Jodoh Di Pulau Terpencil!
Aroma asin garam tersampaikan melalui hidung, ombak menderu, membawa rasa dingin yang mengerat tulang. Langit ditelan Kegelapan pekat yang dihiasi siluet bintang, sementara sinar bulan terpantul di permukaan air.
“Semua kilauan itu, bukanlah emas.” dia meratapi langit dan iri kepada siluet di angkasa, “Tetapi tenang saja, mimpiku telah aku gantung di sana. Tidak lama lagi, pasti akan terwujud!"
Dia mengepalkan tangannya ke langit, senyuman di bibirnya menceriakan malam. Dia adalah Ren Haidil, berumur 19 tahun dan tengah menempuh perjalanan ke Amerika melalui jalur laut. Dia murid berbakat yang mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri.
Demi menggapai mimpinya, dia harus memiliki bukti kemampuan atau yang dikenal ijazah sekolah.
Meskipun begitu, dia perlu menempuh jenjang yang lebih tinggi. Meskipun nilai SMA-nya sangat baik, hal itu tidaklah cukup baginya untuk mencapai mimpinya.
“Havard university, aku datang!” teriaknya dengan penuh semangat disertai ambisi.
Ren bergegas kembali ke kamarnya untuk tidur, tetapi—
“ ... ”
—mimpinya, impiannya mungkin tidak akan terwujud.
Ren memuntahkan air dari paru-parunya dan dengan takut melihat lautan. Pakaian hitam polos yang di double dengan kemeja putih basah dan kotor terkena pasir laut. Menyeka air dan pasir di sekitar matanya, dia menatap lautan luas.
“Kapalnya ... tenggelam?” gumamnya dengan sedih.
Yang tersisa hanyalah barang-barang penumpang dan bagian kapal yang hancur mengambang di lautan. Jejak keberadaan kapal besar lenyap bak ditelan bumi, ingatannya tentang malam itu nian kacau dan butuh waktu untuk memprosesnya.
Ren perlahan ingat bahwa kapal yang dia tumpangi menabrak karang dan mengalami kerusakan besar. Semua penumpang panik, hiruk-pikuk keramaian, huru-hara di mana-mana. Anak memanggil ibu, ibu memanggil anak, pria memanggil wanita, wanita memanggil pria.
Sungguh, sebuah keajaiban besar bahwa Ren berhasil selamat dari malapetaka yang mengancam nyawanya.
“Sial, bukan waktunya untuk melamun!”
Ren bergegas bangkit. Rasa sakit di tubuh dan kepala mulai menyerangnya, tetapi dia dengan kukuh melawannya. Ren menyadari bahwa dia tidak sendiri. Terdapat tujuh orang termasuk dirinya.
Lima orang wanita dan dua orang pria termasuk dirinya. Perbandingan pria dan wanitanya sangat memprihatikan, namun yang terpenting adalah memastikan apakah mereka hidup atau tidak.
“Uhuk-uhuk!” batuk pria berambut coklat panjang yang tidak jauh berada di sisinya.
Dia mengenakan kemeja putih dan sebuah jaket coklat yang diikat di pinggang dengan sepatu kulit hitam.
“Nampaknya dia baik-baik saja, tetapi yang lainnya ...”
Ren menghampiri gadis cantik yang terbaring di dekatnya. Gadis berambut hitam pendek, dengan tubuh langsing dan menggoda para pria. Ren tidak memiliki pemikiran ke sana untuk saat ini dan segera mendekatkan telinganya ke mulut dan hidung gadis itu. Ren juga menekan urat nadinya untuk mengetahui keadaan gadis itu.
“Nafasnya sangat tipis, nadinya berdenyut sangat lemah. Sepertinya dia menelan cukup banyak air.”
Untuk keadaan seperti ini, hanya ada satu cara yang terpikirkan Ren. Meskipun terlihat tidak sopan karena harus menekan di tempat yang sensitif bagi wanita, Ren mengabaikannya dan melakukan CPR atau resusitasi jantung paru-paru.
Ren menekan dada gadis itu untuk membuka kembali saluran pernapasan dan setelah beberapa saat, gadis itu memuntahkan air laut.
“Uhuk-uhuk! Di-di mana ini? Shh, kepalaku terasa sakit.”
“Aku akan menjelaskan situasinya, sini tanganmu, aku akan membawamu ke tempat yang teduh.”
Gadis itu dengan patuh mengulurkan tangannya kepada Ren dan menuju pepohonan yang tidak jauh dari tempat mereka terdampar.
Ren tidak berniat menjelaskan situasinya segera. Setidaknya sampai dia mengumpulkan semua orang dan keadaan batin jauh lebih tenang.
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk semua orang sadarkan diri. Atas permintaan Ren, dia mengumpulkan semuanya di satu tempat. Mereka semua jelas masih bingung, karena itulah Ren akan membantu mereka memahami situasi terkini.
“Mohon perhatiannya, aku akan membantu kalian menjelaskan apa yang terjadi. Saat ini sepertinya kita terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni,
karena kecelakaan kapal pesiar semalam yang menelan banyak korban jiwa. Kita harus bersyukur bahwa masih diberikan keselamatan.” Ren memasang wajah sedih karena meskipun selamat, mereka terdampar di pulau terpencil.
Alasan Ren menganggapnya tidak berpenghuni, dikarenakan tidak adanya bala bantuan atau jejak orang pernah menempatinya. Namun, dia tidak dapat menjamin hal itu sebelum menjelajahi pulau ini.
“Terdampar? Maksudmu kita harus menunggu di tempat ini sampai tim SAR datang?” ujar pria berambut cokelat gelap.
Wajahnya tampak sangat khawatir disertai sedikit kelegaan, beruntung bahwa dia dapat menilai situasi dengan tenang.
“Jika begitu kita bisa tenang ... Benar kan, Theresia?” ujar gadis kuncir kuda kepada gadis yang hendak menangis di pelukannya.
Mereka menggunakan pakaian olahraga biru muda yang sama, nampaknya mereka berasal dari tempat yang sama dan sudah saling mengenal.
“Y-ya.”
Harapan mereka mulai muncul. Jika tim SAR menemukan mereka, maka nyawa mereka akan terselamatkan dan menjadi tujuh orang yang selamat dari bencana.
Semuanya mulai merasakan kelegaan dalam dada mereka, tetapi semua itu dihancurkan oleh Ren dengan mudahnya.
“Maaf mengecewakan tetapi, aku tidak yakin mereka akan datang dalam waktu dekat.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak tahu pasti di mana kita terdampar. Jika kita mengasumsikan masih berada di pulau dekat peradaban kota, maka syukurlah. Paling cepat, tim SAR akan menemukan kita dalam jangka waktu delapan atau sembilan hari, yang terburuknya bahkan bisa lebih dari dua minggu. Sampai waktunya tiba, kita harus bisa bertahan.”
Ren dengan pahit mengatakannya, memang harus dia katakan kebenarannya. Kebenaran selalu menyakitkan, namun ketidaktahuan bisa menjadi lebih menyakitkan.
Tim SAR mungkin tidak akan langsung mengirimkan tim penyelamat, mereka akan mengidentifikasi kapal dan mayat yang ada. Jika memang mereka akan mengirimkan langsung, akan butuh waktu sebelum mereka menyadari bahwa kapal yang ditumpanginya menghilang.
“Tidak mungkin, jika begitu tidak ada bedanya dengan mati!” gadis yang dipanggil Theresia menangis di pelukan temannya.
Yang lainnya tentu saja merasakan hal yang sama, mustahil tidak mengalami gejolak apapun pada keadaan ini. Bahkan Ren hatinya dipenuhi kabut, bila seperti ini dia tidak akan pernah masuk ke Havard university.
“Menunggu beberapa hari, beberapa minggu, bahkan beberapa bulan sekalipun bisa kita lalui jika mau bekerja sama. Dalam situasi seperti ini, kita harus merangkul tangan satu sama lain! Menuntun jalan bersama-sama dan bertahan hidup. Jika menyerah sama artinya dengan kematian, maka aku tidak akan pernah memilih untuk menyerah!”
Begitulah jalan yang dia tekuni dalam kehidupannya. Ren tidak pernah mengenal orang tuanya semenjak kecil, merasakan kehangatan mereka juga tidak. Yang dia tahu, mereka menelantarkannya di rumah neneknya yang kini telah meninggal.
Hidup sebatang kara, tidak mengenal cinta orang tuanya, merajut mimpi demi mimpi seorang diri, tidak sekalipun terlintas dalam benaknya untuk menyerah.
Tidak peduli apapun itu, dia akan terus melangkah maju, bahkan jika harus berhenti, dia akan mencari cara untuk melangkah maju.
“Kalian boleh mengeluh dan mengucapkan seribu sumpah serapah, tetap kalian tidak boleh menyerah untuk satu kehidupan yang kalian miliki! Kita boleh gagal sembilan puluh sembilan kali, namun harus bangkit sebanyak seratus kali.”
Mendengar kata-kata penuh arti, pria dengan rambut coklat gelap berdiri di hadapannya dengan tatapan serius, nampak ingin mengatakan sesuatu.
“Kamu meminta kami untuk tidak menyerah dan berjuang untuk tetap hidup, kan?”
Ren mengangguk setuju.
“Jika ada banyak pilihan yang bisa diambil, mengapa harus mengambil jalan menyerah, benar bukan?” pria itu tersenyum ceria dan mengulurkan tangan kanannya.
Ren sedikit tertegun sesaat dan langsung menjabat tangannya.
“Zainal Abidin, itu namaku, tetapi panggil saja aku Zain.”
“Senang berkenalan denganmu, Zain. Kalau begitu, tolong panggil aku Ren.”
Tidak hanya kepada Zain, Ren menyerukannya juga kepada para gadis yang melihat pertukaran mereka.
“Namaku Laura Larantia, mohon panggil aku Laura. Ah, juga terima kasih karena telah menolongku sebelumnya, Ren.” dia menunjukkan senyuman lembut nan menghangatkan.
“Kembali kasih.”
Ren beralih kepada dua gadis yang berada di sebelah Laura.
“Namaku Tohkisaki Mirai, panggil saja Mirai. Gadis cengeng ini bernama Theresia Carmilla, mohon panggil dia Theresia.”
Mereka nampak rukun, sepertinya memang sudah saling mengenal semenjak awal. Ren segera melihat gadis dengan rambut kecoklatan yang menggunakan gaun renda merah dengan pernak-pernik cantik menghiasinya. Dia menggunakan topi bundar merah pucat yang melindungi wajah cantiknya dari sinar UV.
Wajahnya sendiri memberikan kesan angkuh dan sombong, nona konglomerat yang sulit didekati, begitulah kesan Ren kepadanya. Meskipun begitu, yang dia pikirkan tentangnya adalah gadis itu sangat cantik.
“hmpf. Clarissa Lancaster, dia pelayanku Anastasia. Kalian para orang udik jangan coba-coba menyentuhku.”
Anastasia, gadis yang terlihat pendek dan orang bisa salah menyadari bahwa dia gadis SMP. Meskipun penampilannya menipu mata, Ren tahu bahwa tubuhnya tidak sesuai umurnya. Kemungkinan umurnya tidak berbeda jauh dengan Ren.
Alasannya dapat mengetahui hal itu sangatlah mudah, karena gadis itu memiliki dada yang besar.
“Kalau begitu, aku panggil Clarissa dan Anastasia, ya?” Ren hanya tersenyum kecut.
Hanya tujuh dari ratusan orang penumpang kapal yang selamat, mungkin mereka bertujuh adalah orang-orang dengan keberuntungan besar.
Selain Ren, mereka nampaknya berasal dari keluarga kelas atas dan Ren sedikit minder, tetapi menyimpannya baik-baik. Dalam kasus ini, mereka tidak mengetahui cara bertahan hidup di pulau tak berpenghuni.
Ren harus memimpin enam orang tersebut dan menggunakan pengetahuannya yang luas untuk bertahan hidup.
“Meskipun kamu bilang ingin bekerja sama untuk bertahan hidup, tetapi apa saja yang harus kami lakukan?” tanya Laura dengan khawatir.
Ren menggunakan pose unik miliknya. Dia memejamkan matanya, menundukkan kepalanya dan mengulurkan tangan kirinya ke depan, kemudian menjentikkan jarinya.
“Good question! Pada situasi seperti ini, yang paling utama adalah tidak panik dan jangan membiarkan kepala kalian penuh dengan kekhawatiran. Tetaplah positif thinking dan menilai situasi dengan tenang.”
Beruntunglah Ren seorang pembaca buku yang rajin. Baik itu manga, novel, cara membuat strategi dan cara-cara bertahan hidup ... Dia membacanya karena tertarik.
“Baiklah, mari kita mulai dengan tiga poin penting bertahan hidup. Pertama dan yang paling utama adalah makanan dan minuman. Tanpa minuman, kita hanya akan bisa bertahan selama tiga hari, tanpa makanan, kita hanya bisa bertahan selama tiga minggu hingga akhirnya mati.”
Dia berusaha memberikan penjelasan yang akan mudah dipahami oleh semua orang. Zain berpikir dan menunjuk laut.
“Bukankah air ada banyak di belakang kita?”
“Kita tidak bisa meminumnya, Zain. Air laut mengandung cukup banyak kandungan garam dan itu hanya akan membuat cairan di tubuh kita berkurang,” Laura memberikan penjelasan yang tepat kepada Zain.
“Yes! Manusia membutuhkan satu liter air setiap harinya. Sebisa mungkin, kita tidak boleh kehilangan sampai 10% air di tubuh kita.”
“Memangnya kenapa?” tanya Mirai.
“Kehilangan 3% dapat menyebabkan dehidrasi, 5% menyebabkan sakit kepala dan jika kita kehilangan 10% cairan tubuh, hal itu akan merusak organ dalam dan menyebabkan kematian.”
Dikarenakan hal itu, air menjadi sumber daya penting yang perlu mereka amankan. Ren berharap bisa menemukan sumber mata air ataupun sungai di pulau ini, karena jika tidak, keadaan kedepannya akan sulit.
“Sepertinya kamu juga tahu banyak, ya!” seru Zain dengan kagum.
“Ya, begitulah. Karena aku ingin menjadi dokter, sesuatu menyangkut keadaan tubuh manusia harus kuketahui. Meskipun begitu, aku terkejut bahwa nampaknya Ren mungkin mengambil jurusan yang sama denganku.”
“Sayangnya tidak, aku tidak mengambil jurusan IPA. Aku hanya mengetahui sedikit banyaknya hal itu karena buku-buku yang aku baca,” Ren melanjutkan poin penting lainnya.
“Poin kedua, sebisa mungkin kita harus menjaga kesehatan tubuh dan menghindari cidera. Kita tidak memiliki obat, perban ataupun dokter, sehingga jika menerima luka tidak bisa menghindari infeksi.”
Ren tahu beberapa tumbuhan yang bisa digunakan sebagai rujukan, namun pengetahuannya tentang obat-obatan sangatlah sedikit.
“Poin ketiga, kita harus menjaga suhu tubuh tetap normal, yaitu sekitar 36,5 sampai 37,5. Lebih atau kurang dari itu, yang terburuk menyebabkan hipertemia dan hipotermia.”
Jika tidak bisa menjaga suhu tubuh normal, manusia akan mati dalam waktu tiga jam dan hal itu termasuk yang harus mereka hindari. Dalam situasi tanpa tempat berlindung, hujan bisa menguntungkan sekaligus merugikan mereka.
“Aku mengerti. Jadi, hal yang perlu kita siapkan adalah makanan, air, obat-obatan dan tempat berlindung, ya?” tanya Mirai.
“Ku-kupikir obat-obatan tidak termasuk, Mirai,” ujar Theresia yang mulai berhenti menangis.
“Ya. Makanan, air dan shelter adalah apa yang kita butuhkan, tetapi untuk sekarang, aku ingin diantara kalian yang belum merasa dehidrasi mengumpulkan barang apapun yang tersebar ke tepi pantai. Bagi mereka yang dehidrasi dan merasa pusing, silahkan berteduh di bawah pohon dan beritahu Laura jika merasa pusing. Zain, apa kamu masih baik-baik saja?”
“Ya! Aku sama sekali belum merasa haus atau apapun, semangat masa muda membakar dadaku! Hahaha!” dia tertawa terbahak-bahak.
Ren hanya tersenyum akan keceriaan dan optimis-nya.
“Kalau begitu, kau dan aku akan berenang ke lautan sana. Barangkali terdapat sesuatu yang berguna dan bila beruntung, kita akan menemukan persediaan makanan.”
Ren tidak terlalu mengharapkan akan ada cukup banyak makanan yang bisa didapatkan, tetapi tidak ada salahnya mencoba dan barangkali mereka menemukan sesuatu yang cukup berguna.
Ren memperhatikan bahwa gadis-gadis yang belum mengalami dehidrasi ringan hanya Mirai dan Laura. Theresia bisa dimaklumi karena dia habis menangis, namun Clarissa tidak menunjukkan tanda-tanda.
“Anastasia, sebaiknya kamu juga pergi ke laut untuk mencari makanan dan air untukku, cepatlah!”
“Tunggu, kamu tidak perlu melakukannya, kok. Biar aku dan Zein yang pergi ke sana, tidak perlu khawatir bahwa kami akan mengkorupsi. Aku berjanji akan memberikan makanan apapun yang bisa ditemukan secara merata.” Ren tersenyum selagi menghentikan Anastasia secara lembut, tetapi...
“Dasar orang udik tidak berguna. Jangan pernah coba-coba memerintah ataupun mengatur hidupku. Kalian semua hanyalah orang udik, aku tidak akan mau bekerja sama dengan orang-orang seperti kalian.”
Mendengar perkataannya membuat Zain dan yang lainnya naik pitam, tetapi Ren menahan mereka dan meminta melakukan pekerjaan mereka. Dia meyakini, pada akhirnya Clarissa akan bekerja sama.
“Mengapa kamu diam di sana? Cepatlah pergi!” bentak Clarissa kepada Anastasia
“Ba-baik, Nona.”
“Mari kita juga pergi, Zain. Tidak baik membuang waktu dan tenaga yang sangat berharga,” bujuk Ren.
Zain masih menatap tajam Clarissa yang bertingkah seperti diktator, namun dengan segera dia menyusul Ren.
“Ya, mari kita pergi.”
Hari pertama mereka terdampar sudah menemui masalah kecil. Ren berharap bahwa konflik kecil ini akan segera terselesaikan dan tidak menjadi semakin buruk.
Ren dan Zain berenang ke lautan, di mana banyak barang-barang dan sisa-sisa kapal mengapung terbawa arus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Wirda Lubis
lanjut
2023-07-02
0
Trisara Wati
clarisa...msh sombong aja bisa nafas sampai esok aja syukur eee berlagak jafi diktator di t4 yg salah
2023-03-24
0
weny
hedeh songong amat
2021-12-15
0