“Halo, Sayang?”
Aku mengembuskan napas lega ketika suara Mas Doni yang bernada keheranan terdengar dari seberang sana.
“Mas!” Aku hampir memekik ketika memanggil namanya, “Sibuk?”
“Lumayan, ada pasien gawat darurat, baru selesai ditangani. Ada apa?”
“Dengerin,” pintaku, mengarahkan kamera depan ke kain gorden yang masih terus bergerak sendiri.
Krkkk .... Krrkkk ....
Bum! Sreek ...!
Kulihat raut wajah Mas Doni pun tampak terkejut, bergerak mendekat ke kamera dan memfokuskan pandangan ke belakangku.
“Kamu minta ditemenin sama siapa, Na?” tanyanya dengan mata memicing.
“Siapa? Nggak ada siapa-siapa, Mas!” Aku berbalik, memindai seluruh ruangan dengan teliti. Kosong, memang tidak ada siapa pun selain aku.
“Cewek itu siapa? Yang berdiri di belakangmu.”
“Mas! Jangan nakutin!” Aku menjerit, kesal dan takut.
“Serius sayang, cewek rambut panjang yang berdiri di belakangmu itu siapa?”
Tiba-tiba, langit-langit kamar bergoncang hebat, terlihat seakan gempa berkekuatan 6,5 skala ritcher sedang melanda rumahku. Aku menjerit histeris, memanggil nama Mas Doni. Pria di layar ponselku ikut panik, menunjuk-nunjuk dan berteriak dengan suara terputus-putus.
Aku hampir melompat turun dari ranjang dan berlari keluar, tapi niat itu kuurungkan ketika melihat lemari dan meja yang tidak bergerak sama sekali.Kuraba permukaan ranjang, diam ... berarti memang bukan gempa. Otak ini belum selesai mencerna segala sesuatu yang sedang terjadi ketika suara Mas Doni kembali terdengar dari layar ponsel.
“Lari! Sayang, lari!” teriaknya sambil menunjuk ke arahku. “Sekarang! Keluar dari situ!”
“Ada ap–“ Pertanyaanku tidak selesai, sambungan *video call* terputus.
Goncangan di atap semakin membabi-buta, aku memutuskan untuk menuju ruang tamu. Perlahan, aku beringsut dari atas kasur, menapakkan kedua tungkai di atas lantai dan berjalan tertatih menuju pintu. Sesekali kulirik gorden yang juga masih menari-nari di ujung sana.
Gila! Ini semua sungguh di luar logika.
Kali ini aku berjalan sambil berjinjit ke ruang tamu, tidak mau menimbulkan suara sekecil apa pun. Aku terkesiap dan melompat ke atas sofa ketika sebuah bayangan berkelebat melewati jendela depan, menuju pintu. Seseorang tampak berjalan bolak-balik di depan sana, gerakan itu tergambar jelas melalui celah di bagian bawah pintu.
Bayangan itu cukup jelas terlihat dari sini dengan bantuan cahaya lampu di teras, sementara dalam ruang tamu ini hanya ada cahaya remang kekuningan dari lampu di sudut ruangan.
Jantungku kembali bergerak tak berirama ketika sosok itu berhenti dan diam cukup lama di balik pintu, memperhatikan. Pikiranku tak bisa diajak kerja sama, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan, tetap berdiam di sini atau kembali ke kamar? Dua-duanya sama menakutkan. Aku berusaha mengatur ritme jantung yang mulai menderu tak beraturan.
Suara ketukan kembali terdengar, pelan dan mengintimidasi. Aku menahan napas dengan kedua tanganyang bergetar berpaut di depan dada. Siapa pun yang berdiri di balik pintu pasti manusia karena ia memiliki bayangan, aku mencoba berpikir menggunakan logika. Hantu tidak memiliki bayangan, itu yang selalu orang-orang katakan di televisi dan sosial media. Mendapat kekuatan dari pemikiran yang baru saja melintas, aku memberanikan diri melangkah menuju pintu.
“Siapa di luar?” tanyaku, hampir menyerupai bisikan.
Jawaban yang kudapat hanya berupa suara goresan-goresan samar di daun pintu.
“Jangan main-main! Aku udah telepon polisi!” Aku berteriak setelah mengumpulkan sisa-sisa keberanian.
Bunyi-bunyian yang cukup mengganggu itu seketika berhenti, bayangan di bawah pintu bergerak sebentar sebelum mengecil dan menghilang disertai derap langkah menjauh dari pintu. Didorong oleh rasa ingin tahu yang sangat besar, aku mengarahkan ibu jari dan telunjuk untuk menyibak gorden. Tampak sebuah bayangan berkelebat di jalanan depan rumah. Topeng berwarna putih terlihat jelas ketika sosok itu menoleh ke arahku sekilas kemudian kembali berlari tanpa berbalik lagi dan menghilang di tikungan.
*Siapa itu? Maling? Atau orang yang berniat jahat*? Aku membatin, perlahan menurunkan kembali lembaran kain yang terjepit di jari. Masih dengan benak yang bertanya-tanya aku membalikkan tubuh, hendak kembali ke kamar.
“Arrghh!”
Aku berteriak sekuat tenaga ketika melihat sosok putih melayang tepat di hadapanku, hanya berjarak dua jengkal dari wajah.
Bola mata itu putih seluruhnya dengan lingkaran hitam di sekeliling kelopak, beberapa tetes cairan kental berwarna merah tua kehitaman dan berbau amis mengalir di pipi yang pucat dan keriput. Rambut makhluk itu tergerai ke depan dada, beberapa helainya kasar mengenai tubuhku, aromanya apak dan busuk. Aku hampir muntah.
“Tolong aku!” Makhluk itu menjerit, mengulurkan jemari yang berwarna kelabu dengan urat-urat sekelam malam yang menonjol di permukaan kulitnya. Ujung kukunya yang hitam dan berlumuran cairan pekat menyentuh keningku.
Aku membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar dari tenggorokan, kepala ini terasa berputar ... tubuhku terasa ringan ... melayang ....
“Tolong!” teriak kuntilanak di hadapanku sekali lagi, membuka lebar mulutnya hingga rahangnya seakan hendak terlepas. Lalu, cairan pekat menyembur dari mulut yang terbuka lebar itu, udara lembab menyebarkan aroma lumpur bercampur anyir yang membuat mual.
"Hoek! Uhuk ...! Hoek!”
Aku memegangi perut yang terasa kram ketika menumpahkan seluruh isinya ke atas lantai. Pandangan ini berkunang-kunang, tubuhku limbung dan jatuh menghantam lantai. Gelap.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
anik setyani
iman dan imajinasiku masih belum kuat untuk membaca di malam hari... hahahaha
2022-03-20
0
Vivie Fidyandini
serius ini novel dg genre horor pertama yg aq baca...mampir sini karena kak biru yg nulis...sebelumny jatuh cinta dg gaya penulisan dan imajinasi kak biru di novel alex kinara, andrew keiko...beneran penulis yg smart... baca cerita ini fixed bakalan minta anter pas mw ke wc malem2
2021-12-25
0
ayyasy dewi
pingsan adalah pilihan yg paling tepat 😁😁😁
2021-10-26
0