Liontin Bulat

"Apa kau yakin tak apa-apa bila ku tinggal sendirian?" tanya Vivi menatap Ara dengan cemas, ia tampak enggan meninggalkan sahabatnya di depan makam yang masih basah.

"Yakin Vi, aku tahu bahwa aku tak baik-baik saja tapi aku takkan berpikiran bodoh, tenanglah!" Ara mencoba tersenyum simpul ke arah Vivi, "ada mereka, aku tidak sendirian."

Vivi beralih menatap beberapa orang pekerja kebun serta orang-orang kepercayaan Ara dan mendiang nenek Ara yang masih berdiri di sekitar makam, "apakah kau akan menginap?"

Ara mengangguk, "ya, aku terlalu lelah untuk pulang dan lagi ada beberapa hal yang perlu kuurus di sini."

"Baiklah, kabari aku segera jika kau butuh sesuatu."

Ara memeluk sahabatnya itu, "tentu, trimakasih Vi. Pergilah sekarang, aku tahu pekerjaanmu menanti."

"Ingat jangan pernah berpikiran bodoh, apa kau bisa berjanji padaku?" tanya Vivi meminta Ara mengucap janji, karena Vivi tahu bahwa Ara tak pernah mengingkari janji yang ia ucapkan.

"Tentu, aku berjanji. Pergilah sekarang sebelum kabut turun Vi, hati-hati di jalan," ucap Ara seraya membalikkan tubuh Vivi.

Vivi menoleh seraya memberikan senyum simpul pada Ara, lalu ia berbalik bergegas pergi. Di daerah pegunungan ini, kabut hanya akan menghilang ketika siang hari, sore hingga pagi seluruh wilayah akan dipenuhi kabut tebal yang mengganggu jarak pandang, banyak kecelakaan terjadi akibatnya, maka orang-orang yang tak terbiasa selalu memilih waktu siang untuk masuk atau keluar dari daerah ini.

"Nona, mari saya antar menuju villa."

Ara menoleh ke arah seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan topi lebar berwarna hitam di kepalanya, ia merupakan orang kepercayaan nenek di kebun bunga. "Terimakasih Paman Bradley," ucap Ara kepadanya.

"Mari nona, silahkan." Paman Bradley mulai melangkah menunjukkan jalan pada Ara, sementara Ara mengikuti di belakangnya. Kerumunan orang yang masih berkumpul di sekitar makam menundukkan kepala mereka kepada Ara, memberi hormat hingga sosoknya tak lagi terlihat, lalu mereka pun membubarkan diri, kembali melakukan pekerjaan mereka masing-masing.

Ara dan paman Bradley melewati jalan setapak yang dihiasi dengan bunga di kanan kirinya, lengkungan-lengkungan tinggi berhias bunga cantik wisteria berbagai warna yang merambat dan menggantung jatuh bagaikan tirai, membuat mereka tampak melewati lorong-lorong bunga yang indah nan harum.

"Bunga yang indah," ucap Ara berbisik mengagumi berbagai bunga yang ia lihat.

"Bunga wisteria merupakan salah satu bunga favorit mendiang nyonya, nyonya hampir menanamnya di setiap sudut kebun, kecuali satu warna."

Ara tampak tertarik dengan arah pembicaraan paman Bradley, "warna apakah itu paman?"

Paman Bradley menghentikan langkahnya, ia memandang penuh arti ke arah villa di depannya. Ara mengikuti arah pandang paman Bradley, sebuah villa cantik yang di kelilingi bunga wisteria ungu di seluruh sisi memenuhi pandangannya, bahkan bunga wisteria merambat subur di atapnya hingga membuat villa itu tampak seperti beratapkan bunga.

"Warna ungu, nona." Paman Bradley menatap mata Ara, "nyonya selalu berkata bahwa bunga wisteria ungu selalu mengingatkannya pada anda, nona."

"Benarkah? Kukira nenek sangat menyukainya hingga ia pun menanamnya di rumah," kata Ara menanggapi ucapan Paman Bradley. "Bukankah setiap bunga memiliki makna? Maka paman, apakah makna bunga wisteria ungu hingga nenek begitu menyukainya dan melarangnya di tanam di sembarang tempat?"

Paman Bradley tersenyum penuh makna, "pertanyaan yang bagus nona. Tapi sayangnya saya hanya mengetahui makna bunga camellia merah, saya tak tahu makna bunga lain."

"Kalau begitu maukah paman memberitahuku makna bunga camellia merah? aku penasaran kenapa nenek yang selama ini melarangku mendekati bahkan menyentuh bunga itu, malah akhirnya meminta dimakamkan di sampingnya."

Ara menatap paman Bradley penuh harap, ia tahu paman Bradley tampak enggan berbagi, tapi Ara tampak masih menaruh harapan padanya. Paman Bradley selalu berada di samping nenek ketika nenek mengunjungi kebun bunga, bahkan Ara sempat salah mengira kalau mereka berdua adalah sepasang kekasih.

"Anda akan mengetahuinya setelah menemui Alvaro nona, tunggulah di dalam villa, kami sudah menyiapkan beberapa makanan untuk anda di dalam, nona bisa memakannya selagi menunggu Alvaro datang," jawab Paman Bradley sambil berjalan ke arah pintu depan villa, ia memencet beberapa tombol hingga pintu terbuka otomatis.

"Silahkan nona, selamat beristirahat."

Ara menatap bunga wisteria ungu yang menghias di setiap sudut villa di bagian luar, benar-benar tampak seperti sebuah rumah di negeri dongeng, sangat cantik hingga terasa tak nyata.

"Terimakasih paman Bradley," ucap Ara mengangguk

"Baiklah saya permisi nona," paman Bradley menundukkan kepalanya memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan Ara sendiri.

