Bab 3

"Mas!" Seluruh tubuhku bergetar hebat, ketakutan setengah mati.

"Sayang, kamu tadi keluar lagi?" tanya Mas Doni, terbata.

Aku menggeleng keras. Apa maksudnya?

"Aku baru pulang! Dari tadi telpon Mas tapi yang ngangkat cewek!"

"Terus, yang tadi pulang siapa?"

Mas Doni menatap lekat padaku, lalu menoleh ke dapur. Aku mengikuti arah pandangan Mas Doni. Mendadak rambut halus di sekujur tubuhku tiba-tiba kembali meremang.

"Siapa, Mas?"

Mas Doni balik memerhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan aneh, ia menyentuh keningku dengan jari telunjuknya.

"Kamu beneran istriku?" tanyanya, hampir tak terdengar.

"Iyalah, Mas! Kenapa sih?"

"Tadi bukannya kamu udah pulang, Sayang?"

"Aku baru sampai ini, Mas. Ada apa sih sebenarnya?"

"Tadi ... Ada yang ngetuk pintu, persis seperti kamu," jelas Mas Doni terbata-bata, "Mas bukain pintunya, kamu masuk terus langsung ke dapur."

"Mana mungkin? Mas salah lihat kali."

"Serius, Na." Mas Doni tetap yakin pada penglihatannya. "Nggak mungkin salah, orang bajunya aja sama kok."

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbisik, "Kalo gitu, ayo kita lihat."

Mas Doni tampak ragu sesaat, kemudian ia menggenggam jemariku. Perlahan, kami melangkah menuju dapur yang terletak di bagian paling belakang.

"Kamu duluan, Mas." Aku mendorong tubuh suamiku agar maju ke depan, pengalaman di luar tadi membuat nyaliku sedikit menciut.

Pria di hadapanku membeku, tubuhnya menegang ketika melongok ke ruangan yang biasa kugunakan untuk memasak. Penasaran, aku memegang pundak Mas Doni dan ikut mengintip. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pintu dapur yang terbuka lebar.

"Tuh 'kan, Mas salah lihat." Aku mengembuskan napas, lega.

"Ck! Beneran, Sayang. Aku 'kan nggak rabun." Suamiku masih tetap tidak percaya meski ruangan berukuran 2x3 meter ini benar-benar kosong.

"Ya udah, yang penting nggak ada apa-apa," ujarku akhirnya, "Ayo, tutup pintunya, Mas." Aku menarik tangan Mas Doni.

Pintu kayu itu kudorong, lalu kuputar anak kunci yang menggantung di sana. Senyum manis tersungging di bibirku ketika berbalik dan menatap wajah Mas Doni. Kami beriringan kembali ke ruang tamu.

Bum!

Kakiku bahkan belum menginjak batas ruangan ketika bunyi benturan yang keras membuat tubuhku dan Mas Doni tersentak karena terkejut. Kami menoleh ke belakang secara bersamaan.

Pintu dapur kembali terbuka lebar!

Bagaimana bisa?

"M-mas ...." Aku tergagap, tanpa sadar mencengkeram lengan suamiku hingga ia mengaduh.

Kulihat wajah Mas Doni sama pucatnya sepertiku, kehilangan kata-kata.

"Mas," lirihku.

Sepoi angin perlahan masuk dari pintu yang terbuka lebar, dingin. Dingin yang aneh, hawa ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Tampak rumpun bambu bergoyang di balik tembok yang hanya berjarak empat meter dari pintu dapur. Lalu, suara cekikikan mulai terdengar.

"Mas!" Aku menggoyang tangan Mas Doni lebih keras, mencubit pinggangnya. "Ayo tutup pintunya."

Suamiku tersadar dari sihir mistis yang begitu terasa, dengan tiga langkah panjang ia mendorong pintu dan menguncinya lagi, lalu menarik meja makan untuk menahan lembaran kayu coklat itu. Kami mematung hampir lima menit, memerhatikan daun pintu.

Hening.

Aku menghirup dan mengembuskan napas dengan sangat pelan, takut pintu akan terbuka kalau aku bernapas terlalu kencang. Syukurlah, semua terlihat tenang. Mas Doni memberi tanda dengan matanya agar kami kembali ke ruang tamu. Aku mengekor dalam diam. Baru pertama kali kualami kejadian seperti ini. Sedikit rasa sesal menelusup dalam hati, seharusnya kuikuti saran ibu untuk mendoakan rumah ini terlebih dahulu.

"Mas, takut ...," gumamku, terus menempel di tubuh Mas Doni.

"Nggak apa-apa, cuma angin tadi," ujarnya berusaha menenangkanku.

"Angin apanya? Jelas-jelas udah aku kunci tadi." Aku mencebik.

"Mungkin dia mau kenalan," goda suamiku yang tampak sudah mulai bisa menguasai diri.

"Sombong." Aku mencubit ujung hidungnya, "Tadi ketakutan juga 'kan?"

"Dih, kata siapa?" elaknya, membuatku semakin gemas.

"Mas, tadi pas pulang, aku ketemu mbak kun-kun," kataku dengan suara pelan, takut jika makhluk itu bisa mendengar omonganku dan menampakan wujudnya lagi.

Kening Mas Doni berkerut, ia bertanya, "Mbak kun-kun siapa?"

"Kuntilanak."

Pria hitam manis berambut ikal yang memakai kaus hijau itu menatapku, lalu bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kamu serius?"

"Iya, Mas. Ngapain bohong? Orang dia terbang di atas kepalaku, terus nangkring di atas tembok samping itu." Aku menunjuk dengan dagu yang terangkat ke samping ruang tamu.

"Terus?"

"Ya itu, aku masuk terus Mas bilang aku udah pulang dari tadi."

Mas Doni terdiam beberapa saat, ia menangkupkan tangan ke atas kepala lalu menggerakkan jemarinya mengusap wajah.

"Besok aku telepon Ibu, siapa tahu Beliau punya solusi," putus Mas Doni, mengusap kepalaku dengan sayang.

Kami berdua kembali terlonjak ketika ponsel di atas meja bergetar dan menyalak nyaring. Aku mengusap dada, jantungku seakan hendak lepas dari rongganya.

"Siapa?" tanyaku ketika melihat raut aneh di wajah Mas Doni.

"Dokter Rendra minta tolong aku gantiin dia jaga malam," ucap suamiku pelan, tapi mampu menggetarkan seluruh sendi di tubuh ini.

"Dokter yang lain nggak bisa?" Aku menggigit bibir, mencoba menawar.

Mas Doni menggeleng lemah kemudian menatapku, serba salah. Kami saling berpandangan dalam diam.

"Mas, aku ikut ya," pintaku dengan raut memelas setelah terdiam cukup lama, tidak mungkin memaksa Mas Doni untuk tetap tinggal.

"Jauh, Sayang. Lagian nanti kamu mau tidur di mana?"

Aku terdiam lagi, memang benar apa yang dikatakan olehnya. Mas Doni bekerja di rumah sakit umum milik pemerintah daerah Kota Tangerang yang tidak terlalu besar. Lagi pula, keadaan di sana tak kalah menyeramkannya dengan rumah ini.

"Kan dulu udah Mas ingetin, kata kamu nggak apa-apa ambil rumah ini karena lebih murah." Mas Doni memeluk tubuhku, mencoba menenangkan.

"Iya sih," gumamku, "tapi 'kan nggak tahu kalau bakal begini ...."

Kami memang sengaja mencari perumahan di perbatasan Tangerang dan Bogor karena lebih murah. Mas Doni baru menyelesaikan masa magang, gajinya belum seberapa sehingga kami harus pintar-pintar berhemat. Mas Doni melarangku bekerja sejak kami menikah, ia meminta agar aku fokus mengurus rumah dan anak-anak kami kelak.

Saat kami *survey* sebelum membeli rumah ini, pihak pemasaran sudah memberitahukan kondisi rumah yang terkenal cukup angker. Ketika pembangunan mulai dilakukan tahun lalu, tukang-tukang yang bekerja sempat kesurupan massal. Beberapa orang juga melihat penampakan wanita cantik yang selalu menghilang di belakang rumah kami. Salahku, menganggap remeh peringatan itu.

"Mas, kita pindah aja ya," bisikku, masih menempel erat di tubuh Mas Doni.

Suamiku terdiam sesaat, tampaknya sedang memikirkan jalan terbaik yang bisa kami lakukan.

"Kalau pindah, belum tentu rumah ini langsung laku terjual." Mas Doni mengusap lembut punggung tanganku, lalu melanjutkan ucapannya, "Terus, selama nunggu rumah laku, kamu mau tidur di mana? Sama mama kamu? Atau balik ke rumah ibuku?"

***

Terpopuler

Comments

Yuli Yuliand

Yuli Yuliand

deg degan

2022-05-01

0

Icham Atuh Tea

Icham Atuh Tea

tegang

2021-12-25

0

Emmy Septiani

Emmy Septiani

baru baca lgsg tegang

2021-10-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!