NovelToon NovelToon

Putri Yang Terjebak

CAMELLIA MERAH

Hujan tampak turun dengan derasnya diiringi dengan kilat yang menyambar tak henti-hentinya. Sebuah mobil melaju kencang menerobos guyuran hujan, di dalamnya tampak seorang wanita mengemudi sambil sekuat tenaga menahan tangis, ia tampak berusaha fokus menembus jalanan yang licin.

"Ciiiiiiiiit..." mobil berbelok ke kanan memasuki sebuah rumah sakit swasta yang cukup tersohor. Ia mulai mengurangi kecepatan dan berhenti sejenak di portal pengambilan karcis parkir mandiri, setelah portal terbuka, mobil kembali melaju ke arah parkiran bawah tanah. Mata biru si wanita dengan cekatan menangkap slot parkir kosong dan langsung tanpa ragu menambah kecepatan ke arah tempat parkir yang ia tuju.

"BRAAAAAK!"

Suara benturan keras terdengar memekakkan telinga, mobil si wanita membentur keras mobil putih mahal yang tampak mengincar slot parkir yang sama. Kantong udara pelindung mengembang di depan si wanita, menyelamatkannya dari luka akibat benturan. Mobil putih terlihat mundur, si wanita menangkap kesempatan dan memarkirkan mobilnya, setelah yakin ia memarkirkan mobilnya dengan benar, ia melepas seat belt, meraih tas limited editionnya dan turun dari mobil dengan tergesa.

High heels hitamnya berdecit di lantai, ia melangkah dengan cepat menghampiri mobil putih yang kini terparkir beberapa slot di belakang mobilnya. Ia mengetuk kaca mobil samping driver, pintu terbuka dan seorang laki-laki berjas dokter turun dan berdiri di hadapannya.

"Maaf saya salah karena terlalu ceroboh, saya akan mengganti kerusakan mobil anda," si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan dompet kartu lalu membuka dan menyerahkan selembar kartu nama bernuansa hitam emas kepada sang dokter. "Anda bisa menghubungi saya di nomor yang tertera, maaf sekali saya ada urusan penting, saya permisi."

"Tunggu," ucap sang dokter menghentikan langkah si wanita yang tengah berbalik.

"Ya?" tanya si wanita kembali menengok ke arah dokter yang berperawakan tinggi itu, tak lama setelahnya ponsel si wanita terdengar berdering, si wanita kembali merogoh ke dalam tasnya, meraih ponselnya yang kini menampilkan deretan nomor yang tak dikenal.

"Baiklah, anda boleh pergi sekarang. Saya hanya memastikan nomor yang tertera di kartu bukan nomor palsu," ucap sang dokter.

Si wanita tersenyum canggung lalu menundukkan kepalanya memberi hormat, kemudian ia berbalik pergi, kembali melangkah dengan tergesa menuju ke arah lift di tengah tempat parkir. Ia masuk ke dalam lift dan memencet angka 3, berbagai hal memenuhi benaknya, ia tampak gusar.

"Ara!" panggil seorang wanita berjas dokter yang melihatnya ketika lift terbuka, rambut pendek si dokter tampak sedikit berantakan.

"Vivi," ucap Ara seraya keluar dari lift dan menghampiri sang dokter wanita. "Vi, gimana?" tanya Ara dengan suara sedikit gemetar.

Vivi tampak meraih kedua tangan sahabatnya itu dan menggenggamnya, "Ra, kamu mau masuk dulu dan aku kasih tau di dalem, apa mau aku kasih tahu di luar sini?"

Vivi berusaha menghangatkan tangan sahabatnya yang terasa dingin, "tangan kamu dingin banget."

"Kamu tahu kan aku baru mendarat," Ara menarik nafas panjang dan memandang mata coklat Vivi. "Vi, kasih tau aku di sini aja."

"Kamu yakin?" tanya Vivi mempertanyakan jawaban Ara.

Ara mengangguk, "lebih baik aku tahu sebelum masuk biar aku bisa mempersiapkan diri."

"Oke," Vivi menarik tangan sahabatnya ke arah deretan kursi di ruang tunggu ICU yang terletak di samping pintu masuk ruangan. Vivi mendudukkan diri dan menepuk kursi di sampingnya, meminta Ara untuk duduk.

Ara mendudukkan dirinya persis seperti yang diminta Vivi, ia menarik nafas dalam-dalam dan bersiap mendengar kabar buruk yang sudah ia prediksi. Harusnya ia kembali tiga hari lagi, tapi entah kenapa 12 jam yang lalu hatinya tak tenang dan ingin kembali, berdasarkan pengalaman selama ini, kata hati Ara tak pernah salah, maka ia langsung mengalihkan semua tugas yang tersisa kepada bawahannya dan memilih kembali secepatnya, benar saja ketika baru mendarat dan mengaktifkan ponselnya, lima belas miss call yang berasal dari Vivi memberi sinyal bahwa kata hatinya menuntunnya pada keputusan terbaik untuk pulang.

"Maaf Ra, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi maaf nenek kamu meninggal pada pukul 20.20 tadi," Vivi menatap mata sahabatnya yang kini berkaca-kaca.

Ara sudah menduga kabar buruk yang disampaikan sahabatnya, tapi hatinya tetap tak siap, rasanya sakit dan sesak. Air mata mengalir dengan derasnya, tak bisa lagi ia bendung. Vivi meraih sahabatnya, menarik Ara ke dalam pelukan dan menepuk-nepuk punggung Ara pelan, memberi dukungan tanpa banyak bicara. Ara mulai mengeluarkan tangisnya, ia terisak keras di pelukan Vivi.

Di luar, hujan terus membasahi bumi dengan derasnya. Gemuruh angin bertiup kencang diiringi dengan kilat yang menyambar. Langit tampak sendu, seolah ikut berkabung atas kepergiam nenek Ara.

Pundak Vivi basah karena air mata Ara yang tak kunjung reda. "Sebelum meninggal, nenek sempat berpesan agar ia dimakamkan samping kebun bunga camellia merah."

Ara melepas pelukan Vivi dan menatap wajah sahabatnya itu, "apa kau tidak salah dengar?"

Vivi meraih sapu tangan dari saku jas dokternya dan mengelap air mata di wajah Ara. "Tidak Ra, nenek dengan jelas mengatakan bahwa ia ingin dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah, ia selalu mengatakan itu sejak masuk ke ICU," jawab Vivi sambil terus menyeka air mata Ara.

Ara mulai menenangkan diri, pikirannya melayang bertanya-tanya kenapa nenek meminta dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah? Selama hidup, nenek memang sangat menyukai bunga, ia bahkan sampai membeli lahan luas di daerah pegunungan dan mengubahnya menjadi kebun bunga, banyak macam bunga yang ia tanam di sana, nenek Ara membagi kebun bunganya menjadi beberapa bagian, selain membuka kebun bunga itu sebagai objek wisata, nenek Ara juga menjual bunganya kepada beberapa toko bunga. Setiap hari nenek juga selalu merangkai bunga dari hasil kebun yang dikirimkan ke rumah, tapi ada satu bunga yang tak pernah nenek rangkai di rumah, yaitu bunga camellia merah. Nenek bahkan sama sekali tidak memperbolehkan Ara untuk menyentuh atau bahkan mendekati kebun bunga camellia merah, tapi kenapa nenek malah meminta dimakamkan di samping kebun bunga camellia merah? Ada apa sebenarnya dengan camellia merah?

"Vivi, tolong bawa aku menemui nenek," Ara menggenggam tangan Vivi. "Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali," ucap Ara lirih.

Vivi mengangguk dan membantu Ara berdiri, ia merangkul pundak Ara dan memapahnya pelan menuju ke pintu masuk ruang ICU, tepat di depan pintu Vivi berhenti dan menatap sahabatnya. "Nenek juga berpesan agar kamu tidak menangis di depannya, kamu kan tahu nenek selalu sedih dan khawatir ketika melihatmu menangis. Kamu boleh menangis sepuasmu tapi tidak ketika di depannya, oke?"

Ara mengangguk lemah, ia tahu kalau ia bersuara, air matanya pasti akan jatuh lagi. Ara meraih uluran tangan kiri Vivi dan menggenggamnya dengan erat, Ara bahkan memeluk lengan kiri Vivi, selagi menunggu Vivi mendekatkan kartunya ke arah pemindai untuk membuka pintu, Ara berulang kali menarik nafas panjang dan tak lama setelahnya pintu terbuka, mereka pun masuk perlahan melangkah menemui sang nenek.

Liontin Bulat

"Apa kau yakin tak apa-apa bila ku tinggal sendirian?" tanya Vivi menatap Ara dengan cemas, ia tampak enggan meninggalkan sahabatnya di depan makam yang masih basah.

"Yakin Vi, aku tahu bahwa aku tak baik-baik saja tapi aku takkan berpikiran bodoh, tenanglah!" Ara mencoba tersenyum simpul ke arah Vivi, "ada mereka, aku tidak sendirian."

Vivi beralih menatap beberapa orang pekerja kebun serta orang-orang kepercayaan Ara dan mendiang nenek Ara yang masih berdiri di sekitar makam, "apakah kau akan menginap?"

Ara mengangguk, "ya, aku terlalu lelah untuk pulang dan lagi ada beberapa hal yang perlu kuurus di sini."

"Baiklah, kabari aku segera jika kau butuh sesuatu."

Ara memeluk sahabatnya itu, "tentu, trimakasih Vi. Pergilah sekarang, aku tahu pekerjaanmu menanti."

"Ingat jangan pernah berpikiran bodoh, apa kau bisa berjanji padaku?" tanya Vivi meminta Ara mengucap janji, karena Vivi tahu bahwa Ara tak pernah mengingkari janji yang ia ucapkan.

"Tentu, aku berjanji. Pergilah sekarang sebelum kabut turun Vi, hati-hati di jalan," ucap Ara seraya membalikkan tubuh Vivi.

Vivi menoleh seraya memberikan senyum simpul pada Ara, lalu ia berbalik bergegas pergi. Di daerah pegunungan ini, kabut hanya akan menghilang ketika siang hari, sore hingga pagi seluruh wilayah akan dipenuhi kabut tebal yang mengganggu jarak pandang, banyak kecelakaan terjadi akibatnya, maka orang-orang yang tak terbiasa selalu memilih waktu siang untuk masuk atau keluar dari daerah ini.

"Nona, mari saya antar menuju villa."

Ara menoleh ke arah seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan topi lebar berwarna hitam di kepalanya, ia merupakan orang kepercayaan nenek di kebun bunga. "Terimakasih Paman Bradley," ucap Ara kepadanya.

"Mari nona, silahkan." Paman Bradley mulai melangkah menunjukkan jalan pada Ara, sementara Ara mengikuti di belakangnya. Kerumunan orang yang masih berkumpul di sekitar makam menundukkan kepala mereka kepada Ara, memberi hormat hingga sosoknya tak lagi terlihat, lalu mereka pun membubarkan diri, kembali melakukan pekerjaan mereka masing-masing.

Ara dan paman Bradley melewati jalan setapak yang dihiasi dengan bunga di kanan kirinya, lengkungan-lengkungan tinggi berhias bunga cantik wisteria berbagai warna yang merambat dan menggantung jatuh bagaikan tirai, membuat mereka tampak melewati lorong-lorong bunga yang indah nan harum.

"Bunga yang indah," ucap Ara berbisik mengagumi berbagai bunga yang ia lihat.

"Bunga wisteria merupakan salah satu bunga favorit mendiang nyonya, nyonya hampir menanamnya di setiap sudut kebun, kecuali satu warna."

Ara tampak tertarik dengan arah pembicaraan paman Bradley, "warna apakah itu paman?"

Paman Bradley menghentikan langkahnya, ia memandang penuh arti ke arah villa di depannya. Ara mengikuti arah pandang paman Bradley, sebuah villa cantik yang di kelilingi bunga wisteria ungu di seluruh sisi memenuhi pandangannya, bahkan bunga wisteria merambat subur di atapnya hingga membuat villa itu tampak seperti beratapkan bunga.

"Warna ungu, nona." Paman Bradley menatap mata Ara, "nyonya selalu berkata bahwa bunga wisteria ungu selalu mengingatkannya pada anda, nona."

"Benarkah? Kukira nenek sangat menyukainya hingga ia pun menanamnya di rumah," kata Ara menanggapi ucapan Paman Bradley. "Bukankah setiap bunga memiliki makna? Maka paman, apakah makna bunga wisteria ungu hingga nenek begitu menyukainya dan melarangnya di tanam di sembarang tempat?"

Paman Bradley tersenyum penuh makna, "pertanyaan yang bagus nona. Tapi sayangnya saya hanya mengetahui makna bunga camellia merah, saya tak tahu makna bunga lain."

"Kalau begitu maukah paman memberitahuku makna bunga camellia merah? aku penasaran kenapa nenek yang selama ini melarangku mendekati bahkan menyentuh bunga itu, malah akhirnya meminta dimakamkan di sampingnya."

Ara menatap paman Bradley penuh harap, ia tahu paman Bradley tampak enggan berbagi, tapi Ara tampak masih menaruh harapan padanya. Paman Bradley selalu berada di samping nenek ketika nenek mengunjungi kebun bunga, bahkan Ara sempat salah mengira kalau mereka berdua adalah sepasang kekasih.

"Anda akan mengetahuinya setelah menemui Alvaro nona, tunggulah di dalam villa, kami sudah menyiapkan beberapa makanan untuk anda di dalam, nona bisa memakannya selagi menunggu Alvaro datang," jawab Paman Bradley sambil berjalan ke arah pintu depan villa, ia memencet beberapa tombol hingga pintu terbuka otomatis.

"Silahkan nona, selamat beristirahat."

Ara menatap bunga wisteria ungu yang menghias di setiap sudut villa di bagian luar, benar-benar tampak seperti sebuah rumah di negeri dongeng, sangat cantik hingga terasa tak nyata.

"Terimakasih paman Bradley," ucap Ara mengangguk

"Baiklah saya permisi nona," paman Bradley menundukkan kepalanya memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan Ara sendiri.

Ara memandang punggung paman Bradley yang tampak tak setegap biasanya, Ara tahu paman Bradley pasti menyimpan kesedihan yang mendalam di hatinya, sama seperti dirinya sendiri.

Ara kembali mengambil nafas panjang dan mulai melangkah masuk ke dalam villa bunga wisteria ungu, villa favorit nenek yang amat dicintainya. Ara menutup pintu depan dan berjalan menuju ruang keluarga, keharuman berbagai macam bunga menyeruak ke dalam indera penciumannya. Ara berjalan melewati ruang tamu yang penuh dengan rangkaian bunga mawar, di ruang tamu tampak lukisannya dan nenek terpajang dengan indahnya.

"Tok..tok...tok.."

Belum sempat Ara melangkah melewati ruang tamu, suara ketukan di pintu depan membuat langkahnya terhenti. Tiba-tiba Ara merasa curiga, "aneh, Alvaro selalu menekan bel ketika berkunjung ke villa nenek, kenapa kali ini ia mengetuk pintu?"

Ara kembali berjalan melewati ruang tamu dan berhenti di balik pintu, ia berdiri dan merasa bergidik, bulu kuduknya berdiri. "Siapa?" tanya Ara sambil mengecek layar yang terpasang di dinding, instingnya mencegahnya untuk langsung membuka pintu.

Lama Ara menunggu, tak ada jawaban sama sekali, bahkan layar di dinding tak menampakkan adanya seseorang di depan pintu. Ara tampak bingung dan merasa ganjal, ia merogoh saku blazer hitamnya dan meraih ponselnya. Ara memutuskan menelepon untuk memastikan sesuatu.

"Halo nona, maafkan saya karena tak bisa mendampingi nona saat pemakaman mendiang nyonya Iselda," ucap Alvaro dengan suara yang bergetar dan tak terdengar dibuat-buat.

"Tak apa, maaf kalo boleh saya tahu di mana posisi anda saat ini pak?" tanya Ara memastikan.

"Maaf nona, saya ada di Perancis untuk memimpin seminar dan pelatihan selama tiga hari, untungnya hari ini adalah hari terakhir. Saya akan bergegas menemui nona ketika semua sudah selesai," jawab Alvaro sang pengacara kepercayaan nenek. Alvaro lebih tua lima tahun dari Ara, tapi tampaknya ia menaruh rasa hormat yang tinggi pada Ara.

"Tidak perlu tergesa-gesa pak, anda bisa menyelesaikannya dengan tenang, saya juga akan tetap berada di villa wisteria selama beberapa hari," ucap Ara seraya mengambil kesimpulan bahwa ketukan pintu bukan berasal dari Alvaro yang datang.

"Praaaang!" suara sesuatu terjatuh dan pecah terdengar mengejutkan.

