...Ada kamu di diamku.....
...Ada kamu di setiap sujudku.....
...Biarlah aku menamaimu Rasa Yang Tak bernama.....
...Aku sedang memperjuangkanmu dalam doa.....
...Semoga ridho Allah bisa ku raih, lalu...
...menamaimu untuk halal ku sebut Cinta.....
Senin pagi, 05.30
Ini Hari pertama masuk sekolah setelah 2 minggu libur semester pertama. Bus jemputan sekolah telah berhenti di halte, nampaknya sedang menunggu salah satu muridnya yang berlari karena takut tertinggal. Dia murid perempuan dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, paras anggun dan mengenakan jilbab panjang. Name tag di dadanya bertuliskan Rahma Az Zahra.
Rahma akhirnya sampai dan menaiki kendaraan yang menjemput para siswa di area tempat tinggalnya.
"Maafin Rahma, Pak Min harus nungguin Rahma lagi pagi ini," sambil terus membungkuk Rahma meminta maaf dengan nafas masih tak beraturan.
Sepertinya dia sudah sering terlambat, hingga pak supir pun maklum dan menjalankan busnya kembali tanpa keluhan. Bus itu masih kosong, Rahma baru murid kedua yang naik setelah murid laki-laki yang tertidur dengan headset yang terpasang di telinganya, duduk di bangku paling belakang. Sekilas Rahma melihatnya sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Seperti ada yang dia pikirkan, lalu menghela nafas panjang.
"Melihatnya lagi.." gumamnya.
Bus mulai terisi penuh oleh para murid yang membuat suasana bus menjadi sangat berisik dengan canda tawa mereka, sudah dua minggu tidak saling bertemu.
Tak lama kemudian, bus itu pun memasuki area sekolah dan sepertinya ini bus yang terakhir setelah bus-bus jemputan yang lain. Satu persatu murid turun, tak terkecuali Rahma. Baru beberapa langkah dari bus dia dikagetkan dengan seorang temannya yang memeluknya dengan tiba-tiba.
"Vioooo..!! Ngagetin aja sih?"protes Rahma dan sebuah pukulan kecil mendarat di lengan Vio, sahabatnya. Vio hanya tertawa melihat sahabatnya yang menggerutu.
"Kangennn..." kata Vio sambil mencoba memeluk Rahma, tapi dia urungkan ketika melihat tatapan marah miliknya. Tapi cuma tatapan marah yang tidak berarti karena lantas terurai senyum di wajah Rahma. Gantian Rahma yang memeluk Vio. Kedua sahabat itu terlihat sangat saling menyayangi.
Keduanya berjalan ke kelas dengan bahagianya karena sudah 2 minggu tidak bertemu. Banyak hal yang ingin mereka ceritakan satu sama lain. Hingga terdengar suara yang menghentikan langkah mereka.
"Rahma!" seru seorang guru, Bu Alfa yang terlihat susah payah dengan buku-buku yang dibawanya.
"Bisa bantu saya sebentar?" tanya guru itu.
" Iya bu, bisa bisa," jawab Rahma sambil mencoba mengambil alih sebagian buku yg dibawa gurunya.
Lalu Rahma berjalan mengikuti gurunya, dan meninggalkan Vio sendirian.
"Andra!!!" seru Bu Alfa memanggil murid yang tak lain adalah murid yang tertidur di bangku belakang bus jemputan tadi pagi. Mendengar namanya dipanggil, Andra lantas berbalik menuju suara yang memanggilnya.
"Iya bu?"
"Tolong bantu Rahma membawa buku-buku ini ke perpustakaan ya, tiba-tiba ibu teringat harus menemui kepala sekolah sekarang."
Tanpa menunggu jawaban Andra, Bu Alfa segera memindahkan buku-buku yang dibawanya ke tangan Andra. Hampir terlepas, karena Andra belum siap menerima buku-buku itu.
Tinggallah Andra dan Rahma yang tak saling sapa, berjalan beriringan menuju perpustakaan. Banyak siswa berlalu lalang melewati mereka, tapi bagi Rahma terasa hanya ada mereka di sepanjang koridor. Sunyi, hanya terdengar suara detak jantungnya yang dia dengar.
Apakah Andra mendengarnya? ucapnya dalam hati. Oh betapa malunya andai terdengar di telinga Andra, seperti genderang perang saja ini.
Oke jantung! Aku rasa ini terlalu berlebihan.
Rahma terus saja meracau dalam benaknya. Hingga akhirnya sampailah keduanya di perpustakaan. Dengan isyarat mata, Andra mempersilahkan Rahma untuk masuk duluan. Melihat penjaga perpus yang belum datang, lalu mereka berinisiatif meletakkan buku-buku itu ke rak sesuai dengan kategorinya. Rahma kesulitan menaruh buku di rak yang paling atas, bahkan sampai berjinjit. Tiba-tiba buku itu diraih oleh Andra untuk membantu meletakkan ke tempatnya.
Waktu seakan berjalan lambat, Rahma mendongak ke atas, menatap wajah dan menikmati aroma parfum Andra.
Astaghfirullah.. Ya Allah ampuni hamba.
Sepertinya, pagi ini Rahma harus banyak-banyak beristighfar karena tingkahnya.
"Sudah kan?" Andra memecah keheningan. Spontan, Rahma hanya mengangguk mengiyakan. Hitungan detik Andra sudah tak terlihat, dan Rahma terduduk di lantai masih di tempat yang sama ketika Andra membantunya tadi. Mencoba tenang, agar detak jantungnya normal kembali. Tak lama dia tersadar harus segera kembali ke kelas karena sebentar lagi upacara bendera akan di mulai.
***
"Andra???!!!" ucap Vio merasa tak percaya, ketika Rahma menceritakan kejadian pagi tadi.
"Ssttt.. Pelanin suara kamu Vio, ini di kantin. Malu jika terdengar teman yang lain." ucap Rahma sambil tengok kanan kiri memastikan tidak ada yang mendengar.
"Setelah sekian lama, pemeran utama deket-deketan sama sang pujaan hati," goda Vio
"Apaan sih kamu Vio?"
"Mungkin memang sudah saatnya kamu nembak dia, kita udah mau lulus, mau kapan lagi nyatain perasaan kamu ke Andra."
"Perasaan apa? Ngaco kamu. Udah stop ngomongin dia, maem tuh nasi goreng!" Rahma mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sepertinya tidak berhasil karena sahabatnya itu terus berbicara dan menyebut Andra terus, meski mulutnya penuh makanan sekalipun.
"Sebenernya mau kamu apa sih, Ma? Suka sama cowok, tapi disimpan-simpan terus, mau buat apa? Andra keburu jadian sama cewek lain, pasti banyaaaak yang mau sama dia. Ganteng, tajir, pintar, fotografer muda yang terkenal. Atau keburu kuliah ke luar negeri dianya, Ma."
"Mau sambel gk? Nih, buat kamu semua aja." Rahma masih tetap mengalihkan pembicaraan, hingga sahabatnya itu kesal dibuatnya.
***
"Nyari apa kamu?" tanya Vio ke Rahma yang lagi nyari sesuatu. Tapi tidak mendapatkan jawaban.
Rahma terus mencari-cari sesuatu yang tidak dia temukan di dalam tasnya meski semua isi tasnya dia keluarkan. Lalu dia mencari di laci, ke kolong meja, tetap tak menemukannya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tanda dia sudah menyerah mencarinya.
"Apa sih yang hilang? Aku bantuin nyari. Kamu bisa ketinggalan jemputan nanti." Vio masih menunggu sahabatnya itu menjawabnya.
"Diary aku," jawab Rahma lesu.
"Udah yuk, pulang aja. Siapa tau ada di rumah. Nanti kamu ketinggalan jemputan loh, jam pulang udah lewat setengah jam ini, Ma." bujuk Vio dan akhirnya diiyakan oleh Rahma.
Mereka berlari menuju parkiran, dan didapati semua bus jemputan sudah tidak ada. Rahma menghela nafas panjang, karena berarti dia harus naik angkot atau berjalan kaki.
***
Rahma gelisah, karena angkot tak kunjung lewat. Vio yang sedari tadi menemaninya pamit pulang karena ibunya pasti cemas. Vio kebetulan tinggal di lingkungan dekat sekolah mereka, jadi cukup berjalan kaki untuk sampai ke tempatnya.
"Ayahku sedang melaut, aku pulang duluan ya? Ibu sendirian, pasti cemas nungguin aku. Tidak apa-apa kan, kamu nunggu angkot sendirian?"
"Iya, kamu pulang saja." Rahma mengerti posisi sahabatnya. Tempat tinggal mereka di pesisir pantai, jadi banyak yang profesinya nelayan, salah satunya adalah ayah Vio.
Tiba-tiba mereka dikagetkan kedatangan seseorang, yang tiba-tiba duduk di salah satu kursi di halte. Andra.
Kesempatan ini tentu tidak disia-siakan Vio.
"Andra, nunggu angkot juga ya? Kalian kan searah, aku nitip Rahma ya, aku harus pulang soalnya," bujuk Vio, lalu pamit ke Rahma dan bergegas pulang, tanpa menunggu jawaban Andra.
Sepeninggalan Vio, suasana hening. Hanya tiupan angin yang mulai kencang karena sudah mulai senja. Angkot tak juga lewat, angkot biasanya cuma sampai siang, sore hanya satu dua, itu juga kalau belum penuh.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti, kemudian supirnya turun ,lalu membuka pintu belakang. Andra bangkit dari kursi menuju mobil. Ternyata mobil itu menjemput Andra.
"Mau bareng nggak kamu?" Andra menawarkan tumpangan.
Lalu dijawab dengan gelengan kepala oleh Rahma. Tanpa basa basi lagi, Andra masuk ke mobilnya dan menyuruh supir menjalankan mobil.
"Bodohnya! Kenapa nggak iya aja sih?" rutuk Rahma dalam hati. Dia menghela nafas panjang, bingung bagaimana dia pulang jika angkot benar-benar tidak ada yang lewat.
Dia bangkit dari tempat duduknya, kemudian memutuskan buat jalan kaki saja sambil menunggu angkot. Selangkah demi selangkah, dia menoleh ke belakang tidak ada tanda-tanda kendaraan umum itu akan lewat. Malah jalan semakin sepi.
"Bisa-bisa maghrib belum nyampe rumah nih. Ya Allah, tolong hamba." Rahma hampir putus asa. Tiba-tiba gadis itu menghentikan langkahnya, dan tak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya. Andra menunggunya. Mungkinkah demikian?
"Yakin mau jalan sampe rumah? Masih jauh loh, dan di depan sana rumah penduduk sudah jarang, nggak takut diculik kamu?? Ini tawaran terakhir buat kamu, yakin nggak mau bareng?" ucap Andra santai sambil bersandar di kap mobil, pandangannya tak lepas dari buku yang dia baca, buku bersampul pink, yang tak lain buku Rahma yang hilang.
Sontak muka Rahma memerah, dan berjalan dengan cepat hampir melewati Andra. Tapi Andra menarik tas Rahma ke belakang, hingga mereka berhadapan.
Malu, malu, dan malu. "Andra pasti sudah membaca isinya dan tahu semua tentang perasaannya." ucap Rahma dalam hati. Dia hanya tertunduk malu, seperti orang yang ketahuan mencuri, tinggal menunggu dihukum saja.
