagi-pagi!" Kesal Ziva yang merasa namanya dikumandangkan bak pembacaan isi Pancasila saat upacara sekolah.
"Ziva! Ziva! Ini gawat! Ayah! Ayahmu!" Dengan tergopoh-gopoh, pemuda berusia kurang lebih sama dengan Ziva, menghampirinya dengan wajah panik dan penuh keringat.
"Fajar.... Ini ada kopi. Minum pelan-pelan, mumpung udah nggak panas. Lalu cerita dengan benar. Biar aku ngerti apa yang kamu omongin." Kata Ziva sembari menyodorkan segelas kopi yang tadi hampir saja diseruput nya namun batal karena kedatangan Fajar.
Fajar yang tampak sangat lelah itu langsung mengambil gelas dari tangan Ziva dan meminumnya sampai habis tak bersisa. Ziva melongo melihatnya dan serunya, "Woiii.... Ya, jangan langsung abis juga kali!" Protes Ziva yang menjadi kesal melihat gelas kopinya langsung kosong.
"Aku bilang minum kopinya pelan-pelan, kenapa kamu abisin, hah?!" sambung gadis itu.
"Aku haus! Aku lari jauh banget, pagi-pagi lagi!" sahut Fajar beralasan. Ziva mendengus dan mencibirnya, "Siapa yang suruh...."
Tiba-tiba seorang perempuan hampir paruh baya sudah berdiri di depan keduanya sambil berkacak pinggang, "Kalian ini! Jangan bikin ribut di warung ku! Ini masih pagi, tau! Pamali!" Teguran dari sang pemilik warung membuat Ziva dan Fajar berhenti berdebat.
"Maaf, Budhe... maaf banget...." Kata Ziva dengan senyum simpul, lalu seketika senyumnya menghilang saat menoleh ke arah Fajar dan berkata, "Kamu nih! Bikin masalah aja! " omel Ziva setengah berbisik sembari menarik ujung rambut belakang Fajar yang seperti ekor kuda.
Dan setelahnya, Budhe Warti pun berlalu dengan muka masam dari hadapan Ziva dan Fajar diiringi senyum terpaksa keduanya.
Dan lagi, Ziva kembali melotot ke arah Fajar. Fajar segera berkata, "Maaf, tapi aku beneran haus, Zi,"
"Kamu pikir, aku beli kopi ini pake daun, hah?! Pagi-pagi buta aku udah di parkiran, angkut sayuran dari mobil bak. Kamu main abisin gitu aja kopiku."
"Lah mau gimana lagi, kamu kan yang nawarin..."
"Aku emang nawarin, tapi aku nggak nyuruh kamu abisin, sekali tenggak lagi! Apa enaknya minum kopi begitu...."
"Maaf deh...."
"Katamu kopiku itu air putih, hah?!"
" Iya, aku salah. Ma...."
"Kalian ini!!! Bisa nggak sih diam?! Masih aja ribut! Pindah sana, jangan disini!" Untuk kedua kalinya, Budhe Warti datang dan menegur keduanya.
Tak ingin ditegur untuk ketiga kalinya, Ziva langsung mengeluarkan selembar uang dua ribu, demi membayar kopi yang dihabiskan oleh Fajar.
Segera setelah itu, keduanya berjalan keluar dari warkop. Muka Ziva tampak masam. Fajar yang mengekor di belakangnya, diam membisu mengikuti langkah kaki gadis pujaannya sejak SD itu.
"Aaahh, jadi lupa! Zi, ayahmu!" Fajar menepuk sendiri keningnya dan menarik tangan Ziva agar berhenti berjalan. Ziva memutar tubuhnya dan, "Ah iya, tadi kamu mau bilang apa ya?" tanya Ziva yang menoleh ke arah Fajar. Kembali penasaran.
"Ayahmu di rumah Pak Gunawan. Dia abis digebukin, Zi! Sampai babak belur... di... "
"Kurang ajar!! Kenapa nggak bilang dari tadi sih?!" potong Ziva cepat karena rasa kesal dan cemas.
"Aku ba... " kalimat Fajar terputus begitu melihat Ziva yang langsung melesat berlari meninggalkannya.
" Zi, tunggu ! Aku ikut ! " Dan Fajar pun ikut berlari menyusul ke arah Ziva.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ayah!" jerit Ziva begitu melangkah masuk ke halaman rumah yang sangat megah. Dan pandangannya tampak pedih melihat seorang lelaki tua berusia lima puluh tahunan yang tergeletak lemah di lantai dengan wajah bersimbah darah.
"Zi... Zi...." Rintih Pak Bondan terdengar menahan sakit. Ziva segera menghambur ke arah sang ayah yang sudah tampak tak berdaya. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati, membantu ayahnya untuk duduk.
"Jadi... ini anak gadismu yang preman pasar itu?.... Hemmm, manis juga. Sayang, dekil dan bau. Ningsih pasti sedih melihat anaknya kayak gini...."
Tiba-tiba dari arah kanan Ziva, berdiri seorang laki-laki seumuran ayahnya menatapnya dengan tatapan menghina. Pak Bondan mencoba menarik tubuhnya demi mendekat ke arah sang pemilik suara, "Kumohon, Gun.... Jangan bawa-bawa Ziva. Ini masalah kita. Hutangku, aku yang akan bayar sendiri," kata Pak Bondan dengan lirih dan penuh harap.
