Tapu : Putra Angkara Murka

Tapu : Putra Angkara Murka

Awal Kisah

Tahun 2005

"Bu, kalau Ayah ternyata ngga bisa pulang gimana bu? Kita udah beres-beres kaya gini." ucap Raina kecil kepada Ibunya, dengan raut wajah sedih.

"Ngga papa Nak. Kita berdoa aja ya Ra. Semoga Ayah pulang ke rumah dengan selamat. Ayah pasti pulang kok Ra." jawab ibunya.

Meskipun Ibunya juga ragu dengan suaminya itu. Sudah dua tahun mereka tidak berkumpul. Raina sudah sangat merindukan sosok Ayah yang selalu menemaninya dikala dia kesepian. Namun saat bisnis Ayahnya berkembang pesat, Raina sering kali ditinggal oleh Ayahnya.

Dengan begitu banyaknya harta dan kekayaan yang bisa Raina nikmati, dia sama sekali tidak merasakan bahagia atas semua itu. Dia hanya ingin berkumpul bersama Ayah dan Ibunya, lengkap seperti dulu. Tapi itu semua hanyalah harapan. Raina sekarang harus terbiasa hanya berdua dengan Ibunya.

"Ra, kamu simpan barang-barang yang udah ngga kepakai ini di gudang ya. Ngga Ibu kunci kok."

"Iya Bu."

Raina menuju ke gudang dengan membawa dua kardus kecil, berisi beberapa barang yang sudah tidak terpakai. Raina begitu polos sehingga dia sama sekali tidak mengetahui barang apa yang dia bawa. Karena penasaran, Raina kembali ke dalam gudang, dan membuka kardus itu.

Raina hanya melihat-lihat kebingungan dengan barang yang ada ditangannya. Benda itu adalah sebuah liontin dan juga sebuah gelang emas. Raina kemudian membuka yang kardus yang satunya lagi. Dia menemukan sebuah kotak kayu, berisi kertas yang digulung dengan sangat rapi. Bahkan, baunya pun sangat wangi.

Namun wangi itu bukan wangi parfum, tapi lebih tepatnya seperti kemenyan. Karena sudah terlalu lama di dalam gudang, Ibunya menjadi khawatir. Seharusnya Raina sudah kembali ke kamar Ibunya sekarang. Ibunya masuk ke dalam gudang, dan betapa kagetnya dia saat itu.

Raina sudah berada diatap, tergantung dengan posisi terbalik. Wajahnya pucat, matanya hitam legam. Dan dari mulutnya keluar taring yang begitu tajam. Untuk anak berusia delapan tahun, sangatlah tidak masuk akal jika Raina bisa tergantung dengan posisi terbalik seperti itu.

Ibunya pun langsung lari sekencang-kencangnya, berusaha keluar dari rumah. Tapi sayang, semua pintu dan jendela tiba-tiba terkunci. Gordennya pun menutup dengan sendirinya. Sehingga seluruh ruangan menjadi gelap. Ibu Raina terjebak di dalam rumah. Dia berusaha meminta tolong. Namun tidak ada satu orang pun yang mendengarnya.

Para pelayan yang seharusnya ada disana pun menghilang entah kemana. Dia semakin panik saat melihat Raina keluar dari gudang dengan posisi merangkak.

"Ya Tuhan Raina! Sadar Sayang!"

Ibunya terus berusaha menyadarkan Raina dengan meneriakinya. Tapi Raina justru tertawa dengan sangat keras, membalas teriakan Ibunya. Entah sosok macam apa yang hinggap di tubuh Raina. Raut wajahnya berubah menyeramkan, tatapan matanya begitu tajam, suaranya begitu keras dan lantang.

Semakin lama suasana semakin menyeramkan. Ibu Raina kini terpojok. Sekuat tenaga mencoba meraih gagang pintu. Tapi tangannya kaku tak dapat digerakkan, bahkan semakin lama semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hanya bisa terpaku menatap putrinya yang semakin lama semakin mendekat.

Tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Raina mendekat secara perlahan dan menyentuh wajah Ibunya. Ternyata bukan hanya wajah, tangan Raina pun kini telah berubah. Dengan lembut, Raina memegang wajah ibunya lalu seketika Raina pun pingsan.

Sentuhan tangan Raina meninggalkan bekas dikedua pipi Ibunya. Ibu Raina yang masih panik hanya bisa menatap anaknya yang sudah terkapar lemah di depannya. Seakan baru terbangun dari mimpi yang buruk, baru kali ini Ibu Raina melihat kejadian yang begitu menyeramkan terpampang jelas dan nyata dihadapannya.

Ayah Riana masih dalam perjalanan menuju pulang ke rumah. Dan seperti memiliki insting yang kuat, dia seakan tahu apa yang telah terjadi kepada anak dan istrinya itu.

"Yono, percepat mobilnya ya. Saya pengin cepat-cepat sampai di rumah." Ucap Ayah Riana kepada supirnya.

"Iya Tuan."

Perasaan khawatir begitu kuat dalam dirinya. Semakin lama dia semakin tidak sabar untuk sampai ke rumah. Apalagi nomor telfon istrinya tidak aktif saat dihubungi.

"Percepat lagi Yono, kita harus cepat sampai ke rumah. Istri dan anak saya sedang dalam masalah." ucap Ayah Riana dengan perasaan khawatir.

"Iya Tuan. Tapi jalanan sedang ramai Tuan. Bahaya."

"Aduh! Tapi saya khawatir sama orang di rumah. Ngga tahu kenapa Yon!"

"Tenang dulu Tuan. Kalau kita panik, bisa bisa kita ngga sampai ke rumah Tuan."

"Husss!! Jangan ngawur! Cepetin mobilnya!"

Dengan terpaksa Yono pun mempercepat laju mobilnya, meskipun jalanan waktu itu cukup ramai. Beruntunglah tidak ada apa-apa. Hingga sekitar satu jam kemudian, mereka telah sampai di depan rumah. Ayah Raina disambut oleh dua orang pembantu laki-lakinya. Mereka semua panik, memberitahukan kalau Raina dan Ibunya tak sadarkan diri.

"Bagaimana ini bisa terjadi?!"

"Kami tidak tahu Tuan. Saat juru masak sedang menyiapkan sarapan, mereka terkejut karena Nyonya dan Nona Raina sudah tidak sadarkan Tuan. Tapi keadaannya sangat aneh." ucap pembantunya yang bernama Parman.

Ayah Raina termenung sejenak. Dia seperti mengetahui sesuatu. Langkahnya terhenti karena dia ingat, bahwa istrinya mengatakan kalau hari ini dia ingin membereskan barang-barang yang sudah tidak terpakai di rumah. Hal itu mengingatkannya pada sesuatu yang ia simpan di salah satu tempat. Tepatnya di kamar Raina.

"Ya sudahlah. Kamu bantu Yono menurunkan semua barang. Hati-hati, jangan sampai ada yang rusak."

"Baik Tuan."

Ayah Raina lalu masuk ke kamar istrinya. Perasaan khawatir itu seakan lenyap. Wajah paniknya mulai terlihat biasa. Seperti tidak ada yang terjadi.

"Tuan?"

"Kamu keluar dulu Lina, biar saya yang urus semuanya." ucap Ayah Raina kepada juru masaknya.

"Baik Tuan."

Juru masaknya itu merasa ada yang aneh dengan majikannya itu. Dia seperti berbicara dengan seseorang, mulutnya komat-kamit, sembari memegang kepala anak dan istrinya. Secara bersamaan, Raina dan Ibunya tersadar. Raina langsung memeluk Ayahnya. Dia begitu ketakutan atas apa yang telah ia alami.

Ibunya langsung keluar dari kamar. Ayah Raina tahu kalau istrinya pasti marah, dan juga sangat ketakutan karena telah mengalami kejadian yang belum pernah ia alami sebelumnya.

"Raina, Ayah keluar dulu yah? Ayah harus bicara sama Ibu Nak. Kamu tunggu disini ya sayang?"

"Iya Ayah."

Ayah Raina keluar dari kamar mendatangi istrinya yang sedang duduk di belakang rumah.

"Kamu tahukan apa resikonya? Ini yang harus kita tanggung." ucap Ayah Raina kepada istrinya.

"Dengan mengorbankan anak kita?!"

"Sayang, kita ngga akan mengorbankan anak kita!"

"Lalu apa mas?! Umur Raina sekarang delapan tahun. Aku ngga siap mas. Aku ngga siap kalau harus lihat Raina menjadi seperti kita mas!"

"Tenang sayang. Aku sedang urus semuanya kok. Kamu hanya harus bertahan beberapa tahun lagi, sampai Raina berumur dua puluh satu tahun."

Ibu Raina menatap wajah suaminya dengan penuh amarah. Dia begitu kecewa dengan ucapan Ayah Raina yang selalu menganggap enteng setiap ada masalah di rumah ini. Isak tangisnya mulai terdengar, Ayah Raina mendekap tubuh istrinya itu kuat-kuat. Meskipun sedikit cuek, dan terlihat seperti tidak peduli, tapi sebenarnya Burhan sangat menyayangi keluarga kecilnya itu. Dia rela berkorban apa pun demi mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!