"Rahma Az zahra! Benar itu nama kamu? Aku nggak akan nanya apapun sekarang, karena aku sendiri juga syok. Ada orang yang sebegitu memperhatikan aku, tapi aku nggak tau. Aku bingung mau ngapain kamu. Marah? Atau apa ya??? " ucap Andra sambil menutup buku yang dipegangnya lalu fokus ke Rahma.
"Maafkan aku. Boleh aku pergi?" bujuk Rahma, dan masih tertunduk.
"Aku antar." sambil membuka pintu mobil buat Rahma. Kali ini Rahma setuju, tidak ada gunanya lari, toh dia sudah ketahuan, lagipula angkot memang sudah tidak ada yang lewat.
***
Mereka duduk berdampingan, tak saling bicara. Sesekali Rahma melirik ke samping, Andra masih juga membaca diary miliknya.
"Bisakah aku ambil buku aku kembali? Bagaimana pun juga itu bukan bukumu. Jadi harus kamu kembalikan," pinta Rahma pelan.
"Nggak bisa! Aku belum selesai baca." jawab Andra tegas.
"Oke. Aku minta maaf, jika menurut kamu aku lancang, tapi bisa nggak, bacanya jangan di depan aku. Jika kamu berniat membuatku malu, kamu berhasil," sambil menggulung ujung kerudungnya, Rahma mencoba menghilangkan kegugupannya.
Mendengar ucapan Rahma, membuat Andra tertawa. Lalu memasukkan buku bersampul pink itu ke dalam tasnya.
"Maaf Mas Andra, Nona ini mau diantar kemana ya?" tanya Prama, sang supir.
"Di halte depan aja Pak!" jawab Rahma spontan.
"Kok jadi kamu yang ngatur sih? Penumpang harusnya nurut sama yang punya mobil. Lagian halte yang biasa kamu nunggu bus sekolah kan masih agak jauh." Andra protes.
"Udah lumayan deket, aku jalan kaki aja. Dari halte ini aku bisa lewat jalan pintas langsung ke rumah. Makasih ya tumpangannya, kamu. Terima kasih juga ya Pak." Rahma pamit, mobil berhenti di halte depan sesuai permintaan Rahma.
Rahma turun, lalu beranjak menyeberang jalan.
"Ini belum selesai, oke! Besok kita bicara!" seru Andra tiba-tiba.
"Nona itu cantik ya Mas Andra? Sopan, adem dilihatnya. Jadi ingat mantan pacar." Prama memecah keheningan, karena sedari tadi Andra masih melihat ke arah dimana Rahma menghilang.
"Beda banget sama Mbak Raya, " ucap Prama lagi. Mendengar nama Raya, Andra berubah murung.
"Kita pulang, Pak!"
"Baik mas Andra."
Bab 2
Adzan maghrib telah berkumandang, Rahma memasuki pekarangan sebuah rumah kecil di depan gereja. Setelah menutup pagar, dia berhenti sejenak lalu menarik nafas panjang, dan menghembuskan perlahan. Hatinya masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.
"Bismillah.. Semoga kejutan hari ini cukup tentang Andra saja," gumamnya.
Dia melangkah menuju rumah yang terasnya masih gelap, nampaknya belum ada yang menyalakan lampu.
"Apa budhe belum pulang?" pikirnya. Ketika melangkah masuk ke rumah, ternyata semua lampu belum dinyalakan. Kemudian satu persatu dia nyalakan di setiap ruangannya, hingga ketika di ruang makan dia terkejut ketika menemukan Sandra tengah duduk di salah satu kursi sedang menatapnya tajam.
"Astaghfirullah. Budhe, kenapa duduk gelap-gelapan gini?" tanya Rahma pelan, sambil mencoba mengatur nafasnya.
"Bukan urusan kamu. Dari mana? Keluyuran lagi? Rumah ini punya aturan ya Rahma? Jadi, karena kamu telah melanggarnya, konsekuensinya kamu tidak boleh makan malam!" Sandra marah, lalu dia beranjak berdiri menuju kamarnya.
Jedarrrrr!! Sandra membanting pintu kamarnya dengan seluruh amarahnya.
Gadis itu hanya terpaku di tempatnya, hal itu sering terjadi. Amarah Sandra adalah makanannya setiap hari bagi Rahma, meski dia tak membuat kesalahan. Tapi selalu ada alasan bagi budhenya itu untuk meluapkan amarah padanya.
"Kejutan kedua," gumamnya.
Bergegas ke kamar mandi, Rahma meninggalkan ruang makan, karena waktu maghrib yang hampir habis.
"Apa iya nggak mandi lagi hari ini? Huhhh!" keluhnya, ketika dia dapati pintu kamar mandinya dikunci. Mungkin sudah sering terjadi, dan dia sudah tau apa yang harus dia lakukan setiap situasi ini terjadi. Dia raih handuk dari hanger, lalu berlari keluar lewat pintu belakang, menuju rumah kecil disamping gereja lewat samping rumah.
"Maria!" sapa Rahma kepada seorang gadis hitam manis sebayanya yang tengah duduk di kursi taman depan rumahnya.
Maria tampaknya tau maksud kedatangan Rahma hanya dengan melihat handuk yang dibawanya.
"Kamar mandi di kunci lagi?" tebak tetangganya itu. "Ya sudah sana, keburu maghribnya habis" Maria mempersilahkan, dia seolah bisa membaca apa yang Rahma butuhkan saat ini.
Sepuluh menit kemudian, Rahma yang sudah selesai mandi, menghampiri Maria untuk mengucapkan terima kasih.
" Sebentar lagi jemaat pada datang, nanti kamu malu jika berpapasan dengan mereka." Maria mengingatkan. Kemudian Rahma bergegas pulang usai melambaikan tangannya dengan riang kepada tetangga sebayanya itu.
***
Menahan lapar, berbaring di atas kasur yang sama sekali tidak empuk, berselimutkan seprei usang, Rahma mencoba untuk tidur. Namun pikirannya selalu terbang pada kejadian hari ini dengan Andra. Setiap dia memejamkan mata, muncul bayangan Andra yang sedang membaca diarynya, membuatnya malu saja. Tiba-tiba dia duduk, bagaimana bisa diaryku dibawa Andra? Pikirnya.
Dia mencoba mengingat semua kejadian yang dia alami hari ini.
"Ah iya! Mungkin ketika aku terjatuh di jemputan tadi pagi. Diary itu pasti terjatuh juga ketika semua isi tasku berserakan di bus. Lalu Andra menemukannya, karena dia selalu turun paling belakangan. Ya Allah.. " Rahma menangkupkan dua tangan di wajahnya, kebingungan terlihat jelas, mau tidak mau dia harus menghadapi Andra besok dan mungkin seterusnya. Atau mungkin selamanya.
***
Andra masih terjaga meski sudah tengah malam, ditemani diary Rahma pastinya. Rasa penasaran tak berhenti mendorongnya untuk membacanya, berulang-ulang kali.
Ada getaran halus yang menyentuh hatinya. Semua ini mengagetkannya. Dia tidak pernah tahu ada yang memperhatikannya hampir 3 tahun ini, padahal hampir tiap hari mereka satu bus jemputan, jika dia tidak sedang diantar oleh Prama.
"Rahma Az-zahra.. Siapa sih dia?" sebuah senyum terkembang di sudut bibirnya.
Rasa penasarannya tak akan berujung hingga besok, dan semua pertanyaannya akan terjawab.
Dia tersadar dari lamunannya ketika ponselnya berdering. Di layar ponselnya tertulis Raya sedang memanggil. Dengan malas dia pun menjawab panggilan itu.
"Hallo. Mau ngapain lagi kamu?" tanya Andra ketus.
"Maafin aku ya, Andra. Aku menyesal udah mutusin kamu.. Besok kita ketemu ya?" Raya memohon.
" Maaf, aku sibuk." Andra memutus telepon. Wajahnya terlihat kesal. Dia letakkan buku bersampul pink itu di dalam laci di samping tempat tidurnya, lalu mencoba tidur.
Banyak hal yang terjadi hari ini. Rahma dan Andra, keduanya punya harapan untuk besok.
***
"Selamat pagi, Kakek," sapa Andra kepada pria tua yang tengah menunggunya untuk sarapan bersama.
"Selamat pagi. Apa kamu habis begadang? Tumben kamu bangun kesiangan. Bisa ketinggalan jemputan kamu nanti," kata Ilyas penasaran, tak biasanya cucunya itu terlambat bangun pagi.
"Andra sengaja minta antar Pak Prama." Andra berkilah, lalu mulai memakan roti di piringnya. Buru- buru dia menghabiskan roti, lalu meneguk susunya. Ketika dia hendak bangkit dari kursinya, Ilyas menghentikannya.
"Kebetulan kalau begitu, ada yang kakek mau bicarakan sama kamu, duduk dulu. Kali ini tidak ada alasan ketinggalan jemputan. Duduk santai, dengar apa yang mau kakek bicarakan."
"Soal Raya lagi? Kami sudah putus ." Andra menyela.
"Bagus kalau gitu. Justru ini saat yang tepat. Kakek ingin kamu menikah."
"Apa?!!" Andra menyemburkan susu yang tadinya dia tidak ingin habiskan. "Apa Andra tidak salah dengar? Andra masih SMA, juga tidak sedang menghamili anak orang. Kenapa buru-buru disuruh menikah?" Andra syok.
"Kakek sudah tua, bisa mati kapan saja. Tapi sebelum mati pengen lihat kamu menikah dulu. Calonnya cantik kok, anak teman Kakek. Daripada kamu pacaran, nambah-nambahin dosa saja, mending halal dulu baru pacaran. Kalau kata ustad, taaruf dulu, kalo kamu tidak suka sama gadisnya kamu bisa menolak. Memangnya kenapa kalo masih SMA? Kamu kan sudah ber-KTP, punya penghasilan besar, punya rumah juga. Justru kamu itu sasaran empuk buat para syaitan, digodain biar terjerumus dosa. Coba pikirkan dulu, syukur-syukur menerima permintaan Kakek ini. Oh ya, nanti sore temenin Kakek ketemu seseorang."
"Gadis itu?!" Andra menyela lagi.
"Bukan. Kalo penasaran ikut saja. Sudah sana berangkat!" Ilyas beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan cucunya yang super dilema. Setelah diputusin pacar, lalu tahu bahwa sedang disukai sama cewek yang membuatnya penasaRan, dan sekarang akan dijodohkan oleh kakeknya entah dengan siapa.
***
Bus jemputan berhenti di halte tempat Rahma menunggu, lalu gadis berkerudung itu masuk dengan tertunduk dan pasrah dengan situasi apa yang akan dia hadapi nanti jika bertemu Andra. Hanya berjalan tertunduk, tidak menoleh ke tempat Andra biasa duduk. Rahma tidak tahu kalo pemuda itu tidak naik bus jemputan pagi ini. Lalu duduk di kursi yang biasa dia tempati tanpa melirik ke belakang sama sekali.
Satu persatu murid menaiki bus, dan semakin penuh seiring waktu yang terkikis menuju ke sekolah. Terdengar tawa riang mereka seperti biasanya, terkecuali Rahma yang terdiam seperti tersangka menunggu vonis dari hakim.
"Andra kemana? Apa gk masuk?" celetuk salah satu dari mereka.
Andra nggak masuk? Tanya Rahma dalam hati. Kemudian dia arahkan pandangannya ke belakang, Andra yang biasa duduk dengan mata terpejam dan headset terpasang di telinganya tidak nampak di sana.
"Nggak masuk mungkin," gumamnya. Lalu gadis itu menghembuskan nafas lega. Selamat untuk kali ini, pikirnya.
Nggak tau harus apa dan bagaimana jika bertemu dengan Andra nanti.
Sepanjang jalan menuju kelas, Rahma hanya tertunduk. Banyak hal yang dia pikirkan, tentang Andra, Sandra, tes beasiswa, dan juga ayahnya yang hidup sendirian di kota dan entah kapan mereka bisa berkumpul hidup serumah lagi. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya membuat dia tidak fokus dengan apa yang ada di hadapannya.
Gubrakkk!!
Rahma tersungkur di lantai koridor depan perpus. Ada seseorang yang sengaja pasang kaki biar Rahma terjatuh.
"Adriana? " Rahma menatap Si Empunya kaki. Apalagi ini? Pikirnya.
"Mata kamu kemana sih? Sampe nggak lihat nih kaki yang sengaja aku pasang di jalan. Gampang banget ya bikin kamu jatuh," Adriana pun ngeloyor pergi tanpa rasa bersalah setelah dengan sengaja membuat temannya tersungkur.
Rahma menatap sedih kepergian mantan sahabatnya itu, lalu berdiri dan memungut isi tasnya yang berserakan di lantai. Satu persatu dipungutnya tanpa memperdulikan tatapan teman-temannya yang sedari tadi melihatnya. Rahma sudah biasa akan hal itu, sudah sering diolok soal hijabnya yang dirasa aneh buat sebagian murid. Gadis itu memang bukan murid populer, hanya murid biasa yang tidak punya banyak teman.
"Lagi?? Hobi banget sih jatuh??"
Rahma mengangkat kepalanya ke arah asal suara. Buru-buru dia kemas isi tasnya, dan berlari begitu tau Andra yang baru saja bicara, tanpa dia sadari salah satu bukunya tertinggal. Lagi.
***
Vio menatap heran wajah sahabatnya, banyak pertanyaan yang ingin dia keluarkan dari kepalanya.
"Bagaimana bisa buku tugasmu tertinggal? Sudah tau konsekuensinya kan, kalau sampe nggak ngumpulin tugas dari Pak Wirya. Aneh banget sih kamu hari ini?" tanya Vio penasaran.
"Panjaaaaang banget ceritanya. Sampe bingung mau mulai dari mana. Nggak usah crita aja ya? Kamu pulang duluan aja, aku mau ngejalanin hukuman," ucap Rahma tak bersemangat. Dia harus membersihkan kamar mandi sebagai hukuman karena tidak mengumpulkan tugas bahasa inggris, lebih tepatnya buku tugasnya di tangan Andra, karena terjatuh tadi pagi.
"Nanti kamu ketinggalan bus jemputan lagi kayak kemarin. Oh ya, gimana kemarin? Diantar Andra gk?"Vio penasaran.
"Jangan sekarang deh, nanti keburu sore. Bisa kayak kemarin entar, maghrib baru nyampe rumah. Lagian ibumu pasti nungguin, kamu pulang saja sana! Pertanyaannya disimpan dulu, insyaa Allah aku jawab besok atau kapan-kapan." Rahma nyengir kuda, membujuk Vio agar mau cepat pulang.
Akhirnya Vio pulang dengan kesal, karena tidak dijawab juga apa yang sedang ingin dia ketahui, padahal seharian ini dia sudah mencoba mengintrogasi sahabatnya itu,tapi nihil.
Sepeninggal Vio, Rahma hendak mengambil pel dan sabun, tapi Pak Parmin__ tukang kebun sekolah__ datang menghampirinya. "Kata Pak Wirya, Mbak Rahma disuruh pulang saja," kata tukang kebun itu.
"Alhamdulillah.. Yang bener pak? Tapi kenapa ya?" Rahma penasaran.
"Kurang tahu saya Mbak. Tadi pesannya cuma gitu. Saya permisi." Pak Parmin pergi dan Rahma terdiam.
Tiba-tiba Rahma berlari, ketika teringat bahwa dia harus mengejar bus jemputan sekarang juga, dengan harapan bus masih ada dan dia tidak perlu naik angkot, dia berlari sekuat yang dia bisa.
Tapi sayang, parkiran sudah sepi. Rahma menghela nafas panjang, tanda dia sedang kecewa.
***
Gerimis. Berjalan sendirian, Rahma menuju halte. Apakah akan turun hujan? Pikirnya.
"Rahma!!"
Rahma menengok ke belakang, "Andra?"
Begitu tahu bahwa Andra yang memanggil, dia mempercepat langkahnya. Kenapa sekarang jadi sering ketemu dia sih? Rutuknya dalam hati.
Tidak sulit bagi Andra untuk mengejar Rahma, bahkan Andra bisa berada di depannya. Lalu mencoba menghentikan gadis itu, reflek Andra memegang lengan baju Rahma, karena Rahma enggan berhenti. Sontak Rahma menjerit, lalu Andra melepaskan pegangannya karena merasa tak enak.
"Makanya berhenti!" Andra memohon. Kali ini Rahma berhenti, dan tak berani menatap Andra. Tertunduk malu.
"Kenapa setiap ketemu aku, kamu menghindar?" Andra protes.
"Malu." Aku Rahma jujur.
Andra tertawa.
"Kita pulang bareng." Andra menunjuk mobilnya yang sudah terparkir di sisi jalan. "Angkot pasti sudah nggak ada yang lewat. Bentar lagi hujan. Malunya disimpan dulu, kecuali kalau kamu mau pulang jalan kaki."
"Oke." Rahma mengiyakan karena dia pikir Andra benar.
