'Jangan terhanyut
Jangan mudah terjatuh oleh pesonanya
Karena ketika kau jatuh dan hanyut akan sulit mengendalikan arusnya'
Tujuh tahun silam ketika safana baru lulus dari ISI, orang tuanya menyarankan agar safana mempelajari batik print. Teknologi pembatikkan modern yang tak lagi menggunakan canting atau cap.
Safana yang dasarnya senang belajar setuju saja dengan tawaran tersebut dan bersedia dititip di perusahaan teman ayahnya yang sudah malang melintang berbisnis batik print.
Waktu itu ia hanya berpikir dititip magang di perusahaan. Tidak lebih dari itu. bayangan safana ia akan kembali indekos seperti saat kuliah dan menjalani semuanya sendiri. itu yang terbersit dalam benaknya sebelum ia bertemu langsung dengan keluarga teman ayahnya.
Di akhir pekan yang lenggang, tanpa kemacetan yang biasa terjadi di Jakarta mereka tiba di kediaman teman ayahnya. Rumah berarsitektur mediterania dengan interior bernuasa eropa yang menyegarkan mata.
Pak Awi -nama teman ayahnya- dan istrinya, menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Seperti sahabat yang memang sudah lama tak bersua. Mereka mengajak orang tuanya berbincang santai di ruang keluarga.
“ini adiknya ardi apa masih kuliah ?” bu awi bertanya pada safana yang lebih banyak diam menyimak
“saya baru lulus dari seni rupa ISI” safana menjelaskan
“Tidak ingin Kau libatkan langsung diperusahaan batik milikmu ?“ pak awi ganti melempar tanya pada ayah safana
“Sengaja tidak dipersiapkan untuk kesana karena sudah ada Kakaknya. Inipun Saya ingin titipkan ke Pak Awi hanya untuk belajar saja. Mengisi waktu luang sembari menunggu jodohnya datang“ ayahnya memberitahu maksud kedatangan mereka.
Namun tak sepenuhnya benar menurut safana. Terutama pada kalimat ‘mengisi waktu luang sembari menunggu jodohnya datang’ itu membuatnya mendelik kaget.
Seketika wajahnya bersemu merah dan tangannya reflek mencubit lengan ayahnya “Ayah“
“Ayahmu hanya becanda Safana“ ibunya melerai.
Membuat safana tersadar kalau mereka sedang bertamu dan sepasang suami istri pemilik rumah tersenyum memperhatikan kekikukkannya.
“maaf tante “ safana tertunduk malu
“tidak pa pa. Sepertinya Kau akan cocok dengan Prapta“ Bu Awi beranjak dari sofa ruang tamu sebelum safana sempat bertanya.
Safana yang tak mengerti dengan maksud ucapan Bu Awi menoleh pada orang tuanya dengan tatapan bingung “prapta itu siapa ?”
“Dia putra om, teman main kakakmu Ardi saat Mereka berdua masih kanak-kanak“ sebelum orang tuanya menjawab, pak awi langsung menjelaskan.
“oh” safana menggumam dan tak sengaja melempar pandang pada sosok yang baru saja muncul bersama bu awi.
Sosok pria yang tampak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi menjulang dengan busana casual yang dikenakan, pria itu lebih tepat jika menjadi model peragaan busana.
“om, tante apa kabar ?” pria itu menghampiri orang tuanya dan menyalami bergantian
“baik. gimana kabarmu sekarang ? sudah anak berapa ?” ayahnya bertanya
“waduh, masih sibuk dikantor om. Belum berpikir menikah” pria itu menoleh pada safana
“ini pasti adiknya ardi. Kenalkan saya prapta” prapta mengulurkan tangan
“safana” Safana menyebutkan namanya.
“Bagaimana kabar Ardi sekarang pak ?” Prapta duduk bergabung bersama Mereka.
“Sudah sibuk di kantor, jadi tak sempat ikut kemari. Dia hanya titip salam padamu.” ayah safana menyahut
Prapta manggut\-manggut mendengarnya “Seingat saya dulu sepertinya Ardi sama\-sama anak tunggal seperti Saya.“
“Memang telat dapet Safana. Usia Ardi dua belas tahun saat Safana lahir“ Bu Sunar bercerita.
