NovelToon NovelToon

Teror Arwah Penasaran

Bab 1

Aku merapikan anak rambut yang mencuat di pelipis, merapikan kaus putih yang kukenakan dan membalikkan tubuh, menatap ruangan berwarna cream yang menjadi saksi awal kehidupanku sebagai pengantin baru selama tiga bulan terakhir. Banyak kisah yang telah kulalui, meski baru terbilang sebentar, semua kenangan itu mendadak berputar cepat dalam kepala, membuat sudut-sudut bibirku tertarik ke atas.

“Udah semua, Na?” Mas Doni mengusap pundakku pelan.

Pria berambut ikal yang mengenakan kaus oblong biru laut dan *jeans* hitam itu terlihat biasa saja, tak ada otot bisep tercetak di balik kaos yang ia kenakan. Hanya lesung pipinya yang menekuk dalam saat ia tersenyum, manis. Tanpa sadar, aku ikut mengulum senyum.

“Kok malah senyum-senyum sendiri? Mikirin apa hayo ...,” goda suamiku itu.

“Apa’an sih, Mas?” Semburat merah terlihat jelas di pipiku, terpantul lewat cermin di meja rias. “Udah beres semua ini. Ibu di mana? Ayo, pamit,” ajakku.

Kami berjalan beriringan menuju ruang tamu, Mas Doni tak melepaskan genggaman tangannya dari jemariku. Langkah kaki kami berhenti di depan ibunya yang duduk di sofa hijau dengan kedua tangan saling berpaut.

“Sudah siap?” tanya wanita yang rambutnya mulai memutih itu. Garis wajah yang tegas diambil sepenuhnya oleh Mas Doni. Meski demikian, senyum keibuan yang teduh tak pernah hilang dari wajahnya.

Akumengangguk dan menjawab, “Sudah, Bu.”

Aku meraih tangan ibu dan menciumnya.

“Maaf kalau kami banyak merepotkan selama tinggal di sini. Terima kasih atas bantuan Ibu,” ujarku dengan takzim.

Wanita yang berusia setengah abad itu bangun dari atas tempat duduknya dan memelukku erat-erat, “Sama-sama. Baik-baiklah kalian di sana.”

“Kami pamit, Bu.” Mas Doni ikut memelukku dan ibunya.

“Jangan bersikap seakan kalian akan pergi jauh,” protes wanita itu.

“Nggak, Bu. Kami pasti akan sering berkunjung,” sanggah Mas Doni.

“Kalian yakin, tidak mau mengadakan sukuran sebelum menempati rumah itu?” tanya Ibu.

“Nggak usahlah, Bu,” jawab Mas Doni, “Lebih baik uangnya ditabung.”

“Ya sudah, Ibu cuma mengingatkan.”

Mas Doni tersenyum, kembali memeluk ibunya, “Terima kasih atas perhatiannya, tapi Ibu tidak usah cemas, insya Allah ... kami pasti baik-baik aja.”

“Amin. Sudah sana, kasihan supirnya udah nungguin.” Ibu mendorong tubuhku dan Mas Doni menuju teras.

“Andra, Nindi, jangan main terus, nanti harus gantian bantu Ibu di rumah,” pesan Mas Doni pada dua orang adiknya yang masih SMU.

Kedua remaja itu mengangguk sebagai jawaban. Suamiku menghampiri kakakny, Mbak Sari yang sedang memangku balita berusia dua tahun di kursi bulat dekat pintu, ia mengambil bayi itu dari pangkuan sang kakak dan menggendongnya.

“Lisa, jadi anak pintar, ya. Nanti kalau Om main ke sini, kita jalan-jalan ke pantai,” kata Mas Doni sambil menciumi pipi bocah itu. Aku maklum, Mas Doni sudah tak sabar ingin memiliki momongan sendiri, kami sedang berusaha untuk mewujudkan hal itu.

“Mbak, kami pamit.” Suamiku menyerahkan Lisa pada Mbak Sari, mengusap kepala balita itu sekali lagi.

“Titip salam untuk Mas Wahyu,” pesan Mas Doni pada kakaknya.

“Iya, nanti Mbak sampaikan.”

Andra dan Nindi membantu mengangkat tas dan koper kami menuju mobil yang terparkir di halaman, memasukkan benda itu ke dalam bagasi. Ibu, aku, dan Mas Doni berjalan bersisian, sementara Mbak Sari dan Lisa melambai dari depan pintu. Mas Doni memeluk ibunya sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan itu.

