Ya, nggak akan ada kata menyesal... Semoga segalanya berjalan dengan lancar. Ratna biar cepat ditemukan. Aku berharap, semuanya akan baik-baik saja sampai akhir....
Ziva menggoyang-goyangkan satu kakinya mengikuti irama lagu yang terdengar kencang dari arah warung pulsa, dimana dia sedang duduk di depannya.
" ... kuakui kau memang manis tapi kau iblis, kau pikir kaulah segalanya... "
Sesekali bibirnya bersenandung satu atau dua lirik dari lagu yang didengarnya. Ia begitu menikmatinya.
Meskipun ia nampak santai tapi tatapan matanya tajam memperhatikan sosok Fajar yang sedang menggantikannya menjadi tukang parkir.
" Isshh... Fajar asal-asalan gitu sih ngatur motor. Kalo kayak gitu, ntar ada mobil sayur datang, bakalan susah masuk. " Gumamnya melihat cara Fajar memarkirkan beberapa motor pengunjung pasar yang baru berdatangan.
" Zi, udah jam lima lebih nih... " Kata Anton, sang pemilik warung pulsa.
" Ah, cepet amat. Bukannya baru aja aku nyampe ? Kopi aja belum abis. " Sahut Ziva tak percaya, saat melirik gelas kopinya yang masih setengah.
" Yaelah, subuh-subuh gini kamu ngelamunin apaan sih ? Jadi pikun gitu, kamu lupa ? Itu kan kopi mu yang kedua... Terserah sih, aku cuma mau ingetin aja. Kamu tadi dateng kan mesen ke aku, minta dikasih tau kalo udah jam limaan. " Kata Anton setengah kesal.
" Ya ya ya... Sorry, bos. Aku lagi banyak pikiran. Jadi nggak konek. Okelah, aku pulang dulu. Makasih ya ! " Kata Ziva setengah tak enak hati, dan seketika menyeruput sisa kopinya.
" Pulang ?! Dikit lagi mobil tukang sayur pada datang, siapa ntar yang nurunin sayuran ? Tumben, kamu nggak napsu sama duit... " Anton melotot tak percaya.
" Kan aku udah digantiin sama Fajar. Ya ntar itu jadi urusan Fajar lah. Aku ada urusan. " Jawab Ziva santai dan melompat dari bangku bambu tempatnya nongkrong dari tadi.
" Fajar ? Pantesan seminggu ini kamu ngajakin Fajar ke pasar, aku pikir, tukang parkir yang pegang nambah satu orang. "
" Ya gitu deh... "
" Kenapa digantiin ? Kan ini udah jadi kerjaanmu tiga tahun ini. Mau kemana kamu ? Punya kerjaan baru ? " Cerocos Anton penasaran.
" Ya, aku dapet panggilan kerja di Jakarta. Gaji lumayan, bisa buat nutupin kebutuhan ayahku disini. "
" Jakarta ?! Kamu mau ke Jakarta ?! Hebat ! Tapi kerja apa kamu di ibukota gitu ? Kamu kan cuma lulusan SMP. Jakarta mah kejam sama orang kampung kayak kita, Zi... "
" Teman ayahku yang ngajakin kesana. Biar lulusan TK sekalipun, kalo ada koneksi kan gampang. "
" Ah iya juga sih. Fajar tau ? " Tanya Anton seraya menunjuk ke arah Fajar dengan dagunya.
" Taulah... "
" Dia tau tapi nggak ngelarang kamu ?! "
" Nggak, dia ngerti koq kenapa aku harus ke Jakarta... " Ucap Ziva setengah bergumam dan matanya tampak sendu.
" Tapi dia cinta mati sama kamu kan... Cita-cita dia, dia mau nikahin kamu ntar. " Sahut Anton.
" Fajar itu cuma selisih 2 tahun lebih tua dari ku, tapi pikirannya lebih muda sepuluh tahun dariku. Mana bisa dia jadi kepala keluargaku ? Ngaco ! " Kata Ziva setengah mencibir.
" Fajar kan punya bengkel kecil-kecilan, Zi. Tau sendiri gimana dia mahir banget servis motor, pasti cepet buat dia jadi sukses. Dia bisa jadi suami yang baik buat kamu, Zi. "
" Bukan masalah usahanya. Tapi sifat manjanya yang aku nggak suka. " Kilah Ziva sembari mengangkat bahunya.
" Yaelah... sifat kan bisa kali diubah. "
" Dah ah... Pagi ini aku mau berangkat ke Jakarta. Aku mau siap-siap. " Tak ingin mengobrol lebih lama, Ziva menyudahi dahulu percakapan diantara mereka.
" Baru juga cerita tadi, udah langsung mau berangkat aja... "
" Jangan bilang Fajar, ya, kalo aku pulang sekarang. " Kata Ziva setengah berbisik dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu segera berjalan pergi.
Di perjalanannya ke arah rumah, Ziva melangkah sambil melamun. Sesekali ia menendang batu kerikil yang ia temui di sepanjang jalan.
