Masih Adakah Cinta
'Tak ada yang salah dari cinta
Kesalahannya adalah mencintai orang yang salah
Mereka yang melukis luka dan membuatmu mengasing dari hidup'
Sosoknya indah, bahkan diusianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Ia masih seperti perempuan muda. Energik dan bersemangat menjemput rezeki demi Ayu, putri semata wayang yang harus Ia nafkahi.
Pagi itu dengan sepeda motornya Safana mengantar putrinya ke sekolah, TK. Ananda dekat rumah mereka di Gumawang, Wiradesa.
Rumah dan sepeda motor hasil keringat setelah bertahun-tahun merintis usaha tudung lampu batik.
"Mbak Ayu, PR-nya jangan lupa dikasih Bu Guru. Bekalnya juga jangan lupa dihabiskan ya" Safana mencium kening putrinya sebelum menitipkan Ayu pada Wali kelasnya.
Ia kemudian kembali mengendarai motornya menuju International Batik Centre, tempat kiosnya berada.
Tak sampai satu jam perjalanan Ia sudah sampai ditempat yang dituju. Safana turun mendatangi kiosnya. Sudah ada pegawainya yang menunggu di lapaknya.
"Pagi Mei. Gimana penjualan kemaren ?" Safana mengeluarkan agenda untuk membukukan penjualan hari sebelumnya.
"Laku lima belas Mba. Yang tudung bentuk tas motif Jlamprang sama tudung bentuk topi motif Jawa Hokoka sudah habis Mba. Uang penjualannya sudah saya setor ke rekening Mba Safana" pegawainya yang bernama Mei menyampaikan.
"Makasih Mei. Nanti Saya cek ke ATM. Sekarang Saya tinggal dulu ya, Saya mau ambil kain ke Wira batik dulu terus ke Kemplong. Biar langsung dibuatkan tudungnya sama pengrajin."
"Iya Mba. Hati-hati dijalan."
Safana mengangguk dan beranjak pergi meninggalkan kiosnya.
Ia kembali ke rumah menyiapkan bebeberapa sketsa tudung lampu sebelum pergi mengambil kain.
Rumah yang Ia tempati sekarang Ia beli dua tahun lalu. Setelah menabung selama lima tahun terakhir. Rumah berukuran enam puluh meter yang hanya memiliki tiga ruang ; ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, kamar tidur dengan kamar mandi dalam dan dapur
Kelar menyiapkan sketsa Safana beranjak meninggalkan rumahnya. Pergi mengendarai sepeda motornya menuju galeri wira batik yang jaraknya sekitar enam ratus meter dari rumah.
Safana memarkir motornya di halaman galeri lalu masuk ke dalam. Disana seorang perempuan yang usianya terlihat lebih tua dari safana menyambut.
"Siang Mba Kenes" Safana menyapa perempuan itu yang merupakan pemilik galeri.
"Siang Saf, butuh kain opo ?" Kenes yang tengah menata kain batik yang baru diproduksi menanyakan maksud kedatangan safana. Sepertinya mereka sudah akrab
**opo : apa
"Jlamprang karo Jawa Hokoka Mbakyu" Safana menyebutkan kain yang dibutuhkannya.
**karo : sama
"Pirang kain arepe dek ?" Kenes mengambil tumpukan kain Jlamprang yang diminta Safana.
**pirang kain arepe : berapa kain maunya
"Biasa Mbak, sepuluh helai" Safana menghampiri Kenes dan menerima sepuluh lipatan kain yang disodorkan.
"Kok hari ini sendirian Mba ?" Safana celingukan.
"Mas Abdul lagi dibelakang, bantu pengrajin nyelesein pembuatan batik Mega Mendung yang stoknya sudah menipis" Kenes berjalan ke rak lainnya mengambilkan kain motif Jawa Hokoka yang diminta Safana.
"Ayu endi ?" Kenes menanyakan putri Safana.
**endi : mana
"Je sekolah. Bar iki jempute " Safana menjelaskan.
**masih disekolah. habis ini jemput
Kenes mengambilkan kantong plastik untuk Safana membawa kainnya.
"Nanti pembayarannya tak transfer wae ya Mba" Safana berujar.
**saya transfer saja
"Gampang iku. Wes mangkate ndise neng pengrajin kap lampumu. Ben ra telat jemput Ayu" Kenes mengantar Safana sampai ke teras depan.
**gampang itu. sudah sana berangkat dulu ke pengrajin kap lampumu. biar tidak telat
"Suwun Mba. Aku pamit ya" Safana berpamitan sebelum berlalu dengan sepeda motornya.Ia pergi ke Kemplon untuk menyerahkan kain pada perajin yang biasa bekerja sama dengannya.
**makasih mba
Begitulah rutinitasnya, rumah, sekolah putrinya, galeri Wira batik, pengrajin dan kios tempat usahanya di IBC. Kecuali akhir pekan, Ia akan membawa putrinya berjalan-jalan ke mall atau alun-alun kota.
Selesai semua tugasnya hari ini. Safana pergi menjemput Ayu. Ia memarkir sepeda motornya di halaman TK. Ayu dan murid-murid lain masih berdoa ketika Safana datang.
Safana menunggu di muka kelas bersama Ibu-Ibu lain yang juga akan menjemput anaknya. Ia tersenyum dan mengangguk sekilas ke arah mereka. Tak ikut berbincang atau sekedar menyapa. Safana terlalu takut untuk berinteraksi dengan sesama orang tua wali. Ia takut orang lain tahu bagaimana hidupnya. Seorang Ibu tunggal yang membesarkan putrinya seorang diri tanpa kejelasan siapa suaminya.
“Ibu” suara Ayu yang menghambur keluar bersama murid lain terdengar.
“Ayo pulang” Safana menggandeng putrinya meninggalkan sekolah.
Tiba dirumah Ia menggantikan baju anaknya dan menyiapkan makan siang untuk mereka santap berdua.
Nasi lauk capcay dan ikan mujair kesukaan putrinya. Ia membantunya memisahkan duri dengan daging sehingga Ayu tinggal menyantap.
"Ibu, kata Bu guru lusa hari Ayah. Semua murid harus datang bersama Ayahnya. Ayu datang sama siapa Bu ?" Ayu bertanya disela-sela makannya.
Membuat Safana terdiam. Ia tak pernah berpikir ketika memasukkan anaknya ke TK Nol besar, Ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Sebuah perayaan hari Ayah dan putrinya bertanya siapa yang akan datang menemani.
"Ibu, Ayu nggak punya Ayah ya ?" Ayu kembali bertanya dengan tatapan polosnya.
"Punya" Safana menjawab pelan.
"Tapi kenapa Ayu nggak pernah liat ?" Ayu yang sedari kecil tak pernah mengenal sosok Ayahnya mendadak ingin tahu.
"Ayah bekerja di luar kota" Safana tak ingin membohongi putrinya. Ia mengatakan hal yang sebenarnya.
"Apa Ibu tidak bisa menyuruh Ayah datang ?"
"Tidak" Safana mengatakan apa yang tak mungkin Ia lakukan. Ia tak akan menyuruh Ayah Ayu datang walaupun Ia tahu dimana pria itu tinggal.
Ia hanya akan menunjukkan pada putrinya alamat Ayahnya kelak ketika Ayu dewasa. Saat Ayu punya kematangan untuk menerima kenapa Ibunya memilih meninggalkan Ayahnya.
"Lalu Ayu datang sama siapa kalau Ayah nggak ada ?" Ayu nampak murung.
"Bagaimana kalau datang dengan Pakde Abdul ?" Safana menyebut nama suami kenes yang sudah seperti paman buat Ayu.
"Ayu mauuu" wajah murung Ayu berubah kegembiraan begitu mendengar usul Ibunya.
Ia langsung lupa dengan pertanyaannya tentang sosok ayah dan itu membuat Safana menarik nafas lega.
Safana pikir berkunjung ke rumah orang yang pernah menolongnya mungkin bisa membuat Ayu tak bertanya lagi siapa ayahnya. Disana ada kakek nenek angkatnya yang bisa menghibur dan menularkan kegembiraan bagi Ayu.
Jadi setelah Ayu tidur siang, sorenya Safana mengajak Ayu membeli bolu untuk dibawa ke rumah Pak Narto. Orang yang membuatnya memiliki kebahagiaan seperti sekarang.
"Mbah, Ayu datang" Ayu turun dari motor dan langsung berlari masuk rumah menenteng oleh-oleh yang dibawanya.
Bu Sri istri Narto keluar dari dapur mengandeng Ayu yang tadi menyusulnya.
"Baru saja Bapak ngomongin Ayu, eh tahu-tahu Ayu-nya datang" Bu Sri duduk disebelah Safana sambil memangku Ayu.
"Bapak memangnya balik dari Jakarta Bu ?" Safana meraih kantong plastik yang dipegang Ayu dan mengeluarkan kotak bolunya.
"Iya, katanya kangen sama Ayu. Biasa kalau anak-anak sudah gede-gede dan mencar- mencar yang dikangenin siapa lagi kalau nggak Ayu."
Safana tersenyum mendengar cerita Bu Sri, istri Pak Narto yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri.
"Sekarang Bapak kemana Bu ?" Safana mengambil sepotong bolu dan menyuapi Bu Sri seperti pada Ibunya sendiri.
"Tuku dolanan kanggo Ayu. Rencana bar tuku dolanan ngajak Ibu neng omahmu" baru saja diomongkan, Pak Narto muncul di muka pintu.
**beli mainan untuk ayu. rencana abis beli mainan ngajak ibu ke rumahmu
"Wah cah ayu teko rupane" Pak Narto langsung menggendong Ayu dan menunjukkan main masak-masakan yang baru dibelinya.
**anak cantik datang rupanya
"Mbah beli apa ?"
"Ini beli masak-masakan buat cucu mbah" Pak Narto mengajak Ayu main masak-masakan diteras.
Safana yang memperhatikan dari dalam dirambati sedih. Teringat orang tuanya sendiri yang belum tahu kalau Ia telah memiliki Ayu. Entah apa yang akan terjadi jika mereka tahu kalau Ia telah memiliki putri, akankah mereka merasakan kegembiraan yang sama seperti Pak Narto atau sebaliknya, membenci Ayu.
Safana menyelimuti putrinya yang telah tertidur pulas. Malam itu sepulang dari rumah Pak Narto, ayu tidur lebih cepat. Ia mungkin keletihan setelah bermain dirumah Kakek Nenek angkatnya.
Safana yang tadi membacakan dongeng untuk putrinya beranjak ke meja kerja yang berada diseberang tempat tidur. Bersiap membuat sketsa tudung lampu, namun belum ia lakukan. Tatapannya masih belum beralih dari ayu. Ayu putrinya tampak tertidur dalam damai. Kedamaian yang mungkin tak akan bisa Ia berikan kalau Ia tak meninggalkan pria itu. Pria yang menaruh bara dalam hatinya dan hingga kini masih membayangi.
Itu kenapa hingga sekarang Safana memilih sendiri. Mengabaikan perhatian satu dua pelanggan yang menunjukkan ketertarikan padanya. Hatinya tak lagi ingin menjalin hubungan dengan pria. Hanya Ayu yang menjadi pusat dunianya sekarang. Ayu, buah cintanya dengan pria yang telah menggoreskan luka dilubuk hatinya terdalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Rini Handika
awal mula baca karya kak Ratna dari aplikasi sebelah,iseng2 ketik nama kak @Ratna DKS d sini muncullah novel ini.
seperti biasa karya kak Ratna selalu menarik untuk d baca❤❤❤
2021-03-29
0
Tina Nine
saya di sini kak mulai bac
2020-11-25
0
Fitria Berkisah
uuuy... uyyy. ketemu lagi... mampir di SELEBGRAM istri settingan yaaa
2020-10-06
1