“Pak, ikutin aja dari belakang, ya,” pesan suamiku pada supir *pick up* yang membawa perabotan kami.

“Sampai jumpa lagi, Bu.” Aku menyusul masuk ke dalam mobil, menurunkan kacanya dan melambai ketika Mas Doni mulai mengendarai mobil keluar dari halaman. Senyum tipis menghiasi bibirku.

Aku menyentuh lengan kiri Mas Doni dan mengusapnya lembut. Akhirnya, babak baru kehidupan kami akan segera dimulai.

***

“Pak,” Mas Doni menyapa dua orang satpam yang berjaga di pos.

Sepertinya mereka telah mengenal Mas Doni karena dua pria itu mengangguk sambil tersenyum ramah dan membuka portal, mungkin waktu suamiku mengurus surat-surat untuk kepindahan kami bulan lalu.

Mobil kami melewati tiga gang sebelum berbelok ke kiri memasuki rumah kami yang terletak paling pojok di bagian sebelah kanan. Mas Doni memilih posisi ini agar mendapat tanah *hook* seluas tiga meter.Aku menarik koper merah muda bergambar menara Eiffel ke dalam kamar yang masih kosong, lalu kembali ke depan untuk membantu suamiku menurunkan barang-barang lainnya.

Tidak banyak yang kami bawa. Maklum, sebagai pengantin baru, belum banyak perabotan yang kami beli. Sesekali aku melongok ke rumah di depan dan samping kiri, sepi, malah kelihatannya kedua rumah itu telah lama tak berpenghuni. Sementara di sebelah kanan hanya ada tanah lebih seluas empat meter yang masih kosong. Di ujung lahan itu terdapat tembok pembatas setinggi enam meter dengan lilitan kawat besi di bagian atasnya. Di belakang tembok yang menjulang, terdapat sebuah pemakaman umum yang sudah ada sejak perumahan ini belum dibangun.

Tak ada penghuni yang terlihat selama kami memindahkan barang-barang, hanya seorang wanita yang beberapa kali tertangkap ekor mataku sedang melongok dari halaman rumahnya. Mungkin penasaran dengan kehadiran kami.

Hari telah menjelang senja ketika kami telah benar-benar selesai berbenah. Tak ada waktu untuk memasak. Aku memesan makanan dan sekotak kue lewat aplikasi online lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, disusul oleh Mas Doni, membuat ritual yang harusnya selesai dalam waktu 15 menit itu harus memakan waktu sedikit lebih lama.

Aku masih mengeringkan rambut ketika terdengar panggilan dari depan disertai ketukan di daun pintu.

“Mas, tolong cek bentar, sepertinya tukang ojek,” pintaku pada Mas Doni.

“Udah dibayar?”

Aku mengangguk, mengiyakan, ”Pakai Go-Pay.”

Priaku bergegas menuju ke depan, tak lama kemudian mengintip dari balik pintu kamar dengan tiga buah bungkusan di tangan.

“Ayok, Sayang. Lapar.”

Aku buru-buru menyisir rambut dan menyusul Mas Doni ke dapur. Ia telah membuka bungkus ayam goreng dan menuang isinya ke piring, lengkap dengan nasi dan lalapan. Aku membantu membuka sambal dan memasukkannya ke dalam mangkuk kaca kecil. Air liur hampir menetes ketika samar aroma terasi menyeruak ke dalam indera penciuman. Mendadak perutku berkeriuk nyaring, lapar juga ternyata.

“Kuenya buat siapa?” tanya Mas Doni di sela suapannya.

“Tetangga ujung, tadi kayaknya ngelongok ke sini.”

“Nggak besok aja? Udah magrib ini.”

“Nggak apa-apa, nanggung, kalo besok takut keburu basi kuenya.”

Mas Doni hanya mengangguk-angguk lalu menjawab, “Ya udah, tapi Mas nggak antar nggak apa-apa ‘kan?”

“Iya, orang deket kok.”

Aku mengambil potongan terakhir tempe goreng di atas meja dan mengarahkannya ke mulut Mas Doni, kemudian membawa piring kotor ke wastafel untuk dicuci. Senyum lebar tersungging di bibir ketika melihat suamiku membantu merapikan meja makan. Setelah semuanya rapi, aku bersiap mengantarkan kue pada tetangga di ujung jalan masuk.

"Mas, aku antar ini dulu ya."

"Beneran pergi sendiri nggak apa-apa 'kan?" tanya Mas Doni, sibuk mengutak-atik laptop di atas meja.