" Wooiii, Ziva Kara ! " Teriakan keras dari arah belakang Ziva membuatnya menghentikan langkah kaki. Ziva memutar tubuh dengan tenang, demi melihat siapa yang memanggilnya.
" Isshhh... " Desisnya sembari menyunggingkan senyum mencibir ke arah laki-laki muda seusia dirinya yang kini berjalan mendekat.
Dasar si Eko rese ! Mau bikin ulah apalagi sekarang ?! Nggak kapok apa setelah pelajaran yang aku kasih kemarenan ini ?!
Batin Ziva saat mengenali siapa yang memanggilnya.
" Mau apa lagi, Ko ?! Masih kurang yang duluan ?! " Kata Ziva dengan nada menantang.
Eko menyunggingkan senyum sinis di sudut bibirnya. Dengan langkah sok jagoan, ia mendekat ke arah Ziva, diikuti beberapa pemuda seusianya.
" Okey... mau main keroyokan ? Siapa takut ?! " Kembali, Ziva menantang. Bukannya takut melihat serombongan laki-laki menghampirinya, Ziva malah berkacak pinggang sekarang.
" Apaan sih ?! Kamu kan cewek, Zi. Kenapa juga selalu kasar kayak gitu ?... " Sahut Eko yang kini berhenti tepat di hadapan Ziva. Ziva menatap lurus ke arah mata Eko dan itu membuat pemuda tersebut bergidik.
" Jujur aku memang masih kesel sama kamu, Zi. Kamu itu cewek, lebih pendek dari aku, umurmu juga lebih muda dari aku, tapiiiii kenapa setiap berantem sama kamu, aku selalu kalah ?! " Kata Eko sambil menarik kerah baju Ziva. Hal itu membuat Ziva merapat ke tubuh Eko.
Bukan Ziva kalau diam saja dan tak membalas diperlakukan kasar oleh lawannya. Tubuhnya memang hanya setinggi leher Eko, tapi dia tak gentar.
Ziva balik menarik kaos Eko dan mendongakkan wajahnya, menatap Eko dengan tajam. Tatapannya sangat menusuk dan penuh ancaman.
Ziva... kalo diliat dari deket begini koq jadi cantik banget ya ? Laahhh, aku jadi deg-degan begini sih ?
Kata Eko dari dalam hati. Sesaat wajahnya mulai terasa panas dan tampak memerah. Ziva masih menarik kaosnya dengan erat dan terus menatapnya lekat-lekat.
" Dengerin ya ! Aku, Ziva Kara ! Sampai kapanpun siap ngeladenin kamu ! Seujung kuku teman-temanku sampai kamu colek, kamu bakal berurusan sama aku !!! " Kata Ziva dengan nada penuh tekanan di setiap kata-katanya, membuatnya terdengar sangat tegas.
Eko yang malah terpesona pada kecantikan Ziva, hanya bisa menatap dengan bengong. Wajahnya masih memerah, dadanya berdegup kencang. Tarikan tangannya pada kerah kemeja flanel Ziva mulai mengendor.
" Eemmm... Kayaknya kamu salah paham deh, Zi. A-aku, itu maksudnya aku... " Dengan tergagap Eko langsung beraksi melepaskan kerah baju Ziva dan merapikannya sambil tertawa kecil.
Zivapun ikut melepaskan pegangannya pada kaos Eko. Eko langsung merapikan sendiri kaosnya, masih dengan tersenyum sendiri.
" Hei, sini setor ceban-ceban ! Buruan ! " Kata Eko cepat sambil memutar tubuh dan menepuk pundak teman-temannya satu persatu yang sedang berdiri di belakangnya.
Ziva tampak bingung dengan keadaan yang jauh berbeda dengan ekspektasinya. Diperhatikannya Eko yang mengumpulkan per lembar uang sepuluh ribu dari teman geng nya.
" Ko, bukannya kita mau... " Tanya Ziva setengah meragu.
" Nih, Zi. Buat kamu semua. Buat ayah kamu ! " Kata Eko sambil mengulurkan setumpuk uang yang terkumpul di tangannya kepada Ziva.
" Serius ?! " Ziva masih tak percaya.
" Ini ! " Sahut Eko yang lalu mengambil tangan Ziva dan meletakkan uang tersebut. Ziva menyeringai melihat uang dari Eko.
Iapun mengambilnya dan menghitungnya dengan cepat. Kemudian dengan sikap yang santai, ia memasukkan semua uang itu ke dalam saku celana jinsnya.
Aseeekk.... Rezeki nggak kemana, jatah setoran di pasar aku tinggalin buat Fajar, aku dapet gantinya disini....lumayan...
" Aku ngaku kalah darimu. Mulai hari ini, aku dan geng ku bakal setoran sama kamu setiap hari ! " Kata Eko memberikan penjelasan.
" Maksudmu apa ?! " Ziva memicingkan mata menatap Eko yang tampak percaya diri.