Beberapa menit setelah mobil melaju, mereka hanya diam. Menatap keluar jendela di sisi masing-masing. Kaca mobil semakin basah oleh gerimis. Hanya terdengar lagu yang diputar oleh Prama. Hingga mobil berhenti di halte biasa Rahma menunggu bus jemputan, mereka masih saja diam.
"Terima kasih." Rahma pamit, lalu turun.
"Gitu doang?" Andra protes, padahal Rahma sudah ada di seberang jalan.
" Kalau saya jadi Mas Andra, saya kejar sambil bawain payung. Gerimisnya makin deras lho Mas, ini namanya gerimis yang basah. Hehehe" Candaan Prama sepertinya mempengaruhi Andra, terbukti Andra mengambil payung lalu turun dari mobil. Dia mengejar Rahma yang bayangannya pun sudah tak terlihat, dia hanya berjalan ke arah dimana Rahma menghilang.
Langkahnya terhenti ketika melihat gadis yang dikejarnya sedang duduk bersandar di depan pintu gerbang sebuah rumah. Dia memayunginya, lalu jongkok di depan Rahma.
"Ngapain?" tanya Andra ke Rahma yang terkaget melihat kedatangannya.
Ada air mata yang menetes di matanya, tapi sudah menyatu dengan air hujan. Sebenarnya Rahma bisa berteduh di rumah Maria, tapi enggan. Dia sedang ingin menikmati lelah di hatinya. Hubungan dia dan budhenya makin memburuk saja tiap harinya. Dia rindu hangatnya kasih sayang seorang ibu yang dulu Sandra berikan padanya.
"Nggak bisa masuk. Pintu gerbangnya di kunci," jawab Rahma. "Kamu ngapain ada disini?" gadis itu balik bertanya.
"Disuruh Pak Prama bawain kamu payung." Andra takut ketahuan kalau dia peduli.
"Sudah terlanjur basah. Pulanglah, nanti kamu bisa sakit. Aku pengen sendiri," bujuk Rahma. Sebenarnya dia tidak ingin Sandra melihatnya dengan seorang pria.
"Kita sakit bareng aja!" kata Andra seraya mensejajarkan duduknya di samping Rahma.
Entahlah. Rahma tak pernah memposisikan dirinya sedekat ini dengan lawan jenis. Ada apa dengan dirinya, kenapa tak menolak?!
Satu payung berdua dengan Andra, tak pernah Rahma bayangkan sekalipun. Suasana romantis bisa saja menjadi horor jika Sandra melihat mereka saat ini.
Semoga hujan segera berhenti. Doa Rahma dalam hati.
Dalam diam Rahma dan Andra bergeming hingga hujan berhenti.
"Pulanglah. Tidak baik, bukan mahram berduaan, ada setan yang jadi pihak ketiga. Kalau ada yang melihat bisa jadi fitnah." Rahma mencoba membujuk Andra pulang.
Sebenarnya Andra enggan beranjak, tapi dia teringat permintaan untuk menemani kakeknya sore ini.
"Aku pulang." Andra pamit.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Rahma, dia hanya memandang Andra pergi semakin menjauh dan akhirnya menghilang.
Satu jam setelah Andra pergi, Sandra tak juga datang. Rahma bingung karena belum sholat ashar. Lalu diputuskannya untuk ke masjid saja, meski jaraknya cukup jauh dari rumah budhenya.
Baru berjalan beberapa langkah, sebuah mobil datang membunyikan klakson, seolah memanggil Rahma. Gadis itu menoleh ke belakang, seketika senyumnya terkembang.
"Mas Nino?!!" Ucap Rahma senang.
Seorang pemuda tampan berpostur tubuh tinggi dengan rambut panjang menyentuh kerah baju, keluar dari mobil, lalu terkejut saat mendapati Rahma yang basah.
"Kok basah sih? Maen hujan?" Pertanyaan Nino hanya dijawab dengan senyuman oleh Rahma. "Mama nggak pulang ya? Hari ini peringatan kematian papa, makanya aku pulang," kata Nino sambil membuka gembok pagar. Lalu mengajak Rahma masuk ke dalam rumah.
Akhir-akhir ini banyak yang terjadi, sampai Rahma tidak ingat hari ini peringatan kematian pamannya. Mungkin ini jawaban kenapa Sandra tidak kunjung pulang. Sejak 7 tahun yang lalu, setiap tahun di hari kematian suaminya ibu kandung Nino itu memang selalu bepergian dan tidak pulang selama beberapa hari.
"Cepat mandi sana, terus ganti baju. Mas mau masukin mobil dulu, habis itu kita makan. Mas beli makanan kesukaanmu. Sana!" kata Nino membuyarkan lamunan Rahma.
***
"Silahkan diminum tehnya!" ucap seorang pria berusia empat puluhan kepada Andra dan kakeknya. Mereka berada di sebuah warung tenda di pinggir jalan yang menjual berbagai menu ayam dan sedang ramai pengunjung, membuat Andra tidak begitu nyaman. Dia masih tidak mengerti kenapa kakeknya mengajaknya ke sana. Dia pikir Ilyas akan mengajaknya menemui gadis yang akan dijodohkan dengannya, tapi dari tadi dia hanya mendengar Ilyas membicarakan kerja sama untuk mendirikan restoran. Andra menghela nafas panjang, bosan mulai melandanya.
"Tau begini, tadi bawa kamera biar nggak suntuk." Pikirnya dalam hati.
"Oh ya Ibrahim, kenalkan ini cucu saya, yang dulu pernah saya ceritakan." kakeknya memperkenalkan. Andra pun mengulurkan tangan, dan tersenyum memperkenalkan dirinya pada pria pemilik warung tenda itu.
"Kamu sudah besar sekarang, usiamu sepantaran dengan putri saya kalau tidak salah," ucap Ibrahim ramah.
