Kelahiran

"Ada apa memanggilku Gigas?"

Seorang berperawakan tinggi besar membungkuk memberi hormat pada seorang laki-laki tampan yang muncul di hadapannya.

"Beberapa saat yang lalu saya merasakan kalung jiwa milik Isabel tak lagi bercahaya Jenderal, dan sesaat setelahnya kalung jiwa Yang Mulia yang selama ini redup, tiba-tiba menyala dengan sangat terang."

Gigas menjentikkan jari hingga menampilkan penampakkan kedua kalung jiwa yang barusan ia laporkan, keduanya terlihat sangat kontras, satu kalung jiwa menyala teramat terang hingga menyilaukan mata, dan di bawah kalung yang menyala terang itu tampak sebuah kalung jiwa tampak mirip seperti batu biasa yang sama sekali tak bercahaya, ada sebuah tali merah yang menggantung, tampak bagaikan benang yang putus.

"Saat itu pula saya merasakan aura Yang Mulia, hingga saya melacaknya sampai ke sini Jenderal," ucap Gigas melapor.

"Lalu apakah kau menemukan sesuatu?" tanya sang Jenderal tampan pada Gigas.

Gigas mengangguk lalu melangkah menjadi penunjuk jalan bagi sang Jenderal, mereka tampak berjalan membelah kebun bunga.

"Camellia merah," gumam sang jendral pelan sambil menghentikan langkahnya tepat di samping Gigas, yang tengah menunduk ke arah makam yang tampak masih basah.

Sang Jendral mengibaskan tangannya di atas makam, seketika seluruh bunga camelia yang mengelilingi makam menggugurkan bunga mereka, kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan sebelum menyentuh tanah tampak terbang ke atas makam, berkumpul dan saling bertabrakan hingga membentuk sebuah pesan di atas makam.

"Tolong jaga Yang Mulia"

Sang jendral menundukkan kepalanya memberi hormat kepada sang prajurit setia yang meninggal dengan mulia, bahkan pesan terakhirnya pun masih mengkhawatirkan Yang Mulia junjungannya.

"Siapa kalian? kenapa kalian merusak semua bunga camellia nenek?" Ara tampak memarahi Gigas dan sang Jendral.

Ara masih menunggu jawaban keduanya yang tampak diam tak bergeming, keringat masih nembasahi tubuhnya akibat rasa sakit yang tadi ia rasakan, beberapa waktu yang lalu kalung misterius yang ditemukannya menyeretnya ke arah makam nenek, Ara berusaha mengikuti kemauan kalungnya, dan alangkah terkejutnya Ara menemukan bunga camellia merah di makam sang nenek kini tampak rusak, ia memandang kedua laki-laki yang masih berdiri di samping makam nenek, tapi tiba-tiba matanya menangkap pesan bunga camellia yang melayang di atas makam. Ara melangkah mendekat, "Apa ini?"

Ara mengulurkan tangan ke arah kumpulan kelopak bunga yang menjelma menjadi sebuah pesan itu, ketika tangannya menyentuh salah satu kelopak, Ara merasakan getaran di tubuhnya, ada sedikit rasa menyengat bagaikan tersengat listrik. Air mata Ara menetes tanpa bisa terbendung lagi, hatinya terasa sesak, benaknya dipenuhi akan ingatan seseorang, ratusan kepolak bunga camellia merah bergerak menyatu bagaikan topan mini bergerak memutar mengelilingi Ara, Ara jatuh terduduk kakinya terasa lemas, ingatan seseorang yang masuk ke dalam benaknya tampak sangat jelas namun juga terasa asing, lama Ara menunduk sambil menangis di depan makam neneknya, hingga rasa sakit yang teramat menyengat bagaikan menggores kulitnya memaksanya untuk kembali berteriak.

"AAAAAAAHHHHHHHHHHH!!!!" Ara berteriak lantang, seketika Gigas mengibaskan kedua tangannya membentuk barrier transparan di sekeliling makam, sementara sang Jenderal mengamati Ara lekat-lekat dengan mata elangnya.

Mata sang Jenderal menangkap kalung yang melingkar di leher Ara, kalung emas putih berliontin bulat itu kini menyala merah dengan teramat terang, bagaikan lahar gunung api yang mendidih.

"Yang Mulia," ucap sang jendral dan Gigas bersamaan mereka bersimpuh ke arah Ara yang masih tampak kesakitan, Ara mencoba sekuat tenaga bertahan dengan mengepalkan kedua tangannya dan menggertakkan gigi, menahan semua rasa sakit yang menghujam tubuhnya.

Rasa sakit bercampur beribu perasaan tumpah ruah memaksa masuk ke dalam tubuh Ara, ia bagaikan tersedot dalam ingatan seseorang, semakin ia menolak maka semakin hebat rasa sakit di tubuhnya, hingga pada satu titik Ara memutuskan untuk mengalah dan membiarkan kumpulan ingatan itu merasuk dalam benaknya.