" Haaa ?! Setiap hari ?! "
" Ngaco kamu, Ko ! "
" Lha, gimana sih ini ?! Koq malah setoran ? Setiap hari lagi... "
" Apa-apaan sih kamu, Ko ?! "
Seketika, Eko menuai protes dari teman-temannya.
" Kalian ini ! Berani sama aku, hah ?! Ingat, aku masih bos kalian disini ! " Eko melotot sambil mengacungkan kepalan tangannya kepada teman-teman gengnya.
Semuanya langsung terdiam dan menundukkan kepala. Meski tak berani menjawab, tapi di dalam hati masih tetap protes.
Melihat keadaan di hadapannya, Ziva mulai mengerti. Senyumnya mengembang. Dan sedikit tawa kecil terdengar darinya. Gadis itu merasa lucu dengan keputusan Eko yang seenaknya sendiri.
" Sudah... Sudah... Jangan semena-mena begitu dong. Sini, aku ambil yang hari ini aja. Hari-hari lainnya, nggak usah setoran padaku setiap hari. Cukup seminggu sekali saja, gimana ? " Kata Ziva mencoba menengahi.
" Iya, gitu nggak papa... Seminggu sekali aja. "
" Aku setuju, kita kan perlu buat kita juga. "
" Iya, betul ! "
" Setuju ! "
" Setuju ! "
Sahut teman-teman geng Eko menanggapi ucapan Ziva.
" Baiklah, karena yang lain setuju, aku ikut setuju ! " Sambung Eko memutuskan.
" Ko, parkiran sebelah depan itu kan wilayahmu, itu paling rame dibandingin wilayahku di belakang, aku minta setoran seratus ribu per minggu, kamu kasih ke ayahku. Gimana ? " Kata Ziva.
" Seratus ribu ? Per minggu ? Deal ! " Sahut Eko sembari mengulurkan tangannya dan Zivapun berjabat tangan dengannya.
" Bener kata orang pasar... Kamu emang nggak serakah. Baguslah, aku jatuh cinta sama cewek yang punya hati. " Ucapan santai Eko membuat Ziva dan teman-temannya melotot.
" Eehh... maksud ku, aku, aku, itu, a... " Merasa salah tingkah dengan ucapannya sendiri, Eko tergagap dan menggoyangkan kedua tangannya beberapa kali.
" Kita sama-sama pejuang receh di pasar, Ko. Jangan pake hati kalo nggak mau sakit hati. Paham ? " Kata Ziva menasehati.
" Aku tau... " Eko menjawab dengan suara yang lirih.
Tapi nggak salah juga kan kalo aku punya hati buat kamu, Zi...
Sambung Eko di dalam hati sembari menatap sedih kearah Ziva.
" Ko, aku ini mau ke ibukota. Mau kerja disana. Setoran nanti kamu jangan lupa ya, kasih ayahku. Jangan sampai aku dengar, ayahku nggak terima setoran sama sekali. " Ziva mengalihkan pembicaraan dengan satu peringatan yang tegas.
" Ke Jakarta ?! " Kalo ini, tatapan sedih milik Eko langsung berubah drastis. Kedua bola matanya seketika melotot, hampir-hampir meloncat keluar dari rongga matanya.
" Yups ! " Jawab Ziva bersemangat.
" Ngapain ke sana ? Kerja apaan ? Disini kamu bisa penuhi kebutuhanmu dan ayahmu. Kenapa harus ke Jakarta ? " Cerocos Eko.
" Aku butuh uang lebih besar buat bayar hutang ayahku pada Om Gunawan. "
" Oh... " Bibir Eko membulat.
" Aku lagi buru-buru nih. Balik dulu deh. Makasih ya buat setoran hari ini. Bye ! " Tanpa menunggu Eko menjawab pamitnya, Ziva langsung balik badan dan kembali berjalan pulang.
Eko diam seribu bahasa. Hanya bisa menatap punggung Ziva yang makin lama makin menghilang pada akhirnya tepat di pertigaan gang depan.
" na na na na na... kan slalu kurasa hadirmu, antara ada dan tiada... mm... mmm... "
Dengan acuh tak acuh, Ziva bersenandung kecil. Sembari berlari dan sesekali melompat tinggi, Ziva menikmati jejaknya saat ini.
Hari ini... terakhir di sini. Jakarta... Selama ini cuma tau dari televisi doang. Ibukota, kota yang besar... Aku ini judulnya tinggal di Semarang aja jarang main ke pusat kota Semarang. Sekarang tau-tau mau ke Jakarta.
Kayak apa nanti disana ? Menikah tanpa cinta... Cuma sebagai pengganti. Om Gunawan menyuruhku terus menjauh dari... Mmm, siapa ya nama calon suami Ratna itu ?
Gimana caranya ya biar tetap saling jaga jarak ? Harus ada triknya ini, biar dia nggak naksir aku hehehe... Aku ini cantik sebenarnya, cuma karena ngerawat badan ala kadarnya aja, jadi gini-gini aja !
" Issshhh.... Narsis banget sih, hehehe... " Ziva tersenyum-senyum sendirian dengan bangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments