Baru saja selesai memakai sandal, kurasakan embusan dingin menerpa tengkuk. Tak lama kemudian, tercium aroma bunga kenanga yang tajam. Refleks, aku menoleh ke sebelah kanan, menatap pagar pembatas dengan kuburan yang menjulang cukup tinggi.
"Mungkin ada yang baru meninggal," gumamku, tertawa kecil mengingat sempat paranoid barusan.
Aku berjalan santai melewati tiga rumah kosong di sebelah kiri. Tiga rumah selanjutnya tampak berpenghuni, tapi semua pintunya tertutup rapat. Begitu pun deretan rumah di sebelah kanan, hanya rumah ke-4 yang tampak hidup, dua orang anak kecil tampak tertawa sambil berlarian dari balik jendela kaca.
Aku berhenti sejenak, melambai ke arah mereka dengan sudut bibir membentuk senyum manis. Dua bocah itu balas melambai, mereka melompat-lompat sembari mengayunkan tangan ke atas dan bawah. Tak lama kemudian seorang wanita berdiri di samping mereka, ia menarik gorden abu-abu menutupi seluruh permukaan kaca, menciptakan penghalang di antara kami.
"Sombong banget," lirihku, melirik sekali lagi ke rumah itu sebelum melanjutkan langkah kaki.
Hi-hi-hi-hi ....
Aku terkesiap, berbalik secepat mungkin ketika mendengar tawa cekikikan, persis di belakangku.
Hening.
Hanya desau angin yang sesekali membawa lembar daun kering dan debu. Aneh. Padahal barusan suara itu jelas sekali kudengar. Kuambil ponsel dari saku celana, tertera pukul 17.45 saat kuusap layarnya dengan ibu jari. Hampir magrib. Kupercepat langkah menuju rumah dengan cat hijau muda di ujung sana.
"Permisi." Aku mengetuk pintu kayu itu tiga kali. "Selamat sore, Bu."
Tak ada jawaban. Kuulangi lagi ketukan di pintu, kali ini sedikit lebih keras.
"Permisi ...! Bu?"
Tidak mungkin rumah ini juga kosong, jelas-jelas tadi siang pemiliknya berdiri sambil memperhatikan dari halaman.
"Bu?!" panggilku lagi.
Aku memutuskan dalam hati, kalau kali ini tak ada jawaban juga, biar aku pulang saja.
*Satu, dua ... tiga* ....
Aku berbalik untuk pulang.
"Cari siapa, Mbak?"
Suara dari belakang menghentikan rencanaku, aku memutar tubuh kembali menghadap pintu.
"Eh, Ibu ... maaf ganggu. Saya Regina, baru hari ini menempati rumah di ujung sana." Aku menunjuk ke pagar rumahku yang terlihat dari sini. "Salam kenal, Bu." Tanganku terulur dengan sudut bibir melengkung sempurna.
Wanita itu bergeming, daster merah tua yang ia pakai terlihat kusut. Sementara wajahnya tampak lelah dan penuh curiga.
"Lain kali kalo mau bertamu, ucap salam," ujarnya dengan raut tidak suka, "Jangan magrib juga kalo mau mampir, pamali."
"Ah, ya ... maaf, Bu," jawabku, merasa bersalah.
"Ini ada sedikit tanda perkenalan dari saya dan suami." Aku menyerahkan bungkusan dalam plastik merah. "Sekali lagi maaf kalau saya mengganggu."
"Makasih," balasnya, menerima pemberianku lalu hendak menutup pintu. "Maaf, udah gelap."
"Iya, kalau begitu saya permisi," pamitku, merasa tidak enak karena pemilik rumah bahkan tidak mau repot-repot menawariku untuk masuk, meski hanya sekadar basa-basi.
"Nanti malam kalau ada yang ketuk pintu tanpa mengucapkan salam, jangan dibuka," ujarnya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Aku tertegun, mencoba mencerna apa maksud perkataan itu. Mungkin itu semacam takhayul yang berkembang di daerah sini, pikirku, kemudian mengedikkan bahu.
Setelah menarik napas panjang, aku memutar tubuh lalu berjalan kembali ke rumah. Namun, baru sekitar tiga langkah, aku terpaku di tempat ketika menyadari jalan pulang terasa sangat jauh dan sepi. Hanya ada cahaya remang-remang dari sinar bulan separuh yang menggantung di atas sana. Sementara rumah-rumah tak berpenghuni yang tadi kulewati kini terasa ramai, terdengar bisik samar yang masuk ke dalam indera pendengaran, terbawa sepoi angin yang bercampur aroma cempaka.
