Rasa Yang Tak Bernama

Rasa Yang Tak Bernama

Bab 1

...Ada kamu di diamku.....

...Ada kamu di setiap sujudku.....

...Biarlah aku menamaimu Rasa Yang Tak bernama.....

...Aku sedang memperjuangkanmu dalam doa.....

...Semoga ridho Allah bisa ku raih, lalu...

...menamaimu untuk halal ku sebut Cinta.....

Senin pagi, 05.30

Ini Hari pertama masuk sekolah setelah 2 minggu libur semester pertama. Bus jemputan sekolah telah berhenti di halte, nampaknya sedang menunggu salah satu muridnya yang berlari karena takut tertinggal. Dia murid perempuan dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, paras anggun dan mengenakan jilbab panjang. Name tag di dadanya bertuliskan Rahma Az Zahra.

Rahma akhirnya sampai dan menaiki kendaraan yang menjemput para siswa di area tempat tinggalnya.

"Maafin Rahma, Pak Min harus nungguin Rahma lagi pagi ini," sambil terus membungkuk Rahma meminta maaf dengan nafas masih tak beraturan.

Sepertinya dia sudah sering terlambat, hingga pak supir pun maklum dan menjalankan busnya kembali tanpa keluhan. Bus itu masih kosong, Rahma baru murid kedua yang naik setelah murid laki-laki yang tertidur dengan headset yang terpasang di telinganya, duduk di bangku paling belakang. Sekilas Rahma melihatnya sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Seperti ada yang dia pikirkan, lalu menghela nafas panjang.

"Melihatnya lagi.." gumamnya.

Bus mulai terisi penuh oleh para murid yang membuat suasana bus menjadi sangat berisik dengan canda tawa mereka, sudah dua minggu tidak saling bertemu.

Tak lama kemudian, bus itu pun memasuki area sekolah dan sepertinya ini bus yang terakhir setelah bus-bus jemputan yang lain. Satu persatu murid turun, tak terkecuali Rahma. Baru beberapa langkah dari bus dia dikagetkan dengan seorang temannya yang memeluknya dengan tiba-tiba.

"Vioooo..!! Ngagetin aja sih?"protes Rahma dan sebuah pukulan kecil mendarat di lengan Vio, sahabatnya. Vio hanya tertawa melihat sahabatnya yang menggerutu.

"Kangennn..." kata Vio sambil mencoba memeluk Rahma, tapi dia urungkan ketika melihat tatapan marah miliknya. Tapi cuma tatapan marah yang tidak berarti karena lantas terurai senyum di wajah Rahma. Gantian Rahma yang memeluk Vio. Kedua sahabat itu terlihat sangat saling menyayangi.

Keduanya berjalan ke kelas dengan bahagianya karena sudah 2 minggu tidak bertemu. Banyak hal yang ingin mereka ceritakan satu sama lain. Hingga terdengar suara yang menghentikan langkah mereka.

"Rahma!" seru seorang guru, Bu Alfa yang terlihat susah payah dengan buku-buku yang dibawanya.

"Bisa bantu saya sebentar?" tanya guru itu.

" Iya bu, bisa bisa," jawab Rahma sambil mencoba mengambil alih sebagian buku yg dibawa gurunya.

Lalu Rahma berjalan mengikuti gurunya, dan meninggalkan Vio sendirian.

"Andra!!!" seru Bu Alfa memanggil murid yang tak lain adalah murid yang tertidur di bangku belakang bus jemputan tadi pagi. Mendengar namanya dipanggil, Andra lantas berbalik menuju suara yang memanggilnya.

"Iya bu?"

"Tolong bantu Rahma membawa buku-buku ini ke perpustakaan ya, tiba-tiba ibu teringat harus menemui kepala sekolah sekarang." 

Tanpa menunggu jawaban Andra, Bu Alfa segera memindahkan buku-buku yang dibawanya ke tangan Andra. Hampir terlepas, karena Andra belum siap menerima buku-buku itu.

Tinggallah Andra dan Rahma yang tak saling sapa, berjalan beriringan menuju perpustakaan. Banyak siswa berlalu lalang melewati mereka, tapi bagi Rahma terasa hanya ada mereka di sepanjang koridor. Sunyi, hanya terdengar suara detak jantungnya yang dia dengar.

Apakah Andra mendengarnya? ucapnya dalam hati. Oh betapa malunya andai terdengar di telinga Andra, seperti genderang perang saja ini.

Oke jantung! Aku rasa ini terlalu berlebihan.

Rahma terus saja meracau dalam benaknya. Hingga akhirnya sampailah keduanya di perpustakaan. Dengan isyarat mata, Andra mempersilahkan Rahma untuk masuk duluan. Melihat penjaga perpus yang belum datang, lalu mereka berinisiatif meletakkan buku-buku itu ke rak sesuai dengan kategorinya. Rahma kesulitan menaruh buku di rak yang paling atas,  bahkan sampai berjinjit. Tiba-tiba buku itu diraih oleh Andra untuk membantu meletakkan ke tempatnya.