"Nona apakah anda baik saja? Saya mendengar suara sesuatu yang terjatuh," tanya Alvaro dengan suara khawatir.

"Ah saya baik saja, baiklah silahkan melanjutkan kegiatan anda pak, maaf telah mengganggu," ucap Ara seraya menatap ke arah kamar nenek, asal suara benda terjatuh.

"Trimakasih nona," kata Alvaro lalu menutup telpon.

Ara memegang ponselnya erat, perlahan ia berbelok ke kanan dari ruang tamu, mengumpulkan keberanian membuka kamar nenek, entah kenapa hawa dingin terasa aneh mengelilingi Ara, ia memutar kenop pintu kamar nenek yang berwarna emas.

"Praang...prang..praaaang!"

Tubuh Ara bergetar hebat, lima guci kesayangan neneknya tiba-tiba pecah dengan sendirinya, Ara bahkan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tiga guci terakhir yang tiba-tiba retak dan pecah, pecahannya jatuh berantakan menyentuh lantai dengan suara yang menambah aura aneh. Ara menatap ke arah luar kamar nenek, semua tampak baik-baik saja di ruang tamu, tapi kenapa tampak sangat berantakan dan aneh di kamar neneknya? seolah ada seseorang yang marah dan berusaha merusak segalanya.

Ara memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer, ia mendekat ke arah pecahan guci lalu berjongkok mengamati. Sebuah kalung emas putih dengan liontin bulat menarik mata Ara, ia mengulurkan tangan kanan untuk meraihnya.

"Aaaah!" Ara mengernyit, ujung jari telunjuknya tergores pecahan keramik yang tajam, darahnya tampak mewarnai ujung jari, seolah hampir menetes, tapi hati Ara mendorongnya untuk terus meraih kalung itu. Ara berusaha mencondongkan tubuhnya ke depan, dan meraih kalung itu dengan menarik liontin bulatnya.

"Oh tidak!" Ara terkejut ketika mendapati darah di jari telunjuknya mengotori liontin bulat yang menggantung sempurna. Ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah tisu yang terletak di atas nakas samping tempat tidur nenek, tepat ketika tangan kanannya hendak mengusap liontin dengan tisu, liontin itu tampak bergerak pelan terbagi menjadi dua lapisan tipis dan bergerak berlawanan arah, seolah membuka perlahan.

Ara jatuh terduduk di ranjang nenek, ia mengamati kalung itu lekat-lekat. Mata Ara terbuka lebar, seiring membukanya liontin, hatinya terasa sedikit sakit, kepalanya pusing bukan main, ia merasa degup jantungnya bertambah cepat.

"AAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!" teriak Ara tak kuasa menahan rasa sakit yang menyapa, ia berguling dengan tangan yang masih mengenggam erat kalung itu, sementara liontin bulat terus membuka, seolah mencoba menyibak sebuah rahasia yang dalam.

Kelahiran

"Ada apa memanggilku Gigas?"

Seorang berperawakan tinggi besar membungkuk memberi hormat pada seorang laki-laki tampan yang muncul di hadapannya.

"Beberapa saat yang lalu saya merasakan kalung jiwa milik Isabel tak lagi bercahaya Jenderal, dan sesaat setelahnya kalung jiwa Yang Mulia yang selama ini redup, tiba-tiba menyala dengan sangat terang."

Gigas menjentikkan jari hingga menampilkan penampakkan kedua kalung jiwa yang barusan ia laporkan, keduanya terlihat sangat kontras, satu kalung jiwa menyala teramat terang hingga menyilaukan mata, dan di bawah kalung yang menyala terang itu tampak sebuah kalung jiwa tampak mirip seperti batu biasa yang sama sekali tak bercahaya, ada sebuah tali merah yang menggantung, tampak bagaikan benang yang putus.

"Saat itu pula saya merasakan aura Yang Mulia, hingga saya melacaknya sampai ke sini Jenderal," ucap Gigas melapor.

"Lalu apakah kau menemukan sesuatu?" tanya sang Jenderal tampan pada Gigas.

Gigas mengangguk lalu melangkah menjadi penunjuk jalan bagi sang Jenderal, mereka tampak berjalan membelah kebun bunga.

"Camellia merah," gumam sang jendral pelan sambil menghentikan langkahnya tepat di samping Gigas, yang tengah menunduk ke arah makam yang tampak masih basah.

Sang Jendral mengibaskan tangannya di atas makam, seketika seluruh bunga camelia yang mengelilingi makam menggugurkan bunga mereka, kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan sebelum menyentuh tanah tampak terbang ke atas makam, berkumpul dan saling bertabrakan hingga membentuk sebuah pesan di atas makam.

"Tolong jaga Yang Mulia"

Sang jendral menundukkan kepalanya memberi hormat kepada sang prajurit setia yang meninggal dengan mulia, bahkan pesan terakhirnya pun masih mengkhawatirkan Yang Mulia junjungannya.

"Siapa kalian? kenapa kalian merusak semua bunga camellia nenek?" Ara tampak memarahi Gigas dan sang Jendral.

Ara masih menunggu jawaban keduanya yang tampak diam tak bergeming, keringat masih nembasahi tubuhnya akibat rasa sakit yang tadi ia rasakan, beberapa waktu yang lalu kalung misterius yang ditemukannya menyeretnya ke arah makam nenek, Ara berusaha mengikuti kemauan kalungnya, dan alangkah terkejutnya Ara menemukan bunga camellia merah di makam sang nenek kini tampak rusak, ia memandang kedua laki-laki yang masih berdiri di samping makam nenek, tapi tiba-tiba matanya menangkap pesan bunga camellia yang melayang di atas makam. Ara melangkah mendekat, "Apa ini?"

Ara mengulurkan tangan ke arah kumpulan kelopak bunga yang menjelma menjadi sebuah pesan itu, ketika tangannya menyentuh salah satu kelopak, Ara merasakan getaran di tubuhnya, ada sedikit rasa menyengat bagaikan tersengat listrik. Air mata Ara menetes tanpa bisa terbendung lagi, hatinya terasa sesak, benaknya dipenuhi akan ingatan seseorang, ratusan kepolak bunga camellia merah bergerak menyatu bagaikan topan mini bergerak memutar mengelilingi Ara, Ara jatuh terduduk kakinya terasa lemas, ingatan seseorang yang masuk ke dalam benaknya tampak sangat jelas namun juga terasa asing, lama Ara menunduk sambil menangis di depan makam neneknya, hingga rasa sakit yang teramat menyengat bagaikan menggores kulitnya memaksanya untuk kembali berteriak.

"AAAAAAAHHHHHHHHHHH!!!!" Ara berteriak lantang, seketika Gigas mengibaskan kedua tangannya membentuk barrier transparan di sekeliling makam, sementara sang Jenderal mengamati Ara lekat-lekat dengan mata elangnya.

Mata sang Jenderal menangkap kalung yang melingkar di leher Ara, kalung emas putih berliontin bulat itu kini menyala merah dengan teramat terang, bagaikan lahar gunung api yang mendidih.

"Yang Mulia," ucap sang jendral dan Gigas bersamaan mereka bersimpuh ke arah Ara yang masih tampak kesakitan, Ara mencoba sekuat tenaga bertahan dengan mengepalkan kedua tangannya dan menggertakkan gigi, menahan semua rasa sakit yang menghujam tubuhnya.

Rasa sakit bercampur beribu perasaan tumpah ruah memaksa masuk ke dalam tubuh Ara, ia bagaikan tersedot dalam ingatan seseorang, semakin ia menolak maka semakin hebat rasa sakit di tubuhnya, hingga pada satu titik Ara memutuskan untuk mengalah dan membiarkan kumpulan ingatan itu merasuk dalam benaknya.

"AAAAAAAHHHHHHHHHH!" teriakan Ara sangat kencang dan menggema, hingga barrier pelindung buatan Gigas ikut bergetar hebat. Sang Jendral cepat tanggap dan mengibaskan tangannya, membuat lapisan ganda di depan barrier pelindung Gigas, ia paham ledakan kekuatan junjungannya mungkin akan semakin besar dan tak dapat dibendung hanya dengan sebuah barrier pelindung.

Sang Jendral memerintah Gigas dengan isyarat mata, Gigas pun langsung mengerti isyarat atasannya itu, masih dengan bersimpuh mereka memejamkan mata dan memusatkan energi mereka, seketika cahaya merah melingkupi lapisan pelindung, dan membuat Ara sedikit lebih nyaman walau ia terlihat terhanyut dalam dunia lain.