Aku menghampiri dan mengecup kedua pipinya bergantian.

"Iya, Sayang," balasku sembari tersenyum, lalu menuju pintu.

Dengan langkah lebar aku berjalan ke rumah tetangga di ujung gang sambil tersenyum lebar. Seandainya saat itu aku tahu apa yang akan terjadi kemudian, aku pasti lebih memilih untuk mengikuti saran Mas Doni untuk mengantarnya besok saja.

***

Haii, makasih yang udah mampir. Jangan lupa like dan komen yaaa..

Bab 2

Baru saja selesai memakai sandal, kurasakan embusan dingin menerpa tengkuk. Tak lama kemudian, tercium aroma bunga kenanga yang tajam. Refleks, aku menoleh ke sebelah kanan, menatap pagar pembatas dengan kuburan yang menjulang cukup tinggi.

"Mungkin ada yang baru meninggal," gumamku, tertawa kecil mengingat sempat paranoid barusan.

Aku berjalan santai melewati tiga rumah kosong di sebelah kiri. Tiga rumah selanjutnya tampak berpenghuni, tapi semua pintunya tertutup rapat. Begitu pun deretan rumah di sebelah kanan, hanya rumah ke-4 yang tampak hidup, dua orang anak kecil tampak tertawa sambil berlarian dari balik jendela kaca.

Aku berhenti sejenak, melambai ke arah mereka dengan sudut bibir membentuk senyum manis. Dua bocah itu balas melambai, mereka melompat-lompat sembari mengayunkan tangan ke atas dan bawah. Tak lama kemudian seorang wanita berdiri di samping mereka, ia menarik gorden abu-abu menutupi seluruh permukaan kaca, menciptakan penghalang di antara kami.

"Sombong banget," lirihku, melirik sekali lagi ke rumah itu sebelum melanjutkan langkah kaki.

Hi-hi-hi-hi ....

Aku terkesiap, berbalik secepat mungkin ketika mendengar tawa cekikikan, persis di belakangku.

Hening.

Hanya desau angin yang sesekali membawa lembar daun kering dan debu. Aneh. Padahal barusan suara itu jelas sekali kudengar. Kuambil ponsel dari saku celana, tertera pukul 17.45 saat kuusap layarnya dengan ibu jari. Hampir magrib. Kupercepat langkah menuju rumah dengan cat hijau muda di ujung sana.

"Permisi." Aku mengetuk pintu kayu itu tiga kali. "Selamat sore, Bu."

Tak ada jawaban. Kuulangi lagi ketukan di pintu, kali ini sedikit lebih keras.

"Permisi ...! Bu?"

Tidak mungkin rumah ini juga kosong, jelas-jelas tadi siang pemiliknya berdiri sambil memperhatikan dari halaman.

"Bu?!" panggilku lagi.

Aku memutuskan dalam hati, kalau kali ini tak ada jawaban juga, biar aku pulang saja.

*Satu, dua ... tiga* ....

Aku berbalik untuk pulang.

"Cari siapa, Mbak?"

Suara dari belakang menghentikan rencanaku, aku memutar tubuh kembali menghadap pintu.

"Eh, Ibu ... maaf ganggu. Saya Regina, baru hari ini menempati rumah di ujung sana." Aku menunjuk ke pagar rumahku yang terlihat dari sini. "Salam kenal, Bu." Tanganku terulur dengan sudut bibir melengkung sempurna.

Wanita itu bergeming, daster merah tua yang ia pakai terlihat kusut. Sementara wajahnya tampak lelah dan penuh curiga.

"Lain kali kalo mau bertamu, ucap salam," ujarnya dengan raut tidak suka, "Jangan magrib juga kalo mau mampir, pamali."

"Ah, ya ... maaf, Bu," jawabku, merasa bersalah.

"Ini ada sedikit tanda perkenalan dari saya dan suami." Aku menyerahkan bungkusan dalam plastik merah. "Sekali lagi maaf kalau saya mengganggu."

"Makasih," balasnya, menerima pemberianku lalu hendak menutup pintu. "Maaf, udah gelap."

"Iya, kalau begitu saya permisi," pamitku, merasa tidak enak karena pemilik rumah bahkan tidak mau repot-repot menawariku untuk masuk, meski hanya sekadar basa-basi.

"Nanti malam kalau ada yang ketuk pintu tanpa mengucapkan salam, jangan dibuka," ujarnya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.

Aku tertegun, mencoba mencerna apa maksud perkataan itu. Mungkin itu semacam takhayul yang berkembang di daerah sini, pikirku, kemudian mengedikkan bahu.

