Putri Yang Terjebak

Putri Yang Terjebak

CAMELLIA MERAH

Hujan tampak turun dengan derasnya diiringi dengan kilat yang menyambar tak henti-hentinya. Sebuah mobil melaju kencang menerobos guyuran hujan, di dalamnya tampak seorang wanita mengemudi sambil sekuat tenaga menahan tangis, ia tampak berusaha fokus menembus jalanan yang licin.

"Ciiiiiiiiit..." mobil berbelok ke kanan memasuki sebuah rumah sakit swasta yang cukup tersohor. Ia mulai mengurangi kecepatan dan berhenti sejenak di portal pengambilan karcis parkir mandiri, setelah portal terbuka, mobil kembali melaju ke arah parkiran bawah tanah. Mata biru si wanita dengan cekatan menangkap slot parkir kosong dan langsung tanpa ragu menambah kecepatan ke arah tempat parkir yang ia tuju.

"BRAAAAAK!"

Suara benturan keras terdengar memekakkan telinga, mobil si wanita membentur keras mobil putih mahal yang tampak mengincar slot parkir yang sama. Kantong udara pelindung mengembang di depan si wanita, menyelamatkannya dari luka akibat benturan. Mobil putih terlihat mundur, si wanita menangkap kesempatan dan memarkirkan mobilnya, setelah yakin ia memarkirkan mobilnya dengan benar, ia melepas seat belt, meraih tas limited editionnya dan turun dari mobil dengan tergesa.

High heels hitamnya berdecit di lantai, ia melangkah dengan cepat menghampiri mobil putih yang kini terparkir beberapa slot di belakang mobilnya. Ia mengetuk kaca mobil samping driver, pintu terbuka dan seorang laki-laki berjas dokter turun dan berdiri di hadapannya.

"Maaf saya salah karena terlalu ceroboh, saya akan mengganti kerusakan mobil anda," si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan dompet kartu lalu membuka dan menyerahkan selembar kartu nama bernuansa hitam emas kepada sang dokter. "Anda bisa menghubungi saya di nomor yang tertera, maaf sekali saya ada urusan penting, saya permisi."

"Tunggu," ucap sang dokter menghentikan langkah si wanita yang tengah berbalik.

"Ya?" tanya si wanita kembali menengok ke arah dokter yang berperawakan tinggi itu, tak lama setelahnya ponsel si wanita terdengar berdering, si wanita kembali merogoh ke dalam tasnya, meraih ponselnya yang kini menampilkan deretan nomor yang tak dikenal.

"Baiklah, anda boleh pergi sekarang. Saya hanya memastikan nomor yang tertera di kartu bukan nomor palsu," ucap sang dokter.

Si wanita tersenyum canggung lalu menundukkan kepalanya memberi hormat, kemudian ia berbalik pergi, kembali melangkah dengan tergesa menuju ke arah lift di tengah tempat parkir. Ia masuk ke dalam lift dan memencet angka 3, berbagai hal memenuhi benaknya, ia tampak gusar.

"Ara!" panggil seorang wanita berjas dokter yang melihatnya ketika lift terbuka, rambut pendek si dokter tampak sedikit berantakan.

"Vivi," ucap Ara seraya keluar dari lift dan menghampiri sang dokter wanita. "Vi, gimana?" tanya Ara dengan suara sedikit gemetar.

Vivi tampak meraih kedua tangan sahabatnya itu dan menggenggamnya, "Ra, kamu mau masuk dulu dan aku kasih tau di dalem, apa mau aku kasih tahu di luar sini?"

Vivi berusaha menghangatkan tangan sahabatnya yang terasa dingin, "tangan kamu dingin banget."

"Kamu tahu kan aku baru mendarat," Ara menarik nafas panjang dan memandang mata coklat Vivi. "Vi, kasih tau aku di sini aja."

"Kamu yakin?" tanya Vivi mempertanyakan jawaban Ara.

Ara mengangguk, "lebih baik aku tahu sebelum masuk biar aku bisa mempersiapkan diri."

"Oke," Vivi menarik tangan sahabatnya ke arah deretan kursi di ruang tunggu ICU yang terletak di samping pintu masuk ruangan. Vivi mendudukkan diri dan menepuk kursi di sampingnya, meminta Ara untuk duduk.

Ara mendudukkan dirinya persis seperti yang diminta Vivi, ia menarik nafas dalam-dalam dan bersiap mendengar kabar buruk yang sudah ia prediksi. Harusnya ia kembali tiga hari lagi, tapi entah kenapa 12 jam yang lalu hatinya tak tenang dan ingin kembali, berdasarkan pengalaman selama ini, kata hati Ara tak pernah salah, maka ia langsung mengalihkan semua tugas yang tersisa kepada bawahannya dan memilih kembali secepatnya, benar saja ketika baru mendarat dan mengaktifkan ponselnya, lima belas miss call yang berasal dari Vivi memberi sinyal bahwa kata hatinya menuntunnya pada keputusan terbaik untuk pulang.

"Maaf Ra, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi maaf nenek kamu meninggal pada pukul 20.20 tadi," Vivi menatap mata sahabatnya yang kini berkaca-kaca.

Ara sudah menduga kabar buruk yang disampaikan sahabatnya, tapi hatinya tetap tak siap, rasanya sakit dan sesak. Air mata mengalir dengan derasnya, tak bisa lagi ia bendung. Vivi meraih sahabatnya, menarik Ara ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggung Ara pelan, memberi dukungan tanpa banyak bicara. Ara mulai mengeluarkan tangisnya, ia terisak keras di pelukan Vivi.

Di luar, hujan terus membasahi bumi dengan derasnya. Gemuruh angin bertiup kencang diiringi dengan kilat yang menyambar. Langit tampak sendu, seolah ikut berkabung atas kepergiam nenek Ara.

Pundak Vivi basah karena air mata Ara yang tak kunjung reda. "Sebelum meninggal, nenek sempat berpesan agar ia dimakamkan samping kebun bunga camellia merah."

Ara melepas pelukan Vivi dan menatap wajah sahabatnya itu, "apa kau tidak salah dengar?"

Vivi meraih sapu tangan dari saku jas dokternya dan mengelap air mata di wajah Ara. "Tidak Ra, nenek dengan jelas mengatakan bahwa ia ingin dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah, ia selalu mengatakan itu sejak masuk ke ICU," jawab Vivi sambil terus menyeka air mata Ara.

Ara mulai menenangkan diri, pikirannya melayang bertanya-tanya kenapa nenek meminta dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah? Selama hidup, nenek memang sangat menyukai bunga, ia bahkan sampai membeli lahan luas di daerah pegunungan dan mengubahnya menjadi kebun bunga, banyak macam bunga yang ia tanam di sana, nenek Ara membagi kebun bunganya menjadi beberapa bagian, selain membuka kebun bunga itu sebagai objek wisata, nenek Ara juga menjual bunganya kepada beberapa toko bunga. Setiap hari nenek juga selalu merangkai bunga dari hasil kebun yang dikirimkan ke rumah, tapi ada satu bunga yang tak pernah nenek rangkai di rumah, yaitu bunga camellia merah. Nenek bahkan sama sekali tidak memperbolehkan Ara untuk menyentuh atau bahkan mendekati kebun bunga camellia merah, tapi kenapa nenek malah meminta dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah? Ada apa sebenarnya dengan camellia merah?

"Vivi, tolong bawa aku menemui nenek," Ara menggenggam tangan Vivi. "Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali," ucap Ara lirih.

Vivi mengangguk dan membantu Ara berdiri, ia merangkul pundak Ara dan memapahnya pelan menuju ke pintu masuk ruang ICU, tepat di depan pintu Vivi berhenti dan menatap sahabatnya. "Nenek juga berpesan agar kamu tidak menangis di depannya, kamu kan tahu nenek selalu sedih dan khawatir ketika melihatmu menangis. Kamu boleh menangis sepuasmu tapi tidak ketika di depannya, oke?"

Ara mengangguk lemah, ia tahu kalau ia bersuara, air matanya pasti akan jatuh lagi. Ara meraih uluran tangan kiri Vivi dan menggenggamnya dengan erat, Ara bahkan memeluk lengan kiri Vivi, selagi menunggu Vivi mendekatkan kartunya ke arah pemindai untuk membuka pintu, Ara berulang kali menarik nafas panjang dan tak lama setelahnya pintu terbuka, mereka pun masuk perlahan melangkah menemui sang nenek.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!