Aku membeku di tempat cukup lama. Bingung untuk memutuskan, pulang sendiri atau menelepon Mas Doni agar menjemput ke sini. Kutekan tombol di samping layar ponsel, baru pukul 18.13.
"Kok, kayak udah tengah malam sih." Aku menggumam, memperhatikan keadaan sekitar.
Akhirnya aku berjalan mondar-mandir sambil menekan nomor ponsel Mas Doni, tidak tersambung. Kucoba sekali lagi ....
**Maaf, nomor yang Anda tuju, tidak terdaftar. Maaf**--
Kutekan tombol merah sebelum suara operator kembali terdengar. Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin nomor suamiku tidak terdaftar?
Penasaran, kusentuh lagi nomor Mas Doni di layar ponsel. Tersambung. Aku menarik napas lega.
"Halo, Mas."
Bunyi bergemerisik dan terputus-putus keluar dari benda pipih di tangan. Keningku berkerut, aku menjauhkan layar ponsel dari telinga dan menyentuh gambar *speaker*.
"Mas Doni, tolong jemput, aku takut."
"Halo, ini siapa?" Suara seorang wanita yang terdengar dingin merambat dari layar ponsel, seperti berasal dari suatu tempat yang sangat jauh.
Tubuhku seketika meremang, seakan sebuah sulur tak kasat mata keluar dari benda itu kemudian menjerat jemariku.
"M-mas D-doni?" Aku tergagap, merasakan hawa dingin kian menyergap.
Tungkaiku terasa lemas, sementara kepala ini mulai terasa berat. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Mas! Jangan nakutin!"
"Hihihihi ...!" Pekikan keras membahana dari *loud speaker* disertai sentuhan yang terasa dingin di tengkuk.
" Kyaaa!" Aku menjerit, lari tunggang langgang menuju rumah.
"Mas Doni ...!" Air mataku mulai merebak karena belum pernah setakut ini.
Batinku terus mengingatkan agar jangan menoleh ke belakang, tapi entah mengapa aku justru semakin penasaran. Bisa kurasakan ada sesuatu yang sedang terbang mengikuti. Napasku mulai tersengal, seharusnya aku sudah sampai di halaman rumah. Mengapa rasanya aku hanya berlari di tempat?
Sunyi, baru kusadari sepi yang mencekam ini. Suara jangrik dan katak yang tadi bersahutan, kini tak terdengar lagi. Bahkan desau angin pun menghilang. Jantungku bertalu, menyadari teror yang mengancam.
"Hihihihi ...."
Suara itu terdengar tepat di atas kepala. Aku mendongak, menatap langsung ke manik putih di atas sana. Sekeliling mata itu hitam kelam, rambut panjang dan kasar yang tebal menjuntai ke bawah, hampir mengenai keningku. Suaraku tercekat di tenggorokan, kedua lutut beradu, tak kuasa menahan bobot tubuh.
Ini pasti hanya halusinasi, atau aku sedang bermimpi. Aku berusaha menguasai diri, memikirkan hal-hal positif dan masuk akal. Aku tidak percaya setan itu nyata!
Sialnya, sosok di atas terbang berputar-putar dengan tawa melengking yang panjang, lalu menukik turun, menyambar tepat ke arahku.
"Hwaaa!" Aku berteriak sekuat tenaga. Anehnya, tak ada sedikit pun suara yang lolos dari mulut ini.
Mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada, aku kembali berlari sambil merapalkan semua doa yang kuingat. Sia-sia, makhluk itu melesat mendahului, lalu hinggap di tembok samping rumah. Bibirku bergetar, berkali-kali kupaksa mata ini untuk fokus ke pintu yang belum terbuka, sebanyak itu pula mataku tertuju kembali pada makhluk putih yang melotot di atas sana.
"Ya Allah, astaghfirullah ya Allah ...."
Aku mendorong pintu sekuat tenaga lalu menghambur masuk ke dalam rumah dengan air mata berlinang, menghampiri suamiku yang duduk di ruang tamu.
Mas Doni menatapku seakan ia sedang melihat hantu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
ituh 👉 demitnya mau minta kue mereun 👻👻👻 tetangga ujung gang di bagi, eeh tetangga sebelah malah di lewat 🙊
2023-05-29
2
Yuli Yuliand
hadir thor
2022-05-01
0
Endang Prihatin
ya Allah,,,, q mrinding thor😱😱😱😱
2022-01-19
0