"AAAAAAAHHHHHHHHHH!" teriakan Ara sangat kencang dan menggema, hingga barrier pelindung buatan Gigas ikut bergetar hebat. Sang Jendral cepat tanggap dan mengibaskan tangannya, membuat lapisan ganda di depan barrier pelindung Gigas, ia paham ledakan kekuatan junjungannya mungkin akan semakin besar dan tak dapat dibendung hanya dengan sebuah barrier pelindung.

Sang Jendral memerintah Gigas dengan isyarat mata, Gigas pun langsung mengerti isyarat atasannya itu, masih dengan bersimpuh mereka memejamkan mata dan memusatkan energi mereka, seketika cahaya merah melingkupi lapisan pelindung, dan membuat Ara sedikit lebih nyaman walau ia terlihat terhanyut dalam dunia lain.

Ara masih memejamkan matanya, tapi ia mulai merasakan sedikit kenyamanan di kulitnya, ia merasa kulitnya yang tadi terasa panas terbakar kini mulai kembali normal. Tapi tiba-tiba gelap menyerpa dirinya menyedotnya ke ruang lain yang hanya menampilkan dirinya dan kegelapan yang sunyi, hingga suara tangis bayi memenuhi benak Ara. Pelan ia melangkah mendekat asal suara. Liontinnya kembali berpendar merah di lehernya, kalung itu tampak menariknya ke sumber suara hingga mau tak mau Ara harus berlari kecil mengikutinya.

"Yang Mulia selamat, pangeran lahir dengan sempurna dan sehat!"

Ara terpana, pemandangan di hadapannya membuat hatinya bergetar hebat. Seorang wanita cantik tampak berkeringat hebat tapi senyumnya mengembang, di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah nan rupawan yang tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih dan mencium pucuk kepalanya, tampaknya mereka adalah sepasang suami istri yang saling mencintai.

"Aaah, kenapa perutku sakit lagi?" erang si wanita yang kini tampak kesakitan. Wanita itu menggenggam tangan suaminya erat, tubuhnya tampak kembali menegang.

"Oh Yang Mulia, ada satu bayi lagi yang harus Yang Mulia lahirkan," seorang wanita paruh baya yang membantu persalinan tampak sama terkejutnya dengan pasangan suami istri itu. "Ternyata Yang Mulia mengandung sepasang anak kembar, mari Yang Mulia saya bantu," ucap wanita paruh baya itu sambil mulai memberi aba-aba pada si wanita.

Mereka tampak kembali serius membantu persalinan, wanita paruh baya tampak fokus tapi kemudian ia teringat kalau ia hanya menyiapkan satu handuk dan satu selimut kerajaan untuk menyambut pangeran, maka ia menoleh ke samping kanan dan memberi perintah, "Isabel siapkan satu handuk kerajaan lagi untuk kembaran pangeran!"

"Baik Nyonya," Isabel mengangguk dan keluar dari ruangan dengan tergesa.

Isabel? Benak Ara mulai meragukan semua yang dilihatnya, nama si oelayan sama dengan nama neneknya, apakah ini hanyalah kebetulan? Ara tampak berpindah mengikuti langkah Isabel yang kini tampak berlari cepat, ia melewati penjagaannketat yang tampak di seluruh penjuru bangunan yang tampak seperti istana kuno.

"Ada apa Isabel?"

Isabel menatap seorang laki-laki tinggi besar berpakaian zirah di hadapannya, Ara ingat bahwa orang itu adalah orang yang sama yang dilihatnya di samping makam neneknya.

"Gigas, tolong aku! Tolong ambilkan satu handuk dan satu selimut kerajaan lagi," ucap Isabel berbisik di telinga Gigas dengan sangat hati-hati.

Gigas menangkap situasi genting yang terjadi, maka ia mengangguk dan tampak fokus tanpa berbicara sedikitpun selama beberapa detik.

"Aku sudah menghubungi Jenderal, ia akan tiba sebentar lagi, tunggulah sebentar di sini Isabel," ucap Gigas pada Isabel yang tampak panik.

"Apakah semua akan baik-baik saja?" bisik Isabel dengan suara gemetar.

"Aku juga tak bisa memastikan, tapi kita harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, kau tahu benar apa yang harus kau lakukan jika itu terjadi kan?"

Isabel menatap Gigas dengan tubuh bergetar, kedua tangannya saling menyatu di depan perut, ia tampak gugup mendengar ucapan Gigas.

"Jadilah berani dan selalu ingat sumpahmu dalam setiap keadaan Isabel, teguhkan dirimu atas kebenaran, maka semua akan baik-baik saja. Aku harap kau mengingatnya," Gigas menatap kedua mata Isabel dengan tajam.

Isabel membalas tatapan Gigas dengan anggukan mantap, kali ini ada keteguhan di mata Isabel yang sebelumnya tak terlihat.

"Aku bersumpah akan memenuhi sumpahku sampai aku mati," kata Isabel lirih tapi penuh keteguhan, ia tampak mengepalkan kedua tangannya dan bertekad kuat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!