Aku termenung, kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan suamiku.Terlalu sesak, harus berbagi kamar dengan adik-adik dan kakaknya. Selain itu, tetap berbeda rasanya harus seatap dengan ipar. Sementara di rumah ibuku, Mas Windu juga menumpang di sana bersama istri dan empat orang anaknya.
Tidak tega rasanya harus menambah beban ibu. Rumah peninggalan ayah itu hanya memiliki tiga kamar, kalau aku ikut tinggal di sana, kasihan juga Mas Windu harus berdesakan dengan keluarganya dalam satu kamar. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas perlahan. Akan kucoba bertahan malam ini. Toh, ada satpam yang berjaga di gerbang masuk kompleks.
"Baiklah Mas, aku coba malam ini ya." Kugenggam erat jemari suamiku, "Tapi hape Mas harus aktif terus. Sekalian nanti kalau lewat depan, mintain nomor Pak Satpam yang lagi jaga, terus kirim ke WhatsApp." Aku mengakhiri negosiasi dengan satu kecupan singkat di bibir Mas Doni.
Pria di hadapanku tersenyum lebar, ia meletakkan tangan kanan di pundakku, kemudian sedikit membungkuk dan menopang betisku dengan lengan kirinya.
“Mas!” Aku memekik ketika tubuhku terasa melayang.
Mas Doni membopongku menuju kamar tidur, perlahan ia membaringkan tubuhku ke atas ranjang lalu mengurungku dengan kedua lengannya yang kokoh. Aku terkikik ketika tubuh Mas Doni menghimpitku kemudian dengan sengaja ia mulai menggosok-gosokkan jambangnya ke wajahku.
“Geli, Mas!” Aku mencubit pinggangnya.
Mas Doni terkekeh, merapatkan wajahnya lalu berbisik lirih, “Kalau gini, geli nggak?” Ia mengecup daun telingaku lalu berpaling cepat dan menyerang bibirku.
Aku kewalahan, kehabisan napas, namun membalas semua sentuhannya yang membuat melayang. Untuk sesaat, kami melupakan semua teror mengerikan yang baru saja terjadi, larut dalam gairah yang memabukkan.
***
Aku mengeringkan rambut dengan handuk, lalu mencari piyama dalam tumpukan pakaian dan mengenakannya. Kulirik Mas Doni yang sedang terburu-buru memakai kemejanya. Kuhampiri priaku dan memeluknya dari belakang.
“Makanya, jangan nakal,” ledekku sembari menghidu aroma tubuhnya. “Pake minta mandi bareng, jadi nambah ‘kan?”
Mas Doni membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba, merengkuh tubuhku dan menyesap bibirku kuat-kuat.
“Jangan menggodaku lagi,” geramnya di sela ciuman kami.
“Udah telat, Mas.” Aku mendorong tubuhnya dan menunjuk jam yang menempel di dinding. “Kalo aku sih nggak masalah, oke-oke aja.” Aku mengerjapkan mata perlahan, menggigiti bibirku sendiri.
“Regina ...!”
Aku berkelit ketika Mas Doni hendak meraih tubuhku lagi, menjulurkan lidah ke arahnya lalu cepat-cepat menyodorkan tas kerjanya ketika ia semakin mendekat.
“Kerja, cari cuit yang banyak, biar kita bisa pindah rumah.” Aku mendorong tubuhnya menuju pintu, lalu menggandeng tangannya melewati ruang tamu.
“Siap, Komandan!” Mas Doni menirukan gerakan hormat, menunduk dan mengecup bibirku lagi. “Manis sekali, Mas kecanduan,” ujarnya separuh berbisik.
“Semangat kerjanya, nanti kalo udah pulang boleh nambah deh.”
“Na ... jangan buat Mas nggak jadi berangkat kerja deh.” Mas Doni menggeram lagi, bersiap menyerangku seperti yang dilakukannya setengah jam lalu.
“Telat, Mas, telat,” elakku, membuka pintu kemudian kembali mendorong tubuhnya ke teras.
“Dasar kejam.” Suamiku pura-pura merajuk, memelukku erat lalu menarik napas dalam dan beranjak menuju mobil.
“Hati-hati di rumah, jangan lupa kunci pintunya, jangan buka untuk siapa pun kecuali Mas,” pesannya.
“Iya, Sayangku. Mas juga hati-hati di jalan ya.” Dengan berat hati aku melambai, memaksakan segaris senyum tipis melengkung di bibir ini.
Aku segera masuk ke dalam rumah ketika Mas Doni mulai melajukan mobil keluar dari halaman. Kututup gorden dan mengunci pintu kemudian bergegas menuju kamar. Sudut-sudut bibirku berkedut melihat ranjang yang belum sempat kurapikan tadi, biarlah, besok saja kubereskan semuanya. Aku menekan saklar lampu tidur di dekat ranjang kemudian berbaring, mengambil selimut dan menghirup aroma Mas Doni yang masih tertinggal. Mataku perlahan terpejam dengan senyum lebar tersungging di wajah.
Rasanya baru sebentar aku terlelap ketika lamat-lamat suara ketukan yang terburu-buru terdengar dari arah depan, menelusup ke dalam gendang telinga. Kelopak mataku membuka perlahan, memicing dalam ruangan yang remang-remang. Siku kanan menumpu bobot tubuh ini, kutajamkan indera pendengaran. Jangan-jangan perlengkapan Mas Doni ada yang tertinggal.
“Mas Doni?!” teriakku dari dalam kamar dengan suara cukup keras. Letak kamar kami yang bersebelahan dengan ruang tamu membuatku cukup merasa yakin jika suaraku bisa sampai ke depan.
“Mas?!” panggilku lagi ketika tak kunjung terdengar jawaban.
Tok ...! Tok ...! Tok ...!
Lagi, suara itu terdengar, tapi kali ini terjeda masing-masing sekitar dua detik. Keningku berkerut, bergegas turun dari ranjang dan berdiri di balik pintu kamar. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, mengusap permukaan benda itu dan memeriksa benda itu. Ada beberapa pesan berturut-turut dari Mas Doni.
**Mas baru sampai, hati-hati di rumah. Love you**.
**Na, udah tidur**?
**Sayang, kamu baik-baik aja ‘kan**?
**Kangen nihhh** ....
Mas Doni baik-baik saja, tidak menanyakan barang apa pun. Lalu, siapa yang sedang berdiri di depan pintu saat ini? Aku berdiri dengan ragu, bingung harus melakukan apa. Kulihat jam di layar ponsel, pukul 23.47. Seketika kesadaran menghampiri, aku berjalan mundur menuju kasur, beringsut ke sudut ranjang dan menutup separuh tubuh dengan selimut. Entah mengapa, hawa dalam ruangan ini tiba-tiba menjadi lebih dingin dan lembab.
Tanganku terlihat sedikit bergetar ketika melakukan panggilan ke nomor telepon Mas Doni. Kutempelkan benda pipih itu ke telinga, mendengarkan nada sambung, menunggu jawaban dari sebelah sana. Sambungan telepon mati tanpa terjawab. Kucoba dua kali lagi, tetap sama, Mas Doni tak mengangkat teleponnya.
Tuk!
Aku tersentak ketika terdengar suara dari jendela kamar, seperti dilempar dengan batu dari luar. Aku memundurkan tubuh hingga menempel ke tembok, rambut-rambut halus di kuduk mulai meremang, tengkuk ini terasa berat. Kupaksakan jemari bergerak untuk mengetik pesan singkat lalu mengirimnya pada Mas Doni.
**Mas, aku takut. Ada yang ngetuk pintu sama lempar jendela**.
Bum!
Suara benturan yang keras dari bubungan rumah kembali membuat jantungku berdetak cepat. Sepertinya sesuatu yang cukup besar baru saja mendarat di atap, kemudian ... mulai berjalan mondar-mandir persis di atas kepalaku.
Tubuhku membeku ketika terdengar gedoran keras dari pintu depan, bahkan kaca jendela sepertinya ikut bergetar. Sementara makhluk yang entah apa di atas sana mulai menggeram, menggaruk, dan mencakar, seakan sedang berusaha keras agar dapat masuk ke sini.
Ini tidak beres. Instingku mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Bum! Sreek ...! Ctek!
Krkkk ...! Krrkkk ...!
Bum! Sreek ...!
Suara-suara itu meninggi dan semakin cepat, bergantian menghantam gendang telinga.
Tuk. Tuk. Tuk.
Kali ini terdengar ketukan dari jendela, membuat nyaliku semakin menciut. Kain gorden tebal berwarna *peach* yang menghalangiku dan makhluk apa pun di luar sana mulai bergerak pelan, terlihat seperti ada yang menarik ujung-ujungnya. Aku berusaha mengontrol rasa takut, kembali mencoba menghubungi Mas Doni melalui **video call**.
“Mas, *please* angkat,” bisikku seraya melirik ke segala arah. Aku yakin, mereka sedang memperhatikan gerak-gerikku saat ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
gibran orlando
jd g bisa diem takut tp penasaran
2022-01-03
0
luluk fitria
bacanya deg deg an banget. horoooor pisan. seperti mengalami sendiri.... kok seperti aku yg jd regina....
2021-12-05
0
Indah Adhe
kennapa mwnyeramkan sekali sih thor...q baca siang siang juga tetep deg degan....ini sih lebih serem dari nonton film horor deh...gak kuat q kalau baca marathon harus berhenti di setiap bab...
2021-08-28
1