Waktu seakan berjalan lambat, Rahma mendongak ke atas, menatap wajah dan menikmati aroma parfum Andra.

Astaghfirullah.. Ya Allah ampuni hamba.

Sepertinya, pagi ini Rahma harus banyak-banyak beristighfar karena tingkahnya.

"Sudah kan?" Andra memecah keheningan. Spontan, Rahma hanya mengangguk mengiyakan. Hitungan detik Andra sudah tak terlihat, dan Rahma terduduk di lantai masih di tempat yang sama ketika Andra membantunya tadi. Mencoba tenang, agar detak jantungnya normal kembali. Tak lama dia tersadar harus segera kembali ke kelas karena sebentar lagi upacara bendera akan di mulai.

***

"Andra???!!!" ucap Vio merasa tak percaya, ketika Rahma menceritakan kejadian pagi tadi.

"Ssttt.. Pelanin suara kamu Vio, ini di kantin. Malu jika terdengar teman yang lain." ucap Rahma sambil tengok kanan kiri memastikan tidak ada yang mendengar.

"Setelah sekian lama, pemeran utama deket-deketan sama sang pujaan hati," goda Vio

"Apaan sih kamu Vio?"

"Mungkin memang sudah saatnya kamu nembak dia, kita udah mau lulus, mau kapan lagi nyatain perasaan kamu ke Andra."

"Perasaan apa? Ngaco kamu. Udah stop ngomongin dia, maem tuh nasi goreng!" Rahma mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sepertinya tidak berhasil karena sahabatnya itu terus berbicara dan menyebut Andra terus, meski mulutnya penuh makanan sekalipun.

"Sebenernya mau kamu apa sih, Ma? Suka sama cowok, tapi disimpan-simpan terus, mau buat apa? Andra keburu jadian sama cewek lain, pasti banyaaaak yang mau sama dia. Ganteng, tajir, pintar, fotografer muda yang terkenal. Atau keburu kuliah ke luar negeri dianya, Ma."

"Mau sambel gk? Nih, buat kamu semua aja." Rahma masih tetap mengalihkan pembicaraan, hingga sahabatnya itu kesal dibuatnya.

***

"Nyari apa kamu?"  tanya Vio ke Rahma yang lagi nyari sesuatu. Tapi tidak mendapatkan jawaban.

Rahma terus mencari-cari sesuatu yang tidak dia temukan di dalam tasnya meski semua isi tasnya dia keluarkan. Lalu dia mencari di laci, ke kolong meja, tetap tak menemukannya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tanda dia sudah menyerah mencarinya.

"Apa sih yang hilang? Aku bantuin nyari. Kamu bisa ketinggalan jemputan nanti." Vio masih menunggu sahabatnya itu menjawabnya.

"Diary aku," jawab Rahma lesu.

"Udah yuk, pulang aja. Siapa tau ada di rumah. Nanti kamu ketinggalan jemputan loh, jam pulang udah lewat setengah jam ini, Ma." bujuk Vio dan akhirnya diiyakan oleh Rahma.

Mereka berlari menuju parkiran, dan didapati semua bus jemputan sudah tidak ada. Rahma menghela nafas panjang, karena berarti dia harus naik angkot atau berjalan kaki.

***

Rahma gelisah, karena angkot tak kunjung lewat. Vio yang sedari tadi menemaninya pamit pulang karena ibunya pasti cemas. Vio kebetulan tinggal di lingkungan dekat sekolah mereka, jadi cukup berjalan kaki untuk sampai ke tempatnya.

"Ayahku sedang melaut, aku pulang duluan ya? Ibu sendirian, pasti cemas nungguin aku. Tidak apa-apa kan, kamu nunggu angkot sendirian?"

"Iya, kamu pulang saja." Rahma mengerti posisi sahabatnya. Tempat tinggal mereka di pesisir pantai, jadi banyak yang profesinya nelayan, salah satunya adalah ayah Vio.

Tiba-tiba mereka dikagetkan kedatangan seseorang, yang tiba-tiba duduk di salah satu kursi di halte. Andra.

Kesempatan ini tentu tidak disia-siakan Vio.

"Andra, nunggu angkot juga ya? Kalian kan searah, aku nitip Rahma ya, aku harus pulang soalnya," bujuk Vio, lalu pamit ke Rahma dan bergegas pulang, tanpa menunggu jawaban Andra.

Sepeninggalan Vio, suasana hening. Hanya tiupan angin yang mulai kencang karena sudah mulai senja. Angkot tak juga lewat, angkot biasanya cuma sampai siang, sore hanya satu dua, itu juga kalau belum penuh.

Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti, kemudian supirnya turun ,lalu membuka pintu belakang. Andra bangkit dari kursi menuju mobil. Ternyata mobil itu menjemput Andra.

"Mau bareng nggak kamu?" Andra menawarkan tumpangan.

Lalu dijawab dengan gelengan kepala oleh Rahma. Tanpa basa basi lagi, Andra masuk ke mobilnya dan menyuruh supir menjalankan mobil.

"Bodohnya! Kenapa nggak iya aja sih?" rutuk Rahma dalam hati. Dia menghela nafas panjang, bingung bagaimana dia pulang jika angkot benar-benar tidak ada yang lewat.

Dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian memutuskan buat jalan kaki saja sambil menunggu angkot. Selangkah demi selangkah, dia menoleh ke belakang tidak ada tanda-tanda kendaraan umum itu akan lewat. Malah jalan semakin sepi.

"Bisa-bisa maghrib belum nyampe rumah nih. Ya Allah, tolong hamba." Rahma hampir putus asa. Tiba-tiba gadis itu menghentikan langkahnya, dan tak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya. Andra menunggunya. Mungkinkah demikian?

"Yakin mau jalan sampe rumah? Masih jauh loh, dan di depan sana rumah penduduk sudah jarang, nggak takut diculik kamu?? Ini tawaran terakhir buat kamu, yakin nggak mau bareng?" ucap Andra santai sambil bersandar di kap mobil, pandangannya tak lepas dari buku yang dia baca, buku bersampul pink, yang tak lain buku Rahma yang hilang.

Sontak muka Rahma memerah, dan berjalan dengan cepat hampir melewati Andra. Tapi Andra menarik tas Rahma ke belakang, hingga mereka berhadapan.

Malu, malu, dan malu. "Andra pasti sudah membaca isinya dan tahu semua tentang perasaannya." ucap Rahma dalam hati. Dia hanya tertunduk malu, seperti orang yang ketahuan mencuri, tinggal menunggu dihukum saja.

"Rahma Az zahra! Benar itu nama kamu? Aku nggak akan nanya apapun sekarang, karena aku sendiri juga syok. Ada orang yang sebegitu memperhatikan aku, tapi aku nggak tau. Aku bingung mau ngapain kamu. Marah? Atau apa ya??? " ucap Andra sambil menutup buku yang dipegangnya lalu fokus ke Rahma.

"Maafkan aku. Boleh aku pergi?" bujuk Rahma, dan masih tertunduk.

"Aku antar." sambil membuka pintu mobil buat Rahma. Kali ini Rahma setuju, tidak ada gunanya lari, toh dia sudah ketahuan, lagipula angkot memang sudah tidak ada yang lewat.

***

Mereka duduk berdampingan, tak saling bicara. Sesekali Rahma melirik ke samping, Andra masih juga membaca diary miliknya.

"Bisakah aku ambil buku aku kembali? Bagaimana pun juga itu bukan bukumu. Jadi harus kamu kembalikan," pinta Rahma pelan.

"Nggak bisa! Aku belum selesai baca." jawab Andra tegas.

"Oke. Aku minta maaf, jika menurut kamu aku lancang, tapi bisa nggak, bacanya jangan di depan aku. Jika kamu berniat membuatku malu, kamu berhasil," sambil menggulung ujung kerudungnya, Rahma mencoba menghilangkan kegugupannya.

Mendengar ucapan Rahma, membuat Andra tertawa. Lalu memasukkan buku bersampul pink itu ke dalam tasnya.

"Maaf Mas Andra, Nona ini mau diantar kemana ya?" tanya Prama, sang supir.

"Di halte depan aja Pak!" jawab Rahma spontan.

"Kok jadi kamu yang ngatur sih? Penumpang harusnya nurut sama yang punya mobil. Lagian halte yang biasa kamu nunggu bus sekolah kan masih agak jauh." Andra protes.

"Udah lumayan deket, aku jalan kaki aja. Dari halte ini aku bisa lewat jalan pintas langsung ke rumah. Makasih ya tumpangannya, kamu. Terima kasih juga ya Pak." Rahma pamit, mobil berhenti di halte depan sesuai permintaan Rahma.

Rahma turun, lalu beranjak menyeberang jalan.

"Ini belum selesai, oke! Besok kita bicara!" seru Andra tiba-tiba.

"Nona itu cantik ya Mas Andra?  Sopan, adem dilihatnya. Jadi ingat mantan pacar." Prama memecah keheningan, karena sedari tadi Andra masih melihat ke arah dimana Rahma menghilang.

"Beda banget sama Mbak Raya, " ucap Prama lagi. Mendengar nama Raya, Andra berubah murung.

"Kita pulang, Pak!"

"Baik mas Andra."

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

mampir

2023-01-17

0

Nining Rukmini

Nining Rukmini

lihat judulnya jadi penasaran pengen baca

2022-03-11

0

alfasyam

alfasyam

selamat datang 😅

2021-09-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!