Teror Arwah Penasaran
Aku merapikan anak rambut yang mencuat di pelipis, merapikan kaus putih yang kukenakan dan membalikkan tubuh, menatap ruangan berwarna cream yang menjadi saksi awal kehidupanku sebagai pengantin baru selama tiga bulan terakhir. Banyak kisah yang telah kulalui, meski baru terbilang sebentar, semua kenangan itu mendadak berputar cepat dalam kepala, membuat sudut-sudut bibirku tertarik ke atas.
“Udah semua, Na?” Mas Doni mengusap pundakku pelan.
Pria berambut ikal yang mengenakan kaus oblong biru laut dan *jeans* hitam itu terlihat biasa saja, tak ada otot bisep tercetak di balik kaos yang ia kenakan. Hanya lesung pipinya yang menekuk dalam saat ia tersenyum, manis. Tanpa sadar, aku ikut mengulum senyum.
“Kok malah senyum-senyum sendiri? Mikirin apa hayo ...,” goda suamiku itu.
“Apa’an sih, Mas?” Semburat merah terlihat jelas di pipiku, terpantul lewat cermin di meja rias. “Udah beres semua ini. Ibu di mana? Ayo, pamit,” ajakku.
Kami berjalan beriringan menuju ruang tamu, Mas Doni tak melepaskan genggaman tangannya dari jemariku. Langkah kaki kami berhenti di depan ibunya yang duduk di sofa hijau dengan kedua tangan saling berpaut.
“Sudah siap?” tanya wanita yang rambutnya mulai memutih itu. Garis wajah yang tegas diambil sepenuhnya oleh Mas Doni. Meski demikian, senyum keibuan yang teduh tak pernah hilang dari wajahnya.
Akumengangguk dan menjawab, “Sudah, Bu.”
Aku meraih tangan ibu dan menciumnya.
“Maaf kalau kami banyak merepotkan selama tinggal di sini. Terima kasih atas bantuan Ibu,” ujarku dengan takzim.
Wanita yang berusia setengah abad itu bangun dari atas tempat duduknya dan memelukku erat-erat, “Sama-sama. Baik-baiklah kalian di sana.”
“Kami pamit, Bu.” Mas Doni ikut memelukku dan ibunya.
“Jangan bersikap seakan kalian akan pergi jauh,” protes wanita itu.
“Nggak, Bu. Kami pasti akan sering berkunjung,” sanggah Mas Doni.
“Kalian yakin, tidak mau mengadakan sukuran sebelum menempati rumah itu?” tanya Ibu.
“Nggak usahlah, Bu,” jawab Mas Doni, “Lebih baik uangnya ditabung.”
“Ya sudah, Ibu cuma mengingatkan.”
Mas Doni tersenyum, kembali memeluk ibunya, “Terima kasih atas perhatiannya, tapi Ibu tidak usah cemas, insya Allah ... kami pasti baik-baik aja.”
“Amin. Sudah sana, kasihan supirnya udah nungguin.” Ibu mendorong tubuhku dan Mas Doni menuju teras.
“Andra, Nindi, jangan main terus, nanti harus gantian bantu Ibu di rumah,” pesan Mas Doni pada dua orang adiknya yang masih SMU.
Kedua remaja itu mengangguk sebagai jawaban. Suamiku menghampiri kakakny, Mbak Sari yang sedang memangku balita berusia dua tahun di kursi bulat dekat pintu, ia mengambil bayi itu dari pangkuan sang kakak dan menggendongnya.
“Lisa, jadi anak pintar, ya. Nanti kalau Om main ke sini, kita jalan-jalan ke pantai,” kata Mas Doni sambil menciumi pipi bocah itu. Aku maklum, Mas Doni sudah tak sabar ingin memiliki momongan sendiri, kami sedang berusaha untuk mewujudkan hal itu.
“Mbak, kami pamit.” Suamiku menyerahkan Lisa pada Mbak Sari, mengusap kepala balita itu sekali lagi.
“Titip salam untuk Mas Wahyu,” pesan Mas Doni pada kakaknya.
“Iya, nanti Mbak sampaikan.”
Andra dan Nindi membantu mengangkat tas dan koper kami menuju mobil yang terparkir di halaman, memasukkan benda itu ke dalam bagasi. Ibu, aku, dan Mas Doni berjalan bersisian, sementara Mbak Sari dan Lisa melambai dari depan pintu. Mas Doni memeluk ibunya sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan itu.
“Pak, ikutin aja dari belakang, ya,” pesan suamiku pada supir *pick up* yang membawa perabotan kami.
“Sampai jumpa lagi, Bu.” Aku menyusul masuk ke dalam mobil, menurunkan kacanya dan melambai ketika Mas Doni mulai mengendarai mobil keluar dari halaman. Senyum tipis menghiasi bibirku.
Aku menyentuh lengan kiri Mas Doni dan mengusapnya lembut. Akhirnya, babak baru kehidupan kami akan segera dimulai.