“Masih muda ya berarti” Prapta melihat ke safana.
Safana terangguk mengiyakan.
“Masih dua puluh satu tahun“ ibunya menyebutkan usia safana.
“Pak Sunar kemari mau menitipkan Safana untuk belajar batik printing diperusahaan. Dia baru lulus dari ISI jurusan seni rupa“ Pak Awi menjelaskan pada putranya mengenai maksud kedatangan tamunya.
“Oh, boleh. Kapan mau mulai belajar ?” prapta melempar pandang pada safana
“Inginnya secepatnya, tapi masih mencari kost\-kostan dulu untuk tinggal“ Safana mengungkapkan
“Tinggal disini saja. Kamar disini masih banyak yang kosong. Lagian Tante juga kesepian dirumah. Kan kalau ada Safana disini Tante jadi bisa ngerasain punya anak perempuan” Bu Awi menawarkan.
Safana tak yakin untuk mengiyakan, ia merasa tak nyaman untuk tinggal di rumah keluarga teman ayahnya yang baru dikenal.
“Disini saja, Ardi pasti setuju kalau adiknya tinggal disini. Lebih aman tinggal dirumah daripada indekost di Jakarta” Prapta menimpali.
Safana yang tak tahu bagaimana menolaknya, menoleh pada ayah ibunya agar mereka mewakili bicara.
“Benar kata Prapta, kalau Kau disini berangkat dan pulang kerja Kau bisa bersama Prapta. Tidak perlu memikirkan pulang pergi naik apa“ begitupun Pak Awi yang mendukung saran istrinya.
Orang tua safana yang tak enak menolak balas menatap putrinya, mengisyaratkan untuk bicara sendiri.
“Tapi apa nanti tidak merepotkan ?” Safana mencoba mencari kalimat yang tepat
“Nggak kok, malah senang. Ada Safana disini rumah pasti jadi ramai” tapi jawaban bu awi malah membuatnya tak bisa berkata\-kata.
Safana dengan terpaksa mengiyakan tawaran keluarga Pak Awi.
Setelah seharian dijamu di rumah Pak Awi, orang tuanya pulang ke Madura. Meninggalkan Safana yang dititipkan disana untuk belajar batik printing diperusahaan keluarga Pak Awi yang dikelola Prapta putra tunggalnya.
Safana menempati kamar tamu yang berada sejajar dengan kamar Prapta dan orang tuanya. Ia tak langsung tidur, malam itu dikamarnya Ia sibuk mengeluarkan baju dari kopernya dan menatanya dilemari. Memilah baju yang akan dikenakan esok pagi lalu menyetrikanya dan menggantungnya di belakang pintu.
Hari masih gelap ketika Safana terjaga. Ia merapikan tempat tidurnya dan langsung mandi, selesai mandi dan mengenakan pakaian Ia ke dapur, menghampiri pembantu dirumah Pak Awi yang tengah mencuci piring.
“Pagi mbak“ Safana menyapa dengan ramah.
“Eh pagi, pagi, pagi“ pembantu Pak Awi tergagap kaget ketika mendengar teguran dibelakangnya.
“Non, kok sudah bangun“ pembantu Pak Awi terkejut mengetahui siapa yang muncul di dapur
“Panggil Safana aja mbak. Nama mbak siapa ?” Safana mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
Pembantu Pak Awi yang tampak lebih tua dari Safana ragu membalas karena tangannya masih kotor oleh sabun cucian piring.
“Sumi“ pembantu Pak Awi yang merasa tak enak akhirnya mengelap tangannya ke baju dan membalas uluran tangan Safana.
“Mbak Sumi sudah buat sarapan ?” Safana menanyakan.
“Belum. Safana lapar ya ?” pembantu yang bernama Sumi itu balik bertanya.
“Nggak. Cuma mau bantuin Mbak Sumi aja kalau memang belum buat sarapan“ Safana yang dulunya anak kost langsung menyapu pandang ke sepenjuru dapur menandai letak\-letak barang seperti rice box, rice cooker, kulkas dan peralatan lainnya.