Ara memandang punggung paman Bradley yang tampak tak setegap biasanya, Ara tahu paman Bradley pasti menyimpan kesedihan yang mendalam di hatinya, sama seperti dirinya sendiri.

Ara kembali mengambil nafas panjang dan mulai melangkah masuk ke dalam villa bunga wisteria ungu, villa favorit nenek yang amat dicintainya. Ara menutup pintu depan dan berjalan menuju ruang keluarga, keharuman berbagai macam bunga menyeruak ke dalam indera penciumannya. Ara berjalan melewati ruang tamu yang penuh dengan rangkaian bunga mawar, di ruang tamu tampak lukisannya dan nenek terpajang dengan indahnya.

"Tok..tok...tok.."

Belum sempat Ara melangkah melewati ruang tamu, suara ketukan di pintu depan membuat langkahnya terhenti. Tiba-tiba Ara merasa curiga, "aneh, Alvaro selalu menekan bel ketika berkunjung ke villa nenek, kenapa kali ini ia mengetuk pintu?"

Ara kembali berjalan melewati ruang tamu dan berhenti di balik pintu, ia berdiri dan merasa bergidik, bulu kuduknya berdiri. "Siapa?" tanya Ara sambil mengecek layar yang terpasang di dinding, instingnya mencegahnya untuk langsung membuka pintu.

Lama Ara menunggu, tak ada jawaban sama sekali, bahkan layar di dinding tak menampakkan adanya seseorang di depan pintu. Ara tampak bingung dan merasa ganjal, ia merogoh saku blazer hitamnya dan meraih ponselnya. Ara memutuskan menelepon untuk memastikan sesuatu.

"Halo nona, maafkan saya karena tak bisa mendampingi nona saat pemakaman mendiang nyonya Iselda," ucap Alvaro dengan suara yang bergetar dan tak terdengar dibuat-buat.

"Tak apa, maaf kalo boleh saya tahu di mana posisi anda saat ini pak?" tanya Ara memastikan.

"Maaf nona, saya ada di Perancis untuk memimpin seminar dan pelatihan selama tiga hari, untungnya hari ini adalah hari terakhir. Saya akan bergegas menemui nona ketika semua sudah selesai," jawab Alvaro sang pengacara kepercayaan nenek. Alvaro lebih tua lima tahun dari Ara, tapi tampaknya ia menaruh rasa hormat yang tinggi pada Ara.

"Tidak perlu tergesa-gesa pak, anda bisa menyelesaikannya dengan tenang, saya juga akan tetap berada di villa wisteria selama beberapa hari," ucap Ara seraya mengambil kesimpulan bahwa ketukan pintu bukan berasal dari Alvaro yang datang.

"Praaaang!" suara sesuatu terjatuh dan pecah terdengar mengejutkan.

"Nona apakah anda baik saja? Saya mendengar suara sesuatu yang terjatuh," tanya Alvaro dengan suara khawatir.

"Ah saya baik saja, baiklah silahkan melanjutkan kegiatan anda pak, maaf telah mengganggu," ucap Ara seraya menatap ke arah kamar nenek, asal suara benda terjatuh.

"Trimakasih nona," kata Alvaro lalu menutup telpon.

Ara memegang ponselnya erat, perlahan ia berbelok ke kanan dari ruang tamu, mengumpulkan keberanian membuka kamar nenek, entah kenapa hawa dingin terasa aneh mengelilingi Ara, ia memutar kenop pintu kamar nenek yang berwarna emas.

"Praang...prang..praaaang!"

Tubuh Ara bergetar hebat, lima guci kesayangan neneknya tiba-tiba pecah dengan sendirinya, Ara bahkan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tiga guci terakhir yang tiba-tiba retak dan pecah, pecahannya jatuh berantakan menyentuh lantai dengan suara yang menambah aura aneh. Ara menatap ke arah luar kamar nenek, semua tampak baik-baik saja di ruang tamu, tapi kenapa tampak sangat berantakan dan aneh di kamar neneknya? seolah ada seseorang yang marah dan berusaha merusak segalanya.

Ara memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer, ia mendekat ke arah pecahan guci lalu berjongkok mengamati. Sebuah kalung emas putih dengan liontin bulat menarik mata Ara, ia mengulurkan tangan kanan untuk meraihnya.

"Aaaah!" Ara mengernyit, ujung jari telunjuknya tergores pecahan keramik yang tajam, darahnya tampak mewarnai ujung jari, seolah hampir menetes, tapi hati Ara mendorongnya untuk terus meraih kalung itu. Ara berusaha mencondongkan tubuhnya ke depan, dan meraih kalung itu dengan menarik liontin bulatnya.

"Oh tidak!" Ara terkejut ketika mendapati darah di jari telunjuknya mengotori liontin bulat yang menggantung sempurna. Ia berdiri dan berjalan mendekat ke arah tisu yang terletak di atas nakas samping tempat tidur nenek, tepat ketika tangan kanannya hendak mengusap liontin dengan tisu, liontin itu tampak bergerak pelan terbagi menjadi dua lapisan tipis dan bergerak berlawanan arah, seolah membuka perlahan.

Ara jatuh terduduk di ranjang nenek, ia mengamati kalung itu lekat-lekat. Mata Ara terbuka lebar, seiring membukanya liontin, hatinya terasa sedikit sakit, kepalanya pusing bukan main, ia merasa degup jantungnya bertambah cepat.

"AAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!" teriak Ara tak kuasa menahan rasa sakit yang menyapa, ia berguling dengan tangan yang masih mengenggam erat kalung itu, sementara liontin bulat terus membuka, seolah mencoba menyibak sebuah rahasia yang dalam.

Terpopuler

Comments

Eka Putri

Eka Putri

lanjut kk

2021-08-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!