"Om kenal dengan saya?" Andra mulai penasaran, siapa sebenarnya pria dihadapannya ini.
"Tentu, kamu dulu sering ikut kakekmu berkunjung ke restoran Om. Sampai-sampai susah diajak pulang, karena waktu itu kamu suka sekali bermain dengan putriku. Dia kan--" pembicaraan mereka terpotong karena tiba-tiba salah seorang pegawai memanggil Ibrahim karena kuwalahan melayani pelanggan.
Waktu sudah menjelang maghrib, Andra dan kakeknya pamit. Sepanjang perjalanan rasa penasaran menyelimuti benak Andra.
"Pak Ibrahim tadi siapa sih, Kek?" tanya Andra akhirnya.
"Teman lama kakek," jawab Ilyas. Jawaban itu tidak cukup memuaskan cucunya.
"Kok Andra baru lihat?" Andra makin penasaran. "Kalian sepertinya tidak seumuran untuk menjadi teman?" lanjutnya.
"Begitulah. Sebulan lalu ketemu di pengajian."
Akhir-akhir ini Sang Kakek rajin ikut kajian seorang ustadz, bersyukur dikasih umur sampai setua ini dengan nikmat sehat dan harta yang melimpah, saatnya memikirkan akhirat. Pikir Ilyas demikian.
"Dulu, dia pernah punya restoran. Kamu dulu suka sekali kalau kakek ajak ke sana. Waktu itu orang tuamu belum bercerai. Papamu adalah teman Ibrahim, karena kesalahan papamu lah restoran itu akhirnya bangkrut. Banyak hal yang terjadi setelah itu, dan kami baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Anaknya Ibrahim cantik lho, gadis yang mau kakek jodohin sama kamu. Tapi, kakek ragu, apa gadis itu mau sama kamu?" Goda kakek.
Wajah Andra masam seketika mendengar kata perjodohan. Apalagi ada kemungkinan dia ditolak oleh calon istrinya.
Mood pemuda itu memburuk, Andra tidak bertanya lagi. Suasana hening saat mobil melaju menembus hujan.
***
Nino menunggu Rahma yang tak kunjung keluar kamar, padahal sudah tiga puluh menit berlalu ketika Rahma pamit mau isya dulu sebelum makan.
"Rahma!" Nino mengetuk pintu kamar Rahma. "Apa kamu sudah tidur? Ayo makan dulu!"
Rahma membuka pintu dengan mukanya yang terlihat sembab.
"Kamu nangis? Pasti ingat peristiwa itu lagi ya?" Nino seakan tahu apa yang dipikirkan adik sepupunya itu. "Makan dulu yuk!" ajak Nino lagi.
Nasi goreng dan martabak telur sudah tersaji di meja. Nino menyuruh Rahma makan.
"Semua kesukaanku, aku makan semuanya ya, Mas?" Kata Rahma yang tak ingin mengecewakan sepupunya itu.
"Habiskan! Biar gendut lagi. Mas kangen sama kamu yang gendut dan tukang makan," goda Nino.
"Makanya di rumah terus, aku kurusan karena kamu tinggalin kuliah di luar kota. Mas Nino kenapa nggak kuliah di sini aja sih? Semakin sepi semenjak Mas pergi." Rahma protes karena sepupunya itu memilih kuliah di pusat kota yang jauh dari tempat tinggal mereka.
"Sudah skripsi, bentar lagi kelar," kata Nino lembut. Memandang adiknya yang berwajah sembab, dia tau apa yang sedang dipikirkannya. Pasti kejadian tujuh tahun yang lalu, tidak mudah bagi gadis seusianya lupa begitu saja. Apalagi trauma sempat dialaminya.
Penculikan dan penganiayaan, pernah dialami Rahma. Meski Nino tidak mengalaminya, tapi dia harus kehilangan papanya di hari naas itu.
Hari itu, Rahma pergi ke pantai dengan paman dan budhenya mengisi akhir pekan tanpa Nino yang waktu itu sedang menginap di rumah kakek neneknya. Rahma sudah seperti anak kandung Sandra dan Dhani, suaminya. Tapi tiba-tiba Rahma tidak kembali, setelah pamit ke kamar kecil. Mereka menunggu hingga menjelang malam, lalu memutuskan melapor pada polisi karena penjaga pantai pun nihil dalam pencarian mereka.
"Tadi sebelum Bapak dan Ibu, ada sepasang suami istri juga yang melapor bahwa mereka kehilangan putra mereka di pantai yang sama. Kami akan menyelidiki apakah ini ada hubungannya dengan sindikat penculik anak atau tidak. Jika ada perkembangan akan kami kabari, sebaiknya kalian pulang dulu." Usai mendengar penjelasan polisi mereka kembali ke rumah dengan perasaan tak tenang.
Sandra tak berhenti menangis, meski berkali-kali Dhani mencoba menenangkannya. Dia hanya ingin keponakan kesayangannya itu kembali dengan selamat.
Tiba-tiba ponsel Dhani berdering, dari nomor yang tidak dikenal. Mereka berharap itu dari polisi, semoga ada kabar baik.
"Halo"
"Keponakanmu bersamaku, datang kemari jika ingin dia baik-baik saja," suara seorang wanita diujung telfon.
Sepertinya Dhani hafal dengan suara itu, tanpa pikir panjang dia putuskan untuk pergi setelah memutus sambungan telfon. Dia raih kunci mobil diatas meja, seakan dia tahu kemana dia harus pergi. Dia diam meski Sandra berkali-kali bertanya perihal dia hendak pergi kemana.
Sandra semakin khawatir, suaminya pergi tanpa sepatah kata pun. Lalu dia putuskan untuk pergi ke kantor polisi dengan naik taksi.
Di sepanjang jalan, pikiran dipenuhi dengan suara wanita yang menculik Rahma. Entah apa yang sekarang dialami keponakannya saat bersama wanita itu.