“Mbak, lanjutin aja cuci piringnya. Biar Saya bantu siapkan sarapan“ Safana beranjak ke rice cooker, mengambil tempat menanak nasi didalamnya lalu mengisinya dengan beras dari ricebox.
“Lho, jangan Safana. Safana kan tamu disini, masa ikutan di dapur“ Sumi menghampirinya dan hendak mengambil alih apa yang dikerjakan Safana.
“Alah mbak sumi ini, Aku udah biasa kok. Waktu kuliah dan tinggal ditempat kost juga biasa buat sarapan sendiri“ Safana menurunkan tangan Sumi dan mulai mencuci beras dengan telaten.
Sumi yang melihat bagaimana terampilnya tangan Safana di dapur memandang dengan kagum, tak lagi melarang gadis itu membantunya. Ia sendiri kembali sibuk meneruskan cuci piringnya.
Selesai mencuci beras dan memasukkan penanak nasi ke rice cooker Safana mengambil beberapa telur dari kulkas, memecahkannya dan memindahkan isinya ke mangkuk, mencampurkan daun seledri dan parutan keju ke dalam adukan telur lalu menggorengnya dengan mentega.
Tuntas menggoreng telur Ia kembali ke kulkas, mengambil roti tawar dan selai lalu memanggangnya dan menyajikannya di piring. Selesai lagi Ia mengambil teko keramik, memasukkan tea celup dan gula pasir kemudian menyeduhnya.
“Sekarang tinggal Mbak Sumi sajikan ke meja, Saya ke kamar dulu“ Safana mencuci tangannya.
“Safana makasih ya udah bantuin“ sumi berujar.
“Sama\-sama Mbak. Terima kasih juga sudah menerima Saya disini“ Safana meninggalkan dapur, Sumi memandangi punggungnya dengan terkesan.
Pak Awi dan istri serta Prapta dibuat terheran –heran dengan menu yang disajikan pagi itu di meja makan. Menu yang tak biasa, biasanya Sumi pembantu Mereka hanya memasak nasi, nugget dan telur ceplok untuk sarapan pagi. Lalu menghidangkan roti tawar dan selai jika pagi itu ada yang tak berselera makan. Tapi pagi itu yang dihidangkan telur dadar dengan bintik hijau dari potongan daun seledri dan roti panggang.
“Sum, tumben Kamu buat sarapan beda“ sambil mengisi piringnya dengan nasi dan selembar telur dadar Prapta berkomentar.
“Ng, bukan Saya“ Sumi nyengir.
Prapta yang baru melahap potongan telur dan nasinya menoleh, begitupun Pak Awi dan istri.
“Enak, seperti ada kejunya. Lalu siapa yang buat ?” Bu Awi ingin tahu.
“Non Safana Bu, Dia yang buatkan sarapan pagi ini“ Sumi menjelaskan.
Mata Pak Awi, istri dan Prapta menoleh pada Safana yang duduk di antara Mereka.
Pak Awi iseng mencomot roti panggang yang ada dimeja untuk mencicipinya. Ia berdecak kagum dengan sarapan yang dibuat Safana.
“jarang anak orang kaya yang mau ke dapur“ Pak Awi memuji.
“Safana, lain kali Kamu tidak usah repot\-repot bantuin di dapur. Nanti tangannya kasar lho“ Bu Awi melarang.
“Sudah biasa Tante. Waktu kuliah kan juga nyiapin makannya sendiri, “
“Tapi disini kan ada sumi” bu awi mengingatkan
“Iya sih. Tapi kalo nggak ke dapur suka kangen, di dapur itu banyak bumbu masakan yang mengingatkan saya sama Ibu” saat bercerita mata Safana berbinar mengingatnya.
Prapta yang mendengarkan cerita Safana sembari sarapan tak sengaja menoleh dan melihat binar indah itu. Ia sempat tertegun sejenak, terpesona dengan dua bola mata gadis itu yang nampak begitu polos dan lugu namun menunjukkan kemandiriannya. Ia terlihat berbeda dari kebanyakan perempuan yang Prapta kenal.
Melihatnya yang manis membuat Prapta jadi tak segan menawari Safana tumpangan untuk ke kantor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Fitria Berkisah
mantep iki....
2020-10-06
1