***
“Pak,” Mas Doni menyapa dua orang satpam yang berjaga di pos.
Sepertinya mereka telah mengenal Mas Doni karena dua pria itu mengangguk sambil tersenyum ramah dan membuka portal, mungkin waktu suamiku mengurus surat-surat untuk kepindahan kami bulan lalu.
Mobil kami melewati tiga gang sebelum berbelok ke kiri memasuki rumah kami yang terletak paling pojok di bagian sebelah kanan. Mas Doni memilih posisi ini agar mendapat tanah *hook* seluas tiga meter.Aku menarik koper merah muda bergambar menara Eiffel ke dalam kamar yang masih kosong, lalu kembali ke depan untuk membantu suamiku menurunkan barang-barang lainnya.
Tidak banyak yang kami bawa. Maklum, sebagai pengantin baru, belum banyak perabotan yang kami beli. Sesekali aku melongok ke rumah di depan dan samping kiri, sepi, malah kelihatannya kedua rumah itu telah lama tak berpenghuni. Sementara di sebelah kanan hanya ada tanah lebih seluas empat meter yang masih kosong. Di ujung lahan itu terdapat tembok pembatas setinggi enam meter dengan lilitan kawat besi di bagian atasnya. Di belakang tembok yang menjulang, terdapat sebuah pemakaman umum yang sudah ada sejak perumahan ini belum dibangun.
Tak ada penghuni yang terlihat selama kami memindahkan barang-barang, hanya seorang wanita yang beberapa kali tertangkap ekor mataku sedang melongok dari halaman rumahnya. Mungkin penasaran dengan kehadiran kami.
Hari telah menjelang senja ketika kami telah benar-benar selesai berbenah. Tak ada waktu untuk memasak. Aku memesan makanan dan sekotak kue lewat aplikasi online lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, disusul oleh Mas Doni, membuat ritual yang harusnya selesai dalam waktu 15 menit itu harus memakan waktu sedikit lebih lama.
Aku masih mengeringkan rambut ketika terdengar panggilan dari depan disertai ketukan di daun pintu.
“Mas, tolong cek bentar, sepertinya tukang ojek,” pintaku pada Mas Doni.
“Udah dibayar?”
Aku mengangguk, mengiyakan, ”Pakai Go-Pay.”
Priaku bergegas menuju ke depan, tak lama kemudian mengintip dari balik pintu kamar dengan tiga buah bungkusan di tangan.
“Ayok, Sayang. Lapar.”
Aku buru-buru menyisir rambut dan menyusul Mas Doni ke dapur. Ia telah membuka bungkus ayam goreng dan menuang isinya ke piring, lengkap dengan nasi dan lalapan. Aku membantu membuka sambal dan memasukkannya ke dalam mangkuk kaca kecil. Air liur hampir menetes ketika samar aroma terasi menyeruak ke dalam indera penciuman. Mendadak perutku berkeriuk nyaring, lapar juga ternyata.
“Kuenya buat siapa?” tanya Mas Doni di sela suapannya.
“Tetangga ujung, tadi kayaknya ngelongok ke sini.”
“Nggak besok aja? Udah magrib ini.”
“Nggak apa-apa, nanggung, kalo besok takut keburu basi kuenya.”
Mas Doni hanya mengangguk-angguk lalu menjawab, “Ya udah, tapi Mas nggak antar nggak apa-apa ‘kan?”
“Iya, orang deket kok.”
Aku mengambil potongan terakhir tempe goreng di atas meja dan mengarahkannya ke mulut Mas Doni, kemudian membawa piring kotor ke wastafel untuk dicuci. Senyum lebar tersungging di bibir ketika melihat suamiku membantu merapikan meja makan. Setelah semuanya rapi, aku bersiap mengantarkan kue pada tetangga di ujung jalan masuk.
"Mas, aku antar ini dulu ya."
"Beneran pergi sendiri nggak apa-apa 'kan?" tanya Mas Doni, sibuk mengutak-atik laptop di atas meja.
Aku menghampiri dan mengecup kedua pipinya bergantian.
"Iya, Sayang," balasku sembari tersenyum, lalu menuju pintu.
Dengan langkah lebar aku berjalan ke rumah tetangga di ujung gang sambil tersenyum lebar. Seandainya saat itu aku tahu apa yang akan terjadi kemudian, aku pasti lebih memilih untuk mengikuti saran Mas Doni untuk mengantarnya besok saja.
***
Haii, makasih yang udah mampir. Jangan lupa like dan komen yaaa..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
anik setyani
aah.. ini yang dulu di fb kbm kan kaak.. sempet nungguin kelanjutannya..trnyata disini...
2022-02-15
0
Endang Prihatin
kak othor, sbnrnya q hbs selesei bc remember my, baby udh td mlm, tp mau lgsg bc crita ini gk brani, nunggu siang dl😂😂😂
2022-01-19
0
Joe Rianti
aq nggak berani baca thor,titip like aja gpp ya
2021-12-11
0