Ara masih memejamkan matanya, tapi ia mulai merasakan sedikit kenyamanan di kulitnya, ia merasa kulitnya yang tadi terasa panas terbakar kini mulai kembali normal. Tapi tiba-tiba gelap menyerpa dirinya menyedotnya ke ruang lain yang hanya menampilkan dirinya dan kegelapan yang sunyi, hingga suara tangis bayi memenuhi benak Ara. Pelan ia melangkah mendekat asal suara. Liontinnya kembali berpendar merah di lehernya, kalung itu tampak menariknya ke sumber suara hingga mau tak mau Ara harus berlari kecil mengikutinya.

"Yang Mulia selamat, pangeran lahir dengan sempurna dan sehat!"

Ara terpana, pemandangan di hadapannya membuat hatinya bergetar hebat. Seorang wanita cantik tampak berkeringat hebat tapi senyumnya mengembang, di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah nan rupawan yang tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan mencium pucuk kepalanya, tampaknya mereka adalah sepasang suami istri yang saling mencintai.

"Aaah, kenapa perutku sakit lagi?" erang si wanita yang kini tampak kesakitan. Wanita itu menggenggam tangan suaminya erat, tubuhnya tampak kembali menegang.

"Oh Yang Mulia, ada satu bayi lagi yang harus Yang Mulia lahirkan," seorang wanita paruh baya yang membantu persalinan tampak sama terkejutnya dengan pasangan suami istri itu. "Ternyata Yang Mulia mengandung sepasang anak kembar, mari Yang Mulia saya bantu," ucap wanita paruh baya itu sambil mulai memberi aba-aba pada si wanita.

Mereka tampak kembali serius membantu persalinan, wanita paruh baya tampak fokus tapi kemudian ia teringat kalau ia hanya menyiapkan satu handuk dan satu selimut kerajaan untuk menyambut pangeran, maka ia menoleh ke samping kanan dan memberi perintah, "Isabel siapkan satu handuk kerajaan lagi untuk kembaran pangeran!"

"Baik Nyonya," Isabel mengangguk dan keluar dari ruangan dengan tergesa.

Isabel? Benak Ara mulai meragukan semua yang dilihatnya, nama si oelayan sama dengan nama neneknya, apakah ini hanyalah kebetulan? Ara tampak berpindah mengikuti langkah Isabel yang kini tampak berlari cepat, ia melewati penjagaannketat yang tampak di seluruh penjuru bangunan yang tampak seperti istana kuno.

"Ada apa Isabel?"

Isabel menatap seorang laki-laki tinggi besar berpakaian zirah di hadapannya, Ara ingat bahwa orang itu adalah orang yang sama yang dilihatnya di samping makam neneknya.

"Gigas, tolong aku! Tolong ambilkan satu handuk dan satu selimut kerajaan lagi," ucap Isabel berbisik di telinga Gigas dengan sangat hati-hati.

Gigas menangkap situasi genting yang terjadi, maka ia mengangguk dan tampak fokus tanpa berbicara sedikitpun selama beberapa detik.

"Aku sudah menghubungi Jenderal, ia akan tiba sebentar lagi, tunggulah sebentar di sini Isabel," ucap Gigas pada Isabel yang tampak panik.

"Apakah semua akan baik-baik saja?" bisik Isabel dengan suara gemetar.

"Aku juga tak bisa memastikan, tapi kita harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, kau tahu benar apa yang harus kau lakukan jika itu terjadi kan?"

Isabel menatap Gigas dengan tubuh bergetar, kedua tangannya saling menyatu di depan perut, ia tampak gugup mendengar ucapan Gigas.

"Jadilah berani dan selalu ingat sumpahmu dalam setiap keadaan Isabel, teguhkan dirimu atas kebenaran, maka semua akan baik-baik saja. Aku harap kau mengingatnya," Gigas menatap kedua mata Isabel dengan tajam.

Isabel membalas tatapan Gigas dengan anggukan mantap, kali ini ada keteguhan di mata Isabel yang sebelumnya tak terlihat.

"Aku bersumpah akan memenuhi sumpahku sampai aku mati," kata Isabel lirih tapi penuh keteguhan, ia tampak mengepalkan kedua tangannya dan bertekad kuat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!