" Hahahaha!!! Bondan, Bondan! Kalo kamu ngomong kayak gitu sepuluh tahun lalu, aku pasti percaya! Waktu itu kamu masih menjadi sopir pribadi orang yang kaya raya. Tapi, sekarang?! Cih!! Apa yang bisa kamu andalkan buat makan sehari-hari? Lukisan murahan dan uang hasil malak anak preman mu ini? Kamu mau ngebodohin aku?! " Kata Pak Gunawan dengan nada penuh penghinaan.
" Gun... ka-kamu bisa ambil rumahku... "
"Ayah!" Ziva langsung memotong ucapan sang ayah.
"Jujur aja, emang itu yang aku mau sebelumnya. Tapi aku punya masalah lain. Dan aku mau anakmu sebagai pelunasan hutangmu!" Kata Pak Gunawan dengan nada tinggi.
Ziva mendongak ke atas. Menatap Pak Gunawan yang tersenyum dengan jahatnya.
"Apa?! Mau nantangin aku?! Nyawa ayahmu itu ada di tanganku, gadis tengik!" kata Pak Gunawan dengan kesal, dan melotot ke arah Ziva. Gadis itu mengepalkan tinjunya, ingin rasanya dia melayangkan bogem mentah ke wajah bulat Pak Gunawan.
"Zi... Zi.... Jangan...." Cegah Pak Bondan dengan mencekal erat pergelangan tangan Ziva yang mengepal kuat itu.
"Sudah, pulang sana! Bicarakan apa yang aku mau pada anakmu! Besok aku tunggu jawabanmu!" Seru Pak Gunawan dengan kasar mengusir keduanya. Kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat.
Melihat Pak Gunawan menghilang ke dalam rumah megah miliknya itu, Ziva bar membantu ayahnya untuk bangun. Kemudian dengan perlahan, memapah sang ayah keluar dari halaman rumah Pak Gunawan.
" Zi... " panggil Fajar yang baru saja sampai dengan nafas terengah-engah karena lelah dan datang tepat di saat Ziva dan Pak Bondan berada di luar pintu gerbang rumah Pak Gunawan.
" Ayo, aku bantu, Om... " Kata Fajar yang langsung membantu Ziva memapah sang ayah.
Dalam diam seribu bahasa, ketiganya berjalan perlahan menuju rumah Pak Bondan yang berjarak kurang lebih dua ratus meter dari rumah Pak Gunawan.
Tiba dirumah, Ziva dan Fajar membaringkan Pak Bondan di tempat tidur dengan hati-hati.
Fajar berjalan cepat ke arah dapur. Mengambil sebaskom air hangat dan selembar handuk kecil untuk Pak Bondan.
Ziva menerima baskom dan handuk dari tangan Fajar yang sudah masuk kembali ke dalam kamar Pak Bondan.
Dengan hati-hati, Ziva mulai membersihkan darah yang mengotori kening hingga ke leher ayahnya. Sesekali, Pak Bondan meringis menahan sakit, saat handuk yang dibasahi air hangat tersebut menyentuh lukanya.
" Ayah... Ada apa sebenarnya ? Kenapa tau-tau ayah ada di rumah Om Gunawan ? " Tanya Ziva penasaran.
" Ratna kabur dari rumah... " Sahut Pak Bondan dengan nada lirih.
" Aku juga tau itu. Ini desa kecil, ada cewek kabur, beritanya cepet kedengeran kemana-mana. Katanya kabur sama Agung, udah semingguan lalu. " Jawab Ziva.
" Iya, Pak Gunawan nggak setuju Ratna pacaran sama Agung. Mereka milih kawin lari kayaknya. " Tambah Fajar.
" Itu masalahnya. Dulu Pak Haji Hamdi, bapaknya Gunawan, punya perjanjian pernikahan dengan temannya, Pak Haji Kuncoro. Mau mempererat persahabatan dengan nikahin anak-anak mereka. Sayangnya, yang lahir adalah Gunawan dan Aji, anak Pak Kuncoro satu-satunya... "
Pak Bondan berhenti sesaat demi meringis kesakitan, menahan rasa pedih dan nyeri pada rahangnya.
" Perjanjian pernikahan akhirnya diturunkan ke cucu mereka. Gunawan punya satu-satunya anak gadis, Ratna. Sementara Aji memiliki empat anak, dan diantara mereka ada satu-satunya lelaki, yang paling bungsu. Seharusnya Ratna dan anak lelaki satu-satunya dari Aji lah yang meneruskan perjanjian pernikahan dua keluarga itu. "
Pak Bondan mulai melanjutkan bercerita panjang lebar, menjelaskan alasan yang membuat dirinya bisa berada di rumah Pak Gunawan.
" Jadi bener ya, Ratna memang beneran mau dijodohin. Pantesan, dia milih kawin lari sama Agung. " Gumam Fajar yang kini duduk di tepi tempat tidur Pak Bondan.
Ziva manggut-manggut, namun sesaat kemudian keningnya berkerut, wajahnya penuh tanda tanya.
" Tapi... apa hubungannya dengan hutang ayah ??? "
Pertanyaan Ziva membuat Pak Bondan menghela nafas.
Maafin aku, Ningsih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments