'Tak ada yang salah dari cinta
Kesalahannya adalah mencintai orang yang salah
Mereka yang melukis luka dan membuatmu mengasing dari hidup'
Sosoknya indah, bahkan diusianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Ia masih seperti perempuan muda. Energik dan bersemangat menjemput rezeki demi Ayu, putri semata wayang yang harus Ia nafkahi.
Pagi itu dengan sepeda motornya Safana mengantar putrinya ke sekolah, TK. Ananda dekat rumah mereka di Gumawang, Wiradesa.
Rumah dan sepeda motor hasil keringat setelah bertahun-tahun merintis usaha tudung lampu batik.
"Mbak Ayu, PR-nya jangan lupa dikasih Bu Guru. Bekalnya juga jangan lupa dihabiskan ya" Safana mencium kening putrinya sebelum menitipkan Ayu pada Wali kelasnya.
Ia kemudian kembali mengendarai motornya menuju International Batik Centre, tempat kiosnya berada.
Tak sampai satu jam perjalanan Ia sudah sampai ditempat yang dituju. Safana turun mendatangi kiosnya. Sudah ada pegawainya yang menunggu di lapaknya.
"Pagi Mei. Gimana penjualan kemaren ?" Safana mengeluarkan agenda untuk membukukan penjualan hari sebelumnya.
"Laku lima belas Mba. Yang tudung bentuk tas motif Jlamprang sama tudung bentuk topi motif Jawa Hokoka sudah habis Mba. Uang penjualannya sudah saya setor ke rekening Mba Safana" pegawainya yang bernama Mei menyampaikan.
"Makasih Mei. Nanti Saya cek ke ATM. Sekarang Saya tinggal dulu ya, Saya mau ambil kain ke Wira batik dulu terus ke Kemplong. Biar langsung dibuatkan tudungnya sama pengrajin."
"Iya Mba. Hati-hati dijalan."
Safana mengangguk dan beranjak pergi meninggalkan kiosnya.
Ia kembali ke rumah menyiapkan bebeberapa sketsa tudung lampu sebelum pergi mengambil kain.
Rumah yang Ia tempati sekarang Ia beli dua tahun lalu. Setelah menabung selama lima tahun terakhir. Rumah berukuran enam puluh meter yang hanya memiliki tiga ruang ; ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, kamar tidur dengan kamar mandi dalam dan dapur
Kelar menyiapkan sketsa Safana beranjak meninggalkan rumahnya. Pergi mengendarai sepeda motornya menuju galeri wira batik yang jaraknya sekitar enam ratus meter dari rumah.
Safana memarkir motornya di halaman galeri lalu masuk ke dalam. Disana seorang perempuan yang usianya terlihat lebih tua dari safana menyambut.
"Siang Mba Kenes" Safana menyapa perempuan itu yang merupakan pemilik galeri.
"Siang Saf, butuh kain opo ?" Kenes yang tengah menata kain batik yang baru diproduksi menanyakan maksud kedatangan safana. Sepertinya mereka sudah akrab
**opo : apa
"Jlamprang karo Jawa Hokoka Mbakyu" Safana menyebutkan kain yang dibutuhkannya.
**karo : sama
"Pirang kain arepe dek ?" Kenes mengambil tumpukan kain Jlamprang yang diminta Safana.
**pirang kain arepe : berapa kain maunya
"Biasa Mbak, sepuluh helai" Safana menghampiri Kenes dan menerima sepuluh lipatan kain yang disodorkan.
"Kok hari ini sendirian Mba ?" Safana celingukan.
"Mas Abdul lagi dibelakang, bantu pengrajin nyelesein pembuatan batik Mega Mendung yang stoknya sudah menipis" Kenes berjalan ke rak lainnya mengambilkan kain motif Jawa Hokoka yang diminta Safana.
"Ayu endi ?" Kenes menanyakan putri Safana.
**endi : mana
"Je sekolah. Bar iki jempute " Safana menjelaskan.
**masih disekolah. habis ini jemput
Kenes mengambilkan kantong plastik untuk Safana membawa kainnya.
"Nanti pembayarannya tak transfer wae ya Mba" Safana berujar.
**saya transfer saja
"Gampang iku. Wes mangkate ndise neng pengrajin kap lampumu. Ben ra telat jemput Ayu" Kenes mengantar Safana sampai ke teras depan.
**gampang itu. sudah sana berangkat dulu ke pengrajin kap lampumu. biar tidak telat
"Suwun Mba. Aku pamit ya" Safana berpamitan sebelum berlalu dengan sepeda motornya.Ia pergi ke Kemplon untuk menyerahkan kain pada perajin yang biasa bekerja sama dengannya.
**makasih mba
Begitulah rutinitasnya, rumah, sekolah putrinya, galeri Wira batik, pengrajin dan kios tempat usahanya di IBC. Kecuali akhir pekan, Ia akan membawa putrinya berjalan-jalan ke mall atau alun-alun kota.
Selesai semua tugasnya hari ini. Safana pergi menjemput Ayu. Ia memarkir sepeda motornya di halaman TK. Ayu dan murid-murid lain masih berdoa ketika Safana datang.
Safana menunggu di muka kelas bersama Ibu-Ibu lain yang juga akan menjemput anaknya. Ia tersenyum dan mengangguk sekilas ke arah mereka. Tak ikut berbincang atau sekedar menyapa. Safana terlalu takut untuk berinteraksi dengan sesama orang tua wali. Ia takut orang lain tahu bagaimana hidupnya. Seorang Ibu tunggal yang membesarkan putrinya seorang diri tanpa kejelasan siapa suaminya.
“Ibu” suara Ayu yang menghambur keluar bersama murid lain terdengar.
“Ayo pulang” Safana menggandeng putrinya meninggalkan sekolah.
Tiba dirumah Ia menggantikan baju anaknya dan menyiapkan makan siang untuk mereka santap berdua.
Nasi lauk capcay dan ikan mujair kesukaan putrinya. Ia membantunya memisahkan duri dengan daging sehingga Ayu tinggal menyantap.
"Ibu, kata Bu guru lusa hari Ayah. Semua murid harus datang bersama Ayahnya. Ayu datang sama siapa Bu ?" Ayu bertanya disela-sela makannya.
Membuat Safana terdiam. Ia tak pernah berpikir ketika memasukkan anaknya ke TK Nol besar, Ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Sebuah perayaan hari Ayah dan putrinya bertanya siapa yang akan datang menemani.
"Ibu, Ayu nggak punya Ayah ya ?" Ayu kembali bertanya dengan tatapan polosnya.
"Punya" Safana menjawab pelan.
"Tapi kenapa Ayu nggak pernah liat ?" Ayu yang sedari kecil tak pernah mengenal sosok Ayahnya mendadak ingin tahu.
"Ayah bekerja di luar kota" Safana tak ingin membohongi putrinya. Ia mengatakan hal yang sebenarnya.
"Apa Ibu tidak bisa menyuruh Ayah datang ?"
"Tidak" Safana mengatakan apa yang tak mungkin Ia lakukan. Ia tak akan menyuruh Ayah Ayu datang walaupun Ia tahu dimana pria itu tinggal.
Ia hanya akan menunjukkan pada putrinya alamat Ayahnya kelak ketika Ayu dewasa. Saat Ayu punya kematangan untuk menerima kenapa Ibunya memilih meninggalkan Ayahnya.
"Lalu Ayu datang sama siapa kalau Ayah nggak ada ?" Ayu nampak murung.
"Bagaimana kalau datang dengan Pakde Abdul ?" Safana menyebut nama suami kenes yang sudah seperti paman buat Ayu.
"Ayu mauuu" wajah murung Ayu berubah kegembiraan begitu mendengar usul Ibunya.
Ia langsung lupa dengan pertanyaannya tentang sosok ayah dan itu membuat Safana menarik nafas lega.
Safana pikir berkunjung ke rumah orang yang pernah menolongnya mungkin bisa membuat Ayu tak bertanya lagi siapa ayahnya. Disana ada kakek nenek angkatnya yang bisa menghibur dan menularkan kegembiraan bagi Ayu.
Jadi setelah Ayu tidur siang, sorenya Safana mengajak Ayu membeli bolu untuk dibawa ke rumah Pak Narto. Orang yang membuatnya memiliki kebahagiaan seperti sekarang.
"Mbah, Ayu datang" Ayu turun dari motor dan langsung berlari masuk rumah menenteng oleh-oleh yang dibawanya.
Bu Sri istri Narto keluar dari dapur mengandeng Ayu yang tadi menyusulnya.
"Baru saja Bapak ngomongin Ayu, eh tahu-tahu Ayu-nya datang" Bu Sri duduk disebelah Safana sambil memangku Ayu.
"Bapak memangnya balik dari Jakarta Bu ?" Safana meraih kantong plastik yang dipegang Ayu dan mengeluarkan kotak bolunya.
"Iya, katanya kangen sama Ayu. Biasa kalau anak-anak sudah gede-gede dan mencar- mencar yang dikangenin siapa lagi kalau nggak Ayu."
Safana tersenyum mendengar cerita Bu Sri, istri Pak Narto yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri.
"Sekarang Bapak kemana Bu ?" Safana mengambil sepotong bolu dan menyuapi Bu Sri seperti pada Ibunya sendiri.
"Tuku dolanan kanggo Ayu. Rencana bar tuku dolanan ngajak Ibu neng omahmu" baru saja diomongkan, Pak Narto muncul di muka pintu.
**beli mainan untuk ayu. rencana abis beli mainan ngajak ibu ke rumahmu
"Wah cah ayu teko rupane" Pak Narto langsung menggendong Ayu dan menunjukkan main masak-masakan yang baru dibelinya.
**anak cantik datang rupanya
"Mbah beli apa ?"
"Ini beli masak-masakan buat cucu mbah" Pak Narto mengajak Ayu main masak-masakan diteras.
Safana yang memperhatikan dari dalam dirambati sedih. Teringat orang tuanya sendiri yang belum tahu kalau Ia telah memiliki Ayu. Entah apa yang akan terjadi jika mereka tahu kalau Ia telah memiliki putri, akankah mereka merasakan kegembiraan yang sama seperti Pak Narto atau sebaliknya, membenci Ayu.
Safana menyelimuti putrinya yang telah tertidur pulas. Malam itu sepulang dari rumah Pak Narto, ayu tidur lebih cepat. Ia mungkin keletihan setelah bermain dirumah Kakek Nenek angkatnya.
Safana yang tadi membacakan dongeng untuk putrinya beranjak ke meja kerja yang berada diseberang tempat tidur. Bersiap membuat sketsa tudung lampu, namun belum ia lakukan. Tatapannya masih belum beralih dari ayu. Ayu putrinya tampak tertidur dalam damai. Kedamaian yang mungkin tak akan bisa Ia berikan kalau Ia tak meninggalkan pria itu. Pria yang menaruh bara dalam hatinya dan hingga kini masih membayangi.
Itu kenapa hingga sekarang Safana memilih sendiri. Mengabaikan perhatian satu dua pelanggan yang menunjukkan ketertarikan padanya. Hatinya tak lagi ingin menjalin hubungan dengan pria. Hanya Ayu yang menjadi pusat dunianya sekarang. Ayu, buah cintanya dengan pria yang telah menggoreskan luka dilubuk hatinya terdalam.
Pulang menjemput Ayu, Safana pergi mengambil beberapa kain di galeri Kenes. Abdul langsung mengendong Ayu setibanya mereka di gerai.
"Ayo melu Pakde ndelo wong nyanting" Abdul mengajak Ayu melihat pekerja membatik di workshop belakang galery.
***ayo ikut pakde lihat pekerja mencanting
Abdul dan Kenes yang sudah menikah belasan tahun dan belum dikaruniai anak tersebut memang menyayangi Ayu dan sudah menganggap Ayu anak sendiri.
"Mbak Kenes, Aku nyilih Mas Abdul yo sesok."
**aku minjem mas abdul besok
"Nggo opo tho dek ?"
**buat apa
"Sesok nde sekolah Ayu hari Ayah. Aku pinjem mas abdul kanggo nemeni ayu ya. Oleh mbakyu ?"
**besok disekokal ayu hari ayah. aku pinjem mas abduk untuk nemeni ayu ya. boleh mbak ?
"Yo oleh lah. Masmu pasti seneng" Kenes yang sudah menganggap Safana seperti adiknya mengangguk setuju.
**iya boleh
“Alhamdulillah, ayu iso teko karo pakde’ne” safana bersyukur selama tinggal di pekalongan ia menemukan orang –orang baik yang sudah seperti keluarga baru baginya. Entah jika ia masih di Jakarta, mungkin ia akan memilih bunuh diri daripada harus menanggung luka hati.
**alhamdulillah, ayu bisa dateng sama pakdenya
Hari sabtu itu tiba, ayu pergi dengan abdul. Safana yang menunggu dirumah tak sabar mendengar ceritanya. Ia sedikit gelisah, khawatir wali kelas ayu bertanya kenapa putrinya datang bersama orang lain.
Menit, jam, waktu berlalu. Deru mobil terdengar berhenti depan rumah.
Safana yang mendengar segera keluar dan menyambut putrinya yang baru turun dari mobil.
“Terima kasih Mas” Safana berucap pada Abdul dari jendela kaca mobil yang terbuka.
“Sama-sama. Senang bisa menemani Ayu hari ini. Jadi terhibur “ Abdul membalas.
“Mas permisi dulu ya Saf.”
“Iya Mas. Sampaikan sama Mba Kenes terima kasih dariku.“
Abdul mengangguk sebelum mengemudikan mobilnya pergi.
Safana mengandeng tangan Ayu masuk ke dalam rumah.
“Bagaimana hari Ayah tadi ?” safana tak sabar mendengar cerita putrinya.
“Senang. Ayu dan Pakde menang lomba makan krupuk sama balap karung. Ini medali kemenangannya” Ayu memamerkan medali yang dikalungkannya.
“Wah sayang Ibu tadi tidak datang. Kalau tidak, pasti Ibu bisa foto-foto Ayu tadi” safana lega, yang dikhawatirkannya tak terjadi
“Nggak pa pa kok Bu. Pakde tadi sudah bawa kamera, Bu guru yang fotoin. Pakde bilang kalau fotonya sudah dicetak akan diberikan pada Ayu” Ayu tersenyum lebar. Ia tampak bahagia hari itu, membuat Safana jadi merasa haru. Walaupun tanpa suami yang menemani, ternyata Ia mampu membesarkan putri mereka dengan baik.
ia jadi terpikir untuk membuatkan penganan untuk kenes dan abdul yang sudah membantunya. Jadi siang tadi ketika ayu tidur, ia putuskan untuk membuat pindang tetel yang akan diantar ke mereka.
sore ketika ia datang abdul tengah menerima telphone, sementara kenes sedang melayani pembeli.
“Hallo, Wira batik disini” Abdul menyapa penelphone
“Iya Saya sendiri” abdul menjelaskan. sepertinya si penelphone menanyakannya.
“ Bisa, bisa” abdul menjawab cepat
ayu menghampiri dan memperhatikan abdul yang menjawab telphone
“Dimana alamatnya, biar Saya catat” Abdul memberi isyarat pada ayu untuk mengambilkan pena dan kertas.
Ayu mengambilkan dan memberikan pada abdul
“saya akan datang besok. Terima kasih sudah menghubungi saya. selamat sore” abdul meletakkan kembali gagang telphone ke meja.
“pakde fotonya udah dicetak ?” begitu abdul selesai menelphone ayu bertanya
“belum. Nanti ya pakde cetakin pas pulang dari jakarta”
Kenes telah selesai melayani pembeli dan melihat rantang yang diletakkan safan ke meja
“opo tho iku saf ?” kenes menghampiri safana
**apa itu saf
“pindang kikil. Nggo mangan malem”
**buat makan malam
“walah repot-repot”
“nggak repot. Sekalian masak nggo di omah”
**sekalian masak buat dirumah
“suwun ya”
**terima kasih ya
“aku yang suwun dipinjemin mas abdul”
**aku yang terima kasih
“bude, ibu. pakde mau ke jakarta “ ayu menyampaikan pada mereka
“ayu arep melu ?” kenes menggoda
**ayu mau ikut ?
Safana memaksa tersenyum. Senyum yang sebenarnya untuk menutupi getir mengingat kehidupannya di jakarta enama tahun lalu.
“ndak. Ayu maunya oleh-oleh”
**tidak
“nanti pakde bawain. Yang penting ayu sekolah yang pinter”
“nggih pakde”
**iya pakde
Safana dan kenes tersenyum mendengar jawaban ayu yang patuh.
Ayu memang gadis kecilnya yang baik hati. Ia cerdas dan penurut. Tak banyak menuntut pada ibunya. Sejak kecil ia seperti bisa memahami bagaimana kondisi ibunya. Orang tua tunggal yang harus pintar membagi waktu antara mengurus anak dan mencari nafkah.
Ayu hanya akan bertanya jika ada yang tengah dirindukannya. Seperti pakde abdulnya yang sudah dua hari ini tak dijumpainya.
“ibu, pakde sudah pulang belum ya ?” pulang sekolah ayu langsung menanyakan pada ibunya
“ibu ngga tau. Ibu kan belum ambil-ambil kain lagi” safana memakaikan helm putrinya
“ibu mau kesana hari ini ?”
“kebetulan ada kain yang mau ibu ambil”
“ayo bu kita kesana” ayu bersemangat
“pegangan ya. Jangan tidur dijalan” safana mengaitkan tangan ayu ke pinggangnya
“iya bu. Tapi ibu ngebut ya”
“nggak mau. Nanti ibu ditangkep polisi”
Ayu tertawa mendengar jawaban ibunya. Ia menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya ketika safana mulai mengemudikan sepeda motornya.
Tiba di gallery wira batik suasana sepi, belum ada pembeli. Hanya ada kenes yang tengah menata kain.
“bude, pakde mana ?” begitu masuk ayu langsung menghambur tanya
“di bengkel. Sana kebelakang nyusul” kenes memberitahu.
Gallery mereka memang tersambung langsung dengan bengkel workshop tempat produksi batik.
“mba, njalo kain”
**minta kain
“motif sing ?”
***motif apa
“jambi karo kawung, 5 lembar 5 lembar” safana menyebutkan motif kain yang dibutuhkannya
Kenes berjalan ke arah rak kain yang diminta
“Mas abdul wes balik ?” safana mengikuti kenes
**sudah balik ?
“ndeingi tibo, saiki jek nemeni tamune seng teko Jakarta” kenes mengambilkan helai kain jambi dan menyerahkannya pada safana
**kemarin tiba, sekarang masih nemenin tamu dari jakarta
“oh” safana menggumam dan memperhatikan kenes yang kini menarik lembar kawung dan kembali menyodorkan padanya
"Saf, kainnya wes pas kan ?"
**kainnya sudah pas kan ?
Safana menghitung sebentar
"Sudah Mba. Nanti ta transfer ya uangnya" Safana memasukkan kainnya ke kantong plastik. Keduanya tak menyadari kehadiran Abdul dan tamunya di galery.
**saya transfer
Tamunya seorang pria. Pria yang sepertinya mengenal safana. Ia memperhatikan punggung safana dan menunggunya berbalik.
"Nes, tamunya sudah mau pulang nih" Abdul memberitahu istrinya.
"Kok buru-buru ?. Nggak makan siang dulu disini ?" sambil membalikkan badan Kenes berujar.
Safana yang sudah selesai berbelanja kain ikut membalikkan badan. Ia terpaku saat menyadari siapa yang berdiri disamping Abdul.
Itu pria yang dulu pernah menorehkan luka dihatinya. Pria itu tak tampak lebih baik dari yang dulu. Diusianya yang sudah hampir kepala empat, Ia tak lagi terlihat gagah. Wajahnya terlihat lebih tirus dan tak terawat. Matanya memancarkan keletihan yang dalam. Rambutnya sedikit berantakan dan pakaiannya sekedarnya. Jauh dari gayanya yang metroseksual. Apa yang terjadi dengannya ?, bukankah sepeninggal dirinya mestinya pria ini bahagia bersama heidy ?.
'Jangan terhanyut
Jangan mudah terjatuh oleh pesonanya
Karena ketika kau jatuh dan hanyut akan sulit mengendalikan arusnya'
Tujuh tahun silam ketika safana baru lulus dari ISI, orang tuanya menyarankan agar safana mempelajari batik print. Teknologi pembatikkan modern yang tak lagi menggunakan canting atau cap.
Safana yang dasarnya senang belajar setuju saja dengan tawaran tersebut dan bersedia dititip di perusahaan teman ayahnya yang sudah malang melintang berbisnis batik print.
Waktu itu ia hanya berpikir dititip magang di perusahaan. Tidak lebih dari itu. bayangan safana ia akan kembali indekos seperti saat kuliah dan menjalani semuanya sendiri. itu yang terbersit dalam benaknya sebelum ia bertemu langsung dengan keluarga teman ayahnya.
Di akhir pekan yang lenggang, tanpa kemacetan yang biasa terjadi di Jakarta mereka tiba di kediaman teman ayahnya. Rumah berarsitektur mediterania dengan interior bernuasa eropa yang menyegarkan mata.
Pak Awi -nama teman ayahnya- dan istrinya, menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Seperti sahabat yang memang sudah lama tak bersua. Mereka mengajak orang tuanya berbincang santai di ruang keluarga.
“ini adiknya ardi apa masih kuliah ?” bu awi bertanya pada safana yang lebih banyak diam menyimak
“saya baru lulus dari seni rupa ISI” safana menjelaskan
“Tidak ingin Kau libatkan langsung diperusahaan batik milikmu ?“ pak awi ganti melempar tanya pada ayah safana
“Sengaja tidak dipersiapkan untuk kesana karena sudah ada Kakaknya. Inipun Saya ingin titipkan ke Pak Awi hanya untuk belajar saja. Mengisi waktu luang sembari menunggu jodohnya datang“ ayahnya memberitahu maksud kedatangan mereka.
Namun tak sepenuhnya benar menurut safana. Terutama pada kalimat ‘mengisi waktu luang sembari menunggu jodohnya datang’ itu membuatnya mendelik kaget.
Seketika wajahnya bersemu merah dan tangannya reflek mencubit lengan ayahnya “Ayah“
“Ayahmu hanya becanda Safana“ ibunya melerai.
Membuat safana tersadar kalau mereka sedang bertamu dan sepasang suami istri pemilik rumah tersenyum memperhatikan kekikukkannya.
“maaf tante “ safana tertunduk malu
“tidak pa pa. Sepertinya Kau akan cocok dengan Prapta“ Bu Awi beranjak dari sofa ruang tamu sebelum safana sempat bertanya.
Safana yang tak mengerti dengan maksud ucapan Bu Awi menoleh pada orang tuanya dengan tatapan bingung “prapta itu siapa ?”
“Dia putra om, teman main kakakmu Ardi saat Mereka berdua masih kanak-kanak“ sebelum orang tuanya menjawab, pak awi langsung menjelaskan.
“oh” safana menggumam dan tak sengaja melempar pandang pada sosok yang baru saja muncul bersama bu awi.
Sosok pria yang tampak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi menjulang dengan busana casual yang dikenakan, pria itu lebih tepat jika menjadi model peragaan busana.
“om, tante apa kabar ?” pria itu menghampiri orang tuanya dan menyalami bergantian
“baik. gimana kabarmu sekarang ? sudah anak berapa ?” ayahnya bertanya
“waduh, masih sibuk dikantor om. Belum berpikir menikah” pria itu menoleh pada safana
“ini pasti adiknya ardi. Kenalkan saya prapta” prapta mengulurkan tangan
“safana” Safana menyebutkan namanya.
“Bagaimana kabar Ardi sekarang pak ?” Prapta duduk bergabung bersama Mereka.
“Sudah sibuk di kantor, jadi tak sempat ikut kemari. Dia hanya titip salam padamu.” ayah safana menyahut
Prapta manggut\-manggut mendengarnya “Seingat saya dulu sepertinya Ardi sama\-sama anak tunggal seperti Saya.“
“Memang telat dapet Safana. Usia Ardi dua belas tahun saat Safana lahir“ Bu Sunar bercerita.
“Masih muda ya berarti” Prapta melihat ke safana.
Safana terangguk mengiyakan.
“Masih dua puluh satu tahun“ ibunya menyebutkan usia safana.
“Pak Sunar kemari mau menitipkan Safana untuk belajar batik printing diperusahaan. Dia baru lulus dari ISI jurusan seni rupa“ Pak Awi menjelaskan pada putranya mengenai maksud kedatangan tamunya.
“Oh, boleh. Kapan mau mulai belajar ?” prapta melempar pandang pada safana
“Inginnya secepatnya, tapi masih mencari kost\-kostan dulu untuk tinggal“ Safana mengungkapkan
“Tinggal disini saja. Kamar disini masih banyak yang kosong. Lagian Tante juga kesepian dirumah. Kan kalau ada Safana disini Tante jadi bisa ngerasain punya anak perempuan” Bu Awi menawarkan.
Safana tak yakin untuk mengiyakan, ia merasa tak nyaman untuk tinggal di rumah keluarga teman ayahnya yang baru dikenal.
“Disini saja, Ardi pasti setuju kalau adiknya tinggal disini. Lebih aman tinggal dirumah daripada indekost di Jakarta” Prapta menimpali.
Safana yang tak tahu bagaimana menolaknya, menoleh pada ayah ibunya agar mereka mewakili bicara.
“Benar kata Prapta, kalau Kau disini berangkat dan pulang kerja Kau bisa bersama Prapta. Tidak perlu memikirkan pulang pergi naik apa“ begitupun Pak Awi yang mendukung saran istrinya.
Orang tua safana yang tak enak menolak balas menatap putrinya, mengisyaratkan untuk bicara sendiri.
“Tapi apa nanti tidak merepotkan ?” Safana mencoba mencari kalimat yang tepat
“Nggak kok, malah senang. Ada Safana disini rumah pasti jadi ramai” tapi jawaban bu awi malah membuatnya tak bisa berkata\-kata.
Safana dengan terpaksa mengiyakan tawaran keluarga Pak Awi.
Setelah seharian dijamu di rumah Pak Awi, orang tuanya pulang ke Madura. Meninggalkan Safana yang dititipkan disana untuk belajar batik printing diperusahaan keluarga Pak Awi yang dikelola Prapta putra tunggalnya.
Safana menempati kamar tamu yang berada sejajar dengan kamar Prapta dan orang tuanya. Ia tak langsung tidur, malam itu dikamarnya Ia sibuk mengeluarkan baju dari kopernya dan menatanya dilemari. Memilah baju yang akan dikenakan esok pagi lalu menyetrikanya dan menggantungnya di belakang pintu.
Hari masih gelap ketika Safana terjaga. Ia merapikan tempat tidurnya dan langsung mandi, selesai mandi dan mengenakan pakaian Ia ke dapur, menghampiri pembantu dirumah Pak Awi yang tengah mencuci piring.
“Pagi mbak“ Safana menyapa dengan ramah.
“Eh pagi, pagi, pagi“ pembantu Pak Awi tergagap kaget ketika mendengar teguran dibelakangnya.
“Non, kok sudah bangun“ pembantu Pak Awi terkejut mengetahui siapa yang muncul di dapur
“Panggil Safana aja mbak. Nama mbak siapa ?” Safana mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
Pembantu Pak Awi yang tampak lebih tua dari Safana ragu membalas karena tangannya masih kotor oleh sabun cucian piring.
“Sumi“ pembantu Pak Awi yang merasa tak enak akhirnya mengelap tangannya ke baju dan membalas uluran tangan Safana.
“Mbak Sumi sudah buat sarapan ?” Safana menanyakan.
“Belum. Safana lapar ya ?” pembantu yang bernama Sumi itu balik bertanya.
“Nggak. Cuma mau bantuin Mbak Sumi aja kalau memang belum buat sarapan“ Safana yang dulunya anak kost langsung menyapu pandang ke sepenjuru dapur menandai letak\-letak barang seperti rice box, rice cooker, kulkas dan peralatan lainnya.
“Mbak, lanjutin aja cuci piringnya. Biar Saya bantu siapkan sarapan“ Safana beranjak ke rice cooker, mengambil tempat menanak nasi didalamnya lalu mengisinya dengan beras dari ricebox.
“Lho, jangan Safana. Safana kan tamu disini, masa ikutan di dapur“ Sumi menghampirinya dan hendak mengambil alih apa yang dikerjakan Safana.
“Alah mbak sumi ini, Aku udah biasa kok. Waktu kuliah dan tinggal ditempat kost juga biasa buat sarapan sendiri“ Safana menurunkan tangan Sumi dan mulai mencuci beras dengan telaten.
Sumi yang melihat bagaimana terampilnya tangan Safana di dapur memandang dengan kagum, tak lagi melarang gadis itu membantunya. Ia sendiri kembali sibuk meneruskan cuci piringnya.
Selesai mencuci beras dan memasukkan penanak nasi ke rice cooker Safana mengambil beberapa telur dari kulkas, memecahkannya dan memindahkan isinya ke mangkuk, mencampurkan daun seledri dan parutan keju ke dalam adukan telur lalu menggorengnya dengan mentega.
Tuntas menggoreng telur Ia kembali ke kulkas, mengambil roti tawar dan selai lalu memanggangnya dan menyajikannya di piring. Selesai lagi Ia mengambil teko keramik, memasukkan tea celup dan gula pasir kemudian menyeduhnya.
“Sekarang tinggal Mbak Sumi sajikan ke meja, Saya ke kamar dulu“ Safana mencuci tangannya.
“Safana makasih ya udah bantuin“ sumi berujar.
“Sama\-sama Mbak. Terima kasih juga sudah menerima Saya disini“ Safana meninggalkan dapur, Sumi memandangi punggungnya dengan terkesan.
Pak Awi dan istri serta Prapta dibuat terheran –heran dengan menu yang disajikan pagi itu di meja makan. Menu yang tak biasa, biasanya Sumi pembantu Mereka hanya memasak nasi, nugget dan telur ceplok untuk sarapan pagi. Lalu menghidangkan roti tawar dan selai jika pagi itu ada yang tak berselera makan. Tapi pagi itu yang dihidangkan telur dadar dengan bintik hijau dari potongan daun seledri dan roti panggang.
“Sum, tumben Kamu buat sarapan beda“ sambil mengisi piringnya dengan nasi dan selembar telur dadar Prapta berkomentar.
“Ng, bukan Saya“ Sumi nyengir.
Prapta yang baru melahap potongan telur dan nasinya menoleh, begitupun Pak Awi dan istri.
“Enak, seperti ada kejunya. Lalu siapa yang buat ?” Bu Awi ingin tahu.
“Non Safana Bu, Dia yang buatkan sarapan pagi ini“ Sumi menjelaskan.
Mata Pak Awi, istri dan Prapta menoleh pada Safana yang duduk di antara Mereka.
Pak Awi iseng mencomot roti panggang yang ada dimeja untuk mencicipinya. Ia berdecak kagum dengan sarapan yang dibuat Safana.
“jarang anak orang kaya yang mau ke dapur“ Pak Awi memuji.
“Safana, lain kali Kamu tidak usah repot\-repot bantuin di dapur. Nanti tangannya kasar lho“ Bu Awi melarang.
“Sudah biasa Tante. Waktu kuliah kan juga nyiapin makannya sendiri, “
“Tapi disini kan ada sumi” bu awi mengingatkan
“Iya sih. Tapi kalo nggak ke dapur suka kangen, di dapur itu banyak bumbu masakan yang mengingatkan saya sama Ibu” saat bercerita mata Safana berbinar mengingatnya.
Prapta yang mendengarkan cerita Safana sembari sarapan tak sengaja menoleh dan melihat binar indah itu. Ia sempat tertegun sejenak, terpesona dengan dua bola mata gadis itu yang nampak begitu polos dan lugu namun menunjukkan kemandiriannya. Ia terlihat berbeda dari kebanyakan perempuan yang Prapta kenal.
Melihatnya yang manis membuat Prapta jadi tak segan menawari Safana tumpangan untuk ke kantor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!