Bab 2
Adzan maghrib telah berkumandang, Rahma memasuki pekarangan sebuah rumah kecil di depan gereja. Setelah menutup pagar, dia berhenti sejenak lalu menarik nafas panjang, dan menghembuskan perlahan. Hatinya masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.
"Bismillah.. Semoga kejutan hari ini cukup tentang Andra saja," gumamnya.
Dia melangkah menuju rumah yang terasnya masih gelap, nampaknya belum ada yang menyalakan lampu.
"Apa budhe belum pulang?" pikirnya. Ketika melangkah masuk ke rumah, ternyata semua lampu belum dinyalakan. Kemudian satu persatu dia nyalakan di setiap ruangannya, hingga ketika di ruang makan dia terkejut ketika menemukan Sandra tengah duduk di salah satu kursi sedang menatapnya tajam.
"Astaghfirullah. Budhe, kenapa duduk gelap-gelapan gini?" tanya Rahma pelan, sambil mencoba mengatur nafasnya.
"Bukan urusan kamu. Dari mana? Keluyuran lagi? Rumah ini punya aturan ya Rahma? Jadi, karena kamu telah melanggarnya, konsekuensinya kamu tidak boleh makan malam!" Sandra marah, lalu dia beranjak berdiri menuju kamarnya.
Jedarrrrr!! Sandra membanting pintu kamarnya dengan seluruh amarahnya.
Gadis itu hanya terpaku di tempatnya, hal itu sering terjadi. Amarah Sandra adalah makanannya setiap hari bagi Rahma, meski dia tak membuat kesalahan. Tapi selalu ada alasan bagi budhenya itu untuk meluapkan amarah padanya.
"Kejutan kedua," gumamnya.
Bergegas ke kamar mandi, Rahma meninggalkan ruang makan, karena waktu maghrib yang hampir habis.
"Apa iya nggak mandi lagi hari ini? Huhhh!" keluhnya, ketika dia dapati pintu kamar mandinya dikunci. Mungkin sudah sering terjadi, dan dia sudah tau apa yang harus dia lakukan setiap situasi ini terjadi. Dia raih handuk dari hanger, lalu berlari keluar lewat pintu belakang, menuju rumah kecil disamping gereja lewat samping rumah.
"Maria!" sapa Rahma kepada seorang gadis hitam manis sebayanya yang tengah duduk di kursi taman depan rumahnya.
Maria tampaknya tau maksud kedatangan Rahma hanya dengan melihat handuk yang dibawanya.
"Kamar mandi di kunci lagi?" tebak tetangganya itu. "Ya sudah sana, keburu maghribnya habis" Maria mempersilahkan, dia seolah bisa membaca apa yang Rahma butuhkan saat ini.
Sepuluh menit kemudian, Rahma yang sudah selesai mandi, menghampiri Maria untuk mengucapkan terima kasih.
" Sebentar lagi jemaat pada datang, nanti kamu malu jika berpapasan dengan mereka." Maria mengingatkan. Kemudian Rahma bergegas pulang usai melambaikan tangannya dengan riang kepada tetangga sebayanya itu.
***
Menahan lapar, berbaring di atas kasur yang sama sekali tidak empuk, berselimutkan seprei usang, Rahma mencoba untuk tidur. Namun pikirannya selalu terbang pada kejadian hari ini dengan Andra. Setiap dia memejamkan mata, muncul bayangan Andra yang sedang membaca diarynya, membuatnya malu saja. Tiba-tiba dia duduk, bagaimana bisa diaryku dibawa Andra? Pikirnya.
Dia mencoba mengingat semua kejadian yang dia alami hari ini.
"Ah iya! Mungkin ketika aku terjatuh di jemputan tadi pagi. Diary itu pasti terjatuh juga ketika semua isi tasku berserakan di bus. Lalu Andra menemukannya, karena dia selalu turun paling belakangan. Ya Allah.. " Rahma menangkupkan dua tangan di wajahnya, kebingungan terlihat jelas, mau tidak mau dia harus menghadapi Andra besok dan mungkin seterusnya. Atau mungkin selamanya.
***
Andra masih terjaga meski sudah tengah malam, ditemani diary Rahma pastinya. Rasa penasaran tak berhenti mendorongnya untuk membacanya, berulang-ulang kali.