Setelah menarik napas panjang, aku memutar tubuh lalu berjalan kembali ke rumah. Namun, baru sekitar tiga langkah, aku terpaku di tempat ketika menyadari jalan pulang terasa sangat jauh dan sepi. Hanya ada cahaya remang-remang dari sinar bulan separuh yang menggantung di atas sana. Sementara rumah-rumah tak berpenghuni yang tadi kulewati kini terasa ramai, terdengar bisik samar yang masuk ke dalam indera pendengaran, terbawa sepoi angin yang bercampur aroma cempaka.

Aku membeku di tempat cukup lama. Bingung untuk memutuskan, pulang sendiri atau menelepon Mas Doni agar menjemput ke sini. Kutekan tombol di samping layar ponsel, baru pukul 18.13.

"Kok, kayak udah tengah malam sih." Aku menggumam, memperhatikan keadaan sekitar.

Akhirnya aku berjalan mondar-mandir sambil menekan nomor ponsel Mas Doni, tidak tersambung. Kucoba sekali lagi ....

**Maaf, nomor yang Anda tuju, tidak terdaftar. Maaf**--

Kutekan tombol merah sebelum suara operator kembali terdengar. Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin nomor suamiku tidak terdaftar?

Penasaran, kusentuh lagi nomor Mas Doni di layar ponsel. Tersambung. Aku menarik napas lega.

"Halo, Mas."

Bunyi bergemerisik dan terputus-putus keluar dari benda pipih di tangan. Keningku berkerut, aku menjauhkan layar ponsel dari telinga dan menyentuh gambar *speaker*.

"Mas Doni, tolong jemput, aku takut."

"Halo, ini siapa?" Suara seorang wanita yang terdengar dingin merambat dari layar ponsel, seperti berasal dari suatu tempat yang sangat jauh.

Tubuhku seketika meremang, seakan sebuah sulur tak kasat mata keluar dari benda itu kemudian menjerat jemariku.

"M-mas D-doni?" Aku tergagap, merasakan hawa dingin kian menyergap.

Tungkaiku terasa lemas, sementara kepala ini mulai terasa berat. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

"Mas! Jangan nakutin!"

"Hihihihi ...!" Pekikan keras membahana dari *loud speaker* disertai sentuhan yang terasa dingin di tengkuk.

" Kyaaa!" Aku menjerit, lari tunggang langgang menuju rumah.

"Mas Doni ...!" Air mataku mulai merebak karena belum pernah setakut ini.

Batinku terus mengingatkan agar jangan menoleh ke belakang, tapi entah mengapa aku justru semakin penasaran. Bisa kurasakan ada sesuatu yang sedang terbang mengikuti. Napasku mulai tersengal, seharusnya aku sudah sampai di halaman rumah. Mengapa rasanya aku hanya berlari di tempat?

Sunyi, baru kusadari sepi yang mencekam ini. Suara jangrik dan katak yang tadi bersahutan, kini tak terdengar lagi. Bahkan desau angin pun menghilang. Jantungku bertalu, menyadari teror yang mengancam.

"Hihihihi ...."

Suara itu terdengar tepat di atas kepala. Aku mendongak, menatap langsung ke manik putih di atas sana. Sekeliling mata itu hitam kelam, rambut panjang dan kasar yang tebal menjuntai ke bawah, hampir mengenai keningku. Suaraku tercekat di tenggorokan, kedua lutut beradu, tak kuasa menahan bobot tubuh.

Ini pasti hanya halusinasi, atau aku sedang bermimpi. Aku berusaha menguasai diri, memikirkan hal-hal positif dan masuk akal. Aku tidak percaya setan itu nyata!

Sialnya, sosok di atas terbang berputar-putar dengan tawa melengking yang panjang, lalu menukik turun, menyambar tepat ke arahku.

"Hwaaa!" Aku berteriak sekuat tenaga. Anehnya, tak ada sedikit pun suara yang lolos dari mulut ini.

Mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada, aku kembali berlari sambil merapalkan semua doa yang kuingat. Sia-sia, makhluk itu melesat mendahului, lalu hinggap di tembok samping rumah. Bibirku bergetar, berkali-kali kupaksa mata ini untuk fokus ke pintu yang belum terbuka, sebanyak itu pula mataku tertuju kembali pada makhluk putih yang melotot di atas sana.

"Ya Allah, astaghfirullah ya Allah ...."

Aku mendorong pintu sekuat tenaga lalu menghambur masuk ke dalam rumah dengan air mata berlinang, menghampiri suamiku yang duduk di ruang tamu.

Mas Doni menatapku seakan ia sedang melihat hantu.

***

Bab 3

"Mas!" Seluruh tubuhku bergetar hebat, ketakutan setengah mati.

"Sayang, kamu tadi keluar lagi?" tanya Mas Doni, terbata.

Aku menggeleng keras. Apa maksudnya?

"Aku baru pulang! Dari tadi telpon Mas tapi yang ngangkat cewek!"

"Terus, yang tadi pulang siapa?"

Mas Doni menatap lekat padaku, lalu menoleh ke dapur. Aku mengikuti arah pandangan Mas Doni. Mendadak rambut halus di sekujur tubuhku tiba-tiba kembali meremang.

"Siapa, Mas?"

Mas Doni balik memerhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan aneh, ia menyentuh keningku dengan jari telunjuknya.

"Kamu beneran istriku?" tanyanya, hampir tak terdengar.

"Iyalah, Mas! Kenapa sih?"

"Tadi bukannya kamu udah pulang, Sayang?"

"Aku baru sampai ini, Mas. Ada apa sih sebenarnya?"

"Tadi ... Ada yang ngetuk pintu, persis seperti kamu," jelas Mas Doni terbata-bata, "Mas bukain pintunya, kamu masuk terus langsung ke dapur."

"Mana mungkin? Mas salah lihat kali."

"Serius, Na." Mas Doni tetap yakin pada penglihatannya. "Nggak mungkin salah, orang bajunya aja sama kok."

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbisik, "Kalo gitu, ayo kita lihat."

Mas Doni tampak ragu sesaat, kemudian ia menggenggam jemariku. Perlahan, kami melangkah menuju dapur yang terletak di bagian paling belakang.

"Kamu duluan, Mas." Aku mendorong tubuh suamiku agar maju ke depan, pengalaman di luar tadi membuat nyaliku sedikit menciut.

Pria di hadapanku membeku, tubuhnya menegang ketika melongok ke ruangan yang biasa kugunakan untuk memasak. Penasaran, aku memegang pundak Mas Doni dan ikut mengintip. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pintu dapur yang terbuka lebar.

"Tuh 'kan, Mas salah lihat." Aku mengembuskan napas, lega.

"Ck! Beneran, Sayang. Aku 'kan nggak rabun." Suamiku masih tetap tidak percaya meski ruangan berukuran 2x3 meter ini benar-benar kosong.

"Ya udah, yang penting nggak ada apa-apa," ujarku akhirnya, "Ayo, tutup pintunya, Mas." Aku menarik tangan Mas Doni.

Pintu kayu itu kudorong, lalu kuputar anak kunci yang menggantung di sana. Senyum manis tersungging di bibirku ketika berbalik dan menatap wajah Mas Doni. Kami beriringan kembali ke ruang tamu.

Bum!

Kakiku bahkan belum menginjak batas ruangan ketika bunyi benturan yang keras membuat tubuhku dan Mas Doni tersentak karena terkejut. Kami menoleh ke belakang secara bersamaan.

Pintu dapur kembali terbuka lebar!

Bagaimana bisa?

"M-mas ...." Aku tergagap, tanpa sadar mencengkeram lengan suamiku hingga ia mengaduh.

Kulihat wajah Mas Doni sama pucatnya sepertiku, kehilangan kata-kata.

"Mas," lirihku.

Sepoi angin perlahan masuk dari pintu yang terbuka lebar, dingin. Dingin yang aneh, hawa ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Tampak rumpun bambu bergoyang di balik tembok yang hanya berjarak empat meter dari pintu dapur. Lalu, suara cekikikan mulai terdengar.

"Mas!" Aku menggoyang tangan Mas Doni lebih keras, mencubit pinggangnya. "Ayo tutup pintunya."

Suamiku tersadar dari sihir mistis yang begitu terasa, dengan tiga langkah panjang ia mendorong pintu dan menguncinya lagi, lalu menarik meja makan untuk menahan lembaran kayu coklat itu. Kami mematung hampir lima menit, memerhatikan daun pintu.

Hening.

Aku menghirup dan mengembuskan napas dengan sangat pelan, takut pintu akan terbuka kalau aku bernapas terlalu kencang. Syukurlah, semua terlihat tenang. Mas Doni memberi tanda dengan matanya agar kami kembali ke ruang tamu. Aku mengekor dalam diam. Baru pertama kali kualami kejadian seperti ini. Sedikit rasa sesal menelusup dalam hati, seharusnya kuikuti saran ibu untuk mendoakan rumah ini terlebih dahulu.

"Mas, takut ...," gumamku, terus menempel di tubuh Mas Doni.

"Nggak apa-apa, cuma angin tadi," ujarnya berusaha menenangkanku.

"Angin apanya? Jelas-jelas udah aku kunci tadi." Aku mencebik.

"Mungkin dia mau kenalan," goda suamiku yang tampak sudah mulai bisa menguasai diri.

"Sombong." Aku mencubit ujung hidungnya, "Tadi ketakutan juga 'kan?"

"Dih, kata siapa?" elaknya, membuatku semakin gemas.

"Mas, tadi pas pulang, aku ketemu mbak kun-kun," kataku dengan suara pelan, takut jika makhluk itu bisa mendengar omonganku dan menampakan wujudnya lagi.

Kening Mas Doni berkerut, ia bertanya, "Mbak kun-kun siapa?"

"Kuntilanak."

Pria hitam manis berambut ikal yang memakai kaus hijau itu menatapku, lalu bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kamu serius?"

"Iya, Mas. Ngapain bohong? Orang dia terbang di atas kepalaku, terus nangkring di atas tembok samping itu." Aku menunjuk dengan dagu yang terangkat ke samping ruang tamu.

"Terus?"

"Ya itu, aku masuk terus Mas bilang aku udah pulang dari tadi."

Mas Doni terdiam beberapa saat, ia menangkupkan tangan ke atas kepala lalu menggerakkan jemarinya mengusap wajah.

"Besok aku telepon Ibu, siapa tahu Beliau punya solusi," putus Mas Doni, mengusap kepalaku dengan sayang.

Kami berdua kembali terlonjak ketika ponsel di atas meja bergetar dan menyalak nyaring. Aku mengusap dada, jantungku seakan hendak lepas dari rongganya.

"Siapa?" tanyaku ketika melihat raut aneh di wajah Mas Doni.

"Dokter Rendra minta tolong aku gantiin dia jaga malam," ucap suamiku pelan, tapi mampu menggetarkan seluruh sendi di tubuh ini.

"Dokter yang lain nggak bisa?" Aku menggigit bibir, mencoba menawar.

Mas Doni menggeleng lemah kemudian menatapku, serba salah. Kami saling berpandangan dalam diam.

"Mas, aku ikut ya," pintaku dengan raut memelas setelah terdiam cukup lama, tidak mungkin memaksa Mas Doni untuk tetap tinggal.

"Jauh, Sayang. Lagian nanti kamu mau tidur di mana?"

Aku terdiam lagi, memang benar apa yang dikatakan olehnya. Mas Doni bekerja di rumah sakit umum milik pemerintah daerah Kota Tangerang yang tidak terlalu besar. Lagi pula, keadaan di sana tak kalah menyeramkannya dengan rumah ini.

"Kan dulu udah Mas ingetin, kata kamu nggak apa-apa ambil rumah ini karena lebih murah." Mas Doni memeluk tubuhku, mencoba menenangkan.

"Iya sih," gumamku, "tapi 'kan nggak tahu kalau bakal begini ...."

Kami memang sengaja mencari perumahan di perbatasan Tangerang dan Bogor karena lebih murah. Mas Doni baru menyelesaikan masa magang, gajinya belum seberapa sehingga kami harus pintar-pintar berhemat. Mas Doni melarangku bekerja sejak kami menikah, ia meminta agar aku fokus mengurus rumah dan anak-anak kami kelak.

Saat kami *survey* sebelum membeli rumah ini, pihak pemasaran sudah memberitahukan kondisi rumah yang terkenal cukup angker. Ketika pembangunan mulai dilakukan tahun lalu, tukang-tukang yang bekerja sempat kesurupan massal. Beberapa orang juga melihat penampakan wanita cantik yang selalu menghilang di belakang rumah kami. Salahku, menganggap remeh peringatan itu.

"Mas, kita pindah aja ya," bisikku, masih menempel erat di tubuh Mas Doni.

Suamiku terdiam sesaat, tampaknya sedang memikirkan jalan terbaik yang bisa kami lakukan.

"Kalau pindah, belum tentu rumah ini langsung laku terjual." Mas Doni mengusap lembut punggung tanganku, lalu melanjutkan ucapannya, "Terus, selama nunggu rumah laku, kamu mau tidur di mana? Sama mama kamu? Atau balik ke rumah ibuku?"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!