Semoga dia tidak melakukan hal buruk pada Rahma. Harapnya dalam hati.
Dia memacu kencang mobilnya, ingin segera melihat keponakan kesayangannya. Pria itu tidak berhenti berdoa supaya semua baik-baik saja.
Mobil Dhani berhenti di depan sebuah rumah di tepi pantai. Sepertinya dia hafal betul rumah itu, karena langsung menerobos masuk. Pintu depan tidak di kunci. Dia berteriak memanggil sebuah nama, wanita yang menelfonnya.
"Widya!! Widya!!"
Dari arah dapur seorang wanita keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi. wanita itu tersenyum sangat ramah.
"Kamu datang, Mas?" seraya meletakkan nampan di meja dapur. Kemudian dia berlari menghambur ke arah pria yang menatapnya marah.
Dhani menampik tangan si wanita yang seolah ingin memeluknya.
"Di mana Rahma?" tanya pakde tidak sabar.
"Duduk dulu, sudah lama kita nggak ngopi berdua. Aku kangen kamu , Mas," ucap si wanita.
"Aku ingin Rahma. Di mana dia?"
Tiba-tiba si wanita melempar cangkir kopi ke lantai. Dia sangat marah.
"Aku ingin kamu datang hanya untukku! Kenapa Rahma?! Rahma?! Gadis kecil itu sudah mati!! Keponakanmu mati!! " wanita itu sangat marah. "Aku ingin memelukmu, seperti dulu." nada suara wanita itu berubah lembut.
"Hentikan omong kosong ini, cepat katakan di mana Rahma!!!!" kata Dhani sambil mencengkeram lengan Widya.
Tak juga bicara, Dhani putuskan mencari Rahma di setiap ruangan di rumah itu. Setiap pintu dia buka, tapi tak juga menemukan Rahma.
Hingga di depan sebuah gudang, dia mendengar suara tangisan. Dia nendobrak pintu gudang itu, dan mendapati dua orang anak yang sedang berpelukan di dalamnya. Ruangan yang tidak berlampu, hanya ada cahaya dari sorot sinar rembulan yang masuk lewat kaca jendela. Dhani berlari menghambur ke arah dua bocah itu, tatapannya sendu, tak tega dan merasa bersalah karena ini semua terjadi karena dirinya. Dirinya dan hubungan terlarangnya dengan wanita si penculik.
"Maafin pakde ya, sayang," kata pakde seraya memeluk Rahma. Dia benar-benar dibuat sedih dengan keadaan sang keponakan, badannya basah kuyup, dan banyak bekas sulutan rokok di sekujur kedua lengan dan pipinya. Rahma hanya bisa menangis.
"Siapa adek ini,sayang?" tanya Dhani kepada Rahma.
"Tidak tau Pakde, tadi Tante itu membawa kami bersama." jawab Rahma yang masih sesenggukan.
Tapi kini dia sudah merasa aman,ada Dhani bersamanya.
Pakde menggendong bocah laki-laki kecil yang diculik bersama Rahma, sambil menggandeng Rahma keluar dari gudang.
Tiba-tiba si wanita penculik menghadang mereka, ketika mereka sudah berada di halaman rumah. Dia sangat marah, karena diabaikan oleh pria yang dicintainya. Mereka beberapa hari yang lalu masih menjalin hubungan terlarang, hingga Dhani menyadari kesalahannya, kemudian mengakhirinya.
"Kamu jahat, Mas!" ucap Widya. Sebilah pisau di tangannya, siap memotong nadi di pergelangan tangannya sendiri. "Setelah aku tinggalkan semua agar aku bisa sama kamu, kamu tega ninggalin aku gitu aja! Oke. Kita akhiri ini dengan caraku," ancam wanita itu.
"Widya!! Kenapa kamu nggak ngerti juga. Yang kita lakuin selama ini itu salah, kita menyakiti banyak orang yang seharusnya kita sayangi. Lepaskan pisaunya! Ingat putramu. Kembalilah padanya. Ayo kita perbaiki keluarga kita masing-masing. Bahagia lagi. Tanpa ada yang kita sakiti."
Dhani mencoba membujuk wanita yang terlihat putus asa itu, perlahan dia mendekatinya setelah menurunkan anak laki-laki yang digendongnya. Wanita itu melunak, pisau dia turunkan. Nampaknya dia tenang sesaat, tapi tidak beberapa detik kemudian. Dia tusukkan pisau itu di dada Dhani, berkali-kali hingga pria itu tersungkur, tapi pisau itu tak berhenti ditusukkan oleh wanita yang berteriak histeris di atas tubuhnya.
Kedua bocah itu histeris, menangis dan saling berpelukan. Ketakutan hingga lutut mereka melemas.
"Mas Dhani!!" suara Sandra tiba-tiba, dia datang bersama beberapa polisi. Dia syok melihat suaminya tersungkur, spontan dia berlari ke arah suaminya. Dia melihat banyak darah di badan pria yang sudah terkapar itu dan hanya bisa menangis. Sesekali meminta Dhani membuka matanya. Tapi Sandra harus kecewa karena suaminya tak kunjung membuka mata.
Dia teringat pesan singkat yang dikirim suaminya, ketika dia menuju ke kantor polisi beberapa saat yang lalu.
Maafkan aku sayang, maafkan setiap tetesan air mata yang mengalir di pipimu, maaf untuk setiap luka yang aku goreskan di hatimu. Terima kasih untuk tulusnya kasih sayangmu dan doamu untuk aku yang sering menyakitimu. Aku di rumah Widya, tolong bawa polisi kemari.
Air matanya tak terbendung lagi. Dia menangis sejadi-jadinya, ketika nenyadari bahwa suaminya telah pergi untuk selamanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!