Ada getaran halus yang menyentuh hatinya. Semua ini mengagetkannya. Dia tidak pernah tahu ada yang memperhatikannya hampir 3 tahun ini, padahal hampir tiap hari mereka satu bus jemputan, jika dia tidak sedang diantar oleh Prama.
"Rahma Az-zahra.. Siapa sih dia?" sebuah senyum terkembang di sudut bibirnya.
Rasa penasarannya tak akan berujung hingga besok, dan semua pertanyaannya akan terjawab.
Dia tersadar dari lamunannya ketika ponselnya berdering. Di layar ponselnya tertulis Raya sedang memanggil. Dengan malas dia pun menjawab panggilan itu.
"Hallo. Mau ngapain lagi kamu?" tanya Andra ketus.
"Maafin aku ya, Andra. Aku menyesal udah mutusin kamu.. Besok kita ketemu ya?" Raya memohon.
" Maaf, aku sibuk." Andra memutus telepon. Wajahnya terlihat kesal. Dia letakkan buku bersampul pink itu di dalam laci di samping tempat tidurnya, lalu mencoba tidur.
Banyak hal yang terjadi hari ini. Rahma dan Andra, keduanya punya harapan untuk besok.
***
"Selamat pagi, Kakek," sapa Andra kepada pria tua yang tengah menunggunya untuk sarapan bersama.
"Selamat pagi. Apa kamu habis begadang? Tumben kamu bangun kesiangan. Bisa ketinggalan jemputan kamu nanti," kata Ilyas penasaran, tak biasanya cucunya itu terlambat bangun pagi.
"Andra sengaja minta antar Pak Prama." Andra berkilah, lalu mulai memakan roti di piringnya. Buru- buru dia menghabiskan roti, lalu meneguk susunya. Ketika dia hendak bangkit dari kursinya, Ilyas menghentikannya.
"Kebetulan kalau begitu, ada yang kakek mau bicarakan sama kamu, duduk dulu. Kali ini tidak ada alasan ketinggalan jemputan. Duduk santai, dengar apa yang mau kakek bicarakan."
"Soal Raya lagi? Kami sudah putus ." Andra menyela.
"Bagus kalau gitu. Justru ini saat yang tepat. Kakek ingin kamu menikah."
"Apa?!!" Andra menyemburkan susu yang tadinya dia tidak ingin habiskan. "Apa Andra tidak salah dengar? Andra masih SMA, juga tidak sedang menghamili anak orang. Kenapa buru-buru disuruh menikah?" Andra syok.
"Kakek sudah tua, bisa mati kapan saja. Tapi sebelum mati pengen lihat kamu menikah dulu. Calonnya cantik kok, anak teman Kakek. Daripada kamu pacaran, nambah-nambahin dosa saja, mending halal dulu baru pacaran. Kalau kata ustad, taaruf dulu, kalo kamu tidak suka sama gadisnya kamu bisa menolak. Memangnya kenapa kalo masih SMA? Kamu kan sudah ber-KTP, punya penghasilan besar, punya rumah juga. Justru kamu itu sasaran empuk buat para syaitan, digodain biar terjerumus dosa. Coba pikirkan dulu, syukur-syukur menerima permintaan Kakek ini. Oh ya, nanti sore temenin Kakek ketemu seseorang."
"Gadis itu?!" Andra menyela lagi.
"Bukan. Kalo penasaran ikut saja. Sudah sana berangkat!" Ilyas beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan cucunya yang super dilema. Setelah diputusin pacar, lalu tahu bahwa sedang disukai sama cewek yang membuatnya penasaRan, dan sekarang akan dijodohkan oleh kakeknya entah dengan siapa.
***
Bus jemputan berhenti di halte tempat Rahma menunggu, lalu gadis berkerudung itu masuk dengan tertunduk dan pasrah dengan situasi apa yang akan dia hadapi nanti jika bertemu Andra. Hanya berjalan tertunduk, tidak menoleh ke tempat Andra biasa duduk. Rahma tidak tahu kalo pemuda itu tidak naik bus jemputan pagi ini. Lalu duduk di kursi yang biasa dia tempati tanpa melirik ke belakang sama sekali.
Satu persatu murid menaiki bus, dan semakin penuh seiring waktu yang terkikis menuju ke sekolah. Terdengar tawa riang mereka seperti biasanya, terkecuali Rahma yang terdiam seperti tersangka menunggu vonis dari hakim.
"Andra kemana? Apa gk masuk?" celetuk salah satu dari mereka.
Andra nggak masuk? Tanya Rahma dalam hati. Kemudian dia arahkan pandangannya ke belakang, Andra yang biasa duduk dengan mata terpejam dan headset terpasang di telinganya tidak nampak di sana.
"Nggak masuk mungkin," gumamnya. Lalu gadis itu menghembuskan nafas lega. Selamat untuk kali ini, pikirnya.
Nggak tau harus apa dan bagaimana jika bertemu dengan Andra nanti.
Sepanjang jalan menuju kelas, Rahma hanya tertunduk. Banyak hal yang dia pikirkan, tentang Andra, Sandra, tes beasiswa, dan juga ayahnya yang hidup sendirian di kota dan entah kapan mereka bisa berkumpul hidup serumah lagi. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya membuat dia tidak fokus dengan apa yang ada di hadapannya.
Gubrakkk!!
Rahma tersungkur di lantai koridor depan perpus. Ada seseorang yang sengaja pasang kaki biar Rahma terjatuh.
"Adriana? " Rahma menatap Si Empunya kaki. Apalagi ini? Pikirnya.
"Mata kamu kemana sih? Sampe nggak lihat nih kaki yang sengaja aku pasang di jalan. Gampang banget ya bikin kamu jatuh," Adriana pun ngeloyor pergi tanpa rasa bersalah setelah dengan sengaja membuat temannya tersungkur.
Rahma menatap sedih kepergian mantan sahabatnya itu, lalu berdiri dan memungut isi tasnya yang berserakan di lantai. Satu persatu dipungutnya tanpa memperdulikan tatapan teman-temannya yang sedari tadi melihatnya. Rahma sudah biasa akan hal itu, sudah sering diolok soal hijabnya yang dirasa aneh buat sebagian murid. Gadis itu memang bukan murid populer, hanya murid biasa yang tidak punya banyak teman.
"Lagi?? Hobi banget sih jatuh??"
Rahma mengangkat kepalanya ke arah asal suara. Buru-buru dia kemas isi tasnya, dan berlari begitu tau Andra yang baru saja bicara, tanpa dia sadari salah satu bukunya tertinggal. Lagi.
***
Vio menatap heran wajah sahabatnya, banyak pertanyaan yang ingin dia keluarkan dari kepalanya.
"Bagaimana bisa buku tugasmu tertinggal? Sudah tau konsekuensinya kan, kalau sampe nggak ngumpulin tugas dari Pak Wirya. Aneh banget sih kamu hari ini?" tanya Vio penasaran.
"Panjaaaaang banget ceritanya. Sampe bingung mau mulai dari mana. Nggak usah crita aja ya? Kamu pulang duluan aja, aku mau ngejalanin hukuman," ucap Rahma tak bersemangat. Dia harus membersihkan kamar mandi sebagai hukuman karena tidak mengumpulkan tugas bahasa inggris, lebih tepatnya buku tugasnya di tangan Andra, karena terjatuh tadi pagi.
"Nanti kamu ketinggalan bus jemputan lagi kayak kemarin. Oh ya, gimana kemarin? Diantar Andra gk?"Vio penasaran.
"Jangan sekarang deh, nanti keburu sore. Bisa kayak kemarin entar, maghrib baru nyampe rumah. Lagian ibumu pasti nungguin, kamu pulang saja sana! Pertanyaannya disimpan dulu, insyaa Allah aku jawab besok atau kapan-kapan." Rahma nyengir kuda, membujuk Vio agar mau cepat pulang.
Akhirnya Vio pulang dengan kesal, karena tidak dijawab juga apa yang sedang ingin dia ketahui, padahal seharian ini dia sudah mencoba mengintrogasi sahabatnya itu,tapi nihil.
Sepeninggal Vio, Rahma hendak mengambil pel dan sabun, tapi Pak Parmin__ tukang kebun sekolah__ datang menghampirinya. "Kata Pak Wirya, Mbak Rahma disuruh pulang saja," kata tukang kebun itu.
"Alhamdulillah.. Yang bener pak? Tapi kenapa ya?" Rahma penasaran.
"Kurang tahu saya Mbak. Tadi pesannya cuma gitu. Saya permisi." Pak Parmin pergi dan Rahma terdiam.
Tiba-tiba Rahma berlari, ketika teringat bahwa dia harus mengejar bus jemputan sekarang juga, dengan harapan bus masih ada dan dia tidak perlu naik angkot, dia berlari sekuat yang dia bisa.
Tapi sayang, parkiran sudah sepi. Rahma menghela nafas panjang, tanda dia sedang kecewa.
***
Gerimis. Berjalan sendirian, Rahma menuju halte. Apakah akan turun hujan? Pikirnya.
"Rahma!!"
Rahma menengok ke belakang, "Andra?"
Begitu tahu bahwa Andra yang memanggil, dia mempercepat langkahnya. Kenapa sekarang jadi sering ketemu dia sih? Rutuknya dalam hati.
Tidak sulit bagi Andra untuk mengejar Rahma, bahkan Andra bisa berada di depannya. Lalu mencoba menghentikan gadis itu, reflek Andra memegang lengan baju Rahma, karena Rahma enggan berhenti. Sontak Rahma menjerit, lalu Andra melepaskan pegangannya karena merasa tak enak.
"Makanya berhenti!" Andra memohon. Kali ini Rahma berhenti, dan tak berani menatap Andra. Tertunduk malu.
"Kenapa setiap ketemu aku, kamu menghindar?" Andra protes.
"Malu." Aku Rahma jujur.
Andra tertawa.
"Kita pulang bareng." Andra menunjuk mobilnya yang sudah terparkir di sisi jalan. "Angkot pasti sudah nggak ada yang lewat. Bentar lagi hujan. Malunya disimpan dulu, kecuali kalau kamu mau pulang jalan kaki."
"Oke." Rahma mengiyakan karena dia pikir Andra benar.
Beberapa menit setelah mobil melaju, mereka hanya diam. Menatap keluar jendela di sisi masing-masing. Kaca mobil semakin basah oleh gerimis. Hanya terdengar lagu yang diputar oleh Prama. Hingga mobil berhenti di halte biasa Rahma menunggu bus jemputan, mereka masih saja diam.
"Terima kasih." Rahma pamit, lalu turun.
"Gitu doang?" Andra protes, padahal Rahma sudah ada di seberang jalan.
" Kalau saya jadi Mas Andra, saya kejar sambil bawain payung. Gerimisnya makin deras lho Mas, ini namanya gerimis yang basah. Hehehe" Candaan Prama sepertinya mempengaruhi Andra, terbukti Andra mengambil payung lalu turun dari mobil. Dia mengejar Rahma yang bayangannya pun sudah tak terlihat, dia hanya berjalan ke arah dimana Rahma menghilang.
Langkahnya terhenti ketika melihat gadis yang dikejarnya sedang duduk bersandar di depan pintu gerbang sebuah rumah. Dia memayunginya, lalu jongkok di depan Rahma.
"Ngapain?" tanya Andra ke Rahma yang terkaget melihat kedatangannya.
Ada air mata yang menetes di matanya, tapi sudah menyatu dengan air hujan. Sebenarnya Rahma bisa berteduh di rumah Maria, tapi enggan. Dia sedang ingin menikmati lelah di hatinya. Hubungan dia dan budhenya makin memburuk saja tiap harinya. Dia rindu hangatnya kasih sayang seorang ibu yang dulu Sandra berikan padanya.
"Nggak bisa masuk. Pintu gerbangnya di kunci," jawab Rahma. "Kamu ngapain ada disini?" gadis itu balik bertanya.
"Disuruh Pak Prama bawain kamu payung." Andra takut ketahuan kalau dia peduli.
"Sudah terlanjur basah. Pulanglah, nanti kamu bisa sakit. Aku pengen sendiri," bujuk Rahma. Sebenarnya dia tidak ingin Sandra melihatnya dengan seorang pria.
"Kita sakit bareng aja!" kata Andra seraya mensejajarkan duduknya di samping Rahma.
Entahlah. Rahma tak pernah memposisikan dirinya sedekat ini dengan lawan jenis. Ada apa dengan dirinya, kenapa tak menolak?!
Satu payung berdua dengan Andra, tak pernah Rahma bayangkan sekalipun. Suasana romantis bisa saja menjadi horor jika Sandra melihat mereka saat ini.
Semoga hujan segera berhenti. Doa Rahma dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Nining Rukmini
kasihan Rahma
2022-03-11
0
Selvira Firdan
lumayan menari ceritanya
2021-08-26
1
Ridho punya aku
saya suka sekali sama nofel